THE RICHMAN

The Richman - Temtation



The Richman - Temtation

0Aldric baru saja kembali ke apartment dan tidak mendapati isterinya di rumah. Dia segera menghubungi ponsel Adrianna, khawatir kebodohan Adrianna diulang kembali, namun tampaknya tidak, Adrianna menerima panggilannya.     

"Hai sayang, kau tidak di rumah?" Tanya Aldric.     

"Hai sayang, aku mendadak ingin menginap di rumah mommy." Jawabnya.     

Aldric menarik dasinya dan melemparkannya ke sofa. "Kau ingin aku menyusul?" Tanyanya sembari melemparkan tubuh lelahnya ke sofa.     

"No . . . aku akan pulang besok. Istirahatlah." Jawab Adrianna.     

"Apa semua baik-baik saja?" Tanya Aldric penasaran, "Bagaimana kabar ibumu?"     

"Semua biak-baik saja, mommy sedang beristirahat, aku makan malam bersama daddy dan Ben. Oh ya, aku sudah meminta Sarah memasak untukmu." Ujar Adrianna.     

"Ok, tidak masalah. Aku sudah makan di kantor tadi." Jawab Aldric.     

"Ok sayang, Istirahatlah. Aku tahu kau lelah." Adrianna tampak ingin segera mengakhiri panggilannya dan Aldric setuju untuk mengakhirinya. Ben dan Richard saling tatap melihat Adrianna berbicara dengan suaminya seperlunya seperti itu.     

"Kau benar-benar terlihat tak menyayangi suamimu sama sekali." Seloroh Ben.     

"Sejak hamil aku menjadi tidak menyukainya sama sekali, entahlah. Setiap kali berada dekat dengannya aku merasa ingin marah." Ujar Adrianna sembari melahap makanan di piringnya dan ini sudah porsi kedua yang dia makan.     

Richard tertawa, "Kau benar-benar tidak mirip dengan ibumu." Goda Richard.     

"Entahlah, orang bilang padaku mungkin karena bayiku laki-laki jadi aku sedikit tidak menyukai ayahnya, sebagian lainnya mengatakan ini soal hormon, but I don't care." Geleng Adrianna kemudian kembali sibuk mengunyah makanannya. Sementara Ben yang semula juga sibuk mengunyah mendadak hampir tersedak saat Leah datang untuk menuangkan air mineral.     

Adrianna langsung melirik ke arah Ben, "Bisakah makan dengan hati-hati?" Sindirnya, dalam hati Adrianna dia memiliki pertanyaan besar yang harus segera dia tanyakan pada Ben.     

"Kau bisa berisirahat Leah, nyonya sudah tertidur." Ujar Richard, dia tampak semakin bijaksana, dan cocok dengan rambutnya yang mulai memutih.     

"Yes Sir." Angguk Leah, gadis itu tampak meninggalkan ruang makan dan entah mengapa mata Ben mengikuti langkahnya hingga menghilang di balik dinding penyekat.     

"Ben . . .?" Adrianna mencolek lengan Ben dan membuat pria itu sedikit terkejut, tapi dia tampak berusaha bersikap tenang.     

"Kau menyikainya?" Tanya Adrianna, tampaknya sang kakak sengaja memancing adiknya dihadapan sang ayah.     

"No." Geleng Ben.     

Richard menghela nafas dalam, "Kalian lanjutkan makan malamnya, daddy akan kembali ke kamar untuk menemani mommy."     

"Ok dad."     

Sisa waktu makan malam dihabiskan Adrianna untuk membuly dan mengupas adiknya itu. Sementara di apartmentnya tampaknya Aldric sedang kedatangan tamu tak di undang malam ini.     

"Alex . . ." Aldric tampak terkejut saat membuka pintu apartment, dan melihat Alexandra Cameroon berdiri di depan pintu apartmentnya selarut ini.     

"Aldric." Mata Alexandra sembab dan ada lebab di pipi kanannya.     

"Apa yang terjadi padamu?" Tanya Aldric saat melihat Alexandra menyentuh wajahnya yang lebam.     

"Bolehkah aku masuk?" Tanya Alexandra dan Aldric kesulitan untuk menolak. "Em . . . ok, masuklah."     

Aldric membuka pintu lebih lebar dan Alexandra Cameroon melangkah masuk mendahuluinya. Pakaian Alexandra terlihat tidak rapi sama sekali, berbeda dengan gaya penampilan Alexandra biasanya. Mendengar ada suara orang, Sarah terbangun untuk memeriksa dan dilihatnya Aldric duduk di sofa ruang tamu bersama wanita asing. Sarah mendekat dan bertanya, "Maaf sir, apakah anda butuh dibuatkan sesuatu?" Tanya Sarah pada Aldric.     

"Tolong ambilkan mineral untuk tamuku." Ujar Aldric. dan Sarah bergegas ke dapur untuk mengambilkan air mineral untuknya. Beberapa saat kemudian Sarah kembali dengan dua gelas air mineral dingin.     

"Thanks, kau bisa istirahat Sarah." Ujar Aldric, tapi Sarah jelas tidak akan tinggal jiam jika majikan laki-lakinya berani menghianati Adrianna, majikan perempuannya yang sudah dia anggap seperti saudarinya sendiri.     

Alexandra segera sibuk mengambil alih perhatian Aldric kembali, "Kekasihku, em . . . maksudku ex." Alexandra mengkoreksi, "Dia datang dan tiba-tiba menyerangku tanpa alasan. Sepertinya dia mabuk." Ujarnya penuh drama.     

