THE RICHMAN

The Richman - Talking



The Richman - Talking

0Ben tampak sibuk dengan setumpukan pekerjannya sementara Leah berbaring di ranjangnya. Dua hari terakhir dia mengalami flek ringan dan sudah dikonsultasikan dengan dokter kandungannya. Leah diminta untuk tidak banyak melakukan aktifitas berat dan disaranakan untuk lebih banyak berbaring di ranjang. Sementara dia merahasiakan flek itu dari suaminya dan mengatakan bahwa dokter menyarankannya untuk banyak istirahat tanpa mengatakan alasannya.     

Setelah mempertimbangkan cukup lama akhirnya Leah beringsut turun perlahan dari tempatnya berbaring dan berjalan menuju sofa di sudut kamarnya tempat Ben duduk menghadapi tumpukan pekerjannya.     

"Hei . . ." Sapa Leah dan Ben menatap isterinya.     

"Hei." Ben menatap Leah sekilas. "Kau bosan duduk di kamar seharian?" Tanya Ben, sebenarnya alasan mengapa dua hari ini dia tidak berangkat ke kantornya adalah karena dia mengambil cuti untuk merawat Leah semala dia bedrest, selain itu ben juga memastikan bahwa Sheina pulang pergi sekolah dengan aman dan nyaman.     

"Apa kau sibuk?" Tanya Leah, meski dia tahu suaminya tampak sangat sibuk, tapi dia merasa tidak lagi bisa menyembunyikan dan menanggung semuanya sendiri. Dia butuh teman bicara, orang yang bisa di mintai pertimbangan, dan itu adalah Ben.     

"Aku bisa meninggalkan apapun untukmu sayang." Senyum Ben, menjawab pertanyaan isterinya itu dengan nada candaan, meski pada akhirnya fokusnya kembali pada laptopnya.     

"Aku ingin bicara." Ujar Leah singkat. Tidak ada cara lain selain menginterupsi secara to the point seperti itu.     

"Soal apa?" Tanya Ben singkat.     

"Soal kehamilanku." Ujar Leah.     

"Mengapa mendadak kau ingin membicarakannya?" Tanya Ben, dia meletakkan laptopnya dan bergeser mendekat ke arah isterinya.     

"Seberapa ingin kau memiliki bayi dari rahimku sendiri?" Tanya Leah pada suaminya dan ben tidak menjawab langsung.     

"Katakan padaku mengapa mendadak kau menanyakan hal itu?"     

Leah tertunduk, "Dokter mengatakan bahwa kehamilan ini sangat beresiko bagiku, bagi bayi ini dan mungkin sepanjang kehamilan apalagi saat bayinya mulai tumbuh akan ada pendarahan."     

Ben terteugn mendengar penjelasan isterinya itu, "Dan menurutmu?" Tanya Ben, "Apa yang harus kita lakukan?"     

Leah menelan ludah, "Sebagai seorang isteri, aku sangat ingin memberimu keturunan dari rahimku sendiri sayang. Tapi sebagai seorang ibu dari Shiena, aku takut jika aku tidak bisa bertahan dalam kehamilan ini, aku tidak bisa meninggalkannya, sejak lahir dia sudah ditinggalkan, dan aku tidak ingin melukainya lebih lagi." Ujar Leah.     

Ben menghela nafas dalam. "Kau memberiku pilihan tanpa pilihan Mrs. Anthony." Ujar Ben. "Jika kau bertanya apakah aku bahagia mendengar kabar kehamilanmu, to be honest aku tidak pernah mengharapkan apapun lagi, dan jika itu terjadi sekarang itu adalah bagian dari sebuah keajaiban, tapi jika pilihannya antara kau atau bayi itu, aku . . ." Ben terdiam, dia menghela nafas dalam sekali lagi. "Aku tidak bisa membairkanmu bertaruh nyawa dengan resiko sebesar itu."     

"Aku harus bagaimana Ben?" Tanya Leah.     

