THE RICHMAN

The Richman - Trapped



The Richman - Trapped

0Ben duduk di meja makan bersama dengan Paul dan Leah. Dia jelas-jelas celingukan karena Paul selalu tersenyum setiap kali mata mereka bertemu, seolah mentertawakan Ben.     

"Makan dan istirahatlah." Ujar Paul setelah dia menyelesaikan makan malamnya.     

"Yes Sir." Angguk Ben, sementara Leah duduk di sebelahnya tampak tak bisa menahan senyum. Paul pun demikian, dia meninggalkan mereka berdua di meja makan untuk masuk ke dalam kamarnya. Leah dan Ben masih duduk diam di posisi mereka tanpa bicara, saat pak tua itu kembali.     

"Aku hanya punya dua kamar di rumah ini. Apa kau tidak keberatan tidur di ruang tamu anak muda?" Tanya Paul.     

"Tidak masalah Sir." Jawab Ben cepat. Pria tua itu tampak tersenyum dan kembali masuk ke dalam kamarnya. Sementara ben dan Leah duduk berhadapan dengan Ben di meja makan. Ben terdengar berdehem.     

"Aku masih tidak mengerti apa yang anda inginkan, mengapa jauh-jauh kemari?" Tanya Leah, tapi Ben tidak menjawab, dia hanya memberi kode untuk mereka berjalan-jalan di luar sambil bicara. Leah menghela nafas dalam dan pada akhirnya mengangguk setuju.     

Ben menunggu Leah selesai membereskan semua sisa makan malam dan juga mencuci semua peralatan makan yang kotor. Barulah setelah itu mereka keluar rumah untuk bicara sambil berjalan di sekitar rumah Leah.     

"Apa yang ingin anda bicarakan?" Tanya Leah.     

"Bisakah berhenti bersikap formal padaku?" Protes Ben sambil menatap ke arah Leah dan gadis itu menggeleng. "Dimanapun anda berada, anda tetap majikan saya." Jawabnya.     

"Bisakah kita duduk dan bicara saja, jangan berjalan? Aku sudah lelah membereskan rumah seharian?" Protes LEah pada akhirnya, karena sudah berjalan beberapa meter tapi Ben belum juga mengatakan apapun.     

"Ok." Leah dan Ben memilih duduk di sebuah bangku taman tak jauh dari rumah Paul.     

"Kedatanganku kemari karena aku peduli pada kondisi ayahmu." Sangat sulit bagi Ben untuk mengungkapkan perasaannya, tampaknya seperti itu.     

"Hanya itu?" Tanya Leah, meski dalam hatinya dia tersenyum lebar untuk dirinya sendiri melihat bagaimana Ben mati-matian mempertahankan diri untuk tetap menyimpan perasaannya.     

"Aku juga ingin memastikan satu hal." Imbuhnya cepat, tapi kemudian dia berpikir untuk beberapa saat dan mengkoreksi kalimatnya, "Memastikan bahwa kau dan ayahmu baik-baik saja."     

Leah mengangguk, "Terimakasih banyak untuk semua perhatian yang anda berikan sebagai manjikan yang begitu baik, dan sekarang anda sudah melihat kondisiku baik-baik saja, begitu juga dengan ayahku."     

"Ya." Ben mengangguk.     

"Lalu sekarang . . .apa?" Tanyanya lirih. Ben tampak menatap ke arah Leah begitu juga sebaliknya. Mereka saling menatap, "Kau akan mengusirku malam ini?" Tanya Ben dan Leah menggeleng.     

"Good." Ben mengangguk. "Aku akan menginap malam ini." Ujar Ben.     

Leah tersenyum getir, dia bangkit dari tempatnya duduk, "Anda bisa pergi setelah sarapan pagi besok." Ujarnya sebelum meninggalkan Ben. Dia sempat berharap bahwa Ben mungkin akan mengungkapkan perasaannya, atau Ben benar-benar tidak memiliki perasaan apapun pada dirinya hingga mengejarnya demikian jauh ke kota kecil dan tidak berkata apa-apa.     

Ben bangkit berdiri dan berusaha mengimbangi langkah Leah tapi gadis itu berjalan cukup cepat, hingga Ben menarik tangannya dan gadis itu terpelanting ke belakang dan jatuh ke pelukannya. Kini Ben dan Leah saling menatap, Ben meraih wajah Leah dan mencium bibir gadis itu dengan lembut. Leah sempat membalas ciuman itu, namun pada akhirnya dia tersadar dan menarik diri.     

