THE RICHMAN

THE RICHMAN - Time to Go



THE RICHMAN - Time to Go

0Ella duduk di sebuah meja di coffee shop sembari membawa tas juga kopernya. Penerbangannya ke Amerika di jadwalkan sore ini dan dia sudah meninggalkan apartmenenya sejak pukul sebelas. Saat ini dia tampak sedang menunggu seseorang untuk datang menemuinya.     

Ella tampak duduk dengan menghadapi secangkir kopi latte sembari menikmati hari terakhirnya di UK. Hampir tiga tahun dia habiskan hari-hari di negara ini dengan berbagai kejutan yang bahkan tak pernah dia bayangkan seumur hidupnya sama sekali. Apalagi memiliki hubungan sepesial dengan prince dari Royal Family.     

Seminggu setelah kelulusannya, tidak ada lagi yang harus di sesali atau di tangisinya. Ella bertemu dengan seorang wanita di kelas yoga yang dia ambil seminggu terakhir. Di sana dia diajarkan seni untuk mengatur stress, berdamai dengan masa lalu dan lebih bersemangat menjalani hidup. Sekarang bagi Ella, masalalunya dengan orang tuanya, dengan George, bahkan dengan Robert, atau mungkin dengan paman dan bibinya dia relakan sebagai bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. Dan dalam hidup, hal-hal tak selalu hanya seputar hal-hal baik melulu, tentunya hal-hal buruk membayangi di balik setiap hal baik yang terjadi.     

Setelah menunggu kurang lebih satu jam, Ella melirik ke arah arlojinya dan tersenyum sekilas. Dia mengambil cangkir kopi dan menyesap isinya kemudian tersenyum saat melihat keluar, dua buah mobil mewah beriringan datang dan parkir di depan coffee shop. Seorang wanita sebaya dirinya turun dari sebuah mobil mewah yang terparkir di belakang, lengkap dengan pengawalan ketat khas Royal Family yang pernah dia kenal dekat beberapa tahun lalu. "Your highness." Ella berdiri dari tempatnya duduk dan memberikan hormat sekilas.     

"Ella." Jawab wanita sebaya dengan dirinya itu. Eleonnore Cordelia Fredric benar-benar tampil berbeda belakangan ini. Saat ini dia berada di smester akhir kuliahnya, tapi penampilannya sungguh sangat berbeda apalagi semenjak rumors soal kedekatannya dengan salah seorang dokter yang adalah rekan kakaknya sendiri beberapa bulan terakhir. Tampaknya Ellyn begitu cepat move on dari George dan menemukan kehidupan baru.     

"Thanks for comming." Ella tersenyum sekilas. Setelah dua tahun mereka tak saling bicara, ini kali pertama Ella menghubungi Eleonore untuk bertemu. "Aku sungguh tidak tahu harus menghubungi siapa." Ella bersikap formal tapi sebaliknya, Eleonore tampak ingin menunjukkan posisinya di hadapan Ella.     

"Kau harusnya menghubungi kakakku." Ujarnya kemudian duduk di hadapan Ella.     

Ella tersenyum, "The King? No . . . tidak mungkin seorang biasa saja bisa menemui King of England seenaknya." Ella tersenyum, meski sejujurnya dia sangat canggung hari ini bertemu dengan Ellyn kembali.     

"Jadi apa yang membuatmu menghubungiku setelah selama dua tahun kau menghindariku?" Telisik Ellyn, dan kalimat gadis muda itu jelas begitu menohok. Apa yang dikatakannya adalah fakta, benar Ella berusaha menghindari semuanya, Robert, Marcus, Ellyn, bahkan George. Selama dua tahun terakhir Ella memilih membuat bubble untuk melindungi dirinya sendiri dari luka-luka yang mungkin di timbulkan oleh orang-orang di sekitarnya.     

Ella tersenyum penuh sesal, "Aku terlalu pengecut, maafkan aku."     

"Kau takut dirimu terluka?" Tanya Ellyn to the point.     

"Ya." Angguk Ella, entah mengapa mendadak matanya berkaca. "Bagaimana dengan King Robert?" Meski begitu Ella masih berani menanyakan tentang Robert pada adiknya itu.     

Ellyn menghela nafas dalam. "My poor brother, he holds the throne and presides over all of Great Britain. But he lost his life, completely."     

Ella tersenyum sekilas, dia berusaha menyembunyikan keresahan hatinya dengan mengungkapkan harapan konservatifnya pada sang Raja, "He will find the best woman to be with him, to be the Queen of England."     

