THE RICHMAN

The Richman - Become Real Enemy



The Richman - Become Real Enemy

0Aldric berjaga semalaman setelah dia memberikan kabar pada ayah mertuanya bahwa Adrianna sudah pulang. Dia bahkan merahasiakan keberadaan Adrianna agar mertuanya tidak cemas. Menjelang pagi, Adrianna terbangun dan melihat Aldric duduk di sebelahnya, terpejam dengan tangan terlipat di dada. Kepalanya bersandar di sandaran kursi, dia tampak kelelahan, masih memakai kemeja kerjanya yang dia pakai kemarin. Adrianna merasa begitu bersalah melihat suaminya seperti itu.     

Adrianna beringsut untuk turun, dia merasa ingin berkemih, dan ternyata saat dia turun jarum infusnya tersangkut hingga tiangnya terguling dan jatuh hingga menimbulkan bunyi berdebam keras yang akhirnya membagungkan Aldric.     

"Hei . . ." Aldric mengerjapkan matanya, begitu dia tahu apa yang terjadi, Aldric berlari ke arah Adrianna dan segera membantunya.     

"Aku ingin ke kamar mandi." Adrianna menatap Aldric dengan tatapan puppy eyes.     

"Akan ku antar." Aldric membimbing Adrianna ke kamar mandi dan menunggunya berkemih, Aldric bahkan tidak membiarkan Adrianna berada di dalam kamar mandi sendirian. Dia menunggu sampai Adrianna selesai, membantu isterinya itu merapikan kembali pakaiannya dan menuntunnya keluar. Setelah itu Aldric membantu Adrianna kembali duduk dan berbaring di ranjangnya. Begitu Adrianna berbaring dengan posisi yang nyaman, Aldric baru membetulkan posisi tiang infuse yang jatuh tadi.     

"Tunggu di sini, aku akan memanggil perawat." Aldric keluar dari ruangan untuk memanggil perawat karena selang infuse di tangan Adrianna terlepas dengan paksa saat tiang infusenya terpelanting jatuh ke lantai. Tak berapa lama seorang perawat datang dengan membawa kantong infuse baru lengkap dengan selang dan juga jarum yang baru. Dia mengganti infuse di tangan Adrianna yang rusak karena tercabut secara tidak sengaja tadi.     

"Aku akan memeriksa tekanan darah anda sekalian." Ujar sang perawat. Adrianna mengangguk, dia segera memeriksa tekanan darah Adrianna dan tersenyum setelah mengetahui hasilnya.     

"Tekanan darah anda normal." Ujar sang perawat.     

"Lalu mengapa kemarin mendadak isteriku pingsan?" Tanya Aldric pada perawat itu.     

Sang perawat tersenyum, dia menatap Adrianna kemudian berganti menatap Aldric, "Anda bisa bertanya pada isteri anda." Senyumnya kembali dan Adrianna mengigit bibirnya. Aldric menatap dalam pada Adrianna begitu dia berusaha menghindari tatapannya. Al berjalan mendekat dan duduk di sisi ranjang suaminya. "Jadi apa yang kau perbuat sampai kau pingsang Mrs. Bloom?" Aldric bertanya penuh selidik, dan Adrianna tidak berani menatap suaminya itu.     

"Katakan padaku Mrs. Bloom." desak Aldric.     

"Em . . . aku tidak makan sejak pagi." Jawabnya lirih.     

"Oh . . . lalu?" Tanya Aldric lagi.     

Adrianna berdehem, dia masih tidak berani menatap langsung mata suaminya itu. "Aku menemui Alexandra."     

"Ok . . ." Aldric melipat tangannya di dada. "Lalu?" Tanyanya lagi, dia benar-benar harus menginterogasi isterinya ini sampai mau mengatakan semua fakta tentang apa yang dia lakukan di apartment Alexandra Cameroon.     

