THE RICHMAN

The Richman - Four Month Later



The Richman - Four Month Later

0(Empat Bulan setelah kematian Christabell, semua orang mulai menata hidupnya kembali, Richard yang semula tampak murung kini mulai menyibukkan diri dengan kegiatan di yayasan untuk meneruskan perjuangan isterinya, sementara Ben dan Leah juga tampak sudah mulai hidup normal pasca meninggalnya Paul Wisley, tiga hari setelah mendiang Christabell meninggal. )     

***     

(Adrianna POV)     

Sudah hampir tiga bulan aku berbaring di tempat tidur, tidak boleh melakukan banyak gerakan, bahkan dilarang turun dari tempat tidur terlalu sering karena placenta previa yang kualami. Aku merasa seperti mayat hidup sekarang. Bayi di dalam rahimku semakin besar dan kuat. Seiring dengan pertumbuhannya rasa sakit yang sering ditimbulkan juga semakin hebat. Memang aku tidak muntah lagi, tapi kadang-kadang aku mengalami seperti kram perut. Tapi semua itu tidak masalah bagiku, aku masih bisa menganggungnya demi melihat Aldric Bloom Jr.     

Kalian pasti begitu pensaran pada suamiku kan? Apakah dia masih mengacuhkanku?     

Tidak-tidak, jangan khawatir, dia sudah berubah sejak berbulan-bulan lalu. Biar kuceritakan sedikit.     

Malam itu aku mengalami pendarahan hebat, dan harus di bawa ke rumah sakit untuk penanganan lebih lanjut. Tidak ada penyebab yang pasti. Saat aku berjalan menuju kamar mandi tiba-tiba aku merasa ada darah keluar dari pangkal pahaku. Kalian tahu suamiku yang super panik dan selalu ketakutan, dia langsung kembali dari kantor dan membawaku ke rumah sakit begitu menerima pesan singkatku.     

Aku di periksa oleh dokter Nichole Craig di ruang USG. Saat itu USG empat dimensi di lakukan untuk mengetahui kondisi bayi secara detail.     

Aldric menggenggam tanganku selama pemeriksaan.     

"Bayimu melambai padamu Mr. Bloom." Mata dokter Nichole berkaca. Sementara aku, air mataku terus saja mengalir dari tadi, aku takut tapi aku juga bersyukur dia baik-baik saja.     

Aldric tampak terkejut mendengar kalimat itu, dia melepaskan tanganku lalu memutar ke sisi monitor.     

"Apa itu tangannya?" dia bertanya pada dokter Nichole.     

"Iya, lihatlah dia seperti sedang menari-nari." Dokter Nichole mengambil jeda " Meskipun dia bayi laki-laki, kau ingin melihat wajahnya?"     

"Yes please." Mata Aldric tak beralih dari layar monitor itu.     

"This is his face, his nose, his eyes, ear, lips, He's very handsome." Dokter menjelaskan, "He is like you."     

"Look, he's smile." Dokter Nichole tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan juga keharuannya. Seketika mata Aldric berkaca, dia meraih sapu tangan dari dalam saku celananya lalu menyeka matanya "Save Him Please"     

Saat aku mendengar kalimat itu, air mataku semakin membanjir. Ini pertama kali aku mendengar dia mengakuinya dari mulutnya sendiri, bahwa dia menginginkan bayi itu, bayi kami.     

Sejak saat itu dia berubah, dia tidur denganku, dia memanjakanku seperti saat kami mash berdua saja, dia juga sering berbicara pada puteranya yang ada di dalam perutku. Aku merasa bahwa aku adalah wanita paling beruntung di dunia, karena aku telah mendapatkan kembali cinta suamiku.     

***     

(Aldric POV)     

"Hallo." Aku menerima panggilan dari dokter Nichole.     

"Selamat pagi Mr. Bloom."Suara datar Dokter Nichole semacam alarm bagiku, hampir setiap hari dia menghubungiku untuk mendiskusikan kondisi isteriku, Anne.     

"Ya selamat pagi."     

"Bagaimana kondisi Mrs. Bloom?"Dia memang tidak datang kerumah setiap hari, jadi aku yang harus memberinya informasi tentang kondisi terakhir isteriku padanya.     

"Sejauh ini dia masih baik-baik saja, tapi setiap bayinya bergerak dia merasakan kesakitan luar biasa."dia tidak baik-baik saja, karena aku melihat dia begitu kesakitan setiap kali bayi itu menendang dengan kuatnya.     

"Sudah waktunya kita membawanya keluar Sir."Kalimat sederhana itu menjadi rumit dan sulit kucerna seketika.     

