THE RICHMAN

The Richman - Propose



The Richman - Propose

0Paul Wisley pulang setelah seharian bekerja di peternakan Mr. Harry dan terheran-heran dengan rumahnya.     

"Apakah aku salah masuk rumah?" Tanyanya pada Leah dan gadis itu menggeleng.     

"Dimana semua barangku?" Tanya Paul.     

"Diganti." Leah mengigit bibirnya.     

Paul menggeleng tak percaya, "Kau menghabiskan uangmu membrong semua ini?"     

"No." Geleng gadis itu pelan.     

"Kau berhutang atasnamaku?" Alis Paul mengkerut.     

"No." Geleng Leah lagi.     

Paul masuk ke rumahnya dan mencoba duduk di sofa berwarna abu muda yang tampak begitu lembut dan membal itu. "Lalu bagaimana semua ini bisa ada di rumah?" Paul menatap puteri semata wayangnya. "Jelaskan padaku Leah Wisley."     

Leah berdehem kecil, kemudian menelan ludahnya, dia berusaha mengumpulkan semua keberanian untuk mengatakan yang sebenarnya pada sang ayah. "Ben melakukan semuanya." Ujar Leah sembari menurunkan pandangannya, dia tidak berani menatap sang ayah sama sekali.     

"Ben?" Alis Paul bertaut.     

"Ya."     

"Pria muda itu?"     

"Ya." Angguk Leah sekali lagi.     

"Dimana dia sekarang?" Tanya Paul, tampaknya dia akan sangat marah pada Ben hingga Leah ketakutan. "Dad . . . maksudnya baik." Leah berusaha melindungi Ben meski di awal dia juga sempat menolak semua pemberian dari Ben ini.     

"Dimana dia!" Tanya Paul sekali lagi dan Leah menjawab lirih. "Dia kembali ke Vegas siang tadi." Jawabnya.     

"Suruh dia datang sekarang juga, dia harus mempertanggungjawabkan perbuatannya ini. Aku tidak terima dia melakukan hal seenaknya di rumahku!" Paul meninggalkan Leah dan masuk ke dalam kamarnya. Dia juga geleng-geleng kepala saat melihat semua perabotan di dalam kamarnya baru kecuali sebuah lemari tua di sudut yang sengaja di tinggalkan karena lemari itu di kunci, baik Leah maupun Ben tak berani mengutak-atik barang pribadi milik Paul dan tampaknya itu sangat menyangkut privasinya.     

Paul duduk di ranjangnya dan cukup terkejut karena ranjangnya berbeda dengan ranjang tua miliknya. Kali ini ranjang itu terlasa begitu lembut, jemari tuanya bahkan meraba sekilas ranjang yang didudukinya itu.     

Sementara diluar Leah tengah berusaha menghubungi Ben dan mengatakan apa yang terjadi di rumahnya saat ini.     

"Halo." Ben membuka suara, dia kembali ke Vegas berencana untuk kembali ke New York setelah mendengar kabar tentang kakaknya yang mengalami keguguran. Tapi Richard mengatakan bahwa tidak banyak yang bisa diperbuat, kondisi Adrianna sudah membaik hingga Ben memutuskan untuk menunda kepulangannya sehari lagi.     

"Halo." Suara Leah terdengar panik di seberang.     

"Apa yang terjadi?" Tanya Ben, "Kau baik-baik saja?"     

Leah mengigit bibirnya, "Ayah marah." jawabnya lirih.     

"Soal?" Ben yang baru saja selesai mandi menerima panggilan dari Leah sembari mengeringkan rambutnya.     

"Kau mengacak-acak rumahnya." Leah berbisik sekali lagi, dia tidak ingin ayahnya mendengar apa yang mereka bicarakan di telepon. "Dia mau kau datang."     

"Malam ini?" Tanya Ben?"     

"Ya."     

Ben menghela nafas dalam. "Ok. Aku akan datang." Ben sebagai seorang pria yang bertanggung jawab tentu tidak akan menghindar dari tanggungjawab yang harus dia hadapi sebagai konsekwensi dari tindakannya.     

"Jaga dirimu sampai aku datang." Ujar Ben.     

"Ayahku tidak akan menyakitiku, dia hanya sangat marah melihat semua perabotannya berganti tanpa ijinnya." Leah menjelaskan situasinya.     

"Ya, aku akan datang dan mempertanggungjawabkan semuanya." Jawab Ben.     

"Thanks."     

Panggilan mereka berakhir dan kini Ben berganti pakaian dan bersiap untuk kembali ke Henderson untuk menemui Paul Wisley. Setelah berpakaian, Ben berjalan menuju meja kecil untuk mengambil kunci mobil. Entah apa yang membaut Ben berhenti sejenak saat membuka laci meja kecil itu dan melihat isinya. Rahang Ben mengeras sekilas, lalu menututpnya kembali setelah mengeluarkan sesuatu dari dalam laci dan memasukkannya kedalam saku jaketnya.     

Setelah berkendara kurang lebih tiga puluh menit, Ben tiba di kediaman Paul Wisley. Dia mengetuk pintu dan tak berapa lama Leah keluar.     

"Dimana ayahmu?"     

"Di kamarnya." jawab Leah.     

"Dia sudah tidur?" Alis Ben bertaut.     

"Belum." Geleng Leah.     

"Apa dia masih ingin bicara denganku sekarang?" Tanya Ben.     

"Masuk dan duduklah, akan kubuatkan kopi untukmu." Leah menarik tangan Ben dan pria itu masuk lalu duduk di sofa yang menjadi sumber masalah antara dirinya dan Paul Wisley. Tak berapa lama Paul muncul dan mendatanginya.     