"Aku menyerangnya." Jawab Adrianna hampir tak terdengar, alis Aldric terangkat saat mendengar kebodohan yang sempat dilakukan Adrianna di apartment Alexandra Cameroon itu.     

"Kau menyerangnya karena . . .?" Aldric menatap Adrianna, menuntut jawaban yang tegas, tapi lagi-lagi Adrianna tak berani membalas tatapan suaminya itu. Dia hanya berani melihat Aldric dari balik bulu matanya. "Aku hanya berusaha mempertahankan apa yang menjadi milikku." Jawab Adrianna cepat.     

"Mempertahankan dari . . .?" Aldric masih terus mengejar jawaban Adrianna dengan pertanyaan lanjutan, bagaikan seorang penyelidik yang menginvestigasi sebuah kasus.     

"Dari orang yang akan merebutnya." Adrianna mengangkat wajahnya, akhirnya dia berani dengan tegas menjawab pertanyaan suaminya itu.     

"Merebut apa darimu?" Tanya Aldric lagi, rupanya Aldric belum puas dengan semua jawaban isterinya itu.     

"Merebutmu!" Bentak Adrianna, suaranya meninggi dan dia benar-benar kehilangan kendali dirinya seketika.     

Aldric menggeleng tak percaya, dia menekan pangkal hidungnya, "Aku tidak percaya kau sebodoh itu Adrianna Bloom."     

Adrianna yang semula sudah cukup marah menjadi semakin tidak terima karena Aldric mengatainya bodoh. "Kau bilang aku bodoh?" Alis Adrianna berkerut, dia jelas terlihat tersinggung dengan pernyataan Aldric barusan.     

"Tindakanmu bodoh." Aldric mengkoreksi.     

Adrianna berkaca-kaca, "Keluar dari ruangan ini sekarang juga." Adrianna membuang muka, air matanya berjatuhan. "Aku tidak membutuhkanmu atau siapapun mulai sekarang!" Ujarnya dengan suara bergetar, Adrianna terlihat sangat marah. Sekarang semua yang ada di dalam pikirannya seolah menjadi mutlak benar, Aldric tidak lagi mencintainya. Dia bahkan berani mengatakan bahwa dia wanita yang bodoh, atau tindakannya bodoh setelah mengenal wanita sexy bernama Alexandra Bloom itu.     

"Sayang, kau terlalu sentimentil." Aldric berusaha meredakan amarah Adrianna, dia meraih tangan wanita itu dan Adrianna menyibakkannya.     

"Aku akan hidup dengan anakku. Aku tidak akan peduli dengan siapa kau memenghabiskan waktumu, dengan siapa kau berbalas pesan atau berbicara di telepon. Mulai detik ini jangan mengangguku lagi." Adrianna menatap Aldric dengan wajah penuh amarah. Dia benar-benar mengambil kesimpulan dari semuanya secara sepihak dan sewenang-wenang. Seperit Adrianna biasanya, dia tidak terbiasa mendengarkan penjelasan orang lain. Dia lebih suka mencaritahu, dan menghubungkan antara fakta satu dengan fakta lainnya kemudian membuat kesimpulan tanpa mengkonfirmasi lagi kejadian yang sebenarnya.     

Aldric yang tahu bahwa kondisi emosi Adrianna sangat labil karena perubahan hormon di awal kehamilan itu memilih diam. Dia keluar dari ruangan itu dan duduk di kursi tunggu di luar ruangan. Sementara Adrianna berlinangan air mata sembari mengusap-usap perutnya.     

Tak berapa lama ponsel Aldric yang dia simpan di saku celana bergetar. Aldric mengambilnya dan melihat panggilan masuk dari Alexandra.     

"Halo." Aldric membuka suara.     

"Hai." Jawab Alexandra. "Aku benar-benar merasa tidak enak hati padamu." Ujarnya, entah mengapa Alexandra menjadi begitu peduli terhadap citranya di mata Aldric sekarang ini.     

"Aku justru yang merasa tidak enak hati karena apa yang dilakukan isteriku padamu." Jawab Aldric.     

