THE RICHMAN

The Richman - What Tough



The Richman - What Tough

0Aldric duduk di sofa sementara Adrianna berbaring di ranjang, mereka tak saling bicara. Masing-masing sibuk menyalahkan diri mereka sendiri. Aldric berpikir bahwa kecelakaan ini terjadi karena kelalaiannya dalam menjaga isteri dan calon bayinya. Sementara Adrianna mengalami penyesalan yang begitu mendalam, seharunya dia mendengarkan apa yang Aldric katakan, menunggunya selesai meeting dan berangkat bersama dengan suaminya itu. Adrianna merasa bahwa karena rasa cemburunya yang besar terhadap Alexandra Cameroon justru yang telah merenggut bayinya dari dalam rahimnya.     

Kondisi itu di perparah dengan penyesalannya karena memiliki cucu adalah satu-satunya keinginan terakhir Chrisatbell saat masih sehat. Meskipun sekarang ini Chrstabell sendiri sudah tak mengingat apa permintaannya, tapi tanggung jawab besar itu bergelayut di pundak Adrianna. Hingga saat kehilangan bayi yang begitu dia nanti-nantikan dan juga dinantikan oleh keluarga Richard dan keluarga Bloom, Adrianna begitu terguncang.     

***     

Setelah bermalam di rumahsakit, akhrinya pagi ini Adrianna diperbolehkan pulang. Semenjak kejadian itu hingga detik ini dia duduk di bangku belakang bersama dengan suaminya, Adrianna tak membuka mulutnya barang sedikitpun. Dia bahkan cenderung menghindari bertatapan langsung dengan Aldrcic suaminya. Begitu juga dengan Aldric, meski dia yang mengurus semua kebutuhan Adrianna selama di rumahsakit, hingga dalam perjalanan pulang ke rumah, namun ada kecanggungan besar yang seolah menjadi tembok pembatas diantara mereka.     

Hal ini bukan lagi karena masing-masing dari mereka merasa bersalah untuk apa yang terjadi, melainkan Adrianna merasa tersudut dengan kalimat Aldric pagi tadi.     

"Kita akan pulang hari ini." Ujar Aldric, itu kalimat pertama yang dia keluarkan setelah beberapa jam mereka berada di dalam ruangan tapi tak saling bicara.     

"Pergilah ke kantor, aku bisa pulang sendiri." Jawab Adrianna lirih.     

Aldric mengkerutkan alisnya, "Bisakah kau sekali saja menurut padaku!" Entah mengapa emosi itu seolah meledak seperti gunung berapi yang selama ini tersumbat, dan saat meledak larvanya menyembur ke segala arah dan membakar apapun yang ada di sekitarnya.     

"Mengapa kau marah padaku? Aku hanya mengatakan bahwa aku bisa pulang sendiri." Adrianna meninggikan nada bicaranya.     

"Apakah kau sadar dengan ucapanmu itu?!" Aldric menatap Adrianna dengan mata membulat, "Jika kemarin kau menurut padaku dan menungguku selesai, kita akan pergi berdua dan bayi kita mungkin masih hidup!"     

Adrianna menutup mulutnya dengan satu tangannya, dia menggeleng perlahan, wajahnya memerah dan matanya kembali berkaca. "Tanpa tuduhan itu, percayalah rasanya aku ingin mati karena kehilangan bayiku." Bibirnya bergetar saat mengatakannya. "Dan sekarang dengan teganya kau mengatakan semua itu." Adrianna rebah kembali ke ranjang dan meringkuk, air matanya berjatuhan tanpa aba-aba.     

Aldric memejamkan matanya sekilas, kemudian memilih keluar dari ruangan itu. Hatinya juga terluka karena dia sudah memimpikan banyak hal besar bersama calon akanya itu. Entah putera atau puteri, bahkan manshion dengan biaya pembangunan jutaan dollar sudah dia rencanakan untuk menjadi hadiah terbaik untuk kelahiran bayinya dan sekarang semuanya pergi begitu saja, seolah sebuah cerita dongeng yang singkat dan tak nyata.     

Perawat tampak masuk untuk memeriksa kondisi terakhir Adrianna, dan saat keluar dia menghampiri Aldric dan mengatakan bahwa Aldric bisa mengurus administrasi untuk kepulangan Adrianna. Aldric melakukannya dan tanpa saling bicara mereka kini duduk berdua di dalam mobil, dalam perjalananya pulang dari rumahsakit.     

Setibanya di rumah, Sarah sudah menyambut mereka dengan wajah duka tapi tak ada yang menghiraukannya. Arianna bergegas masuk ke kamar tamu dan megunci dirinya di dalam kamar. Sepanjang sisa hari dia habiskan untuk menangisi calon bayinya itu.     

