THE RICHMAN

The Richman - Forgiveness



The Richman - Forgiveness

0Menjelang senja Aldric masih berada di rumahsakit, meski beberapa kali dia masuk ke ruangan dan berusaha membaur saat Adrianna mengobrol dengan mertuanya, tapi Adrianna tampak mengacuhkannya. Sekarang Jolenne bersiap untuk pulang setelah seharian menemani menantunya di ruang perawatan. Jolenne berjalan meninggalkan ruangan dan menghampiri Aldric.     

"Kalian bertengkar?" Tanya Jolenne pada puteranya itu, dan Aldric mengangkat alisnya. "Ya." Angguknya.     

"Kau memiliki wanita idaman lain?" Alis Jolenne bertaut menatap puteranya itu.     

"No." Geleng Aldric lemas, dan itu membuat ibunya menghela nafas dalam.     

"Jangan sampai bertindak bodoh atau kau akan kehilangan semuanya." Ujar Jollene sembari memeluk singkat puteranya sebelum menyusuri lorong untuk meninggalkan puteranya itu. Aldric menatap ibunya hingga dia menghilang di ujung lorong, barulah Aldric masuk ke dalam ruangan. Adrianna segera membuang muka saat Aldric masuk ke dalam ruangan.     

"Sampai kapan kau akan marah padaku?" Tanya Aldric. "Aku sudah meminta maaf padamu." Aldric menarik bangku dan duduk di dekat ranjang Adrianna, dia mengeluarkan ponselnya dan membuka halaman galery kemudian menyodorkannya pada Adrianna.     

"Setidaknya lihat ini dulu." Ujarnya. Adrianna yang semula berikukuh tidak ingin menoleh akhirnya luluh. Dia mengambil ponsel itu dan melihatnya.     

"Apa ini?" Tanyanya lirih.     

"Rumah untukmu dan bayi kita." Ujar Aldric, kalimat singkat itu membuat tenggorokan Adrianna mendadak terasa tercekat, wajahnya memanas dan matanya berkaca.     

"Kau sedang membangun rumah?" Tanya Adrianna ragu, dan Aldric mengangguk. "Alexandra Cameroon adalah arsiteknya." Ujar Aldric.     

Mendengar nama itu tampaknya ekspresi wajah Adrianna yang semula sempat penuh dengan binar keharuan mendadak menguap hilang. "Aku sedang tidak ingin mendengar namanya." Adrianna mengembalikan ponsel Aldric dan kembali membuang pandangan.     

"Dia arsitek muda berbakat, semua hasil kerjanya sangat baik. Aku memilihnya murni karena profesionalitas sayang." Aldric mengambil ponselnya dan meletakkannya di atas meja. Mendengar semua penjelasan Aldric itu, Adrianna bergeming, dia sama sekali tidak ingin mendengar apapun dari mulut suaminya itu, apalagi yang menyangkut Alexandra Cameroon.     

Aldric menghela nafas dalam. "Kupikir kau mempercayaiku, tapi sepertinya tidak." Ujar Aldric dengan nada datar. "Aku tetap akan menyelesaikan rumah itu, meskipun aku tahu dengan apa yang kau miliki, kau bisa saja meminta arsitek lain untuk membangun rumah lain untukmu." Aldric bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan keluar dari ruangan.     

Adrianna menelan ludah, mendadak pikirannya menjadi gusar. "Harusnya kau percaya pada suamimu." suara itu mendadak muncul dari dalam hatinya.     

"Suamimu melakukan semuanya untukmu. Dan jika kau benar-benar mencintainya, meskipun ada wanita lain yang mencoba menggoda suamimu, kau harus mempertahankannya, dengan segenap tenagamu, bukannya menjadi cengeng dan justru marah pada suamimu." Suara itu hadir kembali seolah sedang menghakimi Adrianna, meskipun suara itu juga timbul di dalam hatinya sendiri.     

"Berhenti bermanja di ranjang rumahsakit, segera pulih dan tunjukan pada wanita itu, bahwa apa yang menjadi milikmu akan tetap menjadi milikmu!" Pungkas suara dalam hati Adrianna. Adrianna menghela nafas dalam, seolah ingin menyingkirkan beban di dalam dirinya itu.     

***     

Menjelang pukul sepuluh malam, Aldric kembali masuk kedalam kamar. Adrianna sudah mendapatkan makan malamnya dan obat juga suntikan vitamin agar kondisinya semakin fit. Aldric masuk tapi tidak mendekat ke arah Adrianna. Dia duduk di sofa yang berjarak sekitar dua meter dari ranjang tempat isterinya berbaring. Adrianna yang memang belum tidur meskipun matanya terpejam itu menyadari kehadiran suaminya.     

