THE RICHMAN

The Richman -



The Richman -

0Musim berganti, George Bloom kini sudah bisa berlaian ke sana - kemari. Bahkan tak terasa sekarang dia genap berusia lima tahun dan hari ini rumah Adrianna dan Aldric ramai dengan keluarga dan kerabat juga tetangga yang datang dengan anak-anak mereka juga. Di sudut taman Leah berdiri sementara Ben sibuk mengambil foto anak-anak yang sibuk bermain.     

Adrianna yang semula menyapa para tamu bersama dengan Aldric suaminya, memilih untuk mendekati Leah. "Hai, . . ." sapa Adrianna pada adik iparnya itu.     

"Hai." Senyum Leah membalas sapaan sang kakak ipar.     

"Mengapa sendiri di sini, ayo bergabung bersama teman-temanku." Adrianna mengajak Leah bergabung karena sejak tadi dia tampak menyendiri. Bukan tanpa sebab, tapi sebelum berangkat ke rumah Adrianna dan Aldric, Ben dan Leah sempat berselisih pendapat soal anak.     

"Come join us." Adrianna menarik dengan lembut tangan Leah dan wanita muda itu ikut bergabung dengan teman-teman Adrianna.     

"Hai, ini adik iparku Leah Wisley." Adrianna memperkenalkan adik iparnya itu pada teman-temannya.     

"Hai . . . Leah." Seorang wanita berambut blonde yang di gunting tepat dibawah telinga dengan model bob menyapanya. "Aku Margareth." Dia memperkenalkan diri dan disambut baik oleh Leah, begitu juga dengan beberapa teman Adrianna yang lain. Charlotte, Megan, dan Curtny. Awalnya mereka tampak sangat ramah pada Leah dan suasana menjadi sangat cair, mereka membahas tentang banyak hal tentang suami masing-masing, sampai Margareth bertanya pada Leah.     

"Berapa usia anakmu?" Tanyanya dan itu membuat Leah langsung terdiam seribu bahasa, Adrianna mengambil alih untuk meluruskan situasi yang ada.     

"Mereka masih sangat muda, jadi memiliki anak belum menjadi prioritasnya." Bela Adrianna.     

"Oh ya, benar juga. Lihatlah aku dengan anak empat dan suami yang sangat sibuk. Aku merasa duniaku begitu melelahkan." Curtny menimpali. "Kau harus menikmati waktumu bersama suamimu sayang." Churtny mengusap lengan Leah yang kebetulan berada dekat dengannya dan Leah tersenyum.     

"Ya." Angguknya.     

Tapi setelah itu Leah sudah tak seceria tadi saat pertama kali bergabung dengan teman-teman Adrianna. "Aku permisi sebentar." Leah menarik diri dan Adrianna mengikuti kemana langkah adik iparnya itu pergi. Tampaknya dia masuk kedalam rumah. Mata Aldric bertemu dengan mata Adrianna dan mereka saling memberi kode untuk memberi waktu pada Leah untuk sendiri.     

Kenyataan yang baru saja diterimanya cukup pahit dan mengguncangnya. Dua tahun setelah pernikahan mereka, Leah dan Ben masih sangat santai soal rencana memiliki anak. Mereka lebih senang datang ke rumah Adrianna untuk bermain bersama Aldric dan menghabiskan waktu bersama dengan Richard, George, dan keluarg lainnya. Mereka bahkan sering menghabiskan waktu untuk makan bersama.     

Sampai saat Leah dan Ben sepakat untuk memiliki anak di tahun ke empat pernikahan mereka. Namun hingga di tahun kelima mereka tak juga dikaruniai anak. Leah dan Ben berinisiatif untuk memeriksakan kondisi mereka ke spesialis kandungan dan hasilnya sungguh mengejutkan. Ben sehat dengan semua potensinya karena dia sangat subur dan sperma yang dia miliki cukup sehat dan siap untuk membuahi.     

