THE RICHMAN

The Richman - Leah Point Of View



The Richman - Leah Point Of View

0Aku tidak percaya, Ben melakukan semua yang dikatakannya. Dia mepercepat pernikahan kami. Sekembalinya ke New York, tampaknya dia langsung berbicara dengan orang tuanya dan saudarinya tentang rencana pernikahannya dan tanpa a lot mereka menerimaku, Mr. Richard Anthony menghubungi ayahku dan membicarakan soal persetujuannya.     

Aku dan ayahku terbang ke New York kemarin siang, kami bermalam di salah satu apartment milik Ben dan hari ini adalah hari pernikahan kami. Ben dan aku membicarakan soal berbagai teknis terutama venue melalui telepon dan aku tidak banyak menuntut. Karena sejatinya Ben telah mempersiapkan semuanya dengan baik sekali.     

Pagi ini Ben meminta supirnya mengantarku dan ayah untuk pergi ke sebuah butik mewah, di butik itu aku akan mendapatkan gaun pernikahanku, dan ayahku akan mendapatkan tuxedonya. Selain gaun pernikahan, tampaknya butik itu juga menyediakan jasa rias pengantin dan juga hair do yang elegan. Tiga jam aku berada di sana dan semuanya terjadi seperti sihir, aku hankan tak mengenali dirku sendiri. Sementara aku dan ayah masih bersiap di tempat ini, Ben dan keluarganya sudah menunggu kami di sebuah gereja tak jauh dari tempat kami berada.     

Sekembali Ben ke New York kami belum sempat bertemu, komunikasi kami praktis dilakukan melalui telepon atau pesan singkat. Dan selama aku berada di apartment Ben, ada seorang pengurus rumah yang melayani kami, juga seorang supir yang siap mengantar jemput kami kemanapun kami akan pergi.     

Namun sayang sekali di moment bahagia ini, ibuku tidak bisa hadir, dia sedang dalam perjalanan menikmati liburan ke Mexico dan tidak bisa membatalkan perjalanannya karena rencana pernikahanku yang begitu mendadak katanya. Aku memang tak pernah berharap banyak dari wanita itu.     

Perjalanan dari salon tempatku berada saat ini sampai ke sebuah gereja tak memakan waktu lama, kurang lebih sekitar duapuluh menit dan kami sudah tiba di lokasi. Aku berdiri di ambang pintu gereja, tidak banyak yang datang, tapi dari kejauhan aku bahkan belum melihat mempelai laki-laki namun jantungku sudah berdegup kencang seolah hampir lepas dari kerongkongannya.     

Aku menebar pandangan, melihat dekorasi balon berwarna putih di halaman gereja saat mobil yang kutumpangi berhenti di halaman gereja. Aku dan Ayah turun untuk berjalan menuju pintu utama dibantu oleh Mala. Kami berpelukan singkat tadi dan aku bahkan dibuat hampir menangis tadi.     

"Jangan menangis sekarang, make up mu akan luntur." Goda Mala sebelum membantu merapikan gaunku di bagian belakangnya yang panjang.     

Aku menebar pandangan sekali lagi dan anehnya, aku tidak melihat Ben di semua tempat. Kemana dia? Apakah dia akan datang ke pernikahan kami? Atau . . .? Jantungku berdetak kencang dan kini aku merasa kemben yang kukenakan ini terlalu ketat hingga membuatku sulit bernafas.     

"Apa kau baik-baik saja sayang?" Tanya ayahku.     

"Yes." Anggukku berbohong padanya.     

Tiba-tiba terdengar alunan musik dari sebuah piano didalam gereja melantunkan irama Canon in D.     

"Are you ready?" Tanya ayahku membuyarkan lamunanku.     

"Hah?" Aku menoleh padanya.     

"Jangan gugup sayang, berbahagialah." Ayahku mengusap tanganku yang melilit ketat di tangannya.     

"Ok." Aku menarik nafas dalam dan kami mulai melangkah. Melewati lorong yang di kanan kirinya penuh dengan dekorasi bunga mawar hingga ke ujung lorong yang mengarahkan kami ke altar.     

