THE RICHMAN

The Richman - Baby Sheina



The Richman - Baby Sheina

0(Ten months later)     

Leah duduk di meja riasnya, dia sudah mengenakan blazer berwarna dusty pink, setelah seharian kemarin dia menyiapkan semua perlengkapan untuk ruangan baby Sheina, bayi yang akan segera mereka jemput siang ini di panti asuhan setelah mereka sah menjadi orangtua angkatnya.     

"Hei sayang. . ." Ben mendekati Leah dan memeluknya dari belakang.     

"Hei." Jawab Leah, dia tampak gugup saat Ben menatap pantulan wajahnya di cermin.     

"Kau terlihat gugup." Ujar Ben.     

"Ya." Angguk Leah. "Aku akan menggendongnya dan membawanya pulang hari ini." Ujar Leah.     

"Bukankah itu yang kau inginkan?"     

"Of course."Angguk Leah. "Sesuatu yang pertama kali akan selalu menegangkan." Jawab Leah.     

"Semua akan baik-baik saja." Ben mengecup ujung kepala Leah dan wanita itu memegangi tangan suaminya untuk sekilas sebelum akirnya Ben mengulurkan tangan untuk mengajak isterinya keluar dari kamar dan berangkat ke panti asuhan untuk menjemput baby Sheina.     

Perjalanan menuju panti asuhan begitu mulus dengan Ben menyetir dan Leah duduk di sebelahnya, kurang lebih tiga puluh menit dan mereka tiba di panti asuhan. Di panti asuhan Ben dan Leah sudah di tunggu oleh beberapa orang yang terkait dengan proses adopsi baby Sheina.     

"Terimakasih." Ujar sang ibu panti asuhan.     

"Aku yang berterimakasih karena semua prosesnya berjalan dengan begitu lancar." Jawab Leah.     

"Semoga dia bisa menjadi anak yang baik dan kalian menjaganya dengan baik." Sang ibu panti menyerahkan bayi Sheina pada Leah dan Ben.     

"Pasti, dia akan menjadi princess di rumah kami." Ujar Ben.     

Setelah semua proses penandatanganan dokumen selesai, Ben dan Leah resmi menjadi orang tua angkat bagi baby Sheina dan mereka membawa bayi mungil itu kembali ke rumahnya.     

Kedatangan baby Sheina kerumah itu disambut baik oleh Richard, Adrianna, Aldric dan si tampan George. Keluarga itu berkumpul untuk merayakan kehadiran baby Sheina dalam keluarga mereka. Bagaimanapun dia akan menyandang nama Anthony di nama belakangnya seperti nama ayahnya.     

Perayaan berupa pemberian kado juga acara makan malam bersama diadakan meski di sela-selanya Leah tampak kewalahan mengurus bayi barunya itu.     

"Jangan panik, kau akan terbiasa." Adrianna memberikan support setelah berhasil memberikan susu dengan botol pada baby Adrianna dan membuat bayi itu tertidur dalam gendongannya sementara Leah menatap dengan frustasi.     

"Aku merasa buruk." Gumamnya sambil melipat tangan.     

"Don't be, kau pasti bisa Leah. Kau hanya belum terbiasa dan terlalu nervous."     

"Ya, kurasa begitu." Leah mengangguk. Setelah membaringkan bayi Sheina, Adrianna, Aldric, George dan Richard pamit undur diri. Rich sudah kembali ke rumah Adrianna dan tinggal di sana sepuluh bulan terakhir setelah kondisi Adrianna dan George pulih kembali.     

Aldric disibukkan dengan bisnisnya dan juga pekerjaan di kantor, sementara Richard disibukkan dengan acara amal yang belakangan sering diadakan oleh yayasan. Adrianna sibuk mengurus urusan sekolah puteranya yang sempat memulai menyesuaikan diri dengan sekolah barunya dan juga bisnis fashion yang belum lama ini di gelutinya.     

Kehidupan terlihat begitu damai dan yaman selama sepuluh bulan terakhir bagi seluruh keluarga Richard Anthony dan anak-anaknya.     

