THE RICHMAN

The Richman - Shanon Clark



The Richman - Shanon Clark

0Leah dan Ben tiba di sebuah gedung kecil tempat agency itu berkantor. Mungkin mereka memilih tempat ini dengan pertimbangan biaya operasional. Ben menemukan tempat parkir yang pas dan Leah turun disusul suaminya itu.     

"Are you ready?" Tanya Ben pada Leah karena wanita itu terlihat ragu-ragu saat hendak melangkahkan kakinya menuju ke dalam gedung.     

"Ya." Leah menghela nafas kemudian mengangguk.     

"Ok, mari kita masuk kedalam. We'll see what's inside the building." Ben menggandengan tangan Leah dan mereka membuka pintu, menemukan seorang wanita berkulit hitam dengan rambut keriting sebahu yang tampak mengembang. Senyum langsung terlihat di bibirnya begitu Ben dan Leah menuju ke arahnya. Senyum khas yang menunjukkan deretan gigi putihnya.     

"Good afternoon." Sapanya renyah.     

"Good afternoon, am. . . . aku Leah Anthony dan ini suamiku, Ben." Leah memperkenalkan dirinya.     

"Oh finally." Wanita itu mengulurkan tangannya untuk menjabat tangan Leah dan Ben bergantian, sungguh ramah tamah yang luar biasa yang diterima oleh pasangan muda itu. "I'm Amanda." Wanita itu memperkenalkan diri. "Mari ikut aku, aku akan mengantar ke kelas." Ujar sang resepsionis.     

Leah dan Ben melangkah memasuki ruangan yang berisi kurang lebih sepuluh orang, dengan dua orang hamil besar dan beberapa terlihat seperti pasangan suami isteri.     

Amanda mendekati seorang wanita bertubuh subur yang duduk di tengah kelas. Rambutnya keriting dipotong sebahu dan dia terlihat sangat ramah, suaranya juga khas seperti terapist atau hypnotherapist. Amanda berbisik padanya dan itu sontak membuat wanita itu mengarahkan pandangannya pada Ben dan Leah yang masih berdiri di dekat pintu.     

"Oh Hai . . ." Sapa wanita bertubuh subur itu. "Kita sambut teman baru kita, Mr. and Mrs. Anthony." Dia mengarahkan tangannya ke arah Ben dan Leah sementara yang lain mengikuti dengan tatapan dan juga senyum lebar menyambut kedatangan mereka.     

"Mari bargabung, aku Grace pendiri agency ini." Grace menghampiri mereka dan memberikan tempat duduk bagi mereka berdua. "Silahkan duduk dan bergabung."     

Ben dan Leah bergabung dan duduk diantara beberapa pasangan yang tampak sedikit aneh karena formasinya seperti satu pria dengan dua wanita.     

"Ini bukan kelas polygami." Grace memulai membuka kelas. "Dan teman baru kita terlihat masih sangat bingung." Tatapannya terarah pada Ben dan Leah yang duduk dengan posisi yang tidak nyaman sama sekali, Ben terlihat lebih normal daripada Leah. Karena tatapan Leah pertama kali tertuju pada gadis berambut panjang dengan celana jeans dan juga kaos berwarna lilac dengan cardigan ungu tua. Senyumnya manis dan beberapa kali Leah mendapati dia menatap ke arah Ben.     

"Di kelas ini kita hanya akan saling mendukung, baik itu ibu surrogasi ataupun orang tua karena tujuan kita adalah tujuan yang sangat mulia, bersama-sama menciptakan sebuah kehidupan baru, lahirnya seorang bayi mungil di dunia ini." Ujar Grace meyakinkan.     

"Bagi beberapa pasangan pertemuan ini menjadi penting, terutama sebelum memutuskan untuk mengambil langkah surrogasi, kalian bisa saling mengengal calon ibu surrogasi, karena mereka adalah pohon kehidupan dimana buah hati kalian akan dititipkan di rahi mereka sampai mereka siap untuk dilahirkan ke dunia." Imbuh Grace.     

"Aku akan memberi waktu untuk masing-masing dari kalian mengungkapkan kesan selama ini mengikuti kelas dan juga menjalani proses surogasi." Grace memberikan kesempatan dan masing-masing dari mereka menceritakan semua yang mereka alami.     

