THE RICHMAN

The Richman - The Dream



The Richman - The Dream

0Sayup-sayup terdengar suara kicau burung dan hembusan angin pagi yang masih sangat sejuk. Tirai berwarna putih terbang tertiup angin dengan indahnya. Sheina merasakan betapa sejuknya udara pagi itu. Perlahan Sheina terbangun dari tidurnya dan menyadari ibunya berada di tepi ranjangnya menunggunya bangun seperti yang sering dilakukan wanita itu saat dia masih kanak-kanak.     
0

"Morning sweet heart." Ucap wanita itu dengan senyum khasnya. Dia begitu cantik dengan rambut bergelombang yang diikat dibagian tengah dan menyisakan beberapa bagian tetap terurai. Sheina terkesiap, dia segera menghambur memeluk wanita itu dan menangis sesenggukkan.     

"Mommy, kemana saja mommy selama ini?" Tanya Sheina dalam tangisnya.     

"Mommy merindukanmu sayang." jawabnya.     

"Aku juga." Sheina berbicara di tengah isakan. Dengan begitu gagap dia meraih wajah ibunya dan mengusapnya. "Apa ini benar-benar mommy?" Tanyanya lirih.     

"Tentu saja ini mommy." Jawab Leah. Sehina menatap wanita itu dan melihat bebrapa bagian rambutnya memutih. Leah tetap cantik meski kini dia tak muda lagi.     

"Mom, jangan tinggalkan aku lagi." Bisik Leah.     

"Mommy tidak pernah meninggalkanmu, mommy selalu ada di sini." Leah meraih tangan Sheina dan meletakkan tangannya di dada. "Mommy selalu ada di hatimu sayang." Jawabnya. "Sekarang bangun dan kenakan gaunmu, mempelaimu menunggu di depan altar."     

Entah bagaimana, tiba-tiba Sheina sudah mengenakan gaun berwarna putih yang diambil ibunya dari lemari pakaiannya.     

"Mommy mengenakan gaun ini saat menikahi daddy." Ujar wanita itu penuh kenangan saat menatap gaun putih yang dikenakan Sheina.     

"Mommy pasti sangat cantik saat mengenakannya." Ujar Sheina.     

Leah mengusap wajah puterinya itu, "Kau juga sangat cantik dengan gaun itu sayang." Puji Leah, dan itu membuat Sheina berkaca-kaca menatap ibunya. "Aku merindukan Mommy." Ucap Sheina.     

"Mommy juga merindukanmu sayang." Ucap Leah sekali lagi. Tak habis-habisnya Sheina mengungkapkan kerinduannya pada sang ibu yang setelah begitu lama tak pernah terlihat olehnya, mendadak bisa dia rasakan kehadirannya.     

"Kau beruntung karena Oliver Hawkins sanga mencintaimu." Ujar Leah sembari meremas tangan puterinya itu.     

"Mengapa mommy bisa yakin, mommy bahkan belum mengenalnya?" Tanya Oliver.     

"Aku melihat ketulusannya selama ini. Aku melihat bagaimana dia berjuang untuk mendapatkanmu selama ini, dan saat kau menjatuhkan pilihanmu padanya, mommy tahu kau memilih hal yang benar." Leah menatap Sheina.     

"Mom, terkadang aku takut jika suatu saat nanti Oliver akan meninggalkanku demi wanita lain." Sheina menatap Leah dan wanita tua itu tersenyum. "Kau tahu, Oliver Hawins adalah pria yang matang dan mapan, dia punya banyak pilihan, dan dia bisa melakukannya jauh sebelum kau berpikir tentang itu jika dia memang memiliki niat untuk melakukan itu padamu." Ujar Leah.     

"Tapi menikah itu memakan waktu yang lama, bagiamana jika dia bosan?" Tanya Sheian lagi.     

Leah menatap puterinya itu dan tersenyum, "Meski pernikahan itu panjang, jangan berfokus pada akhirnya, tapi nikmati setiap prosesnya. Kau akan hidup penuh cinta, bekerja, memasak untuk suamimu, kalian akan pergi liburan, atau kalian akan berencana memiliki anak. Dan setiap tahapan dalam pernikahan itu akan membawa kebahagiaannya masing-masing. Tentu tidak ada yang mudah sayang, tapi kau tahu bahwa kalian saling mencintai, dan untuk alasan itu kalian harus bertahan untuk cinta yang kalian miliki satu dengna yang lainnya. Jika bosan melanda, atau masalah mendera kalian, ingatlah bahwa kalian saling mencintai." Leah bangkit berdiri.     

"Sekarang waktumu sudah tiba, keluarlah, daddy menunggumu." Ujar Leah dan saat menoleh ke arah pintu, Ben berdiri dengan tuxedonya. Pria berambut putih itu benar-benar terlihat gagah dan tampan.     