Sementara Aldric rebah dengan satu tangan menyangga kepalanya, matanya menerawang ke langit-langit ruangan. Keheningan menguasai ruangan, sepasang suami isteri itu berbaring di bawah satu atap tapi tak saling bertatap, mereka bahkan tak saling berucap. Aldric mengusap keningnya dengan satu tangannya yang bebas, seperti ingin menyeka beban berat di pikirannya. Tak hanya soal rumah yang dia bangun, ataupun pertengkaran dengan Adrianna, ternyata meger perusahaan juga membuatnya cukup kehabisan energi karena begitu banyak yang harus dia pikirkan kemudian.     

"Apa kau benar- benar tidak tertarik pada Alexandra?" Suara Adrianna memecah keheningan, Aldric cukup terkejut karena akhirnya isterinya sendiri yang menyebut nama itu, meski dia mengatakan bahwa dia sama sekali tak ingin mendengar namanya.     

"Aku sudah mengatakannya berkali-kali, dan aku tidak akan menjawab pertanyaan yang sama lagi." Jawab Aldric, kali ini tampaknya dia ingin menjadi benar-benar tegas. Memang semua perempuan tampaknya sama, mereka hoby mempertanyakan sebuah pertanyaan yang sebenarnya seribu kalipun ditanyakan jawabannya akan sama. Dan lebih parahnya lagi, sebagian besar jawaban itu tidak bisa di terima dan di dalam kepala si perempuan, dia sudah memiliki jawaban sendiri untuk pertanyaannya. Seperti sebuah pertanyaan yang sering kali di lontarkan pada pasangan, "Apakah aku gendut?" Jawaban apapun yang diberikan oleh pasangannya menjadi salah setelahnya. Jika di jawab tidak, maka perempuan akan menganggap pasangannya tidak jujur, tapi kalau di jawab Ya, maka dia akan menyangka bahwa pasangannya mengkritik, sudah tidak sayang dan tuduhan-tuduhan lainnya.     

Sama halnya dengan pertanyaan yang barusan dilontarkan oleh Adrianna pada suaminya, meskipun Aldric seribu kali menjawab "Tidak" itu tidak akan mengurangi kecemburuan dan rasa curiganya pada sang suami sama sekali.     

"Aku ingin melihat rumah itu." Ujar Adrianna beberapa saat kemudian, dan itu membuat Aldric menoleh ke arahnya, meski tak langsung berkomentar, beberapa saat kemudian Aldric menjawab. "Setelah bangunannya selesai." Jawabnya singkat.     

"Mengapa kau tidak memberitahuku soal ini?' Tanya Adrianna.     

Aldric kembali menatap ke langit-langit. "Aku beharap ini akan jadi kejutan yang manis untukmu." Jawabnya, dan jawaban itu membuat Adrianna merasa sangat bersalah. Aldric sebagai seroang suami yang awalnya tampak tak siap menjadi ayah, kini memantabkan hati untuk menerima kehamilan isterinya dengan penuh semangat, dia bahkan memberikan hadiah rumah mewah di Manhattan secara diam-diam.     

"Dimana lokasi rumah itu?" Tanya Adrianna lagi, tampaknya kali ini dia mengalah, dia yang membuka begitu banyak pembicaraan saat Aldric sudah tak ingin lagi bicara.     

"Manhattan." Jawab Aldric singkat.     

"Apa orang tuaku tahu?" Adrianna mencoba mencairkan suasana.     

"Tidak." Jawab Aldric siingkat, tampaknya dua sudah kehilangan mood untuk berbasa-basi di malam selarut ini, setelah harinya yang sibuk meski tidak berada di kantor juga rasa kesalnya karena sempat diacuhkan oleh Adrianna, isterinya. Untuk beberapa saat, suasana mendadak menjadi begitu hening, Adrianna teridam karena merasa sudah mati langkah, tidak ada lagi kalimat yang bisa dia tanyakan pada Aldric. Lagipula tampaknya percuma mengajak bicara Aldric dalam situasi seperti ini.     

"Aku membeli rumah Mr. Laurent Kheil, dua blok dari rumah lama kalian." Ujar Aldric memecah keheningan diantara mereka. Mata Adrianna membulat mendengarnya. Rumah Mr. Laurent Kheil cukup dekat dengan rumah masa kecil mereka yang kini di tinggali Christabell dan Richard kembali setelah sempat direnovasi beberapa tahun lalu.     