Ben tampak menikmati cerita yang diungkapkan beberapa pasangan dengan ibu surrogasi yang mereka pilih. Sementara Grace mendekati Leah dan Ben.     

"Mari ikut aku, kita harus bicara." Ujar Grace, dia juga mengajak serta dua orang wanita muda yang duduk di sana.     

Grace, Leah dan Ben, juga dua wanita muda itu duduk di sebuah ruangan yang hanya berisi mereka berlima.     

"Ini Susan dan ini adalah Shanon." Grace memperkenalkan dua wanita itu secara bergantian.     

"Mereka adalah kandidat surrogasi untuk kalian berdua." Imbuh Grace.     

"Em . . . tapi setahuku kemarin ada empat orang." Leah tampak sedikit protes dengan kenyataan baru yang dia hadapi.     

Grace tersenyum sekilas, "Mrs. Anthony, menemukan ibu surrogasi yang tepat itu tidak semudah yang anda bayangkan. Kami memiliki agency ini dan sudah berjalan lebih dari sebelast tahun. Sudah banyak sekali hal yang kami lewati, ibu surrogasi yang mengundurkan diri sebelum bertemu pasangan yang akan meminta bantuan mereka, atau bahkan setelah menemui mereka. Ada juga beberapa faktor kesehatan yang kemudian membuat prosedur surrogasi tidak bisa di jalankan. Dan untuk kasus anda, tiga kandidat mengundurkan diri, satu karena suaminya tak mengijinkannya, dan yang dua karena alasan kesehatan. Pemeriksaan terakhir mereka, kondisi kesehatannya sudah tidak sebaik saat usia mereka masih duapuluhan." Ujar Grace.     

Ben menoleh ke arah Leah, "Sayang. . ." Ben meremas tangan Leah, dan Leah menatap Ben dengan nanar.     

"Susan dan Shanon adalah calon ibu surrogasi yang sangat potensial, mereka masih muda, mereka cerdas dan mereka sudah dicheck secara keseluruhan terkait dengan kesehatan terutama kesehatan reproduksi mereka." Grace merekomendasikan.     

"Aku akan meninggalkan kalian untuk bisa saling mengenal." Grace memilih untuk kembali ke kelas besar sementara Ben dan Leah seolah ditodong oleh dua gadis itu untuk memilih salah satu dari mereka.     

"Em, maaf sepertinya aku harus bicara dengan isteriku." Ben mengambil jalan tengah. Dia menarik Leah keluar dari ruangan itu dan berbicara hanya berdua saja.     

***     

"Jika kau tidak siap, kita bisa mundur." Itu yang dikatakan Ben pertama kali.     

"Tapi kau sangat menikmati berada di kelas itu."     

"Bukan berarti aku ingin surrogasi ini sayang, aku mengikuti keinginanmu." Ujar Ben. "Aku sudah selalu mengatakan bahwa pilihanku adalah dirimu, apapun yang menjadi pilihanmu, itu yang ku lakukan." Ujar Ben.     

Leah menghela nafas dalam. "Aku sangat menginginkan bayi, tapi beberapa hal membuatku takut." Jujurnya.     

"Apa yang membuatmu takut." Ben meraih wajah Leah dan menatap isterinya itu dalam-dalam.     

Leah menghela nafas dalam, dengan suara lirih dia berujar, "Aku mengundang wanita lain kedalam rumahtangga kita." Ujar Leah.     

Ben tampak terkejut dengan pikiran isterinya itu. "Kau berpikir mungkin aku akan tergoda?" Alis Ben bertaut menatap isterinya.     

"Banyak faktor Ben, dia akan berada dekat dengan kita, dia akan berinteraksi dengan keluarga kita, dan dia akan menghabiskan waktu lebih dari sembilan bulan bersama dengan kita." Leah berbicara dengan cepat seolah semua kalimat itu sudah tersimpan lama di tenggorokannya dan saat dia kehilangan kendali dirinya semua kalimat itu tumpah ruah begitu saja."Dia memiliki apa yang tidak bisa kuberikan padamu." Kalimat terakhir dikatakan oleh Leah dengan bibir bergetar.     

Ben melepaskan wajah isterinya itu, "Kau tidak pernah siap Leah. Percuma kita datang ke tempat ini. Kau bahkan tak tahu apa yang benar-benar kau inginkan." Ben berjalan meninggalkan Leah dan kembali ke mobil. Sementara Leah berlari mengikuti suaminya itu.     

