THE RICHMAN

The Richman - Love The Way You Lie



The Richman - Love The Way You Lie

0- Two Months Later -     

Emilia masuk ke ruangan bosnya, dan seperti biasa, beberapa bulan terakhir Sheina tampak tak banyak bicara. Dia selalu menolak acara hang out yang diadakan teman-temannya untuk merayakan setiap kesuksesan yang mereka raih untuk kasus-kasus besar dan mengurung diri di dalam ruangan dengan stumpuk kasus. Bahkan kasus-kasus rumit yang membuat isi kepalanya hampir meledak dia ambil. Tak hanya berangkat paling pagi dan pulang paling malam, tak jarang Sheina menghabiskan waktunya di kantor sepanjang malam untuk memecahkan kasusnya. Mengumpulkan bukti untuk diuraikan dalam pledoi dan lainnya.     

"Hi boss." Sapa Emilia.     

"Hi, katakan dengan cepat aku tak punya banyak waktu." Ucap Sheina.     

"Kau seperti zombie." Ujar Emilia dan itu membuat Sheina membeku, meletakkan kertas-kertas di tangannya dan menatap Emilia. "Apa maksudmu?" Alis Sheina berkerut.     

"Rambutmu berantakan, kukumu tak terawat dan kau memiliki mata panda yang gelap di wajahmu. Kau terlihat seperti zombie." Jujur Emilia. "Dan itu membuatku takut."     

Sheina menghela nafas dalam, dia merebahkan tubuhnya ke sandaran belakang kursi dan menatap Emilia. "Ini caraku berduka." Jujurnya.     

"Sudah dua bulan, dan kau tidak bisa terus seperti ini." Jawab Emilia.     

Sheina menautkan bibirnya sekilas, "Ada saran?" Gadis itu menyipitkan matanya ke arah Emilia.     

"Download datting app." Jawab Emilia polos.     

"Ara you insane?" Sheina memutar matanya.     

"Just for fun."     

"No way." Tolak Sheina, "Thanks untuk saranmu, akan kupikirkan. Tapi sekarang berikan aku waktu untuk menjernihkan pikiranku." Jujurnya.     

"Aku tidak bisa melihatmu terus seperti ini, kau bisa sakit." Emilia bersikeras memberikan nasehat itu pada bosnya, meski sudah barang tentu Sheina akan menolak dengan tegas apa yang disarankannya itu. Aplikasi kencan buta adalah momok mengerikan bagi Sheina.     

"Malam ini aku akan makan malam dengan keluarga besarku, bibiku mengundangku. Kuanggap itu refreshing." Ujar Sheina.     

"Kalau begitu tinggalkan pekerjaanmu dan pergi ke salon. Aku tidak ingin makan malam bereka rusak saat kau datang dan mereka mengira kau mengenakan kostum zombie." Seloroh Emilia.     

"Ok Fine." Sheina mengangkat tangannya. "Rapikan berkasku, ketik salian pedoi untuk sidang besok dan krimkan melalui email padaku paling lambat sore ini."     

"Siap boss." Emilia tersenyum lebar dan meninggalkan ruangan bosnya itu. Sheina menghela nafas dalam, dia membuka laci dan melihat cincin yang pernah diberikan Marcus padanya. Sheina bahkan belum sempat mengembalikan cincin itu pada pemiliknya meski hubungan mereka kini sudah berakhir.     

Dengan mengendarai sendiri mobilnya, Sehina menuju sebuah salon kecantikan ternama di kota itu. Dia masuk dan sang pemilik salon yang langsung melayaninya, sebelumnya Sheina adalah member VVIP di salon itu da sudah dua bulan terakhir dia tak menampakkan batang hidungnya.     

"Oh Darling, aku pikir kau hilang ditelan bumi." Sapa Mrs. Cortez sang pemilik salon kecantikan.     

"Ya, kurasa hampir." Seloroh Sheina sembari bercipika-cipiki. Mrs. Cortez melepaskannya dan menatap gadis itu dari atas sampai ke bawah.     

"Betapa mengerikannya penampilanmu." Jujurnya.     

Sheina mengangkat bahunya, "Ya, aku butuh kekuatan sihir untuk mengubahku dalam sekejab. Malam ini bibiku mengundangku untuk makan malam di rumahnya, aku tidak ingin dia mengomentari mata pandaku." Ujar Sheina.     

"Tentu. Kau butuh sihir untuk memperbaiki kekacauan ini." Mrs. Cortez membimbing Sheina untuk merapikan kukunya kaki dan tangannya terlebih dahulu. Itu memakan waktu kurang lebih satu jam. Dilanjutkan dengan lulur seluruh badan selama kurang lebih dua jam ditambah perawatan wajah satu jam dan perawatan rambut terakhir selama satu setengah jam. Total hampir setengah hari dihabiskan Sheina untuk melakukan semua perawatan itu.     

