THE RICHMAN

The Richman - George



The Richman - George

0Keseruan pesta George berakhir, kini tinggalah menyiskaan Ben yang masih tak bicara dengan Leah, Aldric, Adrianna dan Richard membereskan semua kekacauan setelah pesta usai. Richard yang tampak sudah kelelahan memilih untuk menepi dan menonton football di layar televisi sementara Aldric dan Adrianna masih bekerjasama membereskan taman bersama Ben.     

Didalam rumah ada Ben dan Leah yang tengah sibuk membuka kado.     

"Kau tidak masalah jika Leah yang menemani George membuka kado?" Tanya Ben pada kakaknya.     

"Biarkan saja, mereka senang menghabiskan waktu bersama." Jawab Adrianna. "Lagipula mengurusi George sepanjang hari juga membuatku sedikit frustasi, kehadrian Leah benar-benar membantu. Aku bahkan berharap kalian menginap malam ini." Ujar Adrianna.     

"Atau jika bisa aku ingin menitipkan George pada kalian, aku dan Adrianna butuh waktu bersama, berdua saja." Aldric menimpali.     

"Kurasa itu ide yang bagus, tapi Leah masih sulit menerima keadaannya." Jawab Ben, dia menoleh ke dalam rumah, tempat George dan Leah tengah asih membuka kado.     

"Aunty, do you like the party?" Tanya George.     

"Yah, the party was cool."     

"Wohaaa . . . apa ini kado darimu?" Tanya George dan itu membuat Leah merasa begitu bersalah, dia tahu kado itu dibeli oleh Ben untuk George dan tidak seharusnya Leah mengakui itu sebagai kadonya meski Ben membawakan enam bungkus kado sekaligus. Dan kesemuanya barang orisinal dari Marvels.     

"Itu dari Uncle Ben." Jawab Leah jujur.     

"Apa kau sedih?" Tanya George tiba-tiba, kedua tangan kecilnya itu memegangi wajah bibinya.     

"Tidak, aku tidak punya alasan untuk sedih." Bohong Leah.     

"Kalu begitu tunjuk satu kado yang Anty bawakan untukku, kita akan buka kado itu lebih dulu dibandingkan kado-kado lainnya." Ujar George excited dan Leah dibuat gelagapan oleh kecerdasan keponakannya itu.     

"Em . . . aku belum membawakan kado untukmu. Tapi aku janji untuk mengantarnya besok." Ujar Leah memberikan opsi lainnya.     

George menatap bibinya itu kecewa. "Kau tidak suka pesta ulangtahunku?" Tanya George.     

"Aku sangat menyukainya, pestanya sangat menyenangkan." Leah berusaha meyakinkan George.     

"Aku punya satu kado untukmu, pejamkan matamu." Ujar Leah dan bocah lucu itu mengikuti apa yang dikatakan bibinya. Dia memejamkan mata dan Leah menariknya hingga George kini berada di atas pangkuannya dan Leah mulai memeluknya, George awalnya terkejut tapi tangan mungilnya membalas pelukan bibinya itu.     

"Kau tahu kan aku tak punya banyak uang untuk membelikanmu hadiah mahal, meski begitu Uncle sudah berusaha memberikan semua hadiah yang mungkin kau inginkan untuk kado ulangtahunmu." Bisik Leah. "Aku hanya bisa memberikan hadiah pelukan ini untukmu sayang." Imbuhnya, dan saat Leah ingin melepaskannya dia merasa George sudah tertidur karena seharian dia melewatkan hari dengan bergerak kesana kemari, berlarian, melompat-lompat di trampolin bersama teman-temannya dan tanpa dia sadarai dia sangat kelelahan. Leah mengusap-usap punggungnya dan membiarkan George tidur nyenyak di dalam pelukannya.     

Leah bangkit dari tempatnya duduk dan membawa George untuk dibaringkan di kamarnya. Sementara itu Leah memilih berbaring di sisi pangeran kecil yang tampan dan menggemaskan itu.     

Sementara Leah sibuk dengan George sang keponakan, Adrianna, Aldric dan Ben duduk di luar sambil meminum bir dalam kemasan kaleng sambil mengobrol.     

