THE RICHMAN

The Richman - Ella



The Richman - Ella

0George berbaring di apartmentnya dan membuka sosial medianya. Stalking feed dari teman-teman SMA nya, melihat beberapa status mantan kekasihnya juga teman-temannya termasuk Ashok yang akhirnya harus berpisah karena mereka memilih kuliah di tempat berbeda. Tiba-tiba sebuah pesan singkat masuk ke ponselnya.     

"Nice talk today, thanks." Pesan singkat itu dari Ella, George tersenyum sekilas menatap pesan itu.     

"Apa yang sedang kau lakukan?" Balas George.     

"Nothing." Ella menjawab. "Kau?" Ella menulis pesan singkat susulan dan George terdiam beberapa saat sebelum menjawabnya.     

"Bagaimana jika akhir pekan ini aku mengajakmu keluar?" Tanya George.     

"????" Ella mengirim empat tanda tanya pada George.     

"Hang out, just hang out." Jawab George.     

Begitu menerima jawaban dari George, Ella tersenyum sembari mengigit bibir bawahnya. "Sorry, aku mulai bekerja paruh waktu akhir pekan besok."     

"What?!" Balas George.     

"Aku melihat lowongan kerja paruh waktu dan melamar. Beruntung karena aku akan mulai bekerja besok." Balas Ella.     

"Oh . . . selamat." Balas George.     

"Thanks." Balas Ella lagi.     

George tampak tak menemukan kalimat lain untuk melanjutkan percakapannya dengan Ella, begitu juga dengan Ella. Akhirnya gadis itu meletakkan ponselnya dan turun ke lantai satu karena bibinya memanggilnya.     

"Have a sit please." Ujar sara dan Jhon, mereka tampak sudah menunggu kehadiran Ella, gadis itu duduk di hadapan paman dan bibinya. Setelah menghela nafas dalam, Sandra menyodorkan sebuah buku tabungan untuk Ella.     

"Ini uang asuransi ayah dan ibumu." Ujar wanita berambut pirang sebahu itu, sementara Ella menatap nilai dalam buku tabungan itu.     

"Ambillah." Ujar Sandra dan tangan Ella dengan ragu menarik buku tabungan itu.     

"Aku mendapatkan pekerjaan paruh waktu dan akan mulai bekerja besok." Ujar Ella, dia tampak tak berani menatap Sandra maupun Jhon.     

"Mengapa terlalu terburu-buru?" Tanya Jhon.     

Ella menatap paman dan bibinya itu dari balik bulu matanya. "Em . . . aku sungguh-sungguh tidak enak hati merepotkan kalian berdua." Ujar Ella.     

Sandra melipat tangannya di dada. "Kami adalah satu-satunya keluargamu yang tersisa." Wanita itu berbicara dengan suara bergetar. "Dan kau menganggap kami seperti orang asing." Imbuhnya.     

Ella menghela nafas dalam. "Seingatku, ayah dan ibu tidak terlalu dekat dengan kalian sejak bibi memutuskan untuk tinggal di UK." Ujar Ella. "Aku menyesal atas semua yang mungkin pernah terjadi di antara kalian di masa lalu. Tapi aku sungguh tidak ingin terbawa masalalu, aku menganggap kalian sebagai keluargaku dan tolong berikan aku kesempatan untuk hidup mandiri. Cepat atau lambat aku harus bisa bertahan hidup sendiri." Ujar Ella.     

Jhon meraih tangan isterinya dan meremasnya, "Ella benar sayang, dia harus belajar mandiri."     

"Ya, aku akan sering menghunjungi kalian." Ujar Ella. "Aku akan membagi dua uang asuransi ini untuk kalian."     

"Tidak, simpan itu untukmu Ella." Tolak Jhon. "Kau butuh uang untuk menyewa apartment, mungkin kau juga butuh kendaraan untuk pulang pergi ke kampus." Ujarnya.     