"Apa?"Aku begitu terkejut, apakah hari itu akan segera tiba? Aku akan melihat wajah puteraku? Tiba-tiba aku merasa menjadi sangat gugup.     

"Ya, usia kandungan isterimu sudah mencapai 36 minggu, dan bayimu juga dalam kondisi yang sangat baik. Aku khawatir jika di tunda, hal yang kita takutkan justru terjadi. Rahim isterimu memang cukup kuat saat ini, tapi bayi anda akan tumbuh jauh lebih cepat diminggu-minggu terakhirnya." Jelasnya.     

"Apakah aku harus membawanya kerumah sakit sekarang juga?" Alisku bertaut menungu jawaban, tapi aku tidak cukup sabar, karena aku juga sedang dalam ruang rapat bersama beberapa kolega penting dari Amerika. "Begini aku masih ada rapat sampai nanti sore, bisakah aku membawanya ke rumah sakit besok pagi?"     

"Tentu saja Sir."     

"Terimakasih banyak dok."     

"Sama-sama Sir."     

Aku mengakhiri pembicaraanku dengan dokter Nichole, lalu kembali ke ruang rapat. Hari ini aku harus melakukan akuisisi perusahaan cargo skala menengah yang hampir mengalami kebangkrutan, tapi kurasa masih bisa di selamatkan. Dan instingku tidak pernah meleset.     

***     

Aku begitu lelah hari ini, tidak seperti hari-hari biasanya. Entah mengapa aku hanya ingin cepat pulang, sampai di rumah dan melihat perut buncit Adrianna isteriku. Sesampai aku di rumah kulihat Sarah sedang berbicara pada Fredrick supir isteriku.     

"Sarah, Fredrick" Aku menyapanya sekilas, dan mereka tersenyum padaku.     

"Good night Sir."     

"Good night, how was Adrianna?"     

"She is sleeping Sir."Mia tersenyum.     

Aku segera menuju kamar, dan saat ku buka pintu kamar aku tidak melihat dia di ranjang.     

"Where is she?" oh Adrianna, mengapa kau keras kepala sekali. Kau dilarang turun dari ranjang, dan sekarang kau pasti sedang di kamar mandi. Kudengar suara keran air menyala dari dalam kamar mandi.     

"Honney, open the door please." Aku rasa dia butuh bantuan untuk berjalan kembali ke ranjang.     

"Honney..." aku mengetuk-ngetuk pintu. Tidak ada jawaban. Tanpa berpikir panjang kudobrak pintunya.     

"Adrianna, ..." kulihat dia tergeletak disisi closet. Kakinya sudah berlumuran darah. Aku segera megangkatnya keluar dari kamarmandi, keluar dari kamar, berlari menuju pintu, Fernando kebetulan ada di depan pintu.     

-Rushing time.-     

Semua berjalan begitu cepat, tapi waktu terasa sangat lambat bagiku selama kami dalam perjalanan menuju rumah sakit. Entah sudah berapa lama dia tergeletak di sana sementara semua orang mengira dia sedang tertidur.     

***     

Dokter Nichole segera berlari menyongsong kami saat Adrianna di dorong menuju Emergency Unit. Dia segera melakukan pemeriksaan dan meminta untuk disiapkan ruang operasi.     

"This is very critical Sir, we need to do surgery soon"     

"Do all the thing you need, please save them." Aku tidak bisa berpikir selain memikirkan seorang bocah laki-laki bermata coklat, juga isteriku Anne.     

"Yes, please process the administration frist. We need your sign to do the next process."     

"Ok."     

Aku segera mengurus segala hal terkait dengan administrasi. Entah berapa berkas yang harus aku tadantangani, dan semuanya kutandatangai tanpa kubaca. Aku hanya ingin isteriku dan puteraku segera mendapat penanganan terbaik.     

***     

Aku sudah mondar mandir di depan ruang operasi selama hampir lebih dari satu jam. Aku tidak menyangka prosesnya akan memakan waktu selama ini. Aku mencoba menghubungi Ben dan Leah untuk memberitahukan kabar ini pada Richard, ayah mertuaku. Begitu mendapat kabar dari Ben, Richard segera ke rumahsakit, dia bahkan meninggalkan acara penggalangan dana hari itu demi melihat kondisi puterinya.     

Kami menunggu dengan cemas, dan setelah sekitar satu jam di dalam ruang operasi, aku melihat dokter Nichole keluar dari ruang operasi.     

"Mr. Bloom, congratulation, we can save your son." Aku merasa kebahagiaan membuncah di dadaku, Richard segera memelukku "Congratulation."     

