THE RICHMAN

The Richman - Growing Old



The Richman - Growing Old

0Aldric duduk di meja kerjanya di rumah, hari ini dia sengaja tidak pergi ke kantornya, entah mengapa dia enggan keluar rumah setelah seminggu penuh dia begitu sibuk bekerja begitu juga dengan Adrianna yang sibuk dengan agenda New York Fashion Week. Benar-benar minggu yang sibuk diantara keduanya hingga mereka tak banyak waktu untuk dihabiskan bersama.     

"Hei . . ." Adrianna datang dengan secangkir kopi setelah menemani ayahnya sarapan pagi sebelum pria tua itu dengan semangat pergi ke yayasan untuk melakukan kegiatan sosialnya hari ini.     

"Hei, sorry tidak menemani kalian sarapan pagi. Aku telepon dari Mr. Smith yang benar-benar tidak bisa di tunda."     

"It's ok." Adrianna datang denga secangkir kopi dan juga roti panggang dan peanut butter. "Morning coffee." Sapanya ramah, lebih terlihat seperti sedang flirting pada suaminya itu. Setelah meletakkan nampan di atas meja kerja suaminya, Adrianna memutari meja dan berjalan ke sisi tempat suaminya itu duduk.     

"Nice dress." Puji Aldric.     

"As always." Senyum Adrianna, dia sengaja duduk di pangkuan suaminya itu dan melingkarkan lengannya di leher sang suami.     

"Aku suka aroma parfum barumu." Imbuh Aldric.     

"Kau yang membelikannya bukan?" Adrianna menatap dalam pada sang suami dan sengaja mendekatkan lehernya hingga Aldric membenamkan batang hidungnya di pangkal leher isterinya itu dan menghirup nafas dalam-dalam.     

"Kau tidak menelepon Geroge lagi?" Tanya Aldric dan Adrianna menggeleng, dia menghela nafas dalam sekilas, "Dia bukan bocah lima tahun lagi, dan entah mengapa aku baru menyadarinya saat aku begitu sibuk kemarin. I'm ok with that, mendengar kabarnya beberapa waktu, dan tidak setiap hari. Berhenti melihat sosial medianya karena dia juga sangat jarang update sosial medianya dan percaya pada puteraku."     

"Itu yang selalu aku katakan padamu, ini waktunya dia berlajar mandiri. Let him . . ."     

Adrianna menghela nafas dalam. "Leah hamil, dan aku belum sempat bercerita padamu."     

"What?" Alis Aldric bertaut. "Bagiamana mungkin dia hamil?"     

"Such a miracle." Adrianna membulatkan matanya. "Tapi tampaknya Seheina tidak bisa menerima begitu saja, apalagi Leah mengatakan kalau Sheina tidak sengaja menemukan dokumen adopsinya."     

"Oh . . . terrible." Aldric bergidik. "Bagaimana mereka bisa seteledor itu?" Tanya Aldric.     

"Entahlah, ceritanya panjang." Adrianna menggeleng. "Ada satu kondisi yang disembunyikan Leah dari Ben." Ujar Adrianna ragu.     

"Apa?" Tanya Aldric penuh selidik.     

"Soal kondisi kehamilannya."     

"Beresiko?" Tebak Aldric.     

"Ya, usianya tidak muda lagi ditambah rahim Leah memiliki struktur yang berbeda dengan rahim pada umumnya. Dokter menghawatirkan kemungkinan pendarahan selama proses kehamilan."     

Aldric menghela nafas dalam, rahangnya mengeras sekilas. "Mengapa kalian merahasiakan ini dari Ben? Ben berhak tahu kondisi isterinya, begitu juga dengan Sheina." Ujarnya memberikan pendapat.     

"Leah mengatakan bahwa dia akan melakukannya sendiri, dia tidak ingin Ben menjadi panik jika langsung mengungkapkan semua kondisinya." Adrianna menghela nafas dalam. "Situasi yang sulit bagi Leah dan Ben." Imbuhnya.     

"Itu jelas sekali." Aldric mengangguk setuju.     

"Disatu sisi ini kesempatan paling berharga bagi Leah untuk merasakan menjadi seorang ibu, mengandung dan melahirkan bayi dari rahimnya sendiri. Mungkin tidak akan pernah terulang seumur hidupnya, tapi resiko yang ada juga sangat besar, dokter mengatakan kehamilan ini berbahaya bahkan bagi nyawa ibunya, bukan hanya bayi." Terangnya.     

Aldric menatap sang isteri dan menyibakkan juntaian rambut yang jatuh di sisi wajah Adrianna, "Aku pernah diposisi sulit itu dengan isteri yang keras kepala." Kenangnya. "Hanya saja saat itu kau masih sangat muda, jadi aku yakin kalaupun terjadi masalah dengan kehamilanmu, kau akan baik-baik saja, meski akhirnya George lahir tapi aku juga sempat berada di antara hidup dan mati menantikan kelahirannya."     