Sementara Aldric masuk kedalam kamarnya dengan sebotol minuman beralkohol, dia butuh pengalihan yang bisa membuat otaknya berhenti memikirkan soal bayi itu. Bayang-bayang anak laki-laki yang tengah bermain dengan dirinya di halaman berulang-ulang muncul seperti potongan-potongan adegan dalam sebuah film hitam putih. Senyumnya, tawanya yang renyah, bagaimana mata coklatnya berbinar setiap kali Aldric menghampirinya dan menggendongnya.     

Adrianna dan Aldric berduka dengan caranya masing-masing.     

***     

Keesokan hari di kediaman Richard Anthony, saat ini Richard duduk di tepi rangjang sementara Christabell terlihat membaik kondisinya di dua hari berturut-turut. Dia makan lebih banyak dan tampak lebih bersemangat. Beberapa waktu terakhir Richard tak lagi duduk dan menceritakan kisah untuknya, tapi hari ini Richard kembali menceritakan kisah untuk Christabell dan wanita tua yang beberapa waktu terakhir lebih senang memejamkan matanya, hari ini tampak berbeda, dia antusias mendengarkan cerita Richard, bahkan sesekali dia menimpali.     

Cerita yang diceritakan ualang oleh Richard adalah kisah tentang mereka, meski demikian, ekspresi Christabell selau sama, seolah dia baru pertama kali mendengar kisah itu. Selesai bercerita Richard mengenggam tangan Christabell.     

"Apa kau tahu siapa nama gadis yang ku ceritakan?" Tanya Richard lembut.     

"Apa itu aku?" Tanya Christabell dengan senyum lemah diantara kerutan-kerutan di garis senyumnya. Meskipun dia sudah terlihat tua, tapi kecantikannya tak lekang dimakan usia.     

"Kau mengingatnya?" Tanya Richard.     

"Tidak." Geleng Christabell, "Sorry . . ." Sesalnya.     

"Tidak papa, ini kemajuan karena kau lebih bersemangat dari hari biasanya." Ujar Richard.     

"Apa kita memiliki anak-anak?" Tanya Christabell.     

"Satu puteri dan satu putera." Richard menjawab.     

"Cucu?" Tanya Christabell lirih, dan Richard tampak tak bisa menyembunyikan kesedihannya.     

"Puteri kita baru saja kehilangan janinnya karena keguguran." Jawab Richard dengan jujur. Ekspresi Christabell berubah menjadi sedih, "Bisakah kau mengantarku padanya?" Tanya Christabell.     

"Apa kau sungguh-sungguh?" Alis Richard bertaut, meski matanya berbinar saat mengatakannya.     

"Aku tidak mengingatnya, tapi aku ibunya." Ujar Christabell, kalimatnya itu meluluhkan hati Richard hingga dengan bantuan kursi roda dia membawa isterinya itu ke mobil dan mengantarkan Christabell ke rumah puterinya.     

***     

Adrianna masih mengurung diri di kamar saat Richard datang bersama dengan Christabell. Aldric masih berada di rumah, hari ini dia memutuskan untuk bekerja dari rumah, meskipun tak saling bicara setidanya dengan berada di rumah dia bisa tetap menjaga dan mengawasi Adrianna.     

Saat mertuanya datang, Aldric menghampiri Richard dan memeluknya singkat dia juga memberikan pelukan pada Christabell.     

"Aku suami Adrianna." Ujar Aldric memperkenalkan diri.     

"Kau menantuku?" Tanya Christabell lirih.     

"Ya,"     

"Antarkan aku padanya." Christabell terdengar memohon dengan suara lirihnya. Akhirnya Richard dan Aldric membawa Christabell ke depan pintu kamar yang ditempati Adrianna.     

"Tok Tok" Richard mengetuk pintu kamar itu.     

"Sayang, ibumu ingin bertemu." Richard mengatakannya sambil mendekatkan wajah ke arah pintu. Christabell yang meringkuk di balik selimut dengan tatapan kosong mendadak memiliki alasan untuk bangun dari tempatnya berbaring dan berjalan ke arah pintu. Dia tidak yakin bahwa yang dikatakan ayahnya adalah sebuah kebenaran.     

Christabell membuka pintu dan melihat ayahnya dan Aldric berdiri di ambang pintu.     

"Adrianna . . ." Suara lirih itu membuat Adrianna menunduk untuk melihat si pemilik suara dan seketika air matanya berjatuhan.     

"Mommy . . ." Adrianna memeluk wanita lemah yang duduk di kursi roda itu. "I'm sorry . . . " Itu yang dikatakan Adrianna berulang-ulang di sela isakannya. Christabell tidak menjawab panjang, dia hanya menatakan satu hal,, "Aku mencintaimu." Ujarnya sembari mengusap lemah punggung puterinya itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.