Dokter mengatakan bahwa Leah mengalami kelainan bawaan dimana kondisi rahimnya tidak memungkinkan untuk tempat tumuh janin. Hal itu juga sudah dibuktikan karena beberapa kali Leah mengalami keguguran di usia kehamilan yang masih sangat awal. Di bulan pertama kehamilan Leah mengalami pendarahan bahkan sebelum sempat mengetahui apakah dia hamil atau tidak dengan berkonsultasi pada dokter spesialis, namun melalui alat test cepat yang bisa dilakukan secara mandiri hasilnya sudah menunjukan bahwa dia positif mengalami kehamilan, namun dua minggu atau tiga minggu berikutnya Leah mengalami menstruasi yang hebat.     

Dokter spesialis tempat Adrianna berkonsultasi selama kehamilan George yang juga bermasalah, Dokter Nichole Craig mengatakan bahwa menstruasi hebat yang dialami oleh Leah, disebut Abortus Imminens.     

Ben menyampaikan kabar buruk itu pada Adrianna, Aldric dan Richard tanpa kehadiran Leah dua hari yang lalu. Ben mengatakan Leah masih sangat terpukul dengan berita itu dan memilih untu mengurung diri di kamar selama dua hari.     

Bahkan hari ini Leah terpaksa keluar kamar untuk menghormati undangan dari kakaknya mengingat George adalah keponakan kesayangannya. Meskipun Leah tahu dia akan bertemu dengan banyak anak-anak yang akan membuatnya semakin sedih.     

***     

Leah menepi ke dapur, dia mengambil segelas air mineral dan duduk di dapur dalam kesendiriannya. Pertengkarannya dengan Ben pagi tadi kerkenang lagi di benaknya.     

"Hari ini kita akan pergi ke rumah George. Aku sudah menyiapkan hadiahnya." Ujar Ben, sementara Leah masih meringkuk di balik selimut, enggan beranjak kemanapun.     

"Pergilah sendiri." Ujarnya lirih.     

Ben berolak pinggang mendengar jawaban itu dari mulut isterinya. "George itu keponakanku, dia anak dari kakaku dan ini haru spesial baginya. Tidak bisakah kau menurunkan egomu sedikit saja lalu pergi bersamaku!" Nada Ben meninggi, dia tak lagi bisa mengendalikan emosinya karena dua hari terakhir Leah benar-benar seperti mayat hidup.     

Leah menoleh menatap suaminya, "Kau bilang ini Ego?" Matanya nanar menatap sang suami. "Apa salah jika aku ingin memiliki anak dari rahimku sendiri? Apakah keinginanku itu egois?" Suara Leah bergetar.     

"Jika kita tidak memiliki anak, tidak masalah bagiku. Kita bisa mengadopsi, atau memelihara puppy, atau apa yang bisa membuatmu merasa lebih baik." Ben berargumen, dia tampak menggebu dan Leah menggeleng tak percaya. Ekspresinya berubah, dia enggan menatap suaminya.     

"Jadi bagimu tak penting kehadiran seorang anak, sejak awal kau memang tak menginginkannya." Leah kembali berbaring dan air matanya mulai berderai.     

"Aku menginginkan anak, tapi jika kau tidak bisa memberikannya aku bisa apa!" Bentak Ben dengan kesal, memang sedikit berbeda dengan Richard Anthony sang ayah, Ben lebih tempramen dibandingkan dengan ayahnya. Ben keluar dari kamarnya dan meninggalkan Leah yang menangis tersedu.     

Dalam benaknya dia berpikir untuk apa dia dilahirkan di dunia ini sebagai seorang perempuan jika dia bahkan tak bisa melahirkan anak padahal dia sangat menginginkannya. Berbeda dengan beberapa wanita lainnya yang menolak memiliki anak karena tak ingin repot, tapi Leah benar-benar ingin memiliki setidaknya satu anak untuk dirawat dan dibesarkannya. Menebus semua luka masa kecilnya karena kurang kasih sayang dari ibunya.     

Saat menikahi Ben, Leah bahkan merasa bahwa hidupnya sudah sempurna. Dia bahkan merasa menjadi cinderela dalam dunia nyata. Wanita biasa yang dinikahi oleh pangeran tamanpan nan kayaraya. Sudah hampir pasti bahwa dia tidaka akan kekurangan satu apapun selama sisa hidupnya, begitu juga dengan keturunannya. Tapi siapa yang menyangka jika untuk berketurunan saja Leah tak mampu.     