Ellyn tersenyum skeptis, "He will probably find a woman to marry, but not to love. Like my father, he will live with foreign women and have children as successors to the throne. It will always be like that." Ujarnya dengan ekspresi datar.     

"What about you princess?" Ella mengalihkan topik pembicaraan, karena membicarakan Robert begitu menyisaknya.     

Ellyn tersenyum, "Try to move on from Bloom."     

Ella tersenyum, "Good luck then."     

"What about you Mss. Dimitry, pernahkah kau bertanya pada dirimu sendiri bagaimana denganmu?" Tanya Ellyn dan Ella menggeleng.     

"Never." Jawabnya singkat.     

"Kau sudah bersembunyi terlalu lama dan sekarang kau bersiap untuk lari dari kenyataan." Sindir Ellyn dengan senyum skeptis yang tetap terlihat elegan.     

Ella menghela nafas dalam, "I have no choice." Jawabnya.     

"No you have, you always have. But you choose to hide and then now you choose to run." Bantah Ellyn.     

Ella tertunduk mendengar kalimat sang princess, semuanya benar. Selama dua tahun terakhir dia berusaha menyembunyikan dirinya dan sekarang saat tak ada lagi tempat untuk bersembunyi, dan tak ada lagi alasan untuk bersembunyi, Ella memilih lari.     

Ella menatap Ellyn kemudian, "You're right, you always right about me." Ella tak lagi menyangkal kali ini.     

"I know you love my brother." Ellyn menatap dalam ke arah Ella dan mata gadis di hadapannya berkaca.     

"I do, I always do." Ella mengangguk. "I will keep it for my self." Imbuhnya. Ella tersenyum sekilas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Seandainya dia bukan seorang King of England, mungkin aku akan berjuang mati-matian untuk mendapatkannya."     

"Lalu mengapa tidak kau lakukan sekarang?" Ellyn menantang, tapi Ella menggeleng. "I know who am I, and where should I be."     

Ellyn mengambil ponsel dari tasnya kemudian menghubungi seseorang, setelah itu dia menyodorkan ponselnya pada Ella tanpa berbicara apapun.     

"Talk to him." Ujar Ellyn.     

"No." Ella menjawab tanpa suara, dia hanya menggeleng dengan panik.     

"Talk to him." Ellyn menyodorkan kembali ponselnya, dengan ragu-ragu Ella mengambil ponsel milik Ellyn dan mendekatkannya ke telinganya.     

"Ellyn." Suara King Robert terdengar di seberang, sementara mata Ella langsung berkaca-kaca, tangannya yang memegang ponsel itu bergetar, begitu juga dengan seluruh tubuhnya.     

Ellyn bangkit dari tempat duduknya dan memilih untuk duduk di meja lain, memesan minuman dan membiarkan Ella bicara pada kakaknya.     

"It's me." Jawab Ella dengan susah payah, bahkan suara yang dia keluarkan terdengar jelas sarat dengan emosi yang tak terkendali, dia gugup luar biasa mendengar lagi suara Robert melalui telepon.     

Di seberang sana, Robert tampak sedang duduk dengan stafnya, dia meminta stafnya pergi dengan isyarat dan memilih untuk berbicara secara pribadi dengan Ella meski saat ini mereka tidak berhadapan langsung.     

"Kau menerima hadiahku?" Tanya Robert.     

"Ya." Jawab Ella.     

"Congratulations, aku ingin sekali mengucapkannya secara langsung di kampus hari itu, tapi saat aku mencarimu, kau sudah pergi."     

"Bagaimana keadaanmu?" Robert bertanya, rahangnya mengeras sekilas, bagaimanapun dirinya juga bergejolak setelah sekian lama tak berbicara di telepon seperti ini dengan Emanuella Dimitry dan kini ada kesempatan untuk berbicara lagi.     

"Baik." Jawab Ella, dia menghela nafas dalam, berusaha menguatkan dirinya untuk benar-benar mengakhiri hubungan mereka dengan benar kali ini, untuk terakhir kalinya. "Aku berterimakasih untuk pemberian anda Your Majesty, namun itu sungguh berlebihan, aku tidak pantas menerimanya." Ujar Ella dengan semua kekuatan yang dia miliki, setidaknya sebelum dia terbang ke Amerika, dia ingin berdamai dengan masalalunya.     

"Aku bertemu dengan Princess Eleonnore, dan aku akan menitipkan pemberian anda padanya. Tolong terima kembali pemberian anda, itu akan lebih cocok untuk orang lain mungkin." Ujar Ella, dan Robert hanya mendengarkan.     