Grace yang melihat pasangan itu pergi begitu saja tampak tak ambil pusing, beberapa juga memang seperti itu diawal-awal. Beberapa kembali setelah pemikiran mereka lebih matang soal surrogasi dan beberapa tidak pernah kembali.     

***     

Ben dan Leah berada di dalam mobil, mereka diam seribu bahasa dalam pikirannya masing-masing. Tidak ada yang bisa dikatakan lagi, Ben sudah tahu seluruh isi hati juga isi kepala isterinya itu, dan rasanya mengecewakan karena pembicaraan, pertengkaran yang terjadi selama ini nyatanya sia-sia. Leah tidak pernah berubah, dia tetap belum bisa percaya padanya seratus persen.     

"Maaf. . ." Leah membuka suara.     

"Aku tidak ingin membahas apapun." Jawab Ben cepat.     

"Kau bertanya padaku tentang perasaanku dan aku menjelaskannya Ben." Leah menatap ke arah Ben.     

"Dan semua penjelasanmu itu menyakitiku Leah, selama ini kita bersama, aku merasa tidak ada lagi yang bisa membuatmu meragukanku, aku menerima semuanya tentangmu tanpa terkecuali, dan kau menganggapku mungkin akan meninggalkanmu suatu saat nanti karena wanita lain. Kau meragukanku." Ben menyerang Leah dengan membabi buta, meski sejujurnya itu bukan bentuk serangan, hanya bentuk ketidakpuasan atau kekecewaan tapi Ben terlihat cukup marah karena pikiran Leah.     

"Jika aku mau aku sudah melakukannya sejak dulu, aku tidak akan memilih untuk menikah, aku bisa hidup bebas sesukaku. Tapi aku memilihmu, aku memilih menikahimu, dan selama lima tahun terakhir, selama aku menikahimu, apa kau pernah mendapatiku berbuat curang, membohongimu atau apapun yang membuatmu pantas meragukanku?" Ben menoleh seiklas ke arah Leah, matanya benar-benar membara oleh kemarahan sementara Leah tidak berani menatapnya.     

"Menjadi aku juga tidak mudah." Tutur Leah dengan suara bergetar. "Diantara seluruh keluarga, aku paling berbeda. Kalian bisa dengna nyaman melakukan banyak hal karena kalian memiliki kedudukan sosial yang bagus, kalian punya banyak uang dan aku, aku tidak memiliki semua itu." Jawab Leah. "Aku merasa buruk setiap kali bersama kalian dan teman-teman kalian atau lingkungan sosial kalian, apalagi saat mereka bertanya soal anak padaku. Apa kalian tidak berencana punya bayi?" Leah mulai menangis saat mengatakannya. "Saat semua orang memperbandingkanku dengan Adrianna kakakmu . . ." Ujar Leah, dia tak bisa melanjutkan kalimatnya.     

"Aku merasa aku bukan bagian dari keluarga kalian." Imbuhnya, "Aku merasa buruk dan tidak pantas, sepanjang waktu, setiap kali bersamamu, atau bersama dengan keluargamu."     

Ben menepikan mobilnya dan saat ini dengan mesin mobil yang sudah mati, Leah yang menangis di sebelahnya. Dan kini Ben memilih keluar dari mobil dan menghirup udara segar di luar, sementara Leah menangis di dalam mobilnya.     

Dalam beberapa rumahtangga, masalah anak memang menjadi pelik. Bahkan mungkin di tahun-tahun awal, hal itu sering menjadi pemicu pertengkaran diantara suami dan isteri hingga mereka lupa bahwa mereka memilih satu sama lain bukan karena anak saja, tapi lebih dari itu, mereka saling mencintai.     

Dan itu yang sekarang dialami oleh Leah dan Ben, taun kelima ini menjadi tahun kritis dalam rumahtangga mereka. Tak hanya soal anak, tapi Leah seolah mengalami krisis kepercayaan diri hingga selalu menganggap kekurangannya adalah kekurangan mutlak yang dimiliki seorang wanita ditambah dia yang datang dari keluarga yang biasa-biasa saja dibandingkan dengan keluarga Ben. Bahkan tanpa ada orang yang mengatakan apapun, tapi dari cara seseorang tersenyum pada Adrianna dan padanya, Leah sudah merasa adanya perbedaan besar.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.