"Kau tak berencana mecari ibu surrogate?" Tanya Adrianna.     

"Terlalu rumit secara legalitas." Jawab Ben singkat.     

"Untuk beberapa kondisi tertentu, surrogate diperbolehkan Ben."     

"Ya, tapi aku tidak punya rencana ke sana." Jawab Ben. "Aku bahkan tidak berencana memikili anak jika itu rumit." Jawab Ben.     

Adrianna mengkerutkan alisnya,"Anak membantu orangtua tetap terhubung Ben." Jawab Aldric. "Awalnya aku juga merasa begitu, aku dan Adrianna saja cukup. Tapi setelah lahir George, I fall in love to that little baby in a different way."     

Ben tertunduk. "Aku tidak ingin memaksa Leah." Katanya, "Apapun yang Leah inginkan, akan kuturuti, adobsi atau apapun tapi entahlah, untuk surrogate, aku belum bisa memikirkannya saat ini." Jawab Ben.     

"Pelan-pelan Ben, semua akan tenang pada waktunya."     

Di kejauhan Leah datang menghampiri mereka bertiga.     

"Hi." Sapanya canggung.     

"Hi . . . duduklah." Adrianna menyapanya dengan senang. "Dimana George?" Tanya Adrianna.     

"Sepertinya dia kelelahan, dia tertidur di pelukanku tadi dan aku membawanya ke kamarnya."     

"Thanks Leah." Adrianna tampak begitu berterimakasih untuk apa yang dilakukan Leah.     

"Ya . . ." Leah mengangguk.     

"Em . . . aku akan melihat George sebentar." Adrianna pamit undur diri, dan tak berapa lama Aldric juga menyusulnya dengan alasan akan membereskan kekacauan di dalam rumah. Sedangkan Richard yang sudah terlihat sempat ketiduran di sofa memilih pindah ke dalam kamarnya. Menyisakan Ben dan Leah berdua di halaman belakang rumah Adrianna senja itu.     

Untuk beberapa saat mereka tak saling bicara, tapi karena ini bukan rumah mereka berdua tentu saja tidak nyaman rasanya jika harus menunjukkan kemarahan satu dengan yang lainnya. Walhasil mereka memilih diam.     

"Sorry untuk sikapku tadi." Ujar Ben tiba-tiba.     

"Ya, aku juga minta maaf." Jawab Leah singkat.     

Ben meraih tangan Leah, "Jangan bicarakan atau pikirkan soal anak mulai sekarang jika itu hanya akan membuat kita saling menyakiti."     

Leah berkaca, tapi tidak menjawab, dia hanya mengangguk. Ucapan Charlotte membuatnya mereda, menginginkan anak dengan sangat, dengan berbagai cara justru akan membuat rumah tangganya tidak harmonis.     

Dia juga teringat pada pesan salah seorang yang dia temui bernama Lies, dia tetangga dua rumah dari rumah Adrianna. Wanita itu sudah berusia lebih dari lima puluh tahun dan dia datang bersama cucunya.     

"Dalam rumahtangga itu hanya ada suami dan isteri, dan kehadiran seorang anak adalah pemberian Tuhan karena kemurahannya, bukan hak kita untuk menuntut pemberian itu." Ujarnya dan membuat Leah yang semula berkecut hati menjadi sedikit terbuka pikirannya.     

"Mengapa mendadak anda mengatakannya padaku Mrs. Greek?" Tanya Leah padanya sesaat sebelum wanita itu berpamitan untuk pulang.     

Dia tersenyum, "Dia juga memberikanku kelebihan untuk melihat beberapa hal dari hatiku." Ujarnya.     

"Apakah kau paranormal?" Tanya Leah dan wanita itu tertawa lepas.     

"Bukan." Gelengnya, dia memanggil Liam sang cucu dan meninggalkan rumah Adrianna setelah berpamitan dengan Adrianna dan Aldric. Leah bahkan sempat bertanya pada Adrianna apa dia mengenal baik Mrs. Greek, tapi Adrianna menggeleng, mereka baru saja pindah ke rumah itu tiga bulan lalu, jadi tak begitu akrab meski mereka saling mengenal satu sama lainnya.     