Aku menoleh pada ayahku dan hampir menangis, bagiku ini kali pertama aku melihat ayahku begitu tampan dalam balutan tuxedo. Dia masih begitu gagah meski rambutnya sudah memutih sempurna.     

"You're so beautiful my dear." Ayahku menatapku, dia tampak berkaca-kaca, saat kami tiba di depan altar.     

"Thank you Dad." Aku mengecup pipinya sekilas. Kami berdiri menunggu mempelai pria hingga musik selesai mengalun. Dan setelah musik yang dimainkan dengan begitu indah itu berakhir, aku melihat Ben berdiri dari balik piano dan berjalan ke arah kami. Saat itulah aku benar-benar menitikkan air mata untuk pertama kalinya selama prosesi. Ayahku menepuk tanganku lembut memerikan dorongan moril agar aku lebih percaya diri.     

"Sir." Ben menyapa ayahku dan ayahku menyerahkan tanganku pada Ben. Kemudian memelukku sekilas dan berbalik untuk duduk di bangku yang sudah di sediakan untuknya. Ben tersenyum padaku dan mengeluarkan sapu tangannya untuk menyeka airmata di sudut-sudut mataku.     

"Jangan menangis atau maskaramu akan berantakan." Godanya dan itu membuatku tersenyum.     

Pendeta berdiri diantara kami dan memulai membuka prosesi pernikahan kami hingga akhirnya tiba pada saat kami harus mengucapkan janji suci kami berdua.     

"Aku Ben Anthony memilihmu Leah Wisley untuk menjadi isteriku. Aku berjanji untuk mencintaimu dalam suka dan duka, dalam untung dan malang dalam sehat maupun sakit. Itu janjiku." Dengan mantab Ben mengatakan janjinya itu, tatapannya terkunci padaku. Sementara mataku mulai tak jernih lagi memandang karena air mataku mulai menggenang.     

"Aku Leah Wisley menerimamu sebagai suamiku, dan akan mencintaimu seumur hidupku. Itu janjiku."Aku benar-benar bersusah payah mengatakannya karena aku mulai tak bisa mengendalikan air mataku lagi. Ben mengenggam tanganku dengan erat untuk membuatku bisa menyelesaikan janjiku.     

"Your kiss." Ucap pendeta dan Ben langsung meraih wajahku untuk menciumku tepat setelah kami saling memasangkan cincin.     

Kami beralih menatap ke arha keluarga dan semuanya tampak menangis haru. Kami berciuman sekali lagi sebelum akhrinya acara ini berakhir dengan sebuah makan malam keluarga di restoran mewah di kota ini. Tidak banyak yang diundang, hanya keluarga inti, Mr. dan Mrs. Richard Anthony, Mr. Aldric Bloom, dan Mrs. Adrianna Bloom, juga beberapa orang yang bekerja di keluarga itu yang sudah dianggap sebagai keluarga, dan tentu saja ayahku.     

Mrs. Richard Anthony, ibu mertuaku yang sampai sekarang masih kuanggap sebagai majikanku, meskipun keluarga ini dalah salah satu keajaiban di dunia kurasa. Mereka tidak mempedulikan strata sosial atau kekayaan mereka, dengan mudah dan hangatnya menerimaku.     

***     

Pesta kami berakir, aku dan ayah kembali ke apartment milik Ben bersama dengan Ben sementara keluarga lain kembali ke rumah besar.     

"Akhirnya kau menjadi milikku." Ben berbisik saat mobil membawa kami kembali ke apartment, sementara ayahku duduk di bangku depan bersama dengan supir.     

"Apa kau bahagia?"Aku menatapnya.     

"Sangat." Ben menoleh padaku.     

"Kau cantik sekali hari ini." Pujinya.     

"Kau juga sangat tampan." Aku merona. Aku bahkan merasa bahwa semua ini mimpi yang menjadi kenyataan. Ben datang dalam hidupku seperti seorang pangeran berkuda putih dengan segala yang dimilikinya dan aku, meski dengan semua kekuranganku dibandingkan semua wanita yang mungkin pernah singgah di hatinya, tapi toh pada akhirnya dia memilihku menjadi miliknya. Entah harus bagaimana aku mensyukuri semua ini. Tanpa aku sadari air mataku menetes.     