"Sir." Ben bangun dari tempatnya duduk dan menjabat tangan pria tua itu.     

"Duduklah." Paul tampak terliaht begitu berwibawa sekarang ini.     

"Anda ingin bicara denganku?" Tanya Ben sopan, dia benar-benar harus menahan diri untuk tidak terlihat berlebihan, bagaimanapun Paul adalah orang tua dari gadis yang di sukainya.     

"Ya." Angguk Paul.     

Rahang Ben sempat mengeras sekilas, "Sebelum anda bicara, ijinkan aku menjelaskan apa yang terjadi hari ini." Ben meminta kesempatan tapi Paul mengangkat tangannya.     

"Biarkan aku yang bicara pertama." Ujar Paul dan Ben mengangguk, dia benar-benar harus menekan egonya kali ini. Ben tersenyum dan memberikan kesempatan pada Paul untuk berbicara lebih dulu, mengingat dia adalah pemilik rumah dan dia yang punya otoritas penuh dirumah itu sementara Ben hanya tamu.     

Tak berapa lama Leah keluar dengan dua cangkir kopi. "Duduk." Perintah Paul pada puterinya itu dan Leah tampak kebingungan tapi memilih untuk duduk di samping ayahnya dan memegangi nampan yang dia gunakan untuk membawa kopi untuk disajikan pada Paul dan Ben.     

"Untuk apa yang kau lakukan hari ini, kau sudah sangat lancang anak muda." Paul membuka suara dan Ben menerima tuduhan itu, meski dalam hatinya dia sangat tidak terima niat baiknya dianggap lancang. Tapi jika merujuk pada norma di masyarakat tentu saja itu sangat tidak sopan.     

"Aku minta maaf untuk itu Sir." Sesal Ben.     

"Aku tahu kau selalu menilai segala hal dari materi, karena kau memiliki semua itu dan itu tidak salah." Ujar Paul. "Kau dibesarkan dengan cara seperti itu. " Imbuh pria tua itu dan Ben menunduk sekilas, mungkin ada benarnya. Richard dan Christabell memiliki lebih dari cukup harta benda untuk digunakan memenuhi kebutuhan anak-anaknya. Semua kebutuhnan mereka terpenuhi tanpa susah payah, dan itu membuat Adrianna dan Ben tumbuh menjadi pribadi yang berpikir bahwa segala masalah dimuka bumi ini bisa diselesaikan dengan uang.     

"Tapi untuk apa yang akan kubicarakan denganmu ini, kau tidak bisa menyelesaikannya dengan uangmu." Ujar Paul, Ben mengangkat wajahnya menatap pak tua Paul.     

"Ini soal Leah puteriku."Paul melempar pandangannya pada sang puteri dan itu membuat Leah terlihat bingung. "Apa kau benar-benar mencintai puteriku?" tanya Paul to the point. "Dad . . ." Sergah Leah, dia tampak tak begitu setuju dengan pertanyaan semacam itu dari bibir Paul yang dilontarkan pada Ben.     

"Ya, aku mencintai puterimu Sir." Jawab Ben dengan mantab.     

"Lalu apa setelah itu?" Paul menyandarkan tubuhnya ke sandaran sofa, tatapannya tegas tertuju pada Ben. Rahang Ben mengeras sekilas, suasana membeku, sementara Leah tertunduk tak berani menatap siapapun.     

Ben mengeluarkan sesuatu dari dalam saku jaketnya dan mengulurkannya ke arah Leah. "Aku akan menikahi puteri anda." Ujar Ben sembari meraih tangan Leah dan memasangkan cincin itu sambil berucap, "Would you be my wife?" Ben menatap Leah dalam, dan gadis itu mendadak berkaca-kaca, dia mengangguk setelah menatap ayahnya dan pak tua Paul tersenyum membalas tatapan puterinya itu.     

"Kapan kalian akan menikah?"     

"Secepatnya setelah aku kembali ke New York, aku akan datang lagi untuk menikahi Leah di Henderson." Ujar Ben, setidaknya dia harus bicara pada orangtuanya, melihat kondisi ibunya dan juga kakaknya. Saat-saat ini bukanlah waktu yang tepat bagi Ben dan Leah untuk melangsungkan pernikahan mengingat situasi keluarganya di New York sedang tidak terlalu baik.     

"Ok. Jangan biarkan puteriku menunggu terlalu lama." Jawab Paul, dia bangkit dari tempatnya duduk dan meninggalkan Leah juga Ben di ruang tamu. Pria tua itu masuk ke kamarnya dan mengunci pintu kamar kemudian berbaring dengan senyum mengembang di wajahnya.     

"Aku tidak bisa memberikan kehidupan yang baik selama aku hidup, tapi setidaknya aku percaya setelah ini kau akan mendapatkan kehidupan yang baik." Ujar Paul dalam hatinya seolah dia berbciara pada Leah puterinya. Dalam hatinya, naluri sebagai seorang ayah, Paul percaya bahwa Ben adalah pria yang baik. Memang benar dia memiliki pola pikir kebanyakan anak orang kaya, mereka bisa menggunakan uang untuk menyelesaikan semua permasalahan di dunia, tapi selama mengenal Ben bahkan sebagai orang asing di perjalanan saat Ben mengalami pecah ban, bahkan sebelum mereka saling mengenal sebagai kekasih Leah dan ayah Leah, Paul sudah melihat bahwa pemuda bernama Ben Anthony adalah pria yang baik.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.