"Aku berharap kau bisa tinggal dekat dengan orang tuamu, Richard dan Christabell bisa melihat cucunya sesering yang mereka inginkan, kalian juga bisa saling berkunjung dan menginap semau kalian." Ujarnya, dan itu benar-benar membuat Adrianna sangat terharu. Lingkaungan tempat tinggalnya di Manhattan benar-benar lingkungan yang nyaman untuk ditinggali. Berbeda dengan di Apartment, di sana rumah benar-benar terasa rumah karena bangunanny yang besar dan sangat homey.     

"Aku tidak menyangka kau berpikir sejauh itu." Adrianna berkaca.     

Aldric menoleh pada isterinya itu, dan melihat bulir-bulir di mata Adrianna mulai berjatuhan. Aldric bangkit dari tempatnya berbaring dan berjalan menghampiri ranjang isterinya itu. Aldric memutari ranjang dan beringsut naik ke atas ranjang untuk berbaring dan memeluk isterinya itu.     

"Percayalah, aku hanya mencintaimu dan akan selalu seperti itu." Bisik Aldric dari belakang kepala isterinya dan mengecup pundak Adrianna.     

"Sorry." Sesal Adrianna, dia menghapus jejak-jejak air mata dari wajahnya.     

"Jangan lagi berpikir macam-macam tentangku." Bisik Aldric, "Aku mencintaimu sebelum ada bayi ini, dan sekarang aku semakim mencintai kalian, kau dan bayi kita." Ujar Aldric. sekali lagi.     

"Maaf aku sudah mempermalukanmu di hadapan Mss. Cameroon."     

"Tidak masalah, dia sudah memaafkanmu." Jawab Aldric.     

"Apakah aku boleh meminta sesuatu?" Tanya Adrianna.     

"Apa?" Jawab Aldric singkat.     

Adrianna mengigit bibirnya, dia mempertimbangkan cukup lama pertanyaan yang bersarang di kepalanya ini, "Apakah aku boleh memintamu untuk mengganti arsitek?" Pertanyaan itu yang seharusnya dilontarkan oleh Adrianna tapi tampaknya dia mengurungkan niatnya, menghindari pertengkaran berikutnya dengan Aldric.     

"Apa aku boleh ikut denganmu setiap kali melihat lokasi rumah?" Pertanyaan cadangan yang mendadak muncul di benak Adrianna untuk menutupi pertanyaan semula yang kemudiang menguap hilang tak berbekas.     

"Tentu saja dengan senang hati." Jawab Aldric. Mendengar jawaban suaminya itu, sebuah pemikiran cerdas terlintas di benak Adrianna. Dia tidak harus melawan Alexandra Bloom dengan frontal jika dia bisa melakukannya dengan cara yang halus, salah satu caranya adalah dengan selalu hadir di tengah Aldric dan Alexandra hingga tak memberikan kesempatan untuk mereka berdua saja. Membiarkan Alexandra Cameroon memanfaatkan posisinya sebagai arsitek rumah untuk bertemu sesering mungkin dengan suaminya hanya akan berakhir menjadi malapetaka.     

Seorang isteri tidak akan mebiarkan suaminya dilirik oleh wanita lain, mereka bahkan rela menjadi bodyguard bagi suaminya. Resiko seorang isteri yang memiliki suami goodlooking dan juga memiliki pesona yang begitu besar untuk membuat hati para wanita meleleh saat berada di dekat mereka.     

Adrianna memutar tubuhnya hingga dia bisa saling menatap dengan suaminya itu sekarang.     

"Maafkan mommy dad..." Adrianna menirukan suara anak kecil, dan itu membuat Aldric tersenyum dibuatnya. Seolah-olah yang sedang berbicara padanya adalah bayi dalam perut Adrianna.     

"Ya . . . mommy sering sekali menuduh daddy dengan tuduhan-tuduhan kejam." Jawab Aldric dan Adrianna balik tersenyum mendengar hal itu.     

"Kenapa daddy tetap mencintai mommy padahal dia sangat menyebalkan?" Adrianna bertanya kembali dengan menirukan suara anak kecil.     

Aldirc mengerucutkan bibirnya. "Em, . . . terkadang itu membuat daddy sangat marah hingga ingin mengigit mommy." Jawabnya, dan itu membuat Adrianna menatap suaminya dengan mata berkilat-kilat penuh kerinduan. Benar kata orang, setiap kali sepasang suami isteri atau sepasang kekasih saling bertengkar, pada akhirnya mereka akan saling mencinta dengan sangat hebatnya, karena sejujurnya mereka menyimpan kerinduan yang begitu besar di dalam diri masing-masing.     

Aldric mengecup bibir isterinya itu dengan lembut, dan Adrianna membalasnya dengan ciuman yang penuh gairah, namun Aldric segera menarik dirinya.     

"What?" Tanya Adrianna bingung.     