Lagi dan lagi, aku menjadi sangat emosional ketika itu menyangkut puteraku. Tapi, Adrianna, mengapa dokter tidak memberitahukan tentang kondisi Adrianna? Apa yang terjadi? Seketika aku merasa kerongkonganku begitu kering, aku tidak sanggup menanyakan kondisi isteriku.     

"Bagaimana dengan Adrianna, siteriku? " Tanyaku ragu.     

Dokter Nichole terdiam beberapa saat, "Kami sudah melakukan yang terbaik Sir. . ."Dokter Nichole tampak enggan melanjutkan kalimatnya. Wajahku mendadak pucat dan darahku solah surut dari tubuhku, jantungku berhenti berdetak seketika. Kehamilan Adrianna yang selama ini menjadi momok bagiku kini benar-benar membuatku tak bisa bernafas, bahkan saat aku tahu puteraku lahir dengan selamat. Tapi aku jelas tidak bisa membiarkan isteriku kehilangan nyawanya demi melahirkan puteraku.     

"Isteri anda kehilangan banyak darah, dia akan di pindahkan ke ruang ICU untuk perawatan intensif pasca operasi."Dokter Nichole tersenyum hambar, lalu pergi meninggalkan kami. Evelyn kembali memelukku. Itu tandanya masih ada harapan. Anne masih bisa pulih.     

Dia masih bisa hidup.     

Oh Thanks God.     

***     

(Adrianna POV)     

Saat ku buka mata, aku berada di sebuah ruang perawatan. Yang kurasakan adalah rasa sakit yang sama seperti ketika aku menjalani prosedur kuretase.     

Aku tidak ingat betul apa yang terjadi padaku, yang ku ingat adalah sarah berpamitan untuk keluar kamar setelah membawakanku segelas air hangat. Lalu aku merasakan ingin buang air kecil. Kuputuskan untuk berjalan sendiri ke toilet, tapi setelah aku berdiri dari closet aku merasakan keram di perut bawahku, dan seketika aku roboh. Setelah itu aku tidak ingat betul apa yang terjadi.     

Tidak lama setelah aku membuka mataku, aku melihat Dokter Nichole Craig masuk ke dalam ruangan.     

"Syukurlah anda sudah sadar. Mrs. Bloom baru saja meninggalkan ruangan."Dia datang untuk memeriksaku.     

"Bayiku dok?" Reflek pertamaku adalah menanyakan kondisi bayiku. Aku tidak ingin kehilangan dia dengan cara apapun.     

"Selamat Mrs. Bloom, bayimu sangat tampan, dia juga sehat."     

Seketika wajahku memanas, mataku berkaca-kaca dan tangis haru ku pecah.     

"Kau wanita yang kuat Mrs. Bloom." Setelah selesai memeriksaku Dokter Nichole keluar dari ruangan. Kulihat seseorang masuk ke dalam ruangan, Aldric? Wajahnya pucat pasi, menatapku dalam keheningan. Kuseka airmataku cepat-cepat. Aku tidak ingin dia melihatku mengangis. Oh suamiku yang malang, kau pasti melewati masa-masa sulit beberapa waktu terakhir. Aku sangat merindukanmu.     

Kuulurkan tanganku kearahnya, berharap dia akan datang menyambut tanganku, memelukku erat. Aku merindukan dirimu, cintamu, aku merindukan menjadi isterimu yang manja yang senang bergelayut di pelukanmu.     

Dengan matanya yang nanar menatapku, dia melangkah mendekat. Meraihku, menggulungku dalam pelukannya. Aku merasakan tubuhnya bergetar, kurasa dia merasakan kerinduan yang sama hebatnya denganku.     

"I miss you." Aku berbisik di sela isakan tangisku.     

"I miss you most." Dia mengecup keningku.     

Dan untuk beberapa waktu kami menghabiskan waktu untuk berpelukan tanpa saling bicara. Haya menikmati cinta yang selama ini menjadi dingin, tapi entah mengapa hari ini mencair. Sepertinya musim dingin sudah berakhir di hidupku.     

***     

Aldric menyuapiku dengan makanan yang kupesan, daging panggang dengan salad sayuran yang sengaja di pesan dari restoran terdekat. Entah mengapa mendadak aku ingin makan makanan yang enak. Aku lapar sekali, setelah berusaha memompa ASI untuk diberikan pada bayi kami. Bayi kami berlum bisa bertemu denganku, tapi akan segera bertemu kurasa, karena dia bayi yang hebat.     

"Aku harus menelepon Joe Russo dan Antony Russo segera."dia memasukan sesendok penuh makaan kemulutku.     

"Siapa mereka?"Aku berbicara setelah dengan susah payah menelan makananku.     

"Sutradara Captain Amerika." Jawabnya singkat, sambil menyuapiku.     

