THE RICHMAN

The Richman - Uncover The Fact Part III



The Richman - Uncover The Fact Part III

0Sekitar enam polisi bersenjata mengepung rumah itu dengan satu orang sniper bersiap. Sementara kepala polisi dan dua orang petugas yang bersiap di dalam sebuah mobil box berisi perlatan sadap mendengarkan percakapan yang terjadi di dalam. Aldric ikut didalam mobil box itu dan mendengarkan semua yang dibicarakan di dalam gudang rumah Javier itu.     

"Apa yang membuatmu lebih memilihnya dibandingkan aku?" Javier terdengar bertanya pada Adrianna, namun untuk beberapa saat yang terdengar hanyalah keheningan.     

"Karena aku mencintainya." Jawab Adrianna.     

"Kau juga mencintaiku!" Bentak Javier keras.     

Aldric yang ikut mendengarkan suara dari dalam gudang terlihat pucat pasi, dia benar-benar gelisah karena tahu bahwa Adrianna mungkin sekali dalam keadaan hidup dan mati dibawah tekanan pria itu.     

"Apa kau mengenalnya?" Tanya salah seorang polisi pada Aldric, dan Aldric mengangguk. "Dia mantan kekasih Adrianna." Jawabnya.     

Pimpinan operasi penyergapan memberikan aba-aba dan disetujui dari pusat komando di dalam mobil box, tampaknya polisi berhasil menyergap tanpa harus menembak mati Javier Walton dan membebaskan Adrianna. Aldric yang mengetahui bahwa pelaku sudah dilumpuhkan segera berlari masuk ke dalam gudang itu untuk menemui Adrianna.     

Adrianna segera memeluk Aldric dan menangis dalam pelukan calon suaminya itu, sementara Javier yang sudah di borgol dibawa keluar dari gudang, namun sebelum benar-benar keluar dari gudang dia sempat melihat Adrianna memeluk Aldric Bloom, bahkan sampai di ujung pintu gudang dia masih menoleh pada Adrianna.     

"Thanks for save my life." Bisik Adrianna, saat dia melepaskan pelukannya dan mendongak menatap wajah Aldric Bloom. Sempat terbersit olehnya bahwa pertemuan makan siang dengan calon suaminya adalah kali terakhir dia melihat pria itu karena mungkin hari ini dia akan tewas di tangan Javier Walton.     

"You're my life, I just save mine." Jawab Aldric sebelum mendaratkan ciuman di bibir Adrianna. "Don't be stupid again, please." Bisinya di sela ciuman.     

"Ya." Angguk Adrianna.     

Mereka berdua meninggalkan lokasi itu dengan mobil Aldric sementara Al meminta supirnya untuk mengambil mobil Adrianna. Gadis itu masih terdiam, meskipun pada akhinrya dia selamat tapi ada yang mengganjal di pikirannya. Cerita Javier soal empat tahun yang berat dalam kehidupan pria itu dan dia tetap menyimpan perasaan padanya membuat Adrianna menjadi gundah.     

"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Aldric.     

"Tidak, aku hanya…" Kalimat Adrianna terhenti, Adric menghela nafas dalam, dia meraih tangan kekasihnya itu dan mengecupnya. "Semua akan baik-baik saja." Ujarnya.     

Meski Aldric mengatakan demikian, tapi rasa bersalah yang demikian besar membuat Adrianna menjadi sesak. Setiap kali keputusan yang dia ambil dengan sepihak dan terburu-buru akan mengakibatkan dampak buruk yang berkepanjangan. Pertama dia tidak mendengarkan penjelasan Javier soal menghilangnya Jav selama empat tahun dan kemunculannya kembali yang ternyata menyimpan begitu banyak cerita pahit. Juga soal keputusannya yang sempat meninggalkan Aldric tanpa menuntut penjelasan yang akhirnya berujung dengan kontrak pernikahan meski itu semua sudah berakhir sekarang. Bedanya adalah, masalalunya dengan Javier Walton tidak terselesaikan dengan baik, sementara kisahnya dengan Aldric Blomm akan segera menemukan ujung bahagia.     

"Aku mendengar pembicaraan kalian meski tidak banyak." Ujar Aldric memecah keheningan, mata Adrianna membulat saat menoleh ke arah Aldric.     

"Apa saja yang kau dengar?" Tanyanya lirih.     

"Kau menegaskan padanya jika kau mencintaiku, dan itu sudah cukup bagiku. Aku tidak peduli dengan masalalumu, karena aku sangat percaya diri dan yakin bahwa aku masadepanmu, Mss. Adrianna Anthony." Aldric meraih wajah Adrianna dengan satu tangannya yang bebas dan mengusapnya. Gadis itu tersenyum sekilas, lubang hitam yang sempat sudah hampir hilang, menyisakan titik kecil di dada Adrianna itu kini menganga lebar kembali.     