"Ya." Angguk Ella.     

"Aku bisa mereferensikan beberapa kendaraan yang cukup terjangkau jika ku butuh bantuanku."     

"Thanks uncle." Itu pertama kalinya Ella memanggil Jhon paman.     

***     

Ella kembali ke kamarnya dia membuka kopernya yang bahkan belum sepat dia bongkar seteah dia tiba di UK. Dia menemukan sebuah kotak berisi foto-foto keluarganya, sebuah album tempat semua foto keluarganya berada, mulai dari Ella bayi hingga ulang tahun ke tujuh belas, ulang tahun terakhir yang dirayakannya bersama ayah dan ibunya karena dua tahun setelah itu Ella tak lagi merayakan ulang tahunnya.     

Air matanya berjatuhan saat melihat foto ayah dan ibunya yang diambil olehnya saat makan malam beberapa bulan lalu. Saat itu ibunya begitu cantik dengan gaun berwarna hitam sementara ayahnya mengenakan kemeja berwarna putih. Mereka terlihat sangat sederhana. Dan yang lebih menyakitkan lagi, kecelakaan mobil yang menimpa mereka terjadi pada waktu mereka hendak menghadiri acara wisudanya.     

Pagi itu Ella tampak sudah sibuk dengan persiapan wisudanya dan Henry, kekasihnya datang menjemputnya untuk pergi lebih dulu.     

"Dad . . . ini hampir terlambat." Ella menelepon ayahnya pagi itu, rencananya dia akan mewakili teman-teman angkatannya untuk berpidato pada saat wisuda dan dia benar-benar ingin orangtuanya datang dan menyaksikannya pagi itu.     

"Ya, mommy baru saja kembali dari rumahsakit dan kami langsung bersiap sayang." Ujar Patric Steward, langkahnya deras menuju mobilnya sementara sang isteri mengunci pintu.     

"Kami akan segera tiba, persiapkan pidatomu dengan baik sayang. Kami sangat bangga padamu." Ujar Patric. Setelah isterinya masuk kedalam mobil Patric segera menginjak pedal gas dan mobil sedannya itu melaju dengan kencang menuju sekolah Ella.     

"Sayang, mengapa kau menyetir terlalu cepat?" Protes Helena sang isteri.     

"Masih dalam batas normal sayang, lagipula aku tidak ingin mengecewakan puteriku." Ujar Patric.     

"Tapi ini terlalu berbahaya." Helena masih melontarkan protes lagi.     

"Percayalah padaku." Ujar Patric sembari menoleh sekilas pada isterinya itu. Tanpa dia sadari dia melanggar rambu lalu lintas dan dengan cepat dihantam dari sisi kiri oleh kendaraan lainnya yang melintas karena rambu lalulintas dari arah yang lain sudah menyala hijau. Keduanya tewas di tempat saat itu juga sementara Ella berderai-derai air mata di toilet sekolah karena ketidak hadiran Patric dan Helena di acara wisudanya meskipun dia adalah lulusan terbaik di angakatannya. Hatinya hancur karena semua teman-temannya datang sementara orang tuanya tidak hadir tampa sebab yang jelas.     

Ponsel keduanya bahkan tak dapat di hubungi hingga akhirnya seorang temannya memberitahunya bahwa dia menerima kabar dari pesan berantai yang isinya adalah berita kecelakaan pagi tadi.     

Ella terhuyung dan jatuh pingsan seketika saat mengetahui berita itu tentang kedua orang tuanya dan mereka berdua dipastikan meninggal di lokasi kejadian. Bahkan saat dia siuman, berkali-kali Ella kembali pingsan saat harus duduk menyaksikan pemakaman kedua orangtuanya sekaligus.     

"Bagaimana aku harus menghadapi dunia tanpa kalian?" Bisik Ella dalam linangan air matanya.     

Brrrtt Brrrrttt     

Panggilan masuk ke ponsel Ella dan itu George. Ella cepat-cepat menyeka air matanya dan menutup album foto kecil di tangannya itu.     