Air matanya mendadak menetes, tapi cepat-cepat dia hapus karena terdengar langkah seseorang masuk kedalam dapur Adrianna.     

"Hei . . ." Charlotte, wanita berambut coklat sebahu itu menghampirinya.     

"Hai." Leah berusaha berbasa-basi dan terlihat netral saja.     

"Aku pernah mengalami hal yang sama denganmu." Ujarnya dan itu membuat Leah menautkan alisnya menatap wanita yang kini berada di dekatnya.     

"Suamiku Sam adalah pria dengan kemeja kotak." Charlotte menunjuk pada pria berkemeja kotak yang masih tampak muda, mungkin hanya dua atau tiga tahun lebih tua dari Aldric kakak iparnya.     

"Dia sangat menginginkan anak karena dia adalah anak satu-satunya di keluarganya dan orang tuanya ingin memiliki cuc." Terang Charlotte.     

"Oh, . . ." Leah tampak bersimpati karena cerita yang dituturkan Charlotte menarik hatinya, bukan menghakimi, Charlotte hanya berbagi tentang kisahnya dan Leah suka dengan pendekatan semacam itu.     

"Seperti kau juga, aku bukan siapa-siapa saat menikah dengan salah satu pria yang ternyata orangtuanya cukup kaya." Jujur Charlotte sembari menoleh ke arah Leah, membuat wanita muda itu tersenyum ironis.     

"Kami berkonsultasi kesana kemari dan tidak ada dokter yang bisa menolongku karena aku lahir tanpa rahim." Ujar Charlotte.     

"Apa?" Alis Leah bertaut.     

"Aku punya rahim, tapi tak bisa ku gunakan untuk mengandung anakku sendiri. Jadi aku menganggap diriku tak memiliki rahim, itu rasanya lebih masuk akalku." Ujarnya.     

"Lalu apa yang terjadi?" Tanya Leah.     

"Kau lihat gadis kecil yang sedang bermain di sana, dia memakai gaun kuning." Ujar Charlotte.     

"Ya." Angguk Leah.     

"I call her a little little enemy." Charlotte tersenyum menatap gadis itu.     

"Why?" Alis Adrianna bertaut.     

"Dia lahir dari ibu surrogate yang kini berusaha mati-matian menjadikannya alat untuk merebut suamiku dariku." Ujar Charlotte.     

Mata Leah membulat, "Jika ada opsi ibu surrogate, meski itu legal dalam beberapa kasus, lebih baik tidak pernah memilih opsi itu." Ujar Charlotte.     

"Aku turut prihatin."     

"Akupun menyesal, karena setelah memiliki anak, aku juga tak pernah bahagia seperti yang kupikir aku akan mendapatkannya." Charlotte tersenyum getir. "Tapi suamiku sangat menyayanginya, Amy namanya. Dia merebut perhatian seluruh keluarga dari suamiku dan juga perhatian suamiku. Like I'm living hell you know?" Seloroh Charlotte.     

"Jika Ben tak keberatan dengan rumahtangga tanpa anak, mengapa kau berusaha menghadirkan sesuatu yang justru akan menjadi bumerang bagimu?" Wanita itu menepuk pundak Leah dan tersenyum padanya saat Leah menoleh ke arahnya.     

"Kau memiliki semua yang kau butuhkan." Charlotte mengambil air mineral kemudian keluar dari ruangan itu. Seolah barus saja mendapatkan tamparan keras karena Leah sempat berpikir soal rencana mencari bu surrogate bagi bayinya dan bayi Ben. Tapi cerita Charlotte menjadi pertimbangan tersendiri bagi Leah. Mungkin dia tidak akan pernah mengambil opsi memilih ibu suroggate untuk mengandung bayi mereka. Lagipula Richard Anthony bukan orang tua yang memaksa anak-anaknya, begitu pula dengan Adrianna, dia juga bukan saudara ipar yang menuntut.     

"Untuk apa memaksakan sesuatu yang bisa menjadi bumerang bagi dirimu sendiri Leah?" Suara itu bergema di dalam hati Leah, membuat Leah seolah menemukan kekuatan untuk kembali menemui kerumunan dan menikmati pesta ulangtahun George seperti setiap orang di luar sana.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.