"Aku ingat hari-hari gelap itu." Kenang Adrianna juga. "Aku mengatakannya untuk meminta pertimbanganmu, apakah aku harus memberitahu Ben atau tidak?" Adrianna terlihat bingung, "Di satu sisi aku kakaknya, tapi di sisi lain Leah adalah isteirnya, dia lebih berhak karena mereka keluarga, mereka seharusnya menyelesaikan masalah mereka tanpa campur tangan orang lain." Ujar Adrianna dan Aldric mengangguk setuju.     

"Mungkin yang harus kau lakukan adalah memastikan sekali lagi bahwa Leah sudah mengajak Ben bicara." Sarannya. "Jika Leah memilih untuk menghadapinya sendiri, aku takut hal buruk datang dan mereka tidak bisa mengatasinya."     

Adrianna bangkit dari pangkuan Aldric dan berjalan ke sisi jendela, "Terkadang aku merasa waktu berlalu begitu cepat." Ujarnya, tatapannya jauh keluar jendela. Aldric menyusulnya dan berdiri di belakang isterinya untuk memeluk wanita itu.     

"Ya." Bisiknya setuju.     

"Banyak yang terjadi dalam hidup yang bahkan sulit untuk dimengerti mengapa harus terjadi." Ujarnya lirih.     

"Kita sudah melewati banyak hal sayang, terimakasih untuk tetap disisiku meskipun aku hampir membuatmu menyerah." Bisik Aldric.     

Adrianna tersenyum, dia menoleh ke arah suaminya sekilas, "You too. Terimakasih untuk selalu memberiku kesempatan, banyak kesempatan yang bahkan mungkin aku tidak pantas mendapatkannya lagi setelah begitu banyak kesalahan yang ku buat." Ujarnya.     

"Rumahtangga dibangun perlahan, melalui banyak kesalahpahaman, kesalahan, pertengkaran, argumen, bukan terjadi begitu saja."     

"Ya . . ." Mendadak Adrianna berkaca. "Jangan pernah menyerah menghadapiku."     

"I won't." Aldric menjawab. Pria itu mengetatkan pelukannya dan untuk beberapa saat mereka menikmati moment berdua seperti itu. Menajdi tua dan hanya menyisakan mereka berdua di rumah besar itu. Ada Richard, tapi pria tua itu juga menghabiskan sisa masa tuanya dengan bersusah payah melupakan.     

***     

Richard tengah duduk di meja kerjanya, hari ini beberapa orang datang ke yayasan dan tampak sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Meskipun itu yayasan sosial tapi mekanismenya mirip dengan perusahaan. Ada donasi, ada penyaluran bantuan, ada pembukuan, administrasi dan lainnya. Sebagian besar karyawan di yayasan bergantung hidup dari yayasan sementara Richard, dia datang untuk duduk di mejanya dan membunuh waktu jika tidak ada kegiatan sosial yang dia kerjakan diluar.     

Pak tua malang yang berjuang untuk lupa namun sayangnya meski usianya sudah senja dia masih mengingat segala sesuatu dengna detail, bahkan berbagai kejadian di masa lalunya, bahkan masa kecilnya.     

Kenangan manis namun menyayat hati ketika berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun menemani isterinya yang mengalami penyakit mengerikan, mengerogoti ingatannya hingga tak menyisakan apapun. Rich mengingat bagaimana saat-saat manis dan pahit bersama dengan Christabell selama bertahun-tahun.     

"Sir. . ." Seorang staf perempuan bernama Mandy masuk ke ruangan Richard karena sudah mengetuk berkali-kali tapi Rich tampak tak mendengarnya karena dia melamunkan sesuatu.     

"Oh Mandy, duduklah." Richard mempersilahkan gadis itu duduk.     

"Ini laporan yang anda minta Sir." Ujar Mandy sembari menyodrokan sebuah map hitam berisi laporan keuangan yang diminta Richard secara berkala.     

"Thanks Mandy."     

"Your welcome Sir." Mandy bangkit dari tempat duduknya tapi Rich memanggilnya.     

"Mandy . . . kau sibuk?" Tanya Richard.     

"No Sir." Mandy menoleh, dia menggeleng pada Richard.     

"Sit." Pinta Richard.     

"Yes Sir." Angguk Mandy.     

Richard menghela nafas dalam, "Kau berkencan dengan seorang pria?" Tanya Ricahrd, meskipun itu terdengar seperti melanggar privasi, tapi Mandy tak terlihat keberatan.     

"Terakhir aku putus dengan mantan kekasihku Sir, beberapa bulan lalu." Jujurnya.     

"Kau masih mengingatnya?" Tanya Richard.     

"Tidak." Geleng Mandy.     

"Tell me how to move on?" Richard melipat tangannya dan tampak sangat serius mendengarkan jawaban yang akan diberikan Mandy untuknya.     

Mandy tampak kebingungan sekilas, "Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan dan teman-temanku Sir." Jawab Mandy standard.     

"Oh . . ." Raut wajah Richard jelas terlihat kecewa saat mendengar jawaban normatif dari Mandy.     

"Menagapa anda bertanya seprti itu Sir?" Mandy bertanya pada Richard. "Anda ingin melupakan seseorang?" Imbuhnya.     