***     

(Aldric Point of View)     

Kulihat Adrianna sedang sibuk membersihkan wajahnya saat aku selesai mandi. "Sayang apa yang kau pikirkan?"     

"Kau terlihat murung sejak aku sampai di rumah?" Adrianna memang terlihat, murung bahkan tidak menyapaku ketika aku masuk kedalam rumah.     

"Kau kelelahan membantu Leah mengurus Sheina tadi?" Tanyaku tapi dia menggelengkan kepala, tatapannya justru berubah menjadi sebuah kecemasan yang aku sendiri tak tahu apa yang melatarbelakanginya.     

"Lalu kenapa? Katakan padaku." Pintaku, Adrianna tampak menarik nafas panjang.     

"Hari ini George mengatakan sesuatu yang membuatku kaget."Adrianna bangkit dari meja rias, lalu berjalan menuju ranjang, dia berbaring di sampingku.     

Aku melingkarkan lenganku di pinggangnya, memeluknya erat. "Apa yang dia katakan sampai membuatmu seperti ini?"     

"Dia bilang bahwa Sheina cantik seperti princes." Ujarnya dengan tatapan menengadah ke langit-langit.     

Penjelasan yang membuatku tersenyum, tidak ada yang salah sama sekali dengan pujian semacam itu. "Apa yang salah dengan itu?" Alisku berkerut menuntut penjelasan.     

Adrianna memutar wajahnya hingga menatapku, "Aku belum selesai." Protesnya, "Dia juga bilang bahwa dia setampan pangeran." Adrianna menyelesaikan kalimatnya.     

"Bukankah itu memang benar? Mereka layak disebut Princes and Prince? Apa masalahnya?" Overthingking, seperti biasa, Adrianna memikirkan banyak hal terlalu berlenbihan.     

"Ya, tapi yang jadi masalah adalah dia bilang bahwa dia ingin cepat besar, lalu menikahi Sheina, menjadi seperti kita, hidup bahagia."Wajah Adrianna seketika menjadi pucat, sementara aku tersenyum melihatnya "Sayang, dengarkan aku. George masih anak-anak. kurasa itu hanya akibat dari dongeng-dongeng yang sering kita ceritakan padanya bukan?"     

"Aldric, tidak pernahkah terpikir bahwa mungkin saja mereka nanti saling tertarik? Mereka bukan saudara kandung secara biologis, tapi secara legal mereka sudah menjadi saudara. Tapi mereka tinggal dalam satu atap, aku sangat khawatir soal itu."     

"Adrianna, saat ini usia Sheina baru satu setengah tahun, dan George baru hampir berusia tahun. Untuk sampai di usia dimana mereka akan saling tertarik masih ada waktu yang sangat panjang, seiring dengan bertambahnya usia mereka, mereka akan belajar untuk menjadi saudara. Kau terlalu paranoid." Aku berusaha menjelaskan pada isteriku, dia memanng selalu memiliki pemikiran yang jauh kedepan, tapi bukan berarti itu selalu positif, kadan juga negatif jika dia mencampurnya dengan rasa khawatir berlebihan. "Percayalah, ketakutanmu tidak akan terjadi."     

"Ehem." Dia megangguk, lalu berbalik membelakangiku, memeluk dirinya sendiri.     

"Jadi kau tidak ingin memeluk suamimu Mrs.Bloom?"     

"Tidak untuk malam ini." dia menjawab tapi masih tidak menoleh padaku. kurasa pikiran tetang Sheina dan Geroge terlalu merusak suasana hatinya. Tidak ada yang salah dengan George dan Sheina, mereka akan berakhir sebagai sepupu, mengapa hal itu begitu menggangu pikiran Adrianna, ini sedikit membingungkan bagiku.     

"Kalau begitu biarkan aku memelukmu." Aku merangsek, kuberikan pijatan lembut di rambutnya. Seperti ketika dia melakukannya untukku. "Kau pandai merayu Mr. Bloom."     