"Seseorang mengatakan padaku tentang satu hal." Jawab Leah terpotong.     

"Apa?" Tanya Ben.     

"Tidak semua orang beruntung memiliki anak dalam rumahtangga mereka." Ujar Leah.     

Ben mengangguk, "Dan beberapa sepakat untuk tidak memiliki anak, mereka memilih memelihara puppy atau menjadi orang tua asuh bersertifikat ketimbang memiliki anak."     

Leah menghela nafas dalam, "Aku mencoba sepakat dengan semua itu, tapi maaf Ben. Aku belum bisa menerimanya begitu saja."     

"Semua butuh waktu sayang, semua butuh proses. Aku juga masih belajar menerima kenyataan ini." Ujar Ben. "Adrianna mengatakan soal surrogasi, tapi aku juga belum yakin untuk itu." Jawab Ben.     

Tapi kalimat itu justru membuat Leah membeku, surogassi? Adrianna menyarankan adiknya untuk melakukan surrogasi?     

"What do you think about that?" Tanya Leah, dia benar-benar ingin tahu pendapat Ben soal itu.     

"I have no idea." Geleng Ben.     

"Surrogasi akan melibatkan wanita lain untuk mengandung anak kita." Ujar Leah, itu gambaran sederhana soal surrogasi meski prosedurnya tentu saja sulit.     

"Jika kau menginginkannya, mungkin aku akan setuju." Jawab Ben, dia tampak tak memiliki tendensi apapun soal surrogasi ini. Sedikit berbeda ceritanya dengan suami Charlotte, jadi mungkin saja hasilnya akan sedikit berbeda dengan suami Charlotte. Keluarga Anthony jelas memiliki pemikiran terbuka dan tidak akan mudah mendukung kehadiran wanita lain dalam kehidupan putera mereka setelah prosedur surogate itu.     

Ben menghela nafas dalam. "Kita harus mempelajari semuanya terlebih dahulu, kemudian kita juga harus tahu legalitas dan prosedurnya. Dan yang paling berat adalah menemukan ibu surrogasinya." Ujar Ben.     

"Ya, aku akan mencoba mempelajarinya." Jawab Leah.     

Pikiran terbuka dan ketenangan saat membicarakan hal yang sensitif sangat diperlukan, karena tidak akan mudah baik bagi Ben ataupun bagi Leah untuk memulai semua prosedur itu.     

***     

Ben dan Leah memilih untuk meninggalkan rumah Adrianna dan pulang ke apartment mereka. Menyisakan Aldric dan Adrianna yang masih terbangun malam itu.     

Aldric melongok ke kamarnya saat Adrianna baru saja selesai merapikan kamarnya."Kau kotor sekali Mrs. Bloom." Goda Adrianna begitu melihat suaminya setelah seharian bertemu dengan banyak orang, membereskan banyak kekacauan dan sekarang berdiri dengan kemeja yang dua kancing paling atasnya sengaja dibuka olehnya.     

" Kau juga Mr. Bloom, mandilah, lalu akan kusiapkan makan malam untukmu, biar kuselesaikan dulu pekerjaanku."     

Aldric melipat tangannya di dada masih berdiri di tempat yang sama. Namun sejurus kemudian Aldric menghampiri Adrianna dan berbisik di telinga isterinya itu. "Kupikir kau merindukanku membersihkan punggungmu." Mata Adrianna kontan membulate mndengar Aldric mengatakan hal demikian.     

"Oh Aldric Bloom, apakah kau masih pria yang sama seperti enam tahun yang lalu?" Selorohnya.     

"Tentu saja." Dia menaikkan alisnya.     

Adrianna menyipitkan matanya pada Aldric. "Kau yakin kita akan membuat kekacauan mala mini?" Tanya Adrianna sembari menatap suaminya itu.     

"Oh . . . bukankah kau merindukan kekacauan itu?" Goda Aldric. "Sebuah kesempatan emas ketika puteramu yang sangat aktif itu tertidur secepat ini. Atau kau akan menyia-nyiakannya begitu saja Mrs. Bloom?" Aldric benar-benar menunjukan keahliannya dalam hal merayu.     