"Aku akan menemanimu ke dokter besok, kita cari tahu akan seperti apa kedepan, baru kita putuskan langkah selanjutnya."     

"Ok." Leah mengangguk.     

"Come. . ." Ben membuka tangannya dan Leah meringkuk dalam pelukan suaminya itu, air matanya berjatuhan.     

"Mengapa pilihan selalu sulit bagiku Ben?" Tanyanya pada sang suami di tengah tangisnya.     

"It's always us, not only you honney." Ben menciumi puncak kepala isterinya. "Jangan pernah merasa kau berdiri sendiri sayang, aku selalu ada di sampingmu, memegang tanganmu." Bisiknya.     

"Thanks." jawab Leah lirih.     

***     

Kini mereka berbaring di ranjang setelah beberapa waktu yang sulit, baik Ben maupun Leah tak saling bicara lagi, tapi mata mereka juga enggan terpejam. Leah berbaring mengahap Ben begitu pula sebaliknya.     

"Bagaimana dengan Sheina?" Tanya Ben.     

"Aku sudah menjelaskan semuanya padanya. Aku mengatakan bahwa aku sangat mencintainya." Ujar Leah. "Karena aku benar-benar mencintainya."     

"Aku juga seperti itu sayang." Ben meraih tangan Leah. "Ini juga tidak mudah bagi Sheina." Imbuhnya.     

"Ya." Angguk Leah setuju. "Mungkin sebaiknya kita mengajaknya bicara soal bayi ini." Ujar Leah mendadak, dan membuat Ben menautkan alisnya.     

"Bagaimanapun mereka akan jadi kakak beradik jika bayi ini lahir nanti." ujar Leah, dia mengesampingkan kemungkinan buruk di sepanjang kehamilannya nanti.     

"Ide yang bagus, aku setuju. Mungkin sebaiknya kita bicara padanya besok, dia sudah cukup dewasa untuk memahami situasinya."     

"Ya."     

"Sekarang sebaiknya kita istirahat, hari-hari belakangan sangat berat, aku tahu kau lelah menghadapi semuanya." Ben tersenyum sekilas dan Leah beringsut mendekat, merapat dan meringkuk di pelukan suaminya yang menenangkan. Belakangan ini Ben benar-benar berubah, dia menurunkan seluruh egonya hingga ke titik terendah. Dia bahkan tak ingin lagi berargumen tentang apapun. Mereka sudah bersepakat untuk selalu membicarakan semua masalah yang ada dan mereka alami setiap hari, termasuk pengasuhan Sheina.     

Terkadang rumahtangga memang butuh banyak waktu untuk menyesuaikan bentuknya menjadi bentuk yang lebih fit satu sama lainnya. Karena pada dasarnya pasnagan itu diciptakan dari dua individu yang totally berbeda. Jika diibaratkan dua manusia itu adalah dua buah batu bergerigi dengan bentuk yang berbeda. Gerigi-gerigi itu harus mengalami banyak sekali gesekan hingga akhirnya menjadi tumpul dan memberi ruang untuk batu lainnya menjadi sesuai dengan bentuk batu lainnya, begitu juga sebaliknya. Dan sudah barang tentu jika dalam setiap gesekkan itu menimbulkan luka dan tidak mudah untuk dilewati. Selain tumpul karena gesekan, masing-masing batu juga berusaha untuk menempa dirinya sendiri hingga sisi-sisi runcing yang mungkin bergesekan dengan sisi runcing pasangan menjadi rata sebelum timbul gesekan keras diantara keduanya. Semua itu butuh proses yang panjang.     

Mungkin saat ini Leah dan Ben belum menemukan bentuk yang benar-benar fit satu dengan yang lain, masih ada sisi-sisi runcing yang melekat pada diri mereka, hanya saja mereka sedang berusaha menghindari gesekan itu dengan membuat gerakan yang lainnya setiap kali dua ego mereka yang runcing hendak bertemu. Entah itu Ben atau Leah yang mengalah lebih dulu, tapi gesekan diantara mereka tak lagi sering timbul belakangan.     

