THE RICHMAN

The Richman - Deep Talk



The Richman - Deep Talk

0Aldric baru saja mengobati luka di sudut bibir Adrianna, dan mengoles bagian wajahnya yang sebagian terlihat lebam. "Kau terlihat seperti korban KDRT." Goda Aldric dan itu membuat Adrianna tersenyum. "Setidaknya aku bisa mengukur kemampuan ayahku, pukulannya tidak sekuat yang ku bayangkan." Canda Adrianna. "Kupikir rahangku akan patah, ternyata tidak."     

Aldric menatap gadis itu, "Mengapa kau melakukannya?" Tanya Aldric. "Harusnya kau biarkan aku yang terkena pukulan, setidaknya rahangku lebih kokoh dari pada rahangku, dan reflekku jelas lebih baik dari reflekmu."     

Adrianna menghela nafas dalam, "Itu datang begitu saja dari dalam diriku." Jawabnya lirih, suasana sempat hening sesaat. "Awalnya aku merasa bimbang dengan apa yang kulakukan." Imbuhnya.     

"Bimbang, soal apa?" Alis Aldric tertekuk, wajah mereka bersitatap karena tubuh mereka duduk bersila di atas sofa dan saling berhadapan.     

Adrianna menerawang jauh, "Kau tahu, hari itu di restoran aku sempat berpikir kau cukup menarik meskipun itu bukan semacam cinta pada pandangan pertama." Ujarnya.     

Aldric mengangkat alisnya, "Aku sudah menduganya."     

Adrianna tersenyum lebar kemudian disusul seringai kesakitan saat luka di sudut bibirnya tertarik oleh senyum lebar yang dibuatnya. "Jangan membuatku tertawa, bibirku sakit." Protesnya.     

"Sorry." Aldric mengangkat kedua tangannya solah mengatakan bahwa dia menyerah.     

Adrianna menatap pria itu, "Dua minggu menjadi anak buahmu dan melihatmu setiap hari lebih dari enam belas jam dari duapuluh empat jam yang ku miliki dalam satu hari, apalagi saat wanita gila itu mencoba melukaiku dan kau datang untukku, terluka demi menyelamatkanku, aku jatuh hati padamu detik itu juga." Ujarnya jujur, Adrianna tak pernah seterbuka ini sebelumnya dan kini dia merasa tidak perlu ada lagi yang di tutup-tutupi dari siapapun, termasuk hal paling pribadi, yaitu soal perasaannya. Wajah Aldric bersemu merah saat seorang gadis mengutarakan perasaannya padanya.     

"Dan sekarang, lihatlah siapa pahlawannya." Puji pria itu dengan tatapan tulus pada Adrianna, gadis itu memutar matanya, satu-satunya gerakan wajah yang tidak melibatkan sudut bibirnya.     

"Tapi saat melihatmu bersama wanita itu, aku …." Adrianna bergidik, dia memeluk lututnya.     

"Jealous?" Aldric menebak dan Adrianna mengannguk "Very." Tegasnya.     

Aldric menghela nafas dalam, "Kau tidak memberikanku kesempatan untuk menjelaskan semuanya saat itu, apakah sekarang kau masih ingin mendengar penjelasanku?" Tanya Aldric.     

Adrianna mengangguk menatap pria itu, "Ya…" Ucapnya lirih, seolah dia tidak siap mendengar kisah tentang si wanita berambut coklat yang malam itu berpapasan dengannya. Hubungan mereka jelas bukan hubungan semalam, ada ikatan emosi lebih yang mungkin sampai sekarang masih melekat di benak dan di hati Aldric.     

"She's my ex." Ujarnya singkat memulai cerita panjang selanjutnya.     

"I guess that." Angguk Adrianna, sudah dia tebak sebelumnya, wanita berambut coklat itu pasti memiliki hubungan spesial dimasa lalu.     

Richard mengerucutkan bibirnya, "It' was a long time ago."     

"Just tell me." Adrianna menatap Aldric, tampaknya dia mulai menata hatinya untuk menerima Aldric dalam satu paket, termasuk masa lalu dan juga masa depannya.     

"Aku bertemu dengannya di sebuah bar." Aldric membuka buku catatan masa lalu dalam benaknya yang sudah sejak lama dia tutup dan tak pernah dia buka lagi, tapi karena Adrianna memintanya, Aldric mengorek sisa-sisa kenangan itu dan menceritakannya pada Adrianna seolah itu sebuah dongeng. "Dia bekerja di bar itu beberapa hari sebelum kami bertemu." Imbuhnya, Aldric mengutarakannya dengan sangat hati-hati sembari mengukur ekspresi wajah Adrianna.     

