THE RICHMAN

The Richman - Henderson, Nevada



The Richman - Henderson, Nevada

0Pagi itu Ben sengaja bangun sangat pagi, bukan tanpa sebab. Ben sudah meminta Leah untuk melakukan pembatalan untuk penerbangannya ke Nevada namun akhirnya gagal karena Ben tak bisa menahan diri untuk tidak mengungkapkan perasaannya pada Leah. Loundry room menjadi saksi bagaimana akhirnya ciuman Ben mendarat di bibir Leah. Dua hari sesudah tragedi ciuman itu baik Ben maupun Leah tampak kucing-kucingan. Mereka saling menghindari satu sama lain. Ciuman itu berakhir tanpa penjelasan apapun dari Ben dan itu membuat Leah merasa bahwa ciuman yang terjadi antara Ben dan dirinya hanyalah reaksi sesaat karena mereka terbawa suasana.     

Kemarin pagi Leah sudah terbang ke Nevada untuk mengunjungi ayahnya, namun tampaknya Ben bukan pria yang begitu saja melepaskan buruannya. Ben secara diam-diam mencari tahu alamat rumah orang tua Leah di Nevada. Mala adalah orang yang paling mudah untuk diajak bicara, kemarin sore Ben sengaja mendatangi dapur dan duduk di meja dapur dekat dengan Mala yang sibuk mengerjakan pekerjaannya, memasak makan malam.     

"Kudengar kau memiliki seorang anak." Ujar Ben membuka suara, dan Mala menoleh, dia cukup terkejut karena bosnya itu tertarik pada masalah pribadinya.     

"Ya, dia tinggal dengan ayahnya." Jawab Mala.     

"Mengapa dia tinggal dengan ayahnya dan bukan kau?" Tanya Ben lagi.     

Mala menghela nafas dalam, "Itu salahku." Jawabnya singkat.     

"Kau meninggalkan puterimu dan suamimu?"     

"Ya." Angguk Mala. "Dia bahagia tinggal dengan ayahnya, sesekali aku berkunjung untuk menemuinya."     

"Kau tidak berencana untuk membawanya tinggal bersamamu?"     

Mala menatap Ben, "Aku harus cukup mampu untuk menghidupinya jika ingin membawanya bersamaku Sir." Jawab Mala.     

"Aku berharap kau segera bisa berkumpul dengan puterimu." Ujar Ben, dan hati Mala langsung luluh mendengar harapan Ben untuknya. Saat itulah Ben memanfaatkan situasi, "Apa kau tahu dimana ayah Leah tinggal?" Tanya Ben. Untuk beberapa saat Mala sempat terdiam, dia tampak mengingat.     

"Henderson, ya Henderson." Angguk Mala yakin.     

"Kau tahu alamat persisnya?" Telisik Ben.     

"Mengapa anda ingin tahu alamat pasti rumah Leah?" Mala bertanya dengan nada curiga.     

"Aku punya teman yang tinggal di Nevada, kupikir tak jauh dari Henderson. Dia seorang dokter, mungkin itu bisa membantu Leah jika dia butuh pemeriksaan lebih lanjut soal penyakit ayahnya." Ben bersusah payah mencari alasan agar tujuan utamanya tak tercium oleh Mala, si perempuan yang rasa ingin tahunya lebih besar dari kepalanya sendiri.     

"Em, . . . aku bisa meminta Leah mengirimkan alamatnya padaku Sir."     

"Ok, pastikan saja dia tidak tahu aku yang memintanya. Aku tidak ingin dia merasa sungkan." Ben tersenyum sekilas kemudian meninggalkan dapur dengan segelas air mineral. Dalam hatinya dia tersenyum penuh kemenangan karena dalam hitungan tak lebih dari satu jam, Mala sudah menuliskan alamat rumah ayah Leah di Henderson Nevada.     

Lagipula Henderson bukanlah kota yang luas, kota itu berbatasan dengan Las Vegas dan hanya memiliki populasi sekitar 260 ribu orang dengan luas 244,7 Km persegi. Tidak akan sulit untuk mencari rumah ayah Leah di sana.     

***     

Selah mandi dan bersiap, pagi ini Ben tampak duduk di meja makan untuk menyantap sarapan paginya bahkan sebelum orang lain yang tinggal di rumah bersantap pagi. Richard yang baru saja keluar dari kamar dan bersiap untuk sarapan pagi, tampak terheran-heran melihat puteranya itu sudah menikmati sarapan pagi sepagi ini. "Ben, mengapa kau sudah rapi sepagi ini?" Tanya Richard.     