Bahkan dalam rumahtangga, terkadang kehadiran seorang anak juga bukan jaminan bahwa orangtuanya akan semakin erat hubungannya. Terkadang kehadiran seorang anak justru akan menimbulkan gejolak lainnya, karena dua pribadi menjadi tiga pribadi atau lebih yang memiliki ego masing-masing. Jika pertengkarannya bukan antara suami dan isteri, mungkin saja akan terjadi antara anak dan orang tua. Dan tidak ada rumahtangga yang menjadi rumahtangga begitu saja, mereka harus melewati jalan terjal yang rumit untuk membuat rumahtangga mereka kokoh dan tetap bertahan hingga saat ini.     

"Aku tidak bisa tidur." Ujar Leah beberapa waktu kemudian.     

"Mengapa?" Tanya Ben. "Jangan sampai stress, kondisimu akan semakin buruk jika kau stress." Ujar Ben, dia mengusap-usap lengan isterinya itu.     

"Aku memejamkan mataku, tapi pikiranku terbang kemana-mana." Leah membuka mata dan terlihat frustasi.     

Ben menghela nafas dalam. "Aku mengerti ini sulit, tapi kita sudah pernah melewati banyak hal yang bahkan lebih sulit sayang." Ben memeluk isterinya itu dan menatapnya dalam. "Pejamkan matamu, dan katakan pada dirimu sendiri bahwa kau akan baik-baik saja."     

Leah memejamkan matanya perlahan, dalam hatinya dia melafalkan kalimat itu berulang-ulang. "Aku akan baik-baik saja." Terus berulang hingga lama kelamaan dia menjadi begitu lelah dan kantuk lalu jatuh tertidur.     

Bahkan setelah akhirnya Leah bisa tertidur, Ben tetap terjaga. Semua masalah itu juga membebani pikirannya selain beban-beban yang lain yang harus dia tanggung sebagai kepala keluarga. Tapi Ben menyembunyikan semua itu, dia mengingat nasehat Ricahard.     

"Kita hanyalah kaum pria, bukan manusia yang diciptakan tanpa hati." Ujar Richard kala itu. "Kita bisa saja mengalami berbagai emosi, marah, sedih, bahagia, dan semua itu terjadi karena kita memiliki hati." Ujar Richard lagi sementara Ben mencoba memahami kalimat ayahnya itu. "Kita boleh mengalami semua emosi itu dengan tetap mengutamakan logika. Meskipun kita didesign untuk berpikir seperti itu, tapi tidak ada salahnya juga untuk mengesampingkan logika dan mendengarkan kata hati untuk sesuatu yang sulit diputuskan dengan logika."     

"Itu membingungkan dad." Jawab Ben kala itu.     

"Hidup memang selalu membingungkan, karena hidup itu bukan soal sesuatu yang sudah pasti Son, hidup selalu soal pilihan dan konsekwensi dari pilihan yang kau buat. Kau akan menjadi bijak dalam setiap pilihanmu setelah melalui banyak kesalahan."     

Ben terdiam menengadah ke langit-langit sambil memikirkan berbagai hal buruk yang mungkin pernah menjadi konsekwensi dari kesalahannya dalam mengambil keputusan. Dan sejujurnya menjadi pihak yang mengambil keputusan itu tidak mudah dan melelahkan, tapi sebagai kepala keluarga Ben belajar mengambil tanggungjawab itu. Tidak mudah prosesnya karena selama dia menjadi putera Richard Anthony hidupnya terlalu mulus, tidak ada masalah, tidak ada keputusan berat yang harus dia ambil, ayah dan ibunya benar-benar orang yang well plan. Kini setelah dia memulai perjalanannya sendiri dengan Leah, Ben belajar banyak soal mengambil tanggungjawab yang lebih berat dalam keluarganya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.