"Untuk apa? Kau tidak berbisnis di bidang per-filman setahuku"Aku mengerutkan alisku.     

"Kurasa kau layak menggantikan peran Christ Evan, dasar wanita keras kepala." Dia menggerutu. Aku terbahak.     

"Oh my goodness, Mr. Bloom, kurasa kau sudah menemukan selera humormu kembali." Aku meremas tangannya.     

"Ya setelah lebih dari empat bulan aku merasa seolah hidup di neraka." Dia bergidik ngeri.     

Aku tersenyum, ya tentu saja sayang, aku memahamimu. Kau hidup dengan ketakutanmu akan kehilanganku setiap hari. Tapi aku hidup dengan harapanku melihat puteramu setiap hari.     

"Emmm, apa menurutmu aku lebih keren dari Christ Evan?"Aku merubah topik pembicaraan untuk mencairkan suasana, aku ingin suamiku kembali seperti dulu, pria hangat yang begitu menggemaskan.     

"Ya, bisa kupastikan Christ Evan akan memilih untuk tidak hamil dalam kondisi terlarang." Aldric sedang melucu, meski ekspresinya datar.     

Aku kembali terbahak " Tentu saja, dia laki-laki sayang."     

"Adrianna, maukah kau berjanji satu hal padaku?" Tiba-tiba nada bicaranya rendah dan dalam. Oh suasana hatinya masih belum mencair sempurna, dia masih begitu serius.Aldric menyodorkan segelas Air, dan aku meneguk air mineral dari dalam gelas.     

"Apa?" Tanyaku.     

"Masa pembangkananmu sudah berakhir, aku suamimu, aku sudah sangat banyak mengkompromikan kenakalanmu, pembangkanganmu dan rasanya sudah cukup. Setelah ini kau harus mendengarkanku." Dia mengomel, ya aku juga merindukan dia mengomel.     

"Yes Sir." Aku memberikan hormat padanya. Seprti seorang prajurit yang sedang diomeli oleh komandannya.     

"Adrianna aku serius."     

"Aku juga sayang, meski aku tahu kau menderita, dan aku melewati delapan bulan ini juga tidak mudah tapi aku tidak pernah menyesalinya." Aku mengusap-usap lengannya.     

"Ya, kau tidak akan pernah jadi penurut kurasa."Aldric menggeleg putus asa.     

***     

Aldric berpamitan, meninggalkanku, dan berjanji untuk kembali dan membawa sebuah kejutan. Oh apakah pria dengan sejuta kejutan yang kugilai sudah kembali?     

Benar saja, tak butuh waktu lama untuknya mengejutkanku dengan berdiri di ambang pintu menggendCraig seorang bayi di lengannya.     

"Kejutan?" dia berjalan mendekatiku.     

Aku lagi-lagi meleleh, aku seperti tergulung dalam gelombang keharuan yang besar.     

"Yeah." Aku manggut-manggut sambil terus menghapus air mataku.     

Aldric memberikan bayi dalam selimut itu padaku, aku menggendongnya, menatapnya sedang tertidur, air mataku terus saja menetes. Hadiah terindah yang kunantikan selama delapan bulan terakhir akhirnya bisa kupeluk.     

"Perkenalkan dirimu pada ibumu nak." Aldric berbisik mendekat kearah bayi kami. Aku tersenyum menatapnya.     

"George Bloom." Katanya seraya tersenyum lebar. Mataku membulat mendengarnya mengucapkan nama itu.     

"Kau memberinya nama itu untuk bayi kita?"     

Aldric mengangguk "Kau suka?"     

"Sangat, nama yang sangat maskulin. Dia mewarisi ketampananmu Mr. Bloom." Aku mengusap lengan suamiku, sambil terus mengagumi bayi berambut coklat yang sedang tertidur di pelukanku.     

"Ya, dan dia pasti mewarisi keberanianmu Mrs.Bloom." Aldric mengecup keningku, lalu kening Geroge.     

"Dia juga akan jadi anak yang cerdas seperti ayahnya."Aku mengecup Geroge untuk pertama kalinya.     

"Dan pribadi yang sederhana seperti ibunya."     

"Ya, semoga saja dia menjadi anak penurut, jangan seperti ibunya." Aku menambahkan.     

"Karena dia laki-laki, aku mengijinkannya menjadi pembangkang."Aldric mengkoreksi.     

"Mengapa begitu?"Mataku melotot tidak percaya akan apa yang dia ucapkan.     

"Dia harus menjadi pembangkang untuk bisa menentukan jalan hidupnya, mengambil berbagai keputusan, dan menjadi besar pada masanya."     

"Kau keren sekali Mr. Bloom. Kurasa aku jatuh cinta lagi padamu."     

"You Should."     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.