"Kurasa kau memang jadi sangat agresif sejak ada George." Adrianna mencubit ujung hidung suaminya itu.     

"Ini bukan soal agerif, dia hampir tak memberiku kesempatan untuk menikmati kehidupan seksualku bersama ibunya." Geurtu Aldric dan itu membuat Adrianna terkekeh.     

"Begitukah?" Godanya pada sang suami.     

"Baiklah, bisakah anda sedikit bersabar sampai aku menyelesaikan cucian piring ini Sir?" Engah mengapa membuat suaminya itu menunggu lebih lama justru membuat Adrianna terlihat sangat senang.     

"Kau menyiksaku Mrs. Bloom." Ujar Aldric dan Adrianna terkekeh sekali lagi.     

"Aku akan menunggumu di kamar atas." Ujar Aldric sembari meninggalkan Adrianna.     

"Hei mengapa harus kamar atas?" Adrianna menatap Aldric sebelum pria itu benar-benar meninggalkan ruangan.     

"Kau sering berisik, dan aku tidak ingin mengganggu ayahmu." Jawab Aldric. Sekali lagi Adrianna terkekeh dan membiarkan suaminya menunggu di lantai dua sementara dia merapikan kamarnya.     

***     

(Adrianna POV)     

Aku naik ke lantai dua, dan saat aku membuka pintu kamar itu, betapa terkejutnya aku melihat ruangan itu gelap namun tampak beberapa lilin menyala di beberapa tempat.     

"Oh apakah dia berencana membakar gedung ini dengan menyalakan lilin sebanyak ini?" Aku bergumam dalam hati. Saat kakiku menginjak lantai aku juga terlonjak, benda apa ini? kulihat itu hamparan bunga mawar.     

"Aku memutar mataku, Sarah pasti akan marah melihat kekacauan yang kau buat Mr. Bloom." Gumamku dalam hati.     

Bagaimana dia bisa menyiapkan semua ini dalam waktu lima belas menit. Atau dia sudah mempersiapkan kamar ini pagi tadi saat mendadak dia menghilang, sementara aku sibuk menyiapkan dekorasi ulang tahun George di halaman belakang? Wow Mr. Surprise?     

Aku berjalan menuju ranjang, tak kalah dramatis. Sprey putih yang kupasang kini penuh dengan bunga mawar.     

"Kegilaan Mr. Bloom, pria penuh kejutan." Aku berbalik ke arah kamar mandi.     

Saat aku masuk ke kamar mandi, disana juga tak kalah dramatis, beberapa lilin juga dinyalakan di dalam sana. Kulihat dia tengah berdiri di samping bathup, sudah bertelanjang dada, hanya sebuah handuk kecil melilit pinggangnya     

"Kau berencana membuatku ketiduran dikamarmandi karena terlalu lama menunggu Mrs. Bloom?" protesnya.     

"Hanya limabelas menit dan kau sudah bersungut-sungut." Selorohku.     

Namun tampaknya dia tak lagi ingin berbasa-basi. Dia mendekatiku dan langsung menciumiku saat itu juga. Bahkan tanganya dengan terampil melucuti pakaianku hingga gaun berbahan sifon yang ku kenakan itu terjatuh dengan ringan ke lantai kamar mandi.     

"I want to bite your lips."     

"Do that." Anggukku.     

"Right now?" Bisiknya, dan dia kembali mendekatkan bibirnya ke arah bibirku. Bisa kukatakan ini adalah salah satu malam terbaik yang kulewati bersama Aldric setelah kami memiliki George. Dia benar-benar hampir tak pernah memberi kesempatan bagi kami untuk bercinta dengan wajar. Kami lebih sering melakukan Quick Sex di kamar mandi dengan tidak proper. Tapi mala mini sungguh luar biasa.     

"Are you ready?"Bisiknya di telingaku dan aku menjawabnya dengan desahan "Yes please." Seringai lebar itu hadir kembali di wajah ALdric Bloom, dan aku bahagia melihat betapa besar gairahnya malam ini.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.