"Bukankah sudah sejak kau baru mengenalku, sayang?"     

"Ehem." Sekali lagi dia mengangguk.     

"Dan sekarang, semakin tua, kau semakin mahir."     

"Kau jelas berbohong Mrs. Bloom, kau bahkan tak bersedia memelukku. Aku mulai berpikir mungkin saja aku sudah tidak menarik lagi bagimu."Aku terus memijatnya. "Aku sudah tidak sehebat dulu dalam bercinta."     

"Tidak sayang, kau selalu menjadi pria terbaik dan paling menarik."Adrianna akhirnya berbalik menghadapku. "Kau juga yang terhebat."     

"Apa setelah kau bertemu Sheina dan mendengarkan celotehan George kau jadi kehilangan selera padaku Mrs. Bloom?"     

"Entahlah Mr. Bloom, kurasa aku hampir mencapai menopause." Adrianna tersennyum menggodaku.     

"Secepat itukah?"     

"Kupikir kau akan menopause di ulangtahunmu yang keseratus."Aku menggodanya. Kami masih cukup muda untuk bisa bercinta dengan berbagai gaya, dan pembicaraan semacam ini hanya untuk menaikkan moodnya.     

"Aku tidak yakin aku bisa mencapai usia itu Mr. Bloom, bahkan entam puluh tahunpun aku tak yakin."Adrianna kembali kehilangan moodnya. Oh, leluconku gagal total.     

"Hei...." Aku memeluknya. "Tak penting berapa panjang usia kita, yang penting adalah kita menghAldricskan sisa waktu yang ada bersama. Membesarkan George dan Sheina. Bukan begitu?"     

"Ehem." Dia mengangguk. "Kalau nanti kita meninggal, aku ingin meninggal lebih dulu." Lannjutnya. Mataku terbelalak, mengapa dia membahas masalah ini? oh tidak. Adrianna kau semakin tak tertolong.     

"Kenapa begitu?"     

"Aku tak sanggup hidup jika kau tidak ada di sisiku." Ujarnya. "Jadi kau pikir aku bisa bertahan jika kau meninggalkanku?!" aku berkata dengan nada emosional. Oh maaf sayang, aku terpancing.     

"Jadi siapa dulu?" Adrianna menatapku.     

"Tidak akan ada yang meninggalkan atau di tinggalkan. Kita akan mencapai usia seratus tahun, dan meninggal bersama." Aku memeluknya erat.     

"Kau tahu Mr. Bloom, membayangkan dunia yang begitu besar ini tanpamu rasanya mengerikan."Adrianna mengusap-usap dadaku. Sedikit geli.     

"Kalau begitu jangan bayangkan."     

"Bagaimana kalau kita membayangkan sesuatu yang indah." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.     

"Apa misalnya?"     

"Membayangkanmu mengenakan gaun tidur berwarna merah, lipstick merah menyala, stiletto dengan warna senada, dengan cahaya remang-remang, melenggang kearahku, terlihat seperti siluet, emmm.... aku mulai membayangkan bahwa duniaku seperti surga."     

"Simpan pikiran kotormu Mr. Bloom."     

"Aku tidak berpikir kotor, apakah memikirkan isteriku dalam keadaan seperti itu melanggar norma sosial?"     

"Memang tidak."Akhirnya dia menyerah.     

"Lalu kenapa kau tidak mencoba melakukannya?"Aku tersenyum simpul.     

"Untuk?"Adrianna melotot padaku.     

"Oh Mrs. Bloom, tidakkah kau berbelas kasihan pada suamimu?"Drama akan segera kita mulai, mungkin dengan begini dia akan kembali menjadi Adrianna yang penuh semangat.     

"Seharian membanting tulang mencari nafkah, berurusan dengan jutaan masalah rumit di kantor, bertemu dengan bapak-bapak yang rata-rata berperut buncit, memiliki sekretaris seorang laki-laki, dan setelah sampai di rumah, isteriku bahkan menolak untuk memelukku. Apa yang kurang? Aku adalah pria paling malang di dunia." Aku mendramatisir keadaan. Adrianna tersenyum " Kau adalah King of Drama Mr. Bloom. Aku bahakan tidak tahu sejak kapan kau jadi suka bersandiwara?"     