"Halo." Pada akhirnya dia menjawab panggilan dari George.     

"Are you crying?" Tanya George begitu mendengar suara Ella.     

"Bagaiman kau tahu?" Tanya Ella.     

Rahang George mengeras, "Suaramu terdengar berbeda."     

"Aku merindukan mereka." Jawab Ella jujur.     

"Kau ingin aku datang dan menghiburmu?" Tanya George.     

"No, . . . " Bisik Ella. "Jangan bodoh George."     

Pria muda itu tersenyum untuk dirinya sendiri. "Lihat ke arah jendela." Ujar George dan Ella mendekat ke arah jendela lantai dua rumah kecil milik Sarah dan Jhon.     

"Are you kidding?" Ella melihat George berdiri, bersandar di sisi mobilnya. "Apa yang kau lakukan malam-malam di depan rumah bibiku?" Ella menggelengkan kepalanya.     

"Aku hanya tidak tahu harus melakukan apa di apartmentku, aku belum punya banyak kenalan di tempat ini dan mendadak aku kesepian." Jawab George."Apa aku harus mengetuk pintu bibimu untuk bertemu denganmu?" Tanya George.     

"Jangan." Tolak Ella. "Suasanya di rumah ini sedang tidak begitu baik." Jelasnya.     

"Apa ada masalah?" Tanya George lagi.     

"Tidak, aku hanya baru saja mengatakan pada mereka untuk tinggal sendiri." Terang Ella.     

"Oh . . . kau terlalu terburu-buru." Ujar George.     

"Aku sembilan belas tahun dan aku harus belajar mandiri George, kau tahu kan aku yatim piatu."     

"Hei . . ." George tampak menyesal dengan kata-katanya, "Aku tidak bermaksud mencampuri urusanmu, tapi mungkin kau butuh waktu untuk menyesuaikan diri sedikit lebih lama, tinggal dengan keluargamu."     

"Aku sudah memutuskan." Ujar Ella.     

"Aku akan membantumu mencari apartment untuk disewa dengan harga murah." Ujar George.     

"Kau juga baru di tempat ini dude." Goda Ella.     

"Sepertinya apartment di dekat tempatku tinggal ada yang kosong dan disewakan, aku bisa menanyakan harga sewanya jika kau ingin." Ben tahu bahwa orang tuanya memiliki aset dua apartment di gedung yang sama dan salah satunya di huni oleh George saat ini. Dia bahkan dengan senang hati akan merengek pada ayah atau ibunya untuk membuat apartment itu bisa ditinggali secara cuma-cuma untuk teman barunya jika dia ingin.     

"Thanks George, kau begitu peduli." Ujar Ella. "Itu sangat berarti bagiku."     

"Itu gunanya teman, kau bisa mengandalkanku."     

"Ya. . . aku sangat menghargai itu." Ella mengangguk, mereka masih saling bertatapan, Ella berada di kamarnya di lantai dua rumah Sandra dan Jhon, sementara George di sisi jalanan menengadah menatap ke arah kamar Ella.     

"Pulanglah, ini sudah terlalu larut George." Ujar Ella. "Thanks for calling me by the way."     

"Jangan ragu untuk menghubungiku jika kau butuh teman bicara." Jawab George.     

"Pasti." Ella mengangguk.     

"Bye Ella." George mengakhiri panggilannya dan Ella melambai pada George. "Bye George. Untuk beberapa saat mereka masih saling menatap meskipun mereka tak lagi saling berbicara di telepon. Sekali lagi George melambai dan Ella membalas lambaiannya sebelum pria muda itu masuk kedalam mobilnya dan pergi dari jalanan depan rumah Sandra dan Jhon.     