"I like you." Ujar Ben hingga membuat Leah yang sebelumnya sempat membuang muka kini menatap pria di hadapannya itu lagi.     

Leah sempat membeku untuk beberapa saat, namun pada akhirnya gadis itu berjinjit untuk meraih bibir Ben majikannya itu dan melumatnya. Ben pun membalas ciuman itu dengan penuh semangat, namun sepanas apapun ciuman tentu akan berakhir. Ada dua kemungkinan, berakhir ke hal yang lebih dalam atau berakhir tanpa terjadi apapun.     

"Aku berharap saat ini kita berada di salah satu hotel di Vegas." Ujar ben, dan itu membuat Leah tersenyum lebar.     

"Apa maksud perkatanmu Mr. Ben Anthony?"     

Ben mengangkat alisnya, lalu menyakukan tangannya di saku celana dan berjalan meninggalkan taman. Leah berusaha mengimbangi langkah pria itu, dan dengan malu-malu dia melilitkan tangannya di lengan kokoh Ben. Ben tersenyum ke arah Leah begitu pula sebaliknya, mereka berjalan berdua kembali ke kediaman Paul Wisley.     

"Aku berencana untuk menetap di sini." Ujar Leah.     

"Why?" Ben tampak terkejut mendengar ucapan leah itu.     

"Ayahku sudah sangat tua, harus ada yang mengurusnya."     

Ben menatap Leah, "Mengapa tidak membawa ayahmu ke New York?" Tanya Ben.     

"Dia suka tempat ini." Jawab Leah, meskipun dia belum memastikan jawaban Paul akan seperti apa, tapi Leah yakin betul bahwa ayahnya sudah pasti menolak jika di ajak pindah ke New York.     

"Ada beberapa apartment yang dekat dengan rumah, kau bisa memakai salah satunya. Kalian bisa tinggal bersama dan kau bisa datang untuk bekerja dan pulang, aku akan membagi shift mu dengan Aby jika kau mau." Ujar Ben memberikan solusi, pada dasarnya Ben Anthony adalah pria muda yang visioner, dia juga cukup bertanggung jawab dan bisa diandalkan. Dia juga sangat perhatian pada keluarga dan orang tua, tentu saja setelah ibunya sakit. Tampaknya penyakit Christabell tak hanya merubah tatanan dalam rumah tangganya bersama Richard Anthony, tapi juga merubah pola pikir anak-anaknya.     

***     

Ben dan Leah kembali ke rumah, Ben berhenti di ruang tamu sementara Leah masuk ke dalam kamar untuk mengambil bantal dan selimut. Pak tua Paul juga belum tidur, dia jelas tidak akan mengijinkan pria muda dari keluarga kaya itu berbuat macam-macam pada puterinya. Dia bangun pelan-pelan dari kamarnya dan mengintip ke lubang kunci pintu kamarnya yang langsung berhadapan dengan ruang tamu.     

Ben tampak berusaha berbaring dengan nyaman, tapi ukuran sofa di rumah Paul begitu sempit dan kecil, bahkan bantalan sofanya juga terlalu keras hingga Ben tak bisa berbaring dengan nyaman. Leah datang dan memberikannya bantal.     

"Pakai ini." Ujar Leah.     

"Thanks." Paul menjawab, dia meletakkan bantal itu dan kembali rebah, tapi tetap saja, kakinya terlalu panjang hingga menjuntai melebihi sandaran tangan yang ada di sofa.     

"Bagaimana kau bisa tidur seperti itu?" Tanya Leah.     

"Entahlah." Ben bangkit dari poisinya dan kini duduk di sofa dengan menyangga rahangnya. "Berapa usia sofa ini?" Tanya Ben.     

"Dua puluh tahun mungkin, atau lebih." Jawab Leah.     

"Oh gosh!" Gerutu Ben, dia mengeluarkan ponselnya kemduian mengirim pesan singkat pada seseorang di Las Vegas, tampaknya salah seorang temannya. Ben memiliki banyak link pertemanan hingga kemanapun dia pergi sebenarnya dia tidak akan kesulitan, terkecuali hari ini. Dia tidak memiliki kenalan sama sekali di Henderson yang bisa dia andalkan, untung saja Las Vegas tidak terlalu jauh hingga tidak sulit baginya untuk meminta pertolongan.     