"Go." Aku memukul pantatnya. Dan dia melotot padaku, tapi akhirnya dia bangkit dari tempat tidur, berjalan kearah lemari dan mengeluarkan semua persenjataan yang dia perlukan.     

"Aku harus menelepon di ruang kerjaku sebentar, pastikan kau siap dengan gaya terbaikmu saat aku kembali." Aku sengaja memberinya ruang untuk dirinya sendiri. Aku tidak benar-benar menelepon.     

***     

Saat aku kembali lampu kamar sudah dimatikan, menyisakan dua lampu tidur, dan cahaya jelas remang-remang saat itu.     

Dia benar-benar melakukan semua yang aku perintahkan, meski perintnah itu tidak secara langsung aku utarakan. Oh Adrianna, kau selalu tahu bagaimana membuat suamimu merasa senang.     

"Apakah seperti ini yang kau Mr. Bloom?" Dia berjalan kearahku, degan lembut membelaiku dari ujung kepala, leher, lalu turun ke perutku " Kau sudah buncit." Dia berbisik lalu sedikit menempelkan lidahnya di telingaku, bulukudukku seketika meremang.     

"You like it?"     

"Interesting." Aku menahan senyumku.     

"Kau membuatku terlihat seperti wanita nakal Mr. Bloom." Sekali lagi dia berbisik.     

"Aku suka kau nakal dalam keadaan tertentu Mrs. Bloom, jadi jangan berhenti." Aku berusaha memberinya semangat.     

"Come." Dia mearik tanganku, membawaku ke sebuah sudut kursi. Dia melemparku ke kursi itu dengan sedikit kasar, mungkin dia sedang berusaha memancing egoku untuk bangun dan membalasnya. Tapi tidak, aku ingin melihatmu seperti ini sampai akhir permainan. "You lead." Aku berbisik setelah dia duduk di pangkuanku, menghadapku, menatapku. "You sure?" dia masih menatapku lalu mengangguk.     

"Kau akan menyesal jika permainan ini tidak sesuai ekspektasimu Mr. Bloom."     

"I know you have a great capAldriclity Mrs. Bloom."     

Dia menurunkan lengan dari gaun tidurnya, membuat pundaknya terekspose sempurna, sebuah bra dengan renda dan warna senada juga membingkai miliknya yang indah, seolah menantangku.     

"Ready?" dia berbisik di telingaku, mengigitnya, membuat semacam getaran dalam diriku, di puncak, disuatu tempat milikku. Getaran itu seolah menghidupkan generator dalam diriku, memanas, semakin panas, ketika Adrianna menciumku, menyusupkan jari-jari kurusnya kedalam rambutku, dengan gerakan dinamis dia membuat semacam irama, lembut dan keras, membuatku semakin panas.     

Jariku tak bisa kukendalikan untuk tidak segera melepas benda berwarna merah dengan renda itu dari dirinya, membuat miliknya yang tadi bersembunyi kini benar-benar berteriak di depan mataku "COME ON DUDE."     

Aku segera megulumnya, membuat Adrianna bergeliat seperti cacing kepanasan diatasku, dan kami merasa atmosfir di ruangan menjadi sangat panas, sehingga kami harus menanggalkan semuanya.     

Saat aku mencapai kemenanganku, aku mendengar jeritan Adrianna yang tertahan, jari-jarinya menancap di punnggungku, meremasnya kuat, dan dia roboh di pelukanku dalam sensasi hampa diantara kami. Aku memeluknya.     

"Thank you, it was great."     

"You too Mr. Bloom." Dia masih bergelayut di pelukanku. Aku menggendongnya ke ranjang.     

"Sleep tight." Kucium dia. Wanita yang paling ku cintai di dunia ini.     

"Ehem." Dia mengangguk, lalu tersenyum saat aku menyelimuti tubuh telanjangnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.