"Aku berterimakasih untuk semua kesempatan dan kebaikan anda selama aku hidup di negeri ini." Ujar Ella berikutnya.     

"Kau akan meninggalkan UK?" Robert bisa menebak dari kalimat yang diutarakan Ella baru saja.     

"Ya, penerbanganku hari ini." Jawab Ella jujur.     

Robert tertunduk, dia tampak memegangi dahinya, kemudian mengambil nafas dalam. "Kau sudah memikirkannya baik-baik?"     

Ella tertunduk, "Sangat baik. Aku akan bekerja di sana untuk posisi yang sudah aku apply."     

"Good." Jawab Robert. "Semoga kau bahagia di sana."     

"You too, your Majesty." Jawab Ella.     

"Ok, tolong aku ingin bicara dengan adikku lagi."     

"Yes your Majesty." Ella bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan ke arah menja tempat Ellyn duduk.     

"King ingin bicara denganmu." Ella menyodorkan kembali ponsel Ellyn kemudian kembali ke meja tempat duduknya semula. Diam-diam dia mengawasi Ellyn yang tampak sedang bicara pada kakaknya cukup lama itu.     

Namun setelah panggilannya selesai, Ella meninggalkan uang di tas meja lalu berjalan ke arah Ella. "Aku harus pergi sekarang." Ujar Ellyn.     

"Aku sungguh tidak enak hati meminta tolong padamu." Ujar Ella sembari mengeluarkan sebuah paper bag hitam. "Tolong kembalikan ini pada King Robert, I don't deserve this."     

"Dia mengirimkanmu hadiah ini?" Alis Ellyn bertekuk menatap Ella. Ellyn tidak menyangka bahwa kakaknya akan memberikan hadiah berlian pada Ella. Seharunsa jika sebata teman, hadiah kelulusan tak perlu semewah ini.     

"Ya, sebagai hadiah kelulusan." Ella mengangguk cepat. Ellyn menyipitkan matanya ke arah Ella, "Jadi selama ini kalian menjalin hubungan spesial?"     

"No." Geleng Ella. "Kami bahkan tak saling bicara lagi dua tahun terakhir." Imbuhnya.     

Ellyn bangkit dari tempatnya duduk, tapi matanya sempat melihat koper di sisi tempat duduk Ella. "Jadi kau akan pergi?" Tanya Ellyn.     

"Sore ini." Ella tersenyum.     

"Kau akan kembali ke Amerika?" Ellyn bertanya lebih lanjut dan Ella mengangguk. "Ya."     

Ella mengulurkan tangan pada Ellyn, "Thank you for your kindness your highness." Ujarnya tulus, untuk beberapa waktu Ellyn terdiam, tapi kemudian dia membalas jabatan itu, mengambil kotak di atas meja kemudian meninggalkan Ella tanpa memesan kopi. Semetnara Ella duduk kembali begitu Ellyn melangkah keluar dari coffee shop.     

Ella menatap ke arah layar ponselnya dan menghubungi seseorang yang sudah sejak lama ingin dia hubungi.     

"Hi bibi." Sapa Ella ramah.     

"Oh, hi." Jawab sang bibi, dia memang terkadang menjadi sangat kurang ramah, seperti sejak Ella menumpang di rumahnya.     

"Aku akan kembali ke Amerika sore ini." Ujar Ella.     

"Oh, mengapa begitu cepat." Itu jelas hanya basa-basi.     

"Aku hanya ingin bibi tahu." Ujarnya dengan wajah sedih.     

"Ok." Sang bibi mengakhiri pembicaraan bahkan sebelum Ella mengucapkan salam perpisahannya. Entah apa yang melatar belakangi sikap dingin sang bibi padanya. Setelah menghubungi sang bibi, Ella mengirimkan sejumlah uang ke rekening sang bibi dengan diam-diam, kemduian membayar tagihan kopinya dan menyeret kopernya keluar untuk menaiki taksi menuju bandara.     

Terkadang hidup memberimu pilihan yang sulit, terkadan meski masih ada pilihan, tampak seperti tak ada pilihan lagi. Seperti itu yang di rasakan seorang Emanuella Dimitry. Hari-harinya di habiskan sendirian setelah kedua orang tuanya meninggal. Dia dipaksa menjadi dewasa oleh keadaan dan bisa bertahan meski dengan dirinya sendiri, tanpa pertolongan dari orang lain.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.