THE RICHMAN

The Richman - Campus



The Richman - Campus

0First Night In England     

Nervous itu kata yang paling tepat untuk menggambarkan perasaan Ella, gadis muda berusia sembilan belas tahun yang baru saja pindah dari New York ke Inggris karena orangtuanya meninggal dalam kecelakaan mobil dua minggu lalu. Keputusannya untuk tinggal bersama sang bibi di Inggris karena mereka satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh Ella saat ini. Bibi Sandra adalah adik dari ayahnya sementara ibunya adalah puteri tunggal yang sudah yatim piatu.     

"Pamanmu akan mengantarmu besok ke kampus. Kau sudah terdaftar di jurusan bisnis."     

"Ok." Jawab Ella singkat. Pada dasarnya dia adalah gadis yang tidak banyak bicara. Meski berasal dari kota besar, dia juga bukan gadis metropolitan yang hidup dalam pergaulan bebas. Ibunya Cassandra Wood dan Lucas Wood mengasuhnya dengan cara kuno seperti ketika mereka tinggal di Inggris.     

"Oh ya, kau ingin menyetir mobil sendiri?" Tanya bibi Sandra pada Ella yang sedang sibuk memandangi selai kacang di hadapannya.     

"Tidak . . ." Ella menggeleng. "Jika uang asuransi ayah dan ibu masih ada, pakailah untuk menghidupiku selama aku tinggal dan menumpang di rumahmu." Kata Ella tanpa menatap bibinya itu.     

"Ella, aku tahu kau marah karena kami membawamu ke Inggris meskipun kau tidak menginginkannya. Tapi ini adalah keinginan terakhir mendiang ibmu. Kuharap kau bisa memahami situasinya. Dan satu-satunya hal yang paling benar yang bisa kami lakukan sebagai keluargamu adalah melakukan apa yang mendiang ibumu inginkan untukmu."     

"Setidaknya kalian memberiku waktu untuk brekemas dan mengucapkan salam perpisahan pada teman-temanku di sana." Protes Ella tidak terlalu keras. Bibi Sandra menarik nafas dalam, kemudian menghembuskannya kasar     

"Maaf sayang, kami tak punya banyak pilihan. Kami tak bisa meninggalkanmu sendiri di sana sementara pamanmu harus bekerja segera setelah cutinya selesai." Tanya bibi Sandra.     

"Aku paham." Ella tampak tak ingin banyak berbicara hari ini, dia tetap tak menyukai pilihan ini dan itu menjadi sangat sulit bagi Chleo dan Jhon suaminya.     

"Ella, kumohon bersikaplah dengan baik. Bibi yakin kau bisa menyesuaikan diri di sini." Bibi Sandra mendekati Ella dan memberikannya pelukan meski gadis itu tidak menangis sama sekali. Kehilangan orangtuanya dalam kecelakaan mobil memang mengerikan karena mereka berdua meninggal di tempat kejadian. Yang berusaha dilakukan gadis itu hanyalah menyembunyikan perasaannya sedalam mungkin hingga tidak ada yang tahu bahwa dia sedang berduka.     

"Baiklah, sekarang masuk kedalam kamarmu." Sandra. "Besok kau akan pergi ke kampus untuk pertama kali, persiapkan dirimu." Sandra memeluk singkat.     

***     

Di kediamannya Aldric tampak duduk menatap isterinya yang masih tak bisa mengendalikan dirinya karena untuk pertama kali dia berpisah jauh dari putera kesayangannya.     

"Sayang, George hanya pergi untuk kuliah. Dia tidak pergi berperang, berhenti menjadi berlebihan." Protes Aldric.     

Adrianna menoleh ke arah suaminya dan terlihat begitu marah, "Aku bertaruh nyawa untuk melahirkannya."     

"I know, and I still remember how worst that time." Aldric menjawab dengan keras.     

Aldric menggeleng, "Pack your bag and just go there. Kau bisa tinggal bersama puteramu selama yang kau mau, I ok with that."Aldric kehabisan akal. Sementara Adrianna memilih untuk kembali menatap foto puteranya dan tak mau beranjak dari kamar George meski sebenarnya George sudah bertolak ke UK tiga hari lalu dan pria muda itu selalu berkabar pada ibunya. Tapi Adrianna tak bisa berhenti berduka atas kepergian puteranya untuk kuliah itu, dan Aldric di buat hampir gila dengan over reaction yang dilakukan isteirnya itu.     