"Em, aku akan pergi ke Las Vegas dad." Jawab Ben cepat sebelum menyesap kopi dari cangkir di tangannya.     

Richard tertegun mendengar jawaban puteranya itu, "Las Vegas?" Alis Rich bertaut, kota yang tidak pernah tidur, lekat dengan predikat kota hiburan, pusat perjudian dan penuh dengan hiruk pikuk kehidupan malam, untuk apa puteranya pergi ke kota itu.     

"Ya." Angguk Ben.     

"Tapi mengapa begitu mendadak, apa ada urusan bisnis atau kau pergi untuk liburan?" Richard menautkan alis sembari mengoleskan selai kacang ke rotinya.     

"Em . . . urusan bisnis." Ben gelagapan mendapat pertanyaan itu dari sang ayah. Tak berapa lama Adrianna ikut bergabung di ruang makan bersama dengan Aldric, mereka memutuskan untuk menginap di rumah Richard untuk batas waktu yang belum ditentukan setelah Sarah mengadu bahwa wanita gila bernama Alexandra Cameroon datang tengah malam saat dirinya tidak ada di rumah.     

"Hi everyone . . ." Sapa Adrianna yang masih mengenakan piyama tidur dengan perut yang mulai terlihat membuncit itu.     

"Hai sayang, bagaimana perasaanmu pagi ini?" Sapa Richard. Adrianna tersenyum menjawab, "Baik Ayah, kecuali soal berita bahwa ada seorang wanita yang datang ke apartment tengah malam saat aku tak ada di rumah." Jawabnya sambil melirik ke arah Aldric, dan pria itu hanya mengangkat alisnya saat sang mertua melempar pandangan padanya. Tak ada yang perlu di bela, dan tak ada niat untuk membela diri juga, Aldric memilih diam karena tidak ada gunanya bertengkar lagi setelah semalam pertengkaran hebat terjadi diantara mereka.     

"Kemana kau akan pergi Ben, kau tampak sudah bersiap dengan kopermu?" Tanya Aldric mengalihkan pembicaraan.     

"Oh, Las Vegas." Jawabnya singkat.     

"Kau membuka bisnis di sana?" Tanya Adric kembali.     

"Tidak, hanya ada sedikit urusan." Jawab Ben. Pria itu tak terlalu suka urusan pribadinya di bahas di meja makan. Ben memilih menyelesaikan makanannya dan bergegas pergi.     

"Penerbanganku pukul sembilan, sebaiknya aku bergegas." Pamitnya. "Tolong jaga mommy selama aku tidak di rumah." ujar Ben. Dia bangkit dari tempatnya duduk dan menghampiri ayahnya.     

"Dad, maaf aku harus pergi." Ben memberikan pelukan singkat pada ayahnya.     

"Take care." Jawab Rich, Ben beralih pada Aldric dan memberikan pelukan singkat juga pada kakak iparnya itu barulah yang terakhir Adrianna. "Kejar dia jangan sampai lepas." Bisik Adrianna. Dia tahu betul apa tujuan Ben ke Las Vegas, ini bukan untuk kunjungan voya-voya atau liburan semata. Ben punya tujuan yang lebih besar daripada itu.     

Sebelum meninggalkan rumah, Ben masuk ke kamar ibunya. Perawat yang baru bernama Aby menemani Christabell.     

"Apa dia tidur?" Tanya Ben pada Aby.     

"Tidak Sir, dia baru saja makan." Jawab Aby.     

Ben duduk dan mengusap tangan ibunya itu dengan lembut, Christabell yang merasakan sentuhan membuka matanya. "Hei . . ." Senyum Ben menyapa ibunya.     

"Ben . . ." Christabell menyebutkan namanya dan itu membuat Ben sangat terkejut. Ini merupakan sebuah keajaiban saat ingatan Christabell mendadak bisa berfungsi dengan baik. Entah ini sebuah kebetulan atau apa, tapi selama beberapa bulan terakhir Christabell sudah sulit mengenali orang demi orang. Bahkan setiap kali dia membuka mata ekspresinya selalu terlihat asing ketika menatap orang-orang di sekitarnya.     