"Tidak bagik bagi seorang wanita yang sedang hamil muda untuk mengalami orgasme, apalagi kehamilanmu cukup rewel." Ujar Aldric, dan itu membuat Adrianna patah hati seketika.     

"Aku akan memelukmu sebagai gantinya." Aldric mencoba memberikan opsi lainnya, tapi tampaknya pelukan hangat saja tak cukup bagi Adrianna. Seperti kebanyakan perempuan hamil, nafsu birahi mereka justru bisa saja lebih tinggi dari pada saat mereka tidak sedang hamil. Namun bagi kehamilan beresiko, sangat tidak dianjurkan untuk bercinta selama masa kehamilan karena dimungkinkan akan terjadi gangguan seperti pendarahan bahkan hingga keguguran jika tetap dipaksakan.     

Adrianna tampak layu setelah menerima penolakan dari suaminya itu. "Dokter memberitahuku bahwa kehamilanmu memang tak terlihat bermasalah, tapi sejujurnya setelah riwayat pingsan dan anemia dokter mengatakan kehamilanmu memiliki resiko dan tidak disarankan untuk bercinta di awal kehamilan." Ujar Aldric berusaha menenangkan isterinya itu, namun Adrianna bergeming, tampaknya dia tak ingin mendengar penjelasan apapun dari Aldric.     

"Ini bukan karena aku tidak tertarik padamu karena kau hamil, atau karena aku tertarik pada wanita lain, tidak sama sekali." Aldric melanjutkan penjelasannya. "Aku hanya ingin melindungimu dan melindunginya." Aldric menyingkap piyama rumahsakit yang dikenakan isterinya itu dan menyelipkan tangannya di balik piyama untuk menyentuh perut bagian bawah Adrianna yang mulai mengeras meski belum terlalu membuncit.     

"Aku menyayanginya sayang." Bisik Aldric. "Aku tidak ingin egoku melukainya." Imbuhnya, dan sentuhan lembut tangan Aldric di perutnya itu tampaknya bisa meluluhkan hati Adrianna. Wanita itu menatap suaminya.     

"I love you more then anything." Aldric menatap isterinya itu dan mengusap perut isterinya. "Begitu juga dengannya." Imbuh Aldric, dia meraih wajah isterinya dan mengecup keningnya. Aku harus menjagamu dan menjaganya dengan sangat baik, dengan segenap kemampuan yang kumiliki. Dan untuk itu aku juga memohon agar kau bisa menjaga dirimu dan menjaganya." Aldric menatap Adrianna. "Aku berharap tidak ada lagi kejadian seperti kemarin, kau pergi dari rumah tanpa membawa ponselmu dan melakukan hal-hal yang bisa membahayakan dirimu dan bayi kita." Pinta Aldric dengan nada memohon dan itu membuat Adrianna mengangguk paham.     

"Aku benar-benar ingin melihatmu melahirkan bayi kita." Ujar Aldric dan Adrianna mengangguk. Mereka berciuman sekali lagi, namun kali ini bukan ciuman penuh hasrat dan gairah, ini adalah ciuman penuh cinta dan kasih sayang. Hingga ciuman itu berakhir dengan pelukan hangat dan tak ada yang terluka karena masing-masing bisa mengendalikan ego mereka demi kebaikan bersama.     

Terkadang pertengkaran suami isteri terjadi karena kedua belah pihak merasa mereka sudah berjuang paling banyak atau berkorban paling banyak dalam rumahtangga sehingga timbul rasa ketidak puasan terhadap pasangannya. Dan yang paling berbahaya dari ketidak puasan terhadap pasangan adalah menghambarnya hubungan suami isteri, kemudian mulai memperbandingkan pasangan dengan orang lain, entah itu pria lain ataupun wanita lain. Jadi sangat penting bagi suami isteri untuk mengkomunikasikan segala hal dengan kepala dingin dan pikiran terbuka agar tidak ada yang merasa berkorban paling besar atau berjasa paling besar dalam rumahtangga hingga harus melukai hati pasangan dengan mendisreditkannya. Contoh yang nyata adalah seorang suami yang mengatakan bahwa dia bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah, dan isterinya hanyalah ibu rumahtangga, atau sebaliknya. Padahal dalam rumah tangga semuanya memiliki kewajiban masing-masing yang tentu saja berbeda namun tujuannya sejatinya sama, sama-sama berjuang dan bekerja untuk keluarga, agar keluarga mereka bisa mejalani hidup dengan bahagia. Tampaknya Aldric dan Adrianna yang semula belum menemukan ritme yang tepat kini sudah mulai bisa berpikir dan bertindak sejalan satu dengan yang lainnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.