"Singkatnya kami saling mengenal dan menjalin hubungan dekat, karena satu dan lain hal kami berpisah. Dan malam itu dia menghubungiku, mengatakan bahwa kekasihnya memukulinya. Dia meminta tumpangan tempat tinggal malam itu dan ternyata saat aku menjemputnya itu hanyalah sebuah jebakan. Dia tidak dipukuli." Ujar Aldric, dia meringkas bagian-bagian yang mungkin akan menimbulkan kecemburuan di hati Adrianna.     

"Sesederhana itu hubungan kalian?" Tanya Adrianna penuh selidik, dan Adric mengangguk mengiyakan. Pria memang tak pernah ingin repot, yang ingin dia lakukan hanyalah diam dan tidak membahas masalalu, namun tidak demikian dengan wanita, mereka adalah makhluk yang memiliki hoby aneh, mengorek masa lalu pasangannya dan mengingatnya baik-baik seperti seorang ahli sejarah.     

"Jika suatu saat dia menghubungimu lagi, kau akan datang dan menyelamatkannya?" Adrianna menyipitkan mata ke arah Aldric dan pertanyaan tajam itu bagaikan sebuah skakmat bagi Aldric. Dia tidak langsung menjawab.     

"Tergantung." Aldric memilih jawaban yang paling diplomatis diantara semua opsi jawaban yang ada di kepalanya.     

"Tergantung apa?" Alis Adrianna berkerut dalam.     

"Apakah pasanganku mengijinkanku atau tidak." Jawab Aldric.     

Adrianna melipat tangannya di dada dan menyipitkan matanya pada Aldric, "Jangan berharap aku akan memberikan ijin!" Tegas Adrianna, dan mendengar kalimat itu senyum lebar mengembang di wajah Aldric.     

"Apa itu berarti kau mengatakan bahwa kau adalah pasanganku?" Goda Aldric dan itu justru membuat Adrianna terlihat kelimpungan dengan wajah bersemu merah. Aldric merangsek maju dan membuat Adrianna menarik diri mundur hingga dia jatuh terlentang dengan Aldric berada tepat di atas tubuhnya, pria itu menopang beban tubuhnya dengan kedua lengan kekarnya.     

"Aku akan memastiakan bahwa kau akan jadi pasanganku, apapun caranya." Bisik Aldric, mata Adrianna membeku menatap pria itu. Wajah tampannya yang begitu dekat dengan wajahnya membuat jantung Adrianna berlompatan.     

"Bagaimana jika ayahku menggagalkan pernikahan kita?"     

"Maaf, tapi aku akan memaksanya untuk setuju. Apapun caranya."     

"Apa maksudmu?" Tanya Adrianna dengan mata melotot. "Kau ingin memukuli ayahku?" Protesnya.     

"Jika itu memang perlu." Goda Aldric dan Adrianna tersenyum geli di bawah tatapannya. Pria itu memutar tubuhnya dan kini mereka berbaring bersebelahan di sofa yang tak terlalu lebar itu. Adrianna menyentuh lembut wajah Adric dengan tannyannya, "Jangan menemui wanita manapun setelah ini." Pintanya dan Aldric mengangguk.     

"Siapapun termasuk mantan kekasihmu." Adrianna menggaris bawahi kalimat pertamanya.     

"Yes mam." Jawab Adric.     

"Jika aku bukan Adrianna Anthony, dan aku tidak memiliki apapun apa kau akan tetap menikahiku?" Tanya Adrianna lagi dan Aldric menjawabnya dengan anggukan. "Bahkan jika kau bukan siapa-siapa, karena aku mencintaimu sebagai Adrianna in person, I don't care about the background, family, money, welath or whatever." Ujar Aldric, dia mengecup sekilas bibir kekasihnya itu, kini mereka benar-benar menjadi kekasih, bukan sekedar sandiwara belaka.     

"I love you Adrianna." Ujar Aldric, "Aku tidak membawa cincin mala mini, tapi aku ingin memintamu menikahiku, will you marry me?" Bisik Adric, tepat di hadapan wajah Adrianna dan mata gadis itu berkaca-kaca mendengarnya.     

"Yes." Angguknya, Aldric tersenyum lebar dan mengecup kening Adrianna dengan lembut. "I promise to send the send the ring later." Ujarnya dan itu membuat Adrianna mencubit lengan Aldric. Mereka tertawa bersama, setelah badai yang mengerikan berlalu, selalu ada pelangi yang indah di belakangnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.