Ben menyentuhkan tangan kurus dan keriput ibunya itu ke pipinya yang hangat. "Mom . . ." Ben mengecup tangan ibunya, dan itu membuat Christabell tersenyum lemah. "Aku harus pegi sebentar. Mommy harus tetap sehat sampai aku kembali." Ujarnya setengah memohon dan Christabell mengangguk lemah.     

"Berjanjilah padaku." Pinta Ben, sekali lagi Christabell tersenyum kemudian menutup matanya. Sudah beberapa hari terakhir Christabell tak ingin membuka matanya lama-lama, dia selalu merasa ingin tidur, itu yang dia katakan. Ben mengecup kening ibunya itu dan keluar dari kamar. Sebelum benar-benar meninggalkan ruangan, Ben berujar pada Aby, "Tolong jaga ibuku dengan baik." Perintahnya dan Aby tampak mengangguk paham.     

"Baik Sir." Jawabnya.     

Dengan diantar supir, Ben berangkat ke bandara. Hari ini penerbangan first class menuju Las Vegas, dan dia sudah tidak sabar untuk melakukan banyak hal di tempat itu, meski di sisi lain ada rasa berat hati karena dia harus meninggalkan ibunya yang tengah sakit.     

***     

Leah baru saja membereskan kamar ayahnya dan memasak sarapan untuk ayahnya. Rumah mungil itu masih sama persis seperti terakhir kali dia berada di sana bersama dengan ibu dan ayahnya sebagai sebuah keluarga yang utuh.     

"Dad . . ., Aku menyiapkan sarapan untukmu." Ujar Leah dengan senyum lebar saat ayahnya kembali ke rumah setelah dari minimarket untuk membeli bahan makanan. Dia bahkan terkejut dengan kedatangan Leah yang tiba-tiba. Tampaknya salah satu kerabat memberikan berita bohong soal ayahnya yang menjalani operasi batu ginjal, ayahnya memang mengalami sakit batu ginjal tapi tidak dilakukan operasi besar, hanya saja dia menjalani prosedur semacam laser untuk menghancurkan batu yang ada di dalam ginjalnya.     

"Oh, baunya sangat enak." Puji Paul Wisley, ayah Leah. Pria tua itu tampak sudah tak segagah terakhir kali Leah bertemu dengannya.     

"Seharusnya ayah beristirahat di kamar, mengapa pergi ke minimarket?" Protes Leah, dia meletakkan omelete dengan potongan daging dan sosis di hadapan ayahnya. "Aku hanya menemukan itu di kulkas." Ujar Leah penuh sesal.     

"Ya, aku tidak sering makan di rumah." Jawab Paul dengan mata berbinar. Entah mengapa sejak kedatangan Leah dia terlihat lebih ceria.     

"Makanlah." Leah duduk di hadapan ayahnya dan melihat pak tua itu memakan sarapannya dengan lahap. "Em, . . . ini enak sekali." Pujinya lagi, meski itu hanya sepiring omelete dengan sedikit potongan daging, saus kacang merah dan sosis panggang.     

"Bagaimana ayah mewati hari-hari ayah di tempat ini?"     

"Aku bekerja paruh waktu di peternakan Mr. Harris." Ujarnya.     

"Apa yang ayah lakukan di sana?"     

Paul tersenyum, "Mengurus ternaknya."     

Leah tersenyum menatap semangat ayahnya yang tak pudar meski dia sudah tua. Saat ini Leah justru merasa cukup sedih karena tidak bisa mengurus ayahnya sendiri di usianya yang senja sementara dia sibuk mengurus lansia, orang tua lainnya demi uang.     

"Bagaimana kehidupanmu di New York?" Tanya Paul.     

"Semua berjalan seperti biasa Dad, aku bekerja untuk orang kaya dan tinggal di rumah itu." Jawab Leah.     

"Bagaimana kabar ibumu?" Tanya Paul kemudian, pria itu selalu kikuk jika membahas isterinya.     

Leah tersenyum hambar, "Kudengar dia menikah lagi setelah bercerai dari David." Jawab Leah seadanya, dia tampak enggan membahas soal ibunya itu.     

"Ibumu seorang yang selalu haus kasih sayang, tampaknya dia tak berubah sampai sekarang." Ujar Paul.     

"Aku hanya berharap kalian masih bersama." Jawab Leah.     

Paul tersenyum, dia meraih tangan puterinya itu. "Maaf karena tidak bisa mewujudkan harapanmu itu sayang, tapi aku selalu berharap kau dan ibumu hidup bahagia meski tak bersamaku."     