"Tidurlah, temanku akan menjemputku setengah jam lagi. Aku akan kembali ke hotel." Ujar Ben, dan Leah tampak patah hati karena tak bisa memberikan tempat yang baik untuk pria yang sangat spesial di hatinya itu.     

"Kau akan pergi secepat itu?" Tanya Leah.     

"No place to sleep here." Geleng Ben, rahangnya mengeras sekilas.     

"Ok." Angguk Leah, dia mengambil bantal dan selimutnya kemudian kembali ke kamarnya lagi. Tampaknya pilihan Ben untuk kembali ke Las Vegas untuk menikmati kenyamanan di hotel mewah dibandingkan tidur di sofa sempit milik ayahnya cukup melukai hati Leah.     

Leah mengunci kamarnya dari dalam dan Ben bahkan tak berani untuk mengetuk pintu kamar itu. Sementara Leah meringkuk dalam linangan air matanya dan Paul kembali tidur. Mereka berdua merasakan kekecewaan yang sama, hanya saja berbeda versi, Leah kecewa karena tersadar bahwa dunia Ben sang majikan dan dunianya jelas berbeda, seratus delapan puluh derajat.     

"Harusnya kau tidak serakah Leah, kau bermimpi terlalu tinggi." Ujar Leah pada dirinya sendiri di dalam hati.     

Sementar apak tua Paul meringkuk dalam kesedihannya, matanya berkaca menyaksikan pembicaraan Leah dan Paul dari balik lubang kunci kamarnya yang kecil. "Maafkan ayah Leah." Sebuah penyesalan besari bari Paul Wisley karena sudah menghabiskan masa mudanya dalam hingar bingar kehidupan di Las Vegas hingga seluruh harta benda orang tuanya habis untuk berjudi. Sepetak tanah dan rumah kecil yang dia tempati saat ini adalah satu-satunya harta warisan dari orang tua Paul Wisley yang tersisa. Bukan salah ibu Leah jika dia memilih pria lain, wanita itu tidak terbiasa dengan kehidupan sulit setelah Paul jatuh miskin dan memilih untuk meninggalkannya demi kehidupan yang lebih baik dengan pria yang jauh lebih mapan.     

"Harusnya aku menyisakan sedikit untukmu." Bisik Paul dalam hati. Sebenarnya keluarga Wisley adalah keluarga yang cukup berada di Henderson, mereka memiliki peternakan dan juga bisnis penginapan di Las Vegas. Saat penginapan mulai sepi karena begitu banyak hotel baru yang di bangun, keluarga Wisley menepi ke Henderson dan fokus pada peternakannya. Semua aset di Las Vegas di jual dan mereka simpan dalam bentuk tabungan. Tapi si nakal Paul Wisley, satu -satunya penerus di keluarga Wisley justru menghabiskan semua uang yang ada untuk berjudi, persis setelah dia menikahi ibu Leah yang adalah salah seorang pekerja di kasino tempat Paul Wisley sering menghabiskan waktunya.     

Empat puluh lima menit kemudian, Ben dijemput oleh Bianca, salah satu koleganya, puteri pemilik kasino besar di Las Vegas. Ben keluar dari rumah sebelum Bianca masuk dan membuat suasana lebih rumit. Pria muda itu masuk kedalam mobil dan membiarkan Bianca menyetir mobil mewahnya dan membawa Ben kembali ke hotel.     

"Apa yang kau lakukan di pinggiran kota selarut ini?" Protes Bianca. "Apa kau sebodoh itu sampai tersesat?" Tanyanya pada Ben dan pria itu tidak menjawab. Tatapannya kosong, dia melihat keluar dari kaca depan mobil.     

"Beri aku referensi toko furniture terbaik di kota ini." Ujar Ben.     

"What?" Bianca menoleh ke arahnya sekilas. "Apa yang ingin kau lakukan?" Tanya Bianca.     

"Aku butuh perabotan." Ujar Ben singkat.     