"Jika kau ingin tidur di kamar ini lagi malam ini, jangan salahkan aku jika besok pagi kau menemukan gadis muda di kamarmu." Aldric menutu pintu kamar George dan itu membuat Adrianna tersadar. Dia segera menoleh ke arah kaca besar di kamar George dan melihat dirinya.     

"Gadis muda?" Desisnya. "NO WAY, MR. BLOOM." Bisiknya dalam hati sambil menatap wajahnya untuk memastikan tidak ada kerutan yang berarti karena berbagai perawatan yang dijalaninya demi menjaga kecantikannya itu.     

"Mr. Bloom, wait for me. . . " Adrianna segera menyusul suaminya itu ke kamarnya, meski Aldric tampak sudah berbaring memunggungi posisi Adrianna biasa berbaring, tapi saat isterinya itu beringsut ke ranjang dan memeluknya, toh Aldric memberinya akes untuk mendapatkan pelukan penuh dan juga bantal lengan seperti posisi yang biasa dia dapatkan hampri setiap malam.     

***     

George tampak menikmati tiga hari pertamanya berdomisili di Inggris. Berjalan-jalan dan menikmati waktu untuk mengunjungi tempat-tempat wisata sebagai turis sebelum dia sibuk kuliah menjadi pilihannya. Terkadang sangking asiknya, George bahkan lupa bahwa ibunya menunggu kabar darinya.     

George bahkan tak sabar untuk kuliah pertamanya. Fasilitas apartment yang cukup mewah ditambah dengan mobil pribadi yang sudah disediakan oleh orangtuanya membuat George cukup percaya diri bahwa dia akan memiliki pengalaman yang menyenangkan selama hidup di UK.     

Pagi itu George baru saja memarkirkan mobilnya dan berjalan menuju kelas saat seorang mahasiswi yang tampak terburu-buru menabraknya dengan keras.     

"Wow easy . . ." George akhirnya membantu mahasiswi itu menyusun kembali buku-bukunya yang berhamburan.     

"Sorry." Ucap mahasiswi itu, dia benar-benar tampak gugup.     

"It's ok, I'm George by the way." Dengan percaya diri George memperkenalkan dirinya .     

"Em . . .Ella." Jawab gadis itu.     

"Is that your first day?" Tanya George lebih lanjut.     

"Yah." Angguknya. "Itu sebabnya aku sangat gugup." Ujarnya.     

George tersenyum, "Dari aksenmu, kau tampak seperti orang Amerika."     

Ella mengangkat alisnya, "Ya, you too."     

"New York." George menyebutkan tempat asalnya dan Ella tampak begitu terkejut tapi seulas senyum merekah, "Oh, aku merasa seperti baru saja bertemu teman sati kampung halaman." Ujarnya, "And it's cool."     

"Ya . . . mungkin kita bisa berteman. Can I have your number?" Tanya George to the point.     

"Sure." Angguk Ella, dia menyodorkan ponselnya dan George meninggalkan nomor ponselnya di ponsel Ella.     

"I'll call you." Ella dan George berpisah karena secara kebetulan meskipun mereka satu kota asal tapi mereka berbeda jurusan.     

***     

Semua mata kuliah diisi dengan perkenalan untuk hari pertama ini dan George menikmatinya. Dia tidak sabar untuk menghabiskan tiga tahun di UK dengan berbagai tugas kuliahnya.     

"Hei, I'm Ella." Ella mengirim pesan singkat pada George di sela jam kuliahnya.     

"Hei." Balas George. "Bertemu di cafetaria jam 11." Balasnya sekali lagi.     

"See you there." Balas Ella.     

Benar saja tepat pukul sebelas George tiba ke cafetaria tempatnya membuat janji dengan Ella, tapi gadis itu sudah menunggu setengah jam sebelumnya karena kelasnya berakhir lebih cepat.     

"Hei . . ." Sapa George.     