Alexandra mengigit bibirnya, entah mengapa setiap kali mendengar suara Aldric desiran darahnya seolah semakin deras, tapi setelah kejadian tadi pagi di rumahsakit, hal itu menajdi semakin terasa. "Aku bisa menemanimu menjaga isterimu jika kau butuh teman." Ujarnya menawarkan diri.     

"Tidak perlu. Lagipula kau sangat sibuk dengan pekerjaanmu."     

"Aku off hari ini." Jawabnya cepat. "Kau pasti belum sarapan, aku akan datang membawakan sarapan untukmu dan isterimu. Juga baju ganti untukmu jika kau tidak keberatan, kulihat kau masih memakai baju yang sama dengan kemarin." Ujar Alexandra.     

"Oh, ya. Aku belum sempat mandi semalam." Aldric tersenyum, mentertawakan dirinya sendiri.     

"Ok, aku akan membuat sarapan dan kembali ke rumahsakit." Alexandra menjawab.     

"Sebenarnya tidak perlu. Aku benar-benar tidak ingin merepotkanmu." Tolak Aldric secara halus. Apalagi isterinya sedang marah besar soal kedekatannya dengan Alexandra yang dianggap Adrianna sebagai sebuah afair. Jika Alexandra datang pagi ini dengan baju ganti dan sarapan, entah apa yang akan dilakukan Adrianna, Aldric tahu betul bahwa selain keras kepala, isterinya adalah wanita yang nekat.     

"Aldric, aku tahu kita belum lama saling mengenal. Tapi aku sudah menganggapmu seperti temanku." Ujarnya santai, dan sok akrab. Meski jelas sekali ada udang di balik batu dari semua kebaikan yang mendadak ingin Alexandar lakukan untuk Aldric Bloom. Bahkan mungkin Aldric Bloom akan menjadi klien spesial yang membuat Alexandra rela melepas klien-klien besar lainnya.     

"Em, kondisi isteirku belum stabil. Mungkin sebaiknya kau tidak datang ke rumahsakit." Aldric mengatakna faktanya pada akhirnya, dengan sangat tidak enak hati. "Aku sungguh tidak enak hati karena tuduhan isteriku, dan aku tidak mau tuduhannya padamu semakin membabibuta."     

"Tidak masalah, aku akan menjelaskan semuanya pada isterimu."     

"Alexandra, situasinya belum tepat. Kumohon mengertilah."     

Alexandra tampak kesal, meski Aldric tak melihat ekspresinya, "Ok. Aku tetap akan mengantar sarapan dan baju ganti untukmu. Aku tak perlu bertemu dengan isterimu sekarang, aku bisa minta maaf lain waktu." Alexandra menjadi mati-matian ingin merebut hati Aldric, entah setan mana yang merasukinya saat ini.     

Panggilan diakhiri oleh Alexandra secara sepihak, dan satu jam kemudian dia datang dengan sarpaan dan juga baju ganti yang dibawakan untuk Aldric. Alexandra bahkan membelikan semuanya baru dengan brand yang tidak main-main.     

"Hai." Alexandra menyapa Aldric yang duduk di luar ruang perawatan Adrianna.     

"Aku sudah mengatakan agar kau tidak perlu repot-repot." Ujar Aldric, sebenarnya Aldric juga merasa risih dengan perlakukan berlebihan dari Alexandra. Semula hubungan mereka benar-benar profesional sebagai arsitek dan klien, namun jika hal ini terus berlanjut, bukan tidak mungkin tuduhan Adrianna yang tak berdasar menjadi kenyataan pada akhirnya.     

"Aku hanya mampir sebelum ke kantor." Alexandra tampaknya sangat mahir dalam bergrilya, menyerang secara diam-diam hingga musuh bahkan tak merasakan itu sebagai serangan.     

"Thanks, kau sangat baik."     