"Ok, kau bisa datang ke tempat itu besok pagi." Ujar Bianca. "Malam belum berakhir, pesta baru akan di mulai, kau ingin bergabung?" Tanya Bianca dan Paul menggeleng. "Aku ingin tidur."     

"Apa yang terjadi padamu bro?" Bianca tampak tak percaya mendengar jawaban Paul barusan. "Apa kau gila?" Tanyanya lagi.     

"Antar aku ke hotel, aku benar-benar lelah dan butuh istirahat." Jawab Ben dan Bianca tampak menurut. Dia segera mengantar Ben dan menurunkan pria itu di loby hotel.     

"Thanks." Ben membungkuk hingga Bianca bisa melihat wajahnya dai sisi jendela mobil yang kacanya diturunkan olehnya.     

"Bye Ben." Bianca mengangkat tangannya dan segera menutup kembali kaca mobil sebelum mobil dua penumpang pabrikan Ferari itu melesat meninggalkan loby hotel. Ben berjalan gontai menuju lift yang akan membawanya ke kamar tempat dia menginap. Setibanya di kamar ben rebah di kasur empuk itu dan bayangannya tertahan pada kondisi rumah tua milik Paul Wisley.     

Pria itu segera mebgambil ponselnya dan melihat jam sebelum menghubungi Leah. Selarut ini tak mungkin Leah menerima panggilannya, Akhirnya Ben meletakkan ponselnya kembali ke atas meja. Awalnya dia merasa lelah dan ingin tidur, tapi begitu tiba di hotel dan bisa berbaring di tempat tidur, justru bayangan pak tua Paul Wisley dan juga Leah puteirnya bergelantungan di hadapan matanya.     

Paul bangun dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan dirinya dan mengganti pakaiannya dengan piyama tidur. Setelah itu dia mengambil laptop dan membukanya kemudian melakukan pembelanjaan furniture online dengan menujukan pengiirman ke alamat rumah Paul Wisley setelah Ben melakukan pembayaran atas pembelanjaannya itu. Tak hanya sofa, ben juga membeli dua ranjang dengan ukuran besar. Dia juga membeli lemari pendingin, microwave, kompor dan berbagai peralatan baru untuk rumah Paul. Sayangnya Ben melupakan detail ukuran dalam memilih produk-produuk yang di belinya. Ben hanya fokus pada kualitas dan kwantitas. Dia memilih semua barang-barang premium dengan ukuran besar, tak peduli dengan harga yang harus dia bayar.     

Setelah selesai berbelanja online malam itu, Ben jatuh tertidur hingga pagi. Dia bahkan baru membuka matanya setelah menerima telepon dari Leah sekitar pukul sepuluh pagi.     

"Apa yang kau lakukan?" Bentak Leah begitu Ben menerima panggilan darinya.     

"Apa maksudmu?" Tanya Ben dengan suara parau, dia bahkan belum sadar betul saat menerima panggilan dari Leah itu.     

"Kau mengirim semua barang-barang ini bukan?" Bentak Leah sekali lagi.     

Ben membalik tubuhnya dan mengusap-usap matanya untuk menjernihkan pandangan. "Ya." Jawab Ben singkat.     

"Bagaimana dengan barang lama ayahku?" Tanya Leah, dia bertanya tapi nadanya seperti memprotes.     

"Buang saja, lagi pula furniture tua itu sudah ketinggalan jaman." Ujar Ben santai.     

"Kau tidak bisa seenak hidungmu sendiri seperti itu, bagiaman jika ayahku tidak ingin prabotannya di ganti?"     

"Bilang padanya, semua itu sudah terlalu tua untuk tetap di pakai." Jawab Ben menggampangkan. Tapi Leah menjadi sangat kesal dan putus asa.     

"Aku akan meminta mereka membawa furniture ini kembali." Ujar Leah.     

"Hei . . . wait . . . wait . . . wait . . . apa maksudmu? Aku sudah membayar semua itu." Jawab Ben.     

"Tidak semua bisa anda beli dengan uang Sir." Bentak Leah dengan nada marah sebelum akhirnya panggilan itu terputus.     

"Sial." Ben mengumpat. Dia bergegas bangun dari tempatnya tidur dan bergegas mandi. Dalam waktu kurang dari satu jam Ben sudah harus tiba di lokasi dan menghentikan gadis keras kepala itu dari irasionalitasnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.