THE RICHMAN

The Richman - Unexpected Disaster



The Richman - Unexpected Disaster

0(Adrianna POV)     

Aku mengobrol cukup lama dengan Dady, sedikit banyak aku mengorek berita tentang Leah dan Ben dari daddy, tapi tampaknya Leah dan Ben cukup pandai bersandiwara di hadapan Daddy hingga Dad tidak merasa ada yang aneh di antara mereka. Aku juga menyempatkan makan siang bersama Ben dan Leah di rumahnya, mengobrol tentang banyak hal tapi jelas aku menghindari membicarakan soal anak, kami lebih membicarakan hal-hal seperti rencana liburan bersama keluarga dan lainnya, tapi Leah pun tak tampak antusias.     

"Bagaimana kalau liburan sekolah George kita liburan, bagaimana menurutmu Leah?" Tanyaku dan Leah hanya tersenyum.     

"Itu ide yang bagus." Jawab Leah normatif.     

Aku mengalihkan topik lainnya pada isue politik yang sekarang sedang marak, soal pemilihan presiden dan tampaknya mereka lebih antusias membahas hal itu dari pada liburan, sampai tak terasa sudah hampir tiba waktunya George pulang sekolah.     

"I have to go." Aku teringat bahwa ini sudah hampir tiba waktunya menjemput George. Aku pamit undur diri dan memberikan pelukan singkat pada Ben dan Leah dan dia membalas pelukanku.     

Jawab mereka bersama setelah aku masuk kedalam mobil dan mereka melambai ke arahku. "Take care."     

Mobilku meninggalkan halaman rumah Ben dan Leah, aku mengendarai sendiri mobilku menuju sekolah George. Ditengah jalan kulihat ada kedai Icecream, kupikir pangeran kecilku itu akan menyukainya, jadi aku mampir ke kedai itu untuk membeli Icecream rasa coklat.     

***     

Hari ini aku sengaja mampir ke kedai ice cream untuk membelikan kejutan bagi George. Sudah lama dia tidak makan ice cream karena kami berjanji dia hanya makan ice cream dan coklat seminggu sekali untuk menjaga giginya tetap sehat. Aku berada di antrian, entah berapa panjang, tapi kurasa masih ada lima atau enam orang di depanku. Saat aku menunggu uang kembalian ponselku bergetar.     

Saat aku tengah mengantri ice cream tiba-tiba ponselku bergetar, "Halo." Sapa seorang pria di seberang, dan itu Javier.     

"Halo." Jawabku, anehnya yang terdengar di seberang bukanlah suara Javier, melainkan suara seorang perempuan.     

"Maaf, aku menghubungimu. Nomor ponselmu adalah nomer kontak yang dihubungi oleh pria ini terakhir kali."     

"Maaf anda siapa?" Tanyaku bingung.     

"Aku Vanesha, pria ini mengalami kecelakaan dan sekarang sedang berada di rumahsakit. Bisakah kau datang?" Tanyanya dan tidak ada pilihan lain, meski Javier bukan siapa-siapa bagiku saat ini tapi mendengar berita bahwa dia mengalami kecelakaan dan tidak ada orang yang bisa di hubungi, setidaknya aku bisa melihat kondisinya terlebih dahulu.     

Aku memutuskan untuk keluar dari antrian dan menuju ke rumahsakit yang alamatnya disebutkan oleh Vanesha tadi. Sementara menyetir menuju rumahsakit aku mengirim pesan singkat pada Emily untuk menahan George bersamanya sementara aku sedikit terlambat menjemput puteraku itu.     

***     

Mataku melotot ketika kudapati Javier dalam keadaan baik-baik saja, dia berdiri dengan membawa seikat bunga dan sebuah icecream corn di tangannya tepat di salah satu tempat parkir rumahsakit yang kutuju. Aku membuka pintu mobil dan membeku menatapnya.     

"Maaf mengagetkanmu." Dia tersenyum, menyambangiku dan menyodorkan bunga itu tapi aku tidak menerimanya.     

"Javier ini tidak lucu." Aku berkata kesal.     

"Icecream." dia menawariku icecream dan aku menolak, aku berniat untuk kembali masuk kedalam mobil dan segera menjemput puteraku.     

"Jika kau akan pergi ke sekolah Emily, bisakah aku ikut dengamu?"     

"Pergi dengan mobilmu sendiri!" Aku membentaknya dan segera masuk kedalam mobilku. Kuputar kemudi hingga maksimal sebelum kuinjak gas dengan dalam dan mobilku melesat dengan cepat, aku benar-benar bodoh karena percaya pada Vanesha, entah siapa wanita itu tapi ini benar-benar membuatku merasa bersalah pada George. Mengabaikannya demi lelucuon yang sama sekali tak lucu jelas membuatku merasa begitu bersalah pada puteraku itu.     

***     

Aku dalam perjalanan menuju sekolah puteraku dan kurasa aku terlambat sekitar limabelas menit. Tapi untunglah Emily sudah menjawab pesanku dengan menyeetujui untuk menjaga George beberapa saat sampai aku tiba. Dengan cepat aku menemukan tempat parkir, namun saat aku turun dari mobil firasatku mendadak tidak enak, kulihat banyak sekali mobil terparkir. Beberapa terlihat seperti mobil polisi dan beberapa ambulance, juga beberapa orang berkerumun dalam tangisannya. Aku berusaha mendekati kerumunan meski mendadak kakiku terasa seperti jelly. Kuseret langkahku semakin dekat dan mataku membulat sempurna saat kudapati garis polisi yang terpasang di area pintu masuk gedung sekolah puteraku.     