"Untung saja aku bisa melarikan diri dan pergi ke sini." Imbuhnya. Alis Aldric sempat berkerut, diantara begitu banyak temannya, karena Alexandra Cameroon juga dikenal sebagai sosialita, mengapa dia memilih rumah Aldric? Itu membuat si tampan calon ayah ini sedikit curiga.     

"Mengapa kau tidak melapor pada polisi?" Tanya Aldric.     

"Aku ketakutan, aku bahkan tak bisa berpikir. Yang ku ingat hanya kau, jadi aku kemari." Jawabnya.     

"Oh." Aldric mengangguk. "Minumlah, aku akan mengambilkan obat luka untukmu." Ujar pria itu sembari berjalan ke arah kamarnya. Sekilas dia melihat Sarah menguping, Aldric diam-diam memergokinya dan membuat Sarah gelagapan.     

"Maaf Sir." Sesal Sarah.     

"Aku tahu kau menguping demi Adrianna karena kau merasa dia temanmu, tapi demi Tuhan, aku tidak mengundang wanita itu datang. Dia datang ke rumah ini untuk menemuiku selarut ini aku juga tidak tahu alasannya apa. Jangan katakan apapun pada Adrianna." Peringah Aldric pada Sarah dengan suara berbisik, dia tak ingin Alexandra mendengar pembicaraan mereka.     

"Aku akan memintanya pulang setelah dia mengobati lukanya." Ujar Aldric. "Sekarang bawakan dia kotak obat dan obati lukanya lalu minta dia pulang." Ujar Aldric, Sarah mengangguk paham, dia mengambilkan kotak obat dan mendatangi Alexandra.     

"Maaf nona, biarkan saya mengobati luka anda." Sarah tersenyum lebar, tapi bukannya di sambut senyuman juga, Alexandra malah terlihat kesal.     

"Dimana Aldric?" Tanyanya.     

Sarah menelan ludah, "Tampaknya nyonya terbangun." Bohong Sarah.     

Alexandra menghela nafas dalam dan dengan kesal meninggalkan rumah itu. Dia benar-benar sudah totalitas agar terlihat seperti korban sungguhan dengan memukul wajahnya sendiri dengan tangannya berkali-kali. Alexandra bahkan membuat penampilannya begitu lusuh dan sengaja menarik bajunya hingga sobek lalu mengenakannya seolah itu ditarik oleh seseorang dengan paksa.     

Sarah menggelengkan kepala, "Dasar wanita penggoda." Gumamnya. Aldric keluar setelah Alexandra pulang dengan kesal, dan menghampiri Sarah.     

"Dia berusaha menggoda anda sepertinya." Ujar Sarah.     

"Mungkin." Aldric mengangkat bahunya. "Tapi kau tahu kan, aku sangat mencintai isteriku?" Aldric menyipitkan matanya ke arah Sarah dan wanita berkulit hitam itu menyeringai lebar memamerkan deretan giginya yang putih.     

"Aku akan menyusul Adrianna, tolong jaga rumah." Ujar Aldric.     

Sarah menautkan alisnya, "Bukan mengejar gadis itu kan Sir?" Tanyanya penasaran dan Aldric menggeleng.     

"Aku akan mengirimkan fotoku bersama isteriku saat tiba di rumah mertuaku agar kau percaya!" Kesal Adric sebelum mengenakan coat dan meninggalkan rumah itu juga Sarah asisten rumahtangganya.     

***     

Aldric tiba di rumah mertuanya dan semua orang tampak sudah tertidur, tinggal Ben yang masih duduk di meja bar, menikmati minum sendiri.     

"Hai. . ." Sapa Aldric .     

"Brother . . ." Aldric menjulurkan tinjunya dan Ben menjawabnya dengan tinju yang sama.     

"Apa Adrianna sudah tidur?" Tanyanya Aldric.     

"Kurasa begitu." Jawab Ben. "Kau ingin minum?" Ben menawarkan minuman untuk iparnya itu.     

"Boleh, sebelum aku menyusul isteriku." Ujar Aldric dan Ben menuang segelas minuman untuk iparnya itu.     

Ben tersenyum sembari mengangkat gelasnya, "Untuk semua perjuanganmu menjadi seorng ayah." Ucapnya dan Aldric menyeringai lebar. "Untuk semua penderitaan itu." Jawab Aldric, sejurus kemudian mereka menenggak minuman itu bersama.     

"Jangan buru-buru menikah, itu sangat menyulitkan." Ujar Aldric.     

"Benarkah?" Tanya Ben. "Apa kakakku serewel itu?" Imbuhnya.     

"Tidak sebelum dia mengandung." Geleng Aldric. Dia menyesap minumannya kembali dan berujar, "Sekarang dia bahkan alergi setiap kali berada dekat denganku." Selorohnya.     

"Ya, dia mengatakan padaku soal itu." Ben mengangguk. "Mungkin itu pengaruh hormon, dia tidak benar-benar membencimu."     

Aldric terkekeh, "Ya, kuharap setelah bayi itu lahir, isteriku bisa kembali ke pelukanku." Jawba Aldric. Mereka melanjutkan minum, tapi untuk gelas ke tiga Aldric menyerah. Dia memilih untuk menyusul Adrianna ke kamarnya dan berbaring memeluk isterinya itu. Adrianna yang terlalu lelah untuk lari lagi dari suaminya akhrinya pasrah, tidur dalam pelukan Aldric semalaman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.