Dalam perjalanan pulang ke apartmentnya George menerima pesan singkat, tak hanya satu, bahkan dari beberapa nomor yang berbeda, juga dari tiga orang yang berbeda. Casandra, Aby dan Nora, kesmuanya adalah mantan kekasih George yang tampaknya cukup terkenal dengan sifat playboynya saat duduk di bangku SMA.     

Bukannya membalas pesan mereka, George bahkan memblokir nomor mereka bertiga secara hampir bersamaan sampai sebuah panggilan masuk ke ponselnya.     

"Mom . . ." George menjawab panggilan ibunya.     

"Kau berada di UK tapi entah mengapa mommy merasa kau baru saja pergi ke planet lain hingga begitu sulit menghubungimu, Son." Protes Adrianna dan itu membuat George terkekeh.     

"Aku tidak bisa mengabarimu setiap lima menit sekali mom."     

"Aku tidak memintamu mengabariku setiap lima menit, tapi sudah tiga hari kau tak memberiku kabar." Protes Adrianna lagi. "Talk to your daddy." Adrianna mengalihkan ponselnya pada Aldric dan pria itu berbicara pada puteranya.     

"Ibumu hampir gila, dan kurasa sebelum itu terjadi, daddy akan menjadi orang pertama yang gila karenanya." Keluh Aldric dan itu membuat George tergelak.     

"Bagaimana kabarmu dude?" Tanya Aldric.     

"Sangat baik dad." Jawab George.     

"Kau menyukai tempat itu?"     

"Ya, aku menikmati tinggal jauh dari mommy." Selorohnya dan Adric terkekeh mendengar jawaban putearnya itu.     

"Berhenti bermain-main dengan banyak gadis." Nasehat paling bijak yang bisa dikatakan Aldric pada putera flamboyannya itu.     

"Ok dad." George tersenyum untuk dirinya sendiri. "Dad, by the way ada temanku yang ingin menyewa apartment daddy dengan harga murah."     

"Teman wanita?" Tanya Aldric cepat, dia tahu betul bahwa puteranya itu memiliki sifat yang lain dari dirinya.     

"Bagiamana kau tahu?"     

Aldric tersenyum, dia melirih ke arah Adrianna tapi wanita itu justru tampak melotot, "Itu terserah padamu." Ujar Aldric.     

"Dia yatim piatu, sama-sama dari New York dan tak memiliki tempat tinggal di sini." George menjelaskan singkat meski dia tidak benar-benar mengatakan semuanya dengan jujur.     

"Oh, Daddy tidak keberatan. Dan mommy juga tidak keberatan kurasa, belakangan ini jiwa sosialnya mendadak tumbuh dengan pesat." Goda Aldric dan dia mendapatkan cubitan di pinggangnya dari isteri tercintanya.     

"Ok, kurasa ibumu mulai mengamuk. Aku akan menghubungimu lagi lain waktu."     

"Ya." George tersenyum. "Jika mommy berencana terbang ke UK, tolong halangi dia dad."     

Aldric melirik isterinya, "Akan ku halangi dengan nyawaku." Jawabnya dan Adrianna mengambil alih ponsel itu.     

"NO WAY!" Teriak Adrianna dan itu membuat Aldric juga George tertawa.     

"I love you mom." Ujar George di tengah tawanya.     

"I love you to anak nakal." Jawab Adrianna.     

"Jangan berkunjung dalam waktu dekat please, aku sedang sibuk mengejar gadis di sini." Seloroh George dan Adrianna memutar matanya. "Entah dari mana kau mendapatkan sifat playboy itu, Ayahmu sama sekali tidak seperti itu." Gumamnya sebelum akhirnya mereka mengakhiri panggilan malam itu. Hubungan antara orang tua dan anak yang tidak terlalu creepy, hangat, menyenangkan seperti layaknya teman membuat George begitu menyayangi orang tuanya begitu juga dengan sebaliknya. Meskipun Aldric adalah pria yang dominan dan dia memiliki segalanya tapi dia tak pernah menuntut puteranya menjadi seperti dirinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.