Sheina berjalan menuju mobilnya dengan perasaan yang lebih segar, seolah baru saja terlahir baru. Dia merasa bahwa dia kembali pada dirinya yang dulu.     

"You deserve to be happy." Gumam Sheina dalam hati sebelum menyalakan mesin mobilnya. Dia menasehati dirinya sendiri bahwa masa berduka sudah berakhir. Dikejar sampai ke ujung bumipun tak akan indah jika hanya Sheina yang berkorban untuk hubungan itu sementara Marcus tidak. Meskipun keduanya saling mencintai, tapi jika bersama hanya akan saling menyengsarakan, maka berpisah adalah keputusan terbaik.     

Sheina pulang ke apartmentnya untuk mengganti pakaian dan pergi ke rumah Adrianna bibinya. Di rumah itu tampaknya dihelat pesta, bukan sekedar makan malam. Karena ini jelas jauh lebih meriah dari sekedar makan malam keluarga. Tak hanya keluarga besar yang hadir, Claire, George dan si mungil Clementine, juga ayahnya dan keluarganya. Selain itu Javier dan koleganya juga hadir di rumah itu. Sheina masuk dan siambut oleh sang bibi.     

"Halo sayang, kau tak pernah muncul karena kesibukanmu yang luarbiasa." Adrianna memberikannya pelukan singkat juga ciuman di pipi.     

"Maafkan aku bibi." Jawab Sheina.     

"Ayahmu ada di sana dengan koleganya." Adrianna mengarahkan pandangannya pada segerombolan pria dengan setelan yang asik berbicara tentang bisnis mereka.     

"Aku tidak terlalu tertarik." Jawab Sheina.     

"Di atas ada George dan teman-temannya." Adrianna menawarkan venue lain, dan di bagian sana Claire dan Ketty bersama anak-anak dan teman-teman mereka.     

Sheina hanya melambai saat Claire dan Ketty menoleh padanya. "Aku tidak terlalu suka anak-anak." Sheina tersenyum getir. "Kurasa aku akan duduk disana, menikmati kudapan dan memeriksa email dari sektretarisku." Ujar Sheina.     

"Jangan terus bekerja, sesekali nikmati hidupmu."     

"Aku menikmati hidupku saat aku bekerja." Jawab Shiena, Adrianna menggelengkan kepalanya tapi tak bisa banyak berkomentar. Dia membiarkan Sheina duduk menikmati kesendiriannya dan memeriksa pekerjaannya.     

Gadis itu duduk dengan segelas wine di meja kecil dekat dengan kolam. Dia benar-benar menyendiri. Hal paling mengerikan secara psikologis adalah merasa kesepian di tengah keramaian, dan itu yang sedang dialami oleh Sheina. Dia membuka email dari Emilia dan menemukannya segera. Gadis mudai itu membacanya dan tak ada cacat dalam dokumen pledoi yang di ketik ulang oleh Emilia untuknya.     

"Mengapa dia mengerjakannya begitu rapi?" Gumam Sheina dalam hati. Tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk di ponsel Sheina. "Aku memperhatikan setiap titik dan koma dalam dokumen itu agar kau pnya banyak waktu untuk bersenang-senang dengan keluargamu." Tulis Emilia.     

Sheina tersenyum sekilas kemudian menjawab, "Thanks." Balasnya. Tampaknya makan malam tak menarik minatnya, Sheina menemui Adrianna dan mencari alasan untuk meninggalkan kediaman mewah milik bibinya itu. Tidak ada tempat untuknya dan tidak ada teman mengobrol setelah dia melewatkan enam jam perawatan di salon.     

Sheina memilih untuk kembali ke apartmentnya dan bersantai di kamarnya sembari mendengarkan musik. Hal yang sering dia lakukan belakangan ini untuk membunuh waktu. Meski tak jarang dia menghabiskan waktu untuk menangis sendirian di dalam kamar saat musik sedih yang mengingatkan dirinya akan kenangan masalalunya, baik itu tentang Oliver Hawkins atau Marcus Durant.     

Sheina baru saja keluar dari lift dan berniat menyusuri lorong menuju unit apartmentnya, dia mendapati Oliver berdiri di ambang pintu apartmentnya. Sheina menghentikan langkahnya dan menatap pria itu dari kejauhan, Oliver tak membuat gerakan, dia menunggu Sheina menghampirinya.     