"Hei." Senyum Ella begitu menawan hingga mata Goerge lekat menatapnya. "Bagaimana hari pertamamu?" Tanya George.     

"Horor." Jawab Ella.     

"What?" George tersenyum lebar, dia menarik bangku lalu duduk di hadapan Ella.     

"Aku mengambil kelas sastra dan itu mengerikan." Jawab Ella.     

"Jika kau tidak menyukainya mengapa kau mengambil jurusan itu?" Alis George bertaut.     

"Mendiang ayah dan ibuku menginginkannya." Ujar Ella.     

"Sorry for your mom and dad." George mendadak merasa tidak enak hati begitu tahu bahwa Ella adalah yatim piatu. "Jadi kau tinggal di asrama?" Tanya George tapi Ella menggeleng. "No." jawabnya. "Aku tinggal bersama bibiku Sandra dan suaminya Jhon."     

"Aku bisa mengantarmu pulang jika kau tidak keberatan." Ujar George menawarkan diri.     

"Thanks, tapi aku sungguh-sungguh tidak ingin merepotkanmu di pertemuan pertama kita."     

"Aku senang menjadi temanmu." Ujar George. "Jadi jika selama ini kau tinggal di New York, mengapa kita tidak pernah bertemu bahkan sekalipun?" Tanya George pada takdir, karena jelas Ella juga tak memiliki jawabannya.     

"Entahlah." Gelengnya malu-malu. "Kau tinggal di mana by the way?" Tanya Ella.     

"Apartment, sewaan." Jawab George, dia jelas berbohong dan tidak ingin menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya pada Ella.     

"Cool." Puji gadis itu. "Keluargamu pasti sangat kaya karena kau bisa menyewa apartment di sini."     

"Tidak, . . ." Geleng George. "Tipe studio." Jawab George. "Aku juga kuliah di tempat ini karena beasiswa." Ujarnya, sekali lagi dia berbohong. Meski dia mendaftar dan mengikuti test secara daring hingga akhirnya diterima tapi Aldric dan Adrianna membayar untuk biaya kuliah putera tunggalnya itu.     

"Beberapa teman di kelasku tampak borjuis, mereka penduduk asli dan orang tuanya kaya raya." Ujar Ella.     

"Kau merasa iri pada mereka?" Tanya George.     

Ella menghela nafas dalam, "Sedikit." Jujurnya. "Seumur hidup orang tuaku adalah pekerja biasa, ibuku perawat di rumahsakit dan ayahku seorang akuntan, kami hidup sewajarnya di New York sampai hidup sewajarnya itu diambil dariku dengan tidak adil." Ujar Ella dengan raut wajah sedih. "Maaf, aku sangat emosional." Sesalnya.     

"It's ok. Aku mendengarkanmu." George meraih tangan Ella dan meremasnya lembut, tapi Ella menariknya, dia tampak canggung saat George menyentuhnya.     

"Sorry . . . " Sesal George. "Kau punya kekasih?" Tanya George dan Ella menggeleng. "Bukan itu." Gelengnya sekali lagi, "Aku hanya merasa canggung."     

"Ya, kurasa aku harus belajar menjadi orang baru bagi seseorang." Selorohnya dan Ella tersenyum.     

"Aku hidup di rumah bibiku yang juga biasa saja secara ekonomi, jadi kurasa secepatnya aku akan mencari apartment sendiri dari uang asuransi orang tuaku dan hidup mandiri dengan bekerja paruhwaktu." Ujar Ella, dia menjelaskan rencana hidup kedepannya yang bahkan tak pernah dimiliki oleh George selama ini. Hidupnya begitu mulus hingga dia bahkan lupa menentukan target hidupnya, dan melihat Ella yang sedemikian kuat dan tegar di usia mereka yang mungkin hanya terpaut satu tahun membuat George merasa malu.     

"Itu ide yang bagus." Puji George. Pembicaraan diantara mereka terus berlanjut hingga akhirnya harus berpisah karena mereka harus masuk di jam kuliah terakhir masing-masing, dan berjanji untuk bertemu keesokan harinya di kampus. Ella bahkan menolak niat George untuk mengantarnya pulang hari itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.