"Jangan menangis, ini adalah hari bahagia kita."     

"Thank you." Bisikku saat tangan lembutnya menyeka air mataku.     

"Aku yang harus berterimakasih pada semesta karena telah menghadirkanmu didunia ini dan mengijinkan aku menemukanmu, menjadikanmu milikku seutuhnya."     

"Ben!" mataku terus berkaca.     

"Leah. . . ." Ben meraih wajahku dan mengecup bibirku dengan lembut. Untung saja kami menaiki limousine, jadi supir cukup jauh dari tempat kami duduk, dan kurasa dia tidak melihat apa yang kami lakukan dibelakangnya, termasuk ayahku. Dia memilih untuk tidur sepanjang perjalanan kami sementara aku bermesraan dengan Ben, suamiku.     

"Aku tidak sabar menunggu malam tiba." Kata Ben kemudian, dan itu membuatku memulatkan mata ke arahnya "Ben . . ." Desisku.     

"Kenapa kau harus malu membahasnya, sekarang kita sudah suami isteri."     

"Bagaimana jika supirmu atau ayahku mendengar percakapan kita." Protesku.     

"Dia juga sering melakukan hal itu dengan isterinya, ini bukan berita baru baginya." Jawab Ben dengan santainya.     

***     

Setelah menempuh perjalanan tigapuluh menit, kami tiba di apartment. Ayahku tampak sudah sangat mengantuk dan lelah hingga dia langusng masuk ke kamar dan tidur kurasa.     

"Dad, kau ingin kubuatkan sesuatu?" Tanyaku.     

"Tidak, aku sudah sangat lelah." Jawabnya sembari berjalan menuju kamar.     

"Dad, aku serius." Aku mengikuti langkahnya dan dia berbalik ke arahku.     

"Buatkan aku cucu, itu yang harus kalian lakukan." Ayahku menatapu dan melempar pandangan pada Ben yang berdiri di belakangku. Aku menggeleng tak percaya, bahkan aku menoleh ke arah Ben dan Ben mengangkat bahu. "Kurasa ayahmu benar, yang harus kita lakukan sekarang adalah membuatkan dia cucu." Ben menyeringai lebar dan aku bergidik ketakutan. Aku segera berbalik dan cepat-cepat masuk kamar. Meski itu kamar Ben tapi itulah satu-satunya kamar yang tersisa untuk kami, toh kami sudah suami isteri meski ini akan jadi kali pertama seorang pria menyentuhku.     

Aku sedang bersusah payah membuka gaunku ketika tiba-tiba Ben masuk ke kamar dengan cepat hingga membuatku terjingkat.     

"Ini kamarku, dan akan jadi kamar kita. Jadi kendalikan responmu saat melihatku masuk ke kamar ini." Senyum lebar mengembang di ujung kalimatnya.     

"Kenapa kau menatapku seperti itu?" Aku celingukan memperhatikan diriku sendiri.     

"Gaun itu tampak sangat menyiksamu sayang." Katanya sambil berjalan mendekatiku dan langsung mengambil posisi di belakangku. Dengan kedua tangannya dia menyentakan tali menikat longtorso yang membelit pinggangku sejak tadi dan aku bisa bernafas lega sekarang. Tapi saat Ben menarik tali keluar dari lubangnya satu persatu, mendadak bulu romaku merinding.     

"Em . . . aku bisa melepaskannya sendiri." Protesku.     

"Biarkan aku membantumu." Bisiknya di telingaku.     

"Ben . . ." Entah mengapa sekujur tubuhku kini meremang.     

"Kurasa sebaiknya kita mandi sekarang." Bisik Ben setelah seluruh gaun itu terlepas dari tubuhku. Aku menutupi dadaku dengan kedua tanganku dan Ben memutar posisinya menghadapku. Dia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki, oh tidak, tatapannya benar-benar menelanjangiku yang memang tengah telanjang.     

"Ben jangan menatapku seperti itu."     

"Kau terlihat seperti dewi yunani."     