Meskipun sempat sekilas berpikir untuk berbalik pergi, tapi Sheina mengurungkannya. Pria itu tidak akan datang jika tidak ada hal yang benar-benar ingin dia katakan, apalagi setelah pertemuan terkahir mereka, Oliver tak pernah berusaha untuk menemuinya.     

"Hi." Sapa Oliver begitu Sheina menghentikan langkah dan berdiri dekat dengannya.     

"Apa yang kau lakukan di depan apartmentku, pria beristeri?" Sheina berusaha membuat hubungannya dengan Oliver terkesan santai.     

"Ada yang ingin ku katakan padamu." Ujar Oliver.     

Sheina menghela nafas dalam, "Aku tidak ingin isterimu memergoki kita di dalam apartmentku, jadi sebaiknya kita bicara di luar." Sheina mengurungkan niatnya untuk membuka pintu apartment. Mereka berjalan keluar dan menuju coffee shop terdekat untuk mengobrol.     

Sheina memesan late dengan susu almond sementara Olvier memilih espresso. Minuman yang mereka sukai masing-masing, meskipun sudah cukup lama, Oliver masih ingat betul kopi kesukaan Sheina, dia bahkan memesannya dengan tepat.     

"Thanks." Sheina mengambil cangkir itu dan memegangnya dengan kedua telapak tangannya untuk merasakan kehangatan dari cangkir di tangannya itu.     

"Jadi apa yang ingin kau katakan?" Tanya Sheina sembari menatap wajah Oliver yang tak pernah berubah.     

Oliver menelan ludah, rahangnya mengeras sekilas. Sheina sabar menunggu, meski tiba-tiba tatapannya teralihkan pada seorang wanita yang berjalan ke arah meja mereka.     

"Kau mengundang isterimu?" Alis Sheina berkerut menatap Olvier.     

"Ya." jawab Oliver dan Sheina terlihat kesal seketika.     

"Hi." Sapa seorang wanita berambut pirang dengan tubuh semampai dan senyum dari balik bibir penuhnya.     

"Hi." jawab Sheina kikuk.     

"Terimakasih sudah datang." Olvier menatap wanita itu dan tidak ada romantisme pasangan suami isteri diantara mereka, hal itu sejatinya cukup membuat Sheina terkejut.     

"Aku datang karena Oliver memintaku datang." Ujar sang wanita.     

"Tentu saja, aku mengerti." Sehina tersenyum palsu.     

Oliver menghela nafas, "Aku berhutang penjelasan padamu." Jujur Olvier.     

"Penjelasan tentang?" Alis Sheina berkerut, dia menatap Oliver dan isterinya seara bergantian. Penjelasan yang setengah-setengah membuat Sheina kebingungan, apa yang sebenarnya terjadi diantara Olvier dan isterinya, dan mengapa pria itu melibatkan Sheina di dalamnya.     

"Pernikahan kami palsu." Ujar isteri Oliver dan itu membuat Sheina membeku. Untuk beberapa saat Sheina terbengong mencoba mencerna kalimat pendek yang dilontarkan wanita berambut pirang di hadapannya.     

"Oliver membayarku untuk membuatmu cemburu, dan kami tidak pernah menikah." Jujurnya.     

"Tapi kalian mengirimkan undangan pernikahan." Sheina mengerutkan alisnya.     

"Karena Oliver yakin bahwa kau tak akan datang, dia sengaja memberikan itu apdamu."     

"Jadi selama ini?" Alis Sheian bekerut menatap Olvier.     

"Aku berharap kau kembali padaku dengan cara itu." Jujurnya."Tapi aku salah, status bohong yang ku buat justru membuatmu semakin jauh."     

"Jadi kalian tidak pernah tinggal bersama?" Alis Sheina berkerut sekali lagi.     

"Never." Geleng si wanita. "Aku tinggal di Kanada setelah berita pernikahan kami, dan Oliver tinggal di apartmentnya." Sang wanita berambut pirang bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan mereka tanpa penjelasan apa-apa lagi.     

Sheina menatap Oliver, "Ini sama sekali tidak memperbaiki keadaan." Gadis itu bangkit dari tempat duduknya dan meninggalkan Oliver. Reaksi yang sudah diperhitungkan dengan matang oleh Oliver sebenarnya. Sheina pasti tidak bisa menerima hal itu dengan mudah, sama seperti saat dia menerima kabar tentang pernikahannya, seperti itu juga sebaliknya. Dan yang harus dilakukan saat ini hanyalah menunggu badai dalam hatinya mereda, dan itu yang berusaha dilakukan Oliver Hawkins selama ini. Menunggu badai di dalam hati Sheina mereda, meskipun Marcus Durant menjadi badai terpanjang dalam penantiannya, Olvier Hawkins memiliki kesabaran tak bertepi yang akan membuatnya tetap bertahan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.