"Aku menunggumu di dekat Altar." Leah memeluk puteirnya itu dan meninggalkan ruangan. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan ruangan dia berhenti di depan Ben dan mereka saling menatap.     

"Thank you." Gumam Leah sembari menatap Ben. "Kau membesarkannya dengan sangat baik." Imbuhnya. Ben meraih wajah Leah dan mengecup bibirnya sekilas.     

"I love you both." Balas Leah sembari menatap Ben kemudian menatap Seina yang masih berdiri di dekat meja rias. Leah melangkah keluar dengan gaun berwarna lilac yang begitu menyatu dengan warna kulitnya.     

"Kau begitu cantik sayang." Ben menatap Sheina. "Daddy sampai tak menyadari bahwa kau sudah tumbuh dewasa." Gumam pria itu dengan mata berkaca.     

"Dad." Sheina memeluknya singkat.     

"Oliver menunggumu." Ben menekuk sikunya dan Sheina melilitkan tangannya di lengan sang ayah. Dengan mantap dia melangkah menuju altar. Letak Altar tak begitu jauh, mereka hanya melewati taman yang penuh dengan bunga dan berbelok menuju kolam dimana ada jembatan terbuat dari kaca diatasnya dan mereka melintasinya. Di sana ada lagi sebuah kola tepat dimana Altar berada di atas kolam berisi ikan koi besar yang bernenang kesana kemari.     

Oliver dengan begitu tampannya dan senyum terbaiknya menunggu Shina di depan Altar itu bersama pendeta yang siap menikahkan mereka. Sampai di depan Altar, Ben mengusap lengan Oliver dan menyerahkan tangan Sheina pada pria itu.     

"I can wait anymore to make you my wife." Oliver menatap Sheina, tapi sebelum mengatakan apapun, Sehina memutar wajahnya dan menebar pandangan ke seluruh hadirin. Dia melihat ibunya duduk di bangku paling depan, tapi wanita itu bangkit dari tempatnya duduk dan tersenyum pada Sheina, kemudian berjalan meninggalkan venue.     

"Mom . . . no!" Shiena tertegun karena Leah berjalan semakin jauh meninggalkan area pernikahan. Wanita itu bimbang antara tetap berdiri di altar atau mengejar ibunya. Dan pilihan yang diambil adalah mengejar ibunya, Sheina berlari mengejar Leah.     

"Mom . . . . don't leave me!" Teriaknya sembari berlari mengangkat gaunnya. Hiasan kepalanya berjatuhan. Sanggul di kepalanya terlepas hingga rambut panjangnya tergerai dan berterbangan diterpa angin sementara dia terus berlari. Bayangan Leah semakin jauh hingga pada akhirnya Sheina jatuh tersungkur, tak mampu mengejar lagi.     

"Sehina" Oliver mengguncangkan tubuh Sheina dan gadis yang tertidur dengan peluh bercucuran itu terkesiap bangun dan menyadari Oliver berada di sisinya. Sheina segera menangis tersedu dan Oliver menggulungnya dalam pelukannya.     

"Kau hanya mimpi buruk." Oliver mengusap-usap punggungnya.     

"Semua baik-baik saja." Jawab Oliver.     

"Aku mimpi tentang ibuku." Ujarnya ditengah isakkan. Tak berapa lama Oliver meraih wajah Sheian dan menatapnya.     

"Kau bermimpi buruk sayang, semuanya akan baik-baik saja." Oliver mengusap jejak air mata di wajah Sheina.     

"Aku berbicara banyak dengannya, dan dia terlihat begitu nyata." Terang Sheina.     

"Aku tahu, ibumu mungkin benar-benar hadir dalam mimpimu. Dan itu baik." Oliver meyakinkan.     

"Dia meninggalkanku saat pemberkatan pernikahan kita belum dimulai." Sheina menatap Oliver dengan mata berkaca. Oliver menghela nafas dalam. "Aku tahu kau sedang stress, jangan pikirkan lagi." Oliver membantu Shiena berbaring dan memeluknya.     

"Dia terlihat sangat cantik." Gumam Sheina.     

"Andai aku sempat bertemu dengnanya, dia pasti wanita yang sangat baik dan bijaksana." Ujar Oliver.     

"Kau benar." Jawab Sheina.     

"Mungkin alam bawah sadarmu begitu merindukan ibumu, dan itu termanifestasi menjadi mimpi." Ujar Oliver.     

"Ya." Angguk Sheina.     

"Sekarang tidurlah, aku akan memelukmu sampai kau terlelap." Oliver mengusap-usap punggung Sheina dari tangannya yang melilit tubuh Sheina. Wanita itu berusaha untuk memejamkan matanya meski sulit.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.