Leah menghela nafas dalam. "Aku berpikir untuk tinggal di sini bersamamu.' Ujarnya dengan mata berkaca, hal itu membuat ekspresi wajah Paul berubah seketika. "Mengapa kau berpikir seperti itu sayang?" Tanyanya.     

"Kau sudah tua dan harus ada yang menjagamu." Leah menatap dalam pada ayahnya. Paul melepaskan tangan Leah dan kembali menyantap omeletnya, "Jangan bersikap bodoh, kau tidak akan bahagia jika tinggal di kota kecil ini. Tidak ada pekerjaan yang cocok untukmu." Tolak Paul.     

Leah melipat tangannya di dada. "Aku akan pikirkan itu nanti, kurasa aku serius soal menetap di sini." Leah bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arah wastafel untuk mencuci perkakas kotor bekasnya memasak sarapan.     

"Aku tidak setuju jika kau tinggal di rumah ini." Tolak Paul lagi. "Kembali ke New York, bekerja di sana dan hasilkan banyak uang lalu kirimkan padaku. Uangmu lebih penting bagiku dari pada kehadiranmu." Paul selalu membuat kesan sarkastik seperti itu, meski sejujurnya dalam hati dia hanya tak ingin puterinya mengubur mimpinya di kota besar demi menjaganya yang sudah tua di kota kecil ini.     

Selepas sarapan, Paul berpamitan untuk pergi bekerja sementara Leah memilih untuk tetap di rumah. Rumah tua ini terlalu berantakan tanpa sentuhan seorang wanita di dalamnya. Selama bertahun-tahun setelah perceraiannya dengan sang mantan isteri, Paul memilih untuk membujang.     

Sepanjang hari ini yang Leah lakukan hanyalah berbenah di rumah, membereskan semua barang-barang tak terpakai dan membuangnya. Dia juga mencuci semua selimut, sprei dan tirai di rumah itu juga beberapa pakaian kotor milik Paul Wisley sang ayah yang hanya di gantung di belakang pintu entah sudah berapa lama.     

Setelah berbenah, Leah kembali ke minimarket untuk memebeli berbagai makanan kaleng untuk persediaan di rumah ayahnya juga berbagai perlengkapan mandi yang baru untuk ayahnya itu. Leah juga membeli daging dan sayuran untuk dimasak. Sebelum terbang ke Nevada Leah sudah mengambil sebagian tabungannya untuk keperluan selama dia berada di rumah ayahnya.     

Menjelang pukul lima sore, Leah kembali ke rumah dan bergegas untuk memasak. Ayahnya akan kembali dalam satu jam dan dia berharap bisa menyantap makan malam yang layak bersama pria tua itu.     

Leah memanggang daging dan membuat saus jamur sebagai pelengkapnya. Dia juga membuat salad sayuran untuk ayahnya meski dia tahu bahwa Paul tak begitu suka dengan salad, tapi malam ini dia berharap ayahnya bisa menikmati makanan yang enak setelah hampir setiap hari dia makan di kedai milik nyonya Hopper. Kedai kecil nyonya Hopper sudah berdiri sejak puluhan tahun lalu dan hingga kini masih ada, meski bukan nyonya Hopper lagi yang menjalankan usaha itu melainkan Mark puteranya.     

Sore tadi, sekembalinya dari minimarket Leah sengaja mampir ke kedai itu untuk menyapa nyonya Hopper tapi yang dia temui justru Mark.     

"Leah . . ." Mark tampak terkejut melihat Leah di tempat itu.     

"Hai . . ." Sementara Leah terlihat canggung, bagaiana tidak, dulu mereka sempat saling tertarik meski hubungan mereka menjadi tak jelas setelah Leah meninggalkan tempat itu bersama dengan ibunya.     

"Kapan kau datang?" Tanya Mark excited setelah memberinya pelukan singkat.     

"Kemarin." jawab Leah. "Aku mengunjungi ayahku, kupikir aku ingin menyapa nyonya Hopper saat melewati kedai ini." Ujar Leah kikuk.     

"Oh, ibuku sudah lama tidak mengurus kedai. Sekarang aku yang meneruskannya." Jawab Mark.     

"Ok, aku akan kembali lagi besok." Leah segera pamit undur diri kemudian pulang. Dan sekarang dia duduk di meja makan kecil di dalam rumah ayahnya sembari menunggu sang ayah kembali dari bekerja. Pria tua itu menyetir sendiri mobil tuanya menuju peternakan tuan Harris.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.