"Kau pernah melihat dewi yunani?"     

"Dalam beberapa lukisan dan patung." Jawabnya singkat sambil mengulurkan tangannya dan aku tidak punya pilihan selain menyerahkan seluruh diriku padanya, bagaimanapun juga dia adalah suamiku dan dia tidak akan menyakitiku meski caranya menatapku benar-benar membuat jantungku seperti melompat-lompat di dalam kerongkongan.     

Ben menuntunku ke arah bathup dan menyalakan keran airnya, mengisinya dengan air dan menuangkan sabun hingga seluruh permukaannya tertutup oleh buih, setelah itu Ben masuk kedalam dan duduk. Tentu saja setelah dia melucuti semua pakaiannya. Setelah dia berada di dalam, dia mengulurkan tangannya padaku dan aku masuk. Kami duduk berhadapan, itu posisi yang kupilih, membuat Ben cukup jauh untuk menjangkauku, tapi dia bukan pria bodoh. Dia memintaku memutar hingga aku duduk tepat di atas pangkuannya, dia bisa menyentuh setiap jengkal kulitku dengan telunjuknya dan ternyata sebuah telunjuk milik Benoper bisa memberikan kenikmatan yang tidak pernah bisa kubayangkan. Apalagi kedua tangannya yang terampil itu.     

Aku terus meliuk-liuk di hadapannya saat dia mengeksplorasi seluruh tubuhku dengan tangan dan bibirnya.     

"Kau menyukainya?" Bisik Ben dan aku mengangguk.     

"Mengawali semuanya di dalam air akan membantu mengurangi rasa sakit yang mungkin kau rasakan jika kita melakukannya di ranjang."     

"Apa?" Aku terkesiap, Ben meminta lebih. Oh mengapa aku harus kaget, dia toh suamiku dan itu haknya.     

"Bisakah kita coba sekarang?" Tanyanya tidak sabar.     

"Ok." Angguku kikuk.     

"Air hangat akan membantu otot-ototmu relaks, jadi ini tidak akan sakit." Ben mengangkat pinggangku dan memintaku memegang miliknya, untuk membantu memasukan dirinya dalam diriku.     

"Ah . . ." Aku terkejut untuk apa yang kulakukan dengan tanganku sendiri.     

"Is that ok?" Tanyanya dan aku mengangguk meski rasanya sangat campur aduk, aku tidak bisa mengatakan dengan rinci bagaimana perasaanku saat ini. Gugup, geli, sedikit merasa aneh, nikmat dan . . . harus ku akui, aku menginginkan lebih.     

"Sekarang bergeraklah." Bisik Ben.     

"Bergerak?" Tanyaku bingung.     

"Bergeraklah seperti ini." Katanya sambil membantu menggerakkan pinggangku maju dan mundur dengan kedua tangannya.     

Meski sedikit ragu, aku mulai bergerak, dan entah mengapa seluruh diriku seolah memacu gerakanku semakin bergairah, semakin liar, apalagi saat Ben menyesap ujung payudaraku dengan bibirnya dan memainkan satu lagi dengan tangannya. Aku menggeliat seperti seorang cowboy wanita diatas kuda. Aku terus mengerang tak terkendali, eranganku berbanding lurus dengan kenikmatan yang kurasakan. Hingga pada akhirnya aku menemukan diriku seperti terlempar keluar angkasa, tidak lagi bisa berpikir soal apapun, selain mendengar lenguhan Ben yang pendek-pendek dan intens.     

Hingga kami saling berpelukan dalam keadaan seolah kehabisan tenaga.     

"Kau luar biasa nona muda." Bisiknya.     

"Aku nyonya sekarang." Aku mengkoreksi.     

"Kita akan membersihkan diri di shower dan pergi tidur." Ben memintaku berdiri dan aku merasakan sesuatu yang hangat tapi tak sekeras saat tanganku menyentuhnya keluar dari dalam diriku. Kami berjalan ke arah shower dan membersihkan diri sebelum pergi tidur. Malam ini aku benar-benar merasakan kebahagiaan yang tidak bisa kugambarkan dengan baik. Tapi aku sungguh bahagia.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.