Richard menggeleng, "Tidak seperti itu, hanya saja terkadang cukup menyakitkan mengingat seseorang yang kita sayangi yang tidak lagi berada di dekat kita."     

"Mrs. Christabell Anthony memang tidak tergantikan." Ujar Mandy. Meskipun dia tidak pernah secara langsung mengenal Christabell, tapi semua orang tahu cerita dibalik kehiduapn pendiri yayasan itu.     

Richard tersenyum sekilas, "Apa kau masih merindukannya kadang-kadang?" Tanya Richard.     

"My Ex boyfriend?" Tanya Mandy.     

"Ya."     

Mandy bergidik, "Sometimes." Imbuhnya. "Terkadang aku bahkan menyesali keputusanku mengakhiri hubungan kami."     

"Jadi kau tidak benar-benar melupakannya?" Tanya Richard.     

Mandy mengerucutkan bibirnya sekilas, "Tidak semua kenangan itu bisa dengan mudah kita lupakan Sir, meski kita ingin sekali. Seperti sebuah kenyataan yang tak kita sukai, tapi dia tetap akan kita hadapi setiap kali kita membuka mata, begitu juga dengan ingatan, as long as we are breathing, the memories alive in our mind."     

"Ya kau benar." Richard mengangguk setuju. " I miss her so much, every single day."     

"I know sir, it is hard."     

"Very." Ricahrd menelan ludah, sekilas rahang pria tua itu mengeras.     

Mandy menatap Richard, "Mungkin anda harus mencoba menemukan teman baru."     

"Satu-satunya teman yang kumiliki adalah Christabell." Richard mengangkat bahunya.     

Mandy tersenyum. "Aku bersedia mendengarkan cerita anda jika anda butuh teman bicara Sir." ujar Mandy.     

"Thanks Mandy, try to find another guy." Saran Richard.     

"Thanks Sir."     

"Kau boleh keluar." Richard mengijinkan Mandy pergi dari ruangannya, dan begitu gadis muda itu pergi, Richard menarik laci mejanya dan menemukan fotonya bersama dengan Christabell, foto lama itu dibingkai dengan apik oleh Richard dan dia letakkan di meja kerjanya. Tapi ingatan dan kerinduan pada Christabell semakin menyakitinya belakangan ini hingga Richard memutuskan untuk menyimpan foto itu di dalam laci.     

Foto itu diambil saat mereka melakukan perjalanan bulan madu beberapa puluh tahun lalu. Chrisatbell terlihat begitu muda, segar dan begitu hidup. Senyumnya, tatapan matanya seolah berbicara pada Richard dan mengatakan banyak hal setiap hari, setiap saat Richard menatapnya.     

"Sudah terlalu lama aku di tempat ini sayang, aku sangat merindukanmu." Bisik Richard pada foto ditangannya itu. "Bawa aku bersamamu." Ujar Rich sekali lagi, tatapannya terpatri pada foto itu dan untuk beberapa saat Richard duduk dalam diamnya.     

Sebenarnya dalam hatinya dia sering sekali ingin segera menyelesaikan perjalanannya di dunia ini, tapi waktu yang dia nantikan tak kunjung datang. Jika semua orang bersyukur untuk hari baru yang mereka alami, saat di mana mereka bisa kembali menjalani hidupnya, Richard selalu bangun dan bertanya pada dirinya sendiri. "Mengapa aku masih hidup pagi ini?" Gumamnya untuk dirinya sendiri. Sampai beberapa waktu lalu seorang teman mengatakan sesuatu padanya.     

"Marcus, apa kau tidak pernah berpikir mengapa kita ditakdirkan menjadi duda hingga setua ini?" Richard membuka percakapan saat mereka sedang meminum kopi bersama pagi ini di pantry.     

"Mungkin untuk membantu banyak orang Sir." Ujarnya singkat.     

Richard tertegun mendengarkan jawaban itu, "Aku lelah menjalani hari-hariku belakangan ini."     

"Kalau bukan anda siapa lagi Sir." Ujar Marcus.     

"Anak-anakku, atau kalian mungkin, I don't know." Geleng Richard.     

"You don't know but you still care." Ujar Marcus. "Setiap orang masih hidup karena alasan, karena masih ada alasan mengapa mereka masih harus hidup Sir. Dan mungkin untuk anda, alasannya adalah karena masih banyak orang yang membutuhkan anda."     

"I'm done with my things Marcus." Gumam Ricahard.     

"Anda belum selesai Sir, setidaknya pencipta anda mengatakan bahwa anda belum selesai." Ujar Marcus dan itu membuat Richard terdiam. Marcus meninggalkannya di cafetaria dan pria tua itu duduk tediam. Sekilas dia menengadahkan wajahnya dan dalam hatinya bertanya, "Why?"     

Kini dia duduk terdiam di meja kerjanya, meja kerja yang ditinggalan Christabell berpuluh tahun lalu. Wanita yang besar di panti asuhan, hampir menjadi pekerja seks komersial, dan akhirnya menjadi ibu dari dua anaknya dengan berbagai kisah manis dan pahit di sepanjang perjalanan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.