"Aku tahu kau butuh waktu, take your times." Aldric tersenyum sekilas, pria pengertian itu tahu betul bagaimana rasanya berhubungan dengan mantan kekasih.     

***     

Adrianna duduk di sofa yang terletak tepat di salah satu sisi dinding kaca apartmentnya dengan secangkir teh hijau hangat di tangannya. Sementara itu Aldric sedang memasak untuk makan malam mereka. Pasca kejadian sore tadi, Adrianna lebih banyak diam dan terlihat murung.     

Aldric membawa dua piring daging panggang dengan bumbu rempah dan dua mangkuk salad sayuran dengan nampan ke sisi jendela itu dan meletakkannya di hadapan Adrianna. Aldric bahkan kembali dengan sebotol wine dan dua gels kosong dan membawanya ke tempat itu juga. Kini mereka duduk bersila, saling berhadapan dengan makanan di tengah mereka.     

"Kita makan." Ajaknya, dan Adrianna menyambut ajakan itu dengan seyum meski senyum itu tak menyentuh matanya.     

Ditemani dengan kerlap-kerlip lampu kota di malam hari, Aldric dan Adrianna duduk menikmati makanan mereka sembari berbincang. "Apa perasannmu masih belum membaik?" Pertanyaan itu dilontarkan Aldric karena melihat ekspresi wajah Adrianna yang terkesan lesu.     

Adrianna menatap Aldric dan berkata lirih, "Sorry."     

"It's ok." Aldric tersenyum sekilas. "Makanlah, setelah itu aku akan mengajakmu keluar." Ujarnya.     

Alis Adrianna bertaut. "Keluar?"     

"Ya, kita bisa menikmati udara segar diluar." Angguk Aldric, dia bahkan rela menyewa kapal pesiar untuk membuat perasaan Adrianna membaik. Tampaknya pertemuannya dengan sang mantan kekasih meninggalkan trauma tersendiri apalagi dalam keadaan seperti itu.     

"Aku senang kau menawarkannya, tapi bisakah aku sendiri malam ini? Aku tidak ingin pergi kemanapun." Ujarnya.     

Aldric menghentikan aktifitas mengunyahnya dan menatap ke arah Adrianna, "Apa kau butuh bantuan professional untuk membuatmu lebih baik?"     

"Tidak." Geleng Adrianna.     

"Tapi aku tidak bisa meninggalkanmu sendiri sekarang, anggap saja aku tidak ada. Aku akan berada di sofa itu dan abaikan saja aku." Ujar Aldric, setelah melihat apa yang terjadi pada Adrianna dia jelas tidak ingin meninggalkan calon isterinya itu sendiri.     

"Kau ingin aku menelepon ibumu dan memintanya datang?" Tanya Aldric lagi, tampaknya dia masih berusaha memberikan opsi. "Setidaknya ada orang lain di rumah ini yang akan menemanimu, jika kau tidak ingin melihatku." Ujarnya cepat, namun mendadak Adrianna meraih tangannya.     

"Tidak seperti itu, aku bukannya tidak ingin melihatmu." Adrianna mengkoreksi kalimatnya.     

"Aku mengerti, mungkin kau butuh orang lain yang lebih netral agar perasaanmu membaik." Adric mengusap tangan kekasihnya itu dengan tangannya yang lain.     

Adrianna menelan ludah, dia melepaskan tangan Aldric pada akhinrya, "Jangan katakan apapun pada orangtuaku tentang hari ini." Pinta Adrianna.     

Aldric mengerucutkan bibirnya sekilas. "Mengapa kau sangat hobi menyimpan rahasia?" Aldric menatap Adrianna dalam, gadis itu tertuntuk.     

"Entahlah." Gelengnya kemudian, "Aku hanya tidak ingin orang lain mencemaskanku, tapi ternyata aku yang membuat mereka semua cemas."     

"Kami semua mencintaimu Adrianna, jangan sembunyikan apapun dan mencoba memecahkan masalah sendiri. Kami ada untukmu, aku, keluargamu, jangan pernah lari dari siapapun." Aldric meraih tangan kekasihnya itu dan meremasnya. "Aku ada untukmu, anytime."     

"Thanks." Adrianna berkaca.     

"Makanlah, setelah makan dan sedikit wine akan memperbaiki suasana hatimu." Aldric membesarkan hati kekasihnya itu dan Adrianna mengangguk setuju. Dia mengambil alat makannya kembali dan mulai makan. Meski tidak lahap tapi suapan demi suapan berusaha dia nikmati.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.