THE RICHMAN

The Richman - Will Always Love



The Richman - Will Always Love

0Hari ini Christabell melakukan pemeriksaan kembali setelah sebelumnya sempat menjalani general check up, dan benar saja, diagnosa dokter menagarah ke cadasil. Penyakit langka yang diturunkan dari ibunya karena penyakit tersebut bersifat generatif.     

"Mr. Anthony dan Mrs. Anthony. Hasil pemeriksaan sudah keluar dan sekarang aku harus mengatakan semuanya pada anda berdua." Sang dokter begitu profesional ketika membuka pembicaran diantara mereka bertiga.     

"Ini situasi yang sulit, dan setelah melakukan pemeriksaan fisik juga melihat dari hasil lab, Mrs. Anthony menderita gejala Cadasil."     

"Gejala?" Alis Richard bertaut, "Apa itu berarti bisa diobati?" Tanyanya cepat.     

Dokter tersenyum, "Cadasil adalah sebuah penyakit yang berkaitan dengan mutasi gen yang menyebabkan masalah pada otot di sekitar pembuluh darah di otak yang bisa mengakibatkan berbagai keluhan seperti migrain berat, gangguan kecemasan dan gejala-gejala lainnya." Ujar sang dokter. "Untuk kasus Mrs. Anthony, ada riwayat dari mendiang ibunya, Layla Stone yang mengalami penyakit yang sama." Imbuh sang dokter.     

"Gejala cadasil sebenarnya bisa disebut juga dengan cadasil dalam stadium yang masih cukup awal, namun bukan berarti bisa diobati, karena hingga saat ini belum ditemukan obat untuk menyembuhkan Cadasil." Sang dokter menatap ke arah Christabell dan Rich bergantian. Wajah Christabell sudah sangat pucar, tangannya dingin dan dia begitu ketakutan mendengar vonis dokter ini.     

Richard meremas tangan isterinya, dia menatap isterinya sekilas sebelum kembali bertanya pada dokter, "Apa yang bisa kami lakukan sekarang?" Tanya Richard.     

"Berikan dukungan terbaik bagi pasien, itu satu-satunya cara melewati semua ini dengan baik. Selain itu kami akan memberikan multivitamin dan obat pereda rasa nyeri jika diperlukan untuk meredakan migrain yang dialami oleh pasien." Papar sang doter, dia mengalihkan pandangannya pada Christabell, "Mrs. Anthony, meskipun penyakit ini tergolong langka, tapi beberapa pasienku bisa tetap menjalani hari mereka dengan baik dan berkualitas, coba menikmati hari-hari yang menyenangkan dan membahagiakan bersama keluarga dan komunitas. Anda bisa menemukan berbagai komunitas yang sama-sama berjuang melawan penyakit generatif seperti anda." Dokter berusaha meneguhkan, dan Bell tersenyum palsu, sejujurnya dalam hatinya menjerit sedih mendengar semua yang dokter katakan.     

"Terimakasih dok." Richard dan Christabell memilih untuk pamit undur diri dari ruangan dokter. Richard terus memegangi isterinya sementara mereka berjalan keluar dari ruangan dokter. Chrsitabell yang merasa kakinya bagaikan tak memiliki tulang memilih untuk duduk di sebuah kursi panjang di lorong rumahsakit.     

Disana Chrisatbell menutup wajahnya dengan kedua tangan dan mulai menangis. Tidak ada lagi yang tersisa baginya. Meskipun ini bukan kali pertama dia mendengar bahwa dia mengalami Cadasil, tapi hari ini sebelum berangkat kerumahsakit Christabell sempat berdoa, berharap bahwa diagnosa dokter tempatnya memeriksakan diri pertama kali salah. Dan pemeriksaan kedua ini akan memberikan hasil yang baik. Christabell benar-benar mengharapakn mujizat dan ternyata apa yang dia harapkan tidak terjadi.     

Melihat isterinya begitu hancur, mata Richard juga berkaca. "Sayang . . .' Richard mendekap isterinya dalam pelukan dan mengusap-usap pungungnya. Yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah memberikan ruang bagi Chrsitabell untuk bisa menenangkan dirinya