"Sama-sama, itu gunanya teman." Jawab Alexandra. "Oh ya, jika kau tidak keberatan aku bisa menemanimu sarapan, lagipula aku juga belum sarapan." Ujarnya.     

"Em . . ." Aldric menelan ludah, rahangnya seklias mengeras. "Sebenarnya aku tidak terbiasa sarapan pagi." Aldric berbohong, dia tampak ingin menghindari kontak yang lebih erat dengan Alexandra Cameroon.     

"Oh, ok kalau begitu. Aku akan ke lokasi pembangunan rumahmu. Akan kukabari begitu aku sampai di sana." Ujarnya, wanita itu tampaknya cukup tahu diri hingga akhirnya memilih untuk undur diri dari hadapan Aldric. Tapi dibalik diamnya, Alexandra Cameroon menjadi sangat penasaran untuk bermain api yang lebih besar lagi.     

Lagipula, Alexandra menganggap ini sebagai sebuah tantangan yang menyenangkan untuk dilakukan. Bermain api dengan suami orang, hal yang sebenarnya pernah dia lakukan beberapa tahun lalu saat dia menikmati memiliki sosok sugar daddy. Awalnya Alexandra melakukannya demi uang, untuk membantu membayar biaya kuliah juga menuruti gaya hidupnya yang glamour dan senang berpesa meski dia dilahirkan di kluarga biasa saja di Coronado. Dia pindah ke New York untuk sekolah dan berkarir. Dua tahun lalu sang sugar daddy meninggal dunia karena kecelakaan, dan Alexandra menemukan sosok baru yang menarik hatinya, Aldric Bloom. Dia sama sekali belum tua, tapi sangat kaya raya. Bahkan tak seperti mantan sugar daddynya, yang gendut dan botak, Aldric Bloom benar-benar tampan, atletis, cerdas, menawan dan menatikan.     

Alexandra tersenyum dalam hatinya, senyum penuh kejahatan saat bersiap untuk meninggalkan area rumahsakit. "Adrianna Bloom . . . mari kita bersaing." Gumam Alexandra.     

"Kau boleh cantik, tapi aku lebih cerdas. Dan aku tahu betul bagaimana menangani suamimu." Imbuhnya. Alexandra menyalakan mesin, menekan pedal gas cukup dalam hingga membuat mobil yang dia kendarai melesat meninggalkan area parkir rumahsakit.     

***     

Aldric duduk tertegun menatap paper bag berisi pakaian gantinya juga satu lagi kotak makan susun tempat Alexandra menyimpan sarapan pagi untuknya. Alexandra adalah wanita asing yang memberikan perhatian penuh padanya. Sementara di dalam ruangan ada isterinya, yang dia cintai dengan sepenuh hati, sedang begitu marah padanya bahkan tak sudi melihatnya.     

Aldric meremas wajahnya, dia meraih ponselnya dan menghubungi sekretarisnya untuk membatalkan semua acaranya hari ini. Seharian Aldric tidak akan beranjak dari rumahsakit, karena dia akan menjaga Adrianna dengan sangat baik, meski isterinya tak sudi melihat wajahnya.     

Setelah menghubungi sekretarisnya, Aldric menghubungi ibunya. Meminta ibunya datang dan menjaga Adrianna sementara Aldric pulang untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Aldric bahkan tak menyentuh sarapan itu. Begitu ibunya datang, Aldric mengatakan bahwa soerang teman membawakannya sarapan, dan memberikan rantang makanan itu pada ibunya. Sementara aldric membawa pulang pakaian ganti yang dibawakan Alexandra untuknya dan meletakkannya begitu saja di meja dapur.     

"Anda ingin aku mencucinya Sir?" Tanya Sarah.     

"Berikan itu pada Alfonso. Itu pakaian baru." Ujar Aldric, Alfonso adalah supirnya, dan Sarah mengangguk paham. Adlric benar-benar hanya pulang, mandi, berganti pakaian dan kembali ke rumahsakit.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.