Aku segera merangsek ke kerumunan orang itu, meninggalkan Javier di belakangku. Aku berusaha mencari tahu apa yang terjadi di tempat ini.     

"What's going on Mrs. Parker?" aku bertanya pada seorang wanita yang berdiri menyandar di dinding, tubuhnya tampak bergetar menahan tangis.     

"Disaster." Dia berbisik. APA? APA YANG TERJADI?     

"What?" Aku bahkan kesulitan untuk mengeluarkan kata-kata karena tenggorokanku mendadak tercekat, seolah batu besar menyumpal di dalamnya. Lututku gemetaran, aku berusaha merangsek masuk untuk mencari puteraku.     

"Young man, with the gun, fifteen minute left." Mrs Parker berbicara tak cukup jelas, tapi aku menangkap dengan jelas maksudnya. Pria muda, bersenjata, limabelas menit yang lalu.     

Lututku semakin elmas lemas, jantungku berdegup kencang. Aku hampir saja roboh di tempat itu. Tidak, Tidakkk . . . aku harus menemukan George puteraku, dia pasti ada di suatu tempat yang aman bersama dengan Emily.     

Aku berlari ke arah lain, aku mencari Emily, aku harus mencari tahu keberadaan puteraku. Air mataku membanjir seketika, tapi aku tak lagi menemukan anak-anak di sekolah ini, aku juga tak melihat Emlily di manapun.     

Aku berlari kearah petugas polisi yang sedang sibuk bekerja, mereka tampak sedang mengolah tempat kejadian perkara untuk mengumpulkan barang bukti.     

"Bisa tolong beri tahu aku, adakah yang melihat puteraku?" Tanyaku pada setiap orang yang kutemui dan tidak ada yang bisa memberikan jawaban yang pasti hingga aku bertemu dengan seorang wanita berseragam polisi, dia mengatakan bahwa anak-anak yang menjadi korban penembakan sudah dilarikan kerumahsakit. Dia menyebutkan sekitar enam atau tujuh anak mengalami luka tembak dan seorang guru meninggal dunia.     

Aku terhuyung, hampir jatuh mendengar berita itu. Semua menjadi buram bagiku, tapi aku tidak bisa berhenti di sini sebelum mendengar kabar tentang puteraku. Aku berbalik dengan hati yang hancur, tapi aku harus mencari puteraku kerumahsakit terdekat.     

Hingga seseorang tiba-tiba datang dan memapahku. "Aku akan menyetir." Ujar pria itu, saat aku menoleh kulihat itu Javier. Tangisku pecah dan dia langsung memelukku.     

"Puteraku . . ." Itu yang bisa ku katakan, dan entah mengapa untuk beberapa saat menemukan tempat bersandar dan menangis cukup membantu. Hingga aku tersadar bahwa tujuanku hanyalah segera menemukan puteraku dan tahu bagaimana keadaannya.     

***     

Aku seharusnya ada jadwal meeting sepuluh menit lagi, tapi aku mendapat pesan singkat dari Ms.Emily, guru George, bahwa puteraku saat ini sedang dibawa ke rumah sakit. Tak jelas apa yang terjadi. Kucoba menghubungi Adrianna berkali-kali tapi entahlah mengapa isteriku tidak menjawab ponselnya.     

Aku segera pergi ke rumahsakit yang letaknya tak jauh dari sekolah puteraku, kebetulan aku sedang berada di sekitar daerah itu saat pesan singkat dari Ms. Emily masuk ke ponselku.     

***     

Aku tiba di rumahsakit, tapi aku bertanya tidak ada nama puteraku didaftar pasien. Aku sangat frustasi, dan memutuskan untuk keluar dari rumahsakit, mungkin sebaiknya aku memastikannya ke sekolah George. Saat aku melangkah menuju mobil, tampak seorang penjaga sekolah berlari membawa seorang anak terluka. Aku hafal betul dengan wajah si penjaga sekolah itu, aku melepas jasku dan segera berlari ke arah pria itu, perasaanku campur aduk ketika itu. Aku berusaha menolongnya, kulihat itu Alvin, teman George, dia terluka parah.     

Mereka segera membawanya ke Emergency Unit untuk mendapat perawatan. Kulihat wajah penjaga sekolah begitu ketakutan, air matanya bahkan berderai-derai. Aku juga mulai meraskaan ketakutan yang sama, puteraku dimana? Kucoba menghubungi Adrianna berkali-kali tapi tak juga di angkat. Aku jadi semakin frustasi.     

Saat aku menoleh, seorang penjaga sekolah lainnya tampak menggendong seorang anak lagi masuk ke Emergency Unit, disusul oleh Mr. Robinson yang berlari disusul Mss. Emily dibelakangnya yang juga menggendong seorang anak. Aku berlari mendekat, berusaha membantu Mr. Robinson, tapi lututku mendadak lemas saat kulihat puteraku begitu pucat, dia berdarah dan dia tampak sudah begitu lemas di pelukan gurunya.     

Aku mengambil alih George dan segera berlari membawanya ke sebuah bed, aku berlari sepreti orang gila mencari dokter untuk segera menangani puteraku. Dan untunglah mereka membawa puteraku ke rumahsakit terbaik, jadi puteraku segera mendapat penanganan.     

***     

(Aldric POV)     

Aku berada di depan ruang operasi, puteraku, dia yang masih begitu kecil, bahkan usianya belum genap enam tahun, harus tertembus peluru. Aku sudah merasakannya dan itu mengerikan, bagaimana puteraku mengalami hal yang sama denganku.     

Lalu dimana Adrianna? Mengapa dia tidak juga datang? Kemana dia?     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.