THE RICHMAN

The Richman - The Night



The Richman - The Night

0Setelah kunjungan Christabell, hati Adrianna menghangat. Wanita tua memberikan perspektif yang baru pada Adrianna hingga membuatnya merasa lebih tegar.     

"Aku tahu kau baru saja mengalami hari yang buruk." Ujar Christabell, dia dibaringkan di ranjang di kamar tamu agar tidak terlalu lelah karena terlalu lama duduk di kursi roda. Sementara Adrianna duduk di sigle sofa dekat dengan ranjang tempat ibunya di baringkan. Tidak ada Aldric ataupun Richard karena kedua pria itu memilih untuk berada di luar kamar dan memberikan ruang bagi ibu dan anak untuk saling bicara.     

"Yah." Angguk Adrianna, matanya masih begitu sembab setelah menangis berjam-jam.     

"Kau tahu sayang, aku tidak ingin membandingkan kehilangan yang kita alami." Ucap Christabell lemah. "Semua kehilngan selalu tidak nyaman rasanya, dan itu sangat menyakitkan sebenarnya." Bibir Christabell menyunggingkan senyum dan membentuk kerutan di sudut-sudut bibirnya.     

"Aku kehilangan semua yang kumiliki di dunia ini, tidak ada yang tersisa." Imbuhnya lirih, matanya tampak berkaca saat mengatakan semua itu. "Manusia hidup karena ingatan mereka, kenangan yang mereka simpan, orang-orang yang mereka kenal, tempat-tempat yang pernah mereka datangai, orang-orang yang pernah mereka temui dan orang-orang yang begitu mereka cintai." Ujar Chrisatbell, dia sempat menarik nafas dalam. "Aku kehilangan semua itu, hingga aku bahkan tak mengenali keluargaku, moment apa yang pernah kulewatkan bersama mereka dan sekarang aku bahkan kehilangan kekuatan fisikku." Ujarnya.     

Adrianna kembali berkaca saat mendengar ibunya mengatakan semua itu, "Jangan menangis sayang, ada kalanya melupakan akan membuat kita bisa menjalani hidup lebih mudah." Christabell tersenyum. "Aku bahkan menjalani hidupku seolah tidak ada penyakit yang sedang membunuhku perlahan-lahan karena aku tahu kalian mencintaiku meski saat aku bangun besok pagi aku akan lupa semua hal yang terjadi hari ini." Tangan Christabell gemetar berusaha menjangkau wajah puterinya dan Adrianna segera meraihnya dan menyentuhkan tangan kerput ibunya itu di wajahnya.     

"Mom . . . i love you." Bisik Adrianna, dia menciumi tangan ibunya itu berulang-ulang. "I'm sorry . . ." Ucapnya sekali lagi dengan mata berkaca, dengan susah payah Adrianna menahan air matanya agar tidak jatuh lagi di hadapan ibunya itu.     

"Ayahmu mengatakan padaku bahwa aku pernah memitamu memiliki bayi agar aku bisa melihatnya sebelum aku mati." Ujar Christabell lagi. "Dan jika itu tidak terjadi bukan berarti aku akan kecewa sayang, bagiku kau tetap bayiku. Aku memilikimu, lebih dari cukup. Jangan sedih lagi nak." Ucap Christabell.     

Dan pertemuannya dengan sang ibu meski tak lebih dari satu jam itu benar-benar mampu memberinya kekuatan untuk bisa bertahan ditengah remuk redamnya perasaannya saat ini mengenang bayinya itu.     

***     

Adrianna berdiri di ambang pintu kamarnya, malam ini dia membulatkan tekad untuk kembali tidur di kamarnya setelah sempat memilih untuk menyendiri di kamar tamu sementara Aldric tetap tidur di kamarnya.     

Adrianna membuka pintu kamar dan melihat Aldric duduk di sofa dengan gelas minuman di tangan dan botol minuman yang sudah diminum setengah oleh suaminya itu.     

"Mengapa kau minum?" Tanya Adrianna dingin, Aldric tampak tak menanggapi. Dia justru menuang kembali minuman dari dalam botol dan menenggaknya dalam sekali tenggak. Adrianna merebut gelas itu tapi Aldric mempertahankannya.     

"Berhenti minum." Adrianna masih berusaha meraih gelas itu tapi Aldric mencoba mempertahankannya hingga akhirnya gelas itu tergelincir dari tangan Aldric dan jatuh ke lantai, pecah berhamburan.     

"Kau pikir ini cara terbaik untuk melupakan masalahmu?!" Bentak Adrianna.     

"Ya!" Aldric menjawab dengan nada keras juga. "Aku kehilangan anaku, dan kau bertingkah seolah kau sendiri yang merasakan rasa sakit itu, aku juga merasakannya!" Bentak Aldric.     

"Kau menyalahkanku seolah aku yang membunuhnya!" Adrianna berbicara dengan suara bergetar, dia bahkan mulai menangis, dan Aldric meremas rambut hingga wajahnya.     

"Andaikan kau menurutiku semua tidak akan terjadi!"     

"Jadi ini salahku?!" Teriak Adrianna, dia menatap suaminya dengan air mata yang berjatuhan. "Kau menyalahkanku atas kehilangan besar yang kurasakan?!" Adrianna jatuh terududuk memeluk lututnya, dia menangis sejadinya di lantai.     

"Ini salahku . . . aku membunuh bayiku . . ." Kalimat itu berulang-ulang diucapkan oleh Adrianna di sela tangisnya. Aldric yang semula berdiri dan tak tahu apa yang harus di lakukan akhrinya mendekati isterinya itu dan memeluknya.     

"Ini bukan salahmu . . . Maafkan aku." Adric menggulung isterinya itu dalam pelukan dan untuk kali ini mereka menangis bersama. Setelah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun Aldric tidak pernah memiliki alasan yang cukup kuat untuk meneteskan air mata, malam ini Aldric benar-benar hancur hingga airmatanya berjatuhan memeluk isterinya.     

Terkadang dalam hubungan rumahtangga, beberapa pasangan lebih memilih untuk menyimpan kemarahan, ketidaksukaan dan juga selisih pendapat dalam hati hingga suatu saat dia lupa dan masalah itu dibiarkan menghilang tanpa penyelesaian. Namun di kemudian hari, permasalahan serupa atau yang lebih besar terjadi lagi dan lagi karena tidak pernah ada komunikasi terbuka hingga si pemuat masalah tak pernah merasa bahwa dirinya menyebabkan masalah dengan perlakuaknnya itu. Dan begitu seterusnya hingga akhirnya ada pihak yang jengah dengan permasalahan yang sama dan memilih untuk berpisah.     

Namun beberapa pasangan yang justru langgeng bukanlah pasangan yang hidup tanpa konflik. Akan tetapi pasangan yang hubungan rumahtangganya awet justru yang sering menemukan konflik namun bisa terbuka membicarakannya, terkadang memang terjadi pertengkaran, kecil, sedang maupun besar, tapi pertengkaran itu buakan bertujuan untuk meninggalkan satu sama lain atau mencari pelarian di tempat lain. Mereka bertengkar dalam upaya mereka untuk menemukan jalan tengah, dan jalan keluar dari setiap permasalahan pelik yang mereka alami.     

Dan itu tampaknya yang dipilih oleh Adrianna dan Aldric. Mereka sempat saling menjauh untuk menjernihkan pikiran, dan setelah pikiran mereka cukup jernih, Adrianna membuka diri untuk bisa kembali ke kamarnya dan menata kembali hati dan perasaannya untuk menjalani hubungan rumahtangganya bersama suaminya Aldric. Namun ternyata tak semudah itu, mereka juga harus bertengkar hebat, terdengar seperti saling menyerang namun sejujurnya mereka hanya mengungkapkan apa yang tersimpan di hati masing-masing.     

Kedua belah pihak menjadi lega dan mereka mengingat hal terpenting dari semua yang terjadi adalah mereka pasangan dan saling mencinati dan apapun yang terjadi, mereka akan tetap seperti itu. Itu tercermin dari apa yang dilakukan Aldric, dia menghampiri isterinya dan memeluknya. Sebuah upaya untuk berekonsiliasi. Meskipun sudah remuk hatinya namun Adrianna memilih untuk berusaha memberi ruang untuk kehadiran suaminya, tak hanya sebagai sumber luka namun sekaligus pengobat luka batinnya. Seperti itulah suami isteri seharusnya. Bukan pergi untuk mencari yang lain, tapi bertahan untuk menemukan jalan yang lain, jalan yang bisa membuat mereka tetap bersama.     

***     

Kini Adrianna meringkuk dalam pelukan Aldric, meski dalam diam namun masing-masing dari mereka tampaknya mulai berusaha menata diri agar tidak menyalahkan siapapun atas kehilangan besar yang baru saja dialami oleh keluarga kecil mereka.     

"Maafkan aku . . ." Bisik Aldric. Pengaruh Alkohol membuat Aldric kehilangan kendali dirinya hingga apa yang seharusnya hanya dia simpan dalam hati untuk dirinya sendiri termasuk kesedihannya dan kehancuran hatinya pasca kehilangan calon bayi akhirnya meluap dan semburannya mengenai Adrianna. Tuduhan keji itu memang sudah menghancurkan hati Adrianna hingga berkeping-keping namun pada akhirnya setelah pertengkaran hebat dimana tak ada satupun diantara mereka yang menyimpan kepahitan itu sendiri, terjadilah rekonsiliasi yang membuat mereka bisa terbuka satu sama lain dan akhinrya saling memaafkan.     

"Itu kecelakaan, jika aku bisa memutar waktu aku tidak akan pergi ke tempat itu kemarin." Bisik Adrianna lirih.     

"Aku minta maaf sayang." Aldric mengecup pundak Adrianna.     

"Aku tidak ingin menempati rumah itu." Bisik Adrianna lirih, "Sampai kapanpun aku tidak akan bisa melupakan kejadian kemarin." Ungkapnya berat.     

"Aku akan menjualnya, kita tidak akan pindah untuk sementara waktu." Jawab Aldric. Dia tahu dan sadar betul bahwa trauma yang lebih besar tentu saja dirasakan oleh isterinya. Bagaimana tidak, bayinya bergerak di dalam rahimnya, dia bisa merasakan gerakan-gerakan kecil semacam kedutan di perutnya karena bayi mungil berusia empat bulan dalam kandungan itu sudah mulai bergerak. Dan kini Adrianna harus menerima kenyataan bahwa tidak ada lagi bayi dalam perutnya, tentu trauma dan luka psikis itu lebih sulit untuk dihadapi.     

***     

Sementara itu dirumahnya, setelah memastikan isterinya, Chistabell bisa tertidur dengan pulas, Richard menghubungi detektif swasta yang dia bayar untuk menyelidiki kasus yang menimpa puterinya.     

"Halo." Richard membuka suara.     

"Mr. Anthony." Jawab seorang pria bernama Nick di seberang. Dia adalah kepala detektif swasta yang dikenal oleh Rich.     

"Apa yang kau temukan di lokasi kejadian?" Tanya Richard, dia begitu penasaran karena menurut pengalamannya, tidak mungkin kejadian seperti ini murni kecelakaan, apalagi sudah banyak kejanggalan yang bisa di analisa dari cerita Aldric yang menyaksikan kejadian itu.     

"Begini sir . . ." Nick mulai menguraikan temuan-temuannya di lapangan.     

Fakta-fakta yang mencengangkan terungkap di lokasi kejadian. Salah satunya adalah Brad, pekerja di lokasi itu sempat melihat Alexandra Cameroon datan malam hari setelah semua pekerja selesai dengan pekerjaannya. Dan saat dipergoki oleh Brad, Alexandra berdalih dirinya hanya memastikan beberapa hal sebelum serah terima rumah. Bran tak tampak curiga, dia memilih untuk pulang dan tak tahu pukul berapa Alexandra meninggalkan lokasi.     

Kejanggalan berikutnya adalah terdapat bekas potongan gergaji manual dari pipa yang jatuh dan hampir menimpa Adrianna itu. Seorang pekerja baru yang tak dikenal namanya masuk pagi dan mengerjakan bagian atap atas perintah Alexandra Cameroon langsung, itu yang dikatakan oleh kepala proyeknya. Dan kejanggalan itu mengerucut pada sebuah sabotase yang direncanakan, sengaja untuk mencelakakan Adrianna.     

"Kami masih mencoba menemukan bukti-bukti lainnya, tapi sementara dengan fakta dan saksi yang ada, cukup untuk membuat Alexandra diperiksa oleh polisi dan mungkin mendapatkan penahanan untuk investiagasi lebih lanjut."     

"Ok, tetap cari bukti yang lain, aku akan menghubungi pengacaraku." Richard langsung mengakhiri panggilan teleponnya dan menghubungi pengacara pribadinya untuk menindaklanjuti kasus ini.     

Malam itu juga Richard menghubungi pengacara pribadinya dan meminta untuk melakukan pelaporan ke pihak berwajib dan menuntut Alexandra Cameroon atas perbuatannya yang hampir mencelakakan puterinya dan bahkan membuat puterinya mengalami keguguran dan kehilangan janin juga depresi pasca kejadian kehilangan janinnya itu.     

"Pastikan gadis itu menerima hukuman yang setimpal untuk apa yang dia lakukan pada puteriku." Richard Anthony menegaskan kalimatnya sebelum mengakhiri panggilannya.     

"Yes Sir." Jawab sang pengacara.     

Tidak ada seorang ayah yang bisa membiarkan puterinya disakiti oleh siapapun. Dan Richard Anthony sendang berusaha melindungi puterinya, Adrianna Anthony dari kemungkinan kenekatan lain yang bisa saja diperbuat oleh Alexandra Cameroon. Tak hanya berdasarkan perkiraan, Richard juga sudah menyelidiki latar belakang Alexandra Cameroon hingga Richard tahu betul bagaimana kehidupan gadis muda itu di masa lalunya.     

"Jangan sekali-sekali menyentuh atau bahkan menyakiti puteriku, atau kau akan tahu akibatnya." Gumam Richard sebelum meninggalkan ruang kerjanya dan kembali ke dalam kamar untuk menemani isteirnya Christabell yang sedang tertidur pulas.     

Christabell yang malang, setelah mengunjungi puterinya untuk memberikan Adrianna kekuatan, setibanya dirumah dia sudah lupa darimana dia dan bertemu dengan siapa. Tapi Richard tidak mempermasalahkan hal itu.     

"Mengapa kita berada di mobil?" Tanya Christabell setelah dia sempat tertidur karena kelelahan sekitar sepuluh menit di dalam mobil yang membawa mereka pulang ke rumah setelah dari apartment Adrianna.     

"Kita baru saja jalan-jalan." Jawab Richard.     

"Siapa kau?" Tanya Christabell lagi.     

"Perawatmu." Richard tersenyum menatap isterinya itu.     

"Maaf aku sering lupa." Senyum wanita itu membuat kerutan di sudut-sudut bibirnya tapi dia justru terlihat cantik karena kerutannya itu.     

"Tidurlah lagi, aku akan membangunkanmu setelah kita tiba di rumahmu."     

"Ok."     

Dan malam ini Richard kembali tidur di sofa panjang dekat dengan tempat Christabell berbaring. Setiap kali Christabell bertanya, "siapa kau?" padanya, setiap kali juga Richard harus mengulang memperkenalkan dirinya sebagai orang yang sama, "Richard Anthony, perawatmu."     

Yang membuat Richard hampir meneteskan air mata adalah sore tadi selepas mandi, Christabell bertanya pada Richard, "Siapa kau?" Dan Richard menjawab dengan jawaban yang sama, tapi Christabell tersenyum dan menimpalinya, "Kau lebih terlihat sepreti malaikat pelindungku dibandingkan perawatku." Gumamnya dan Richard hanya bisa tersenyum meski di dalam hatinya, air matatanya berlinang mendengar Christabell yang tak mengingat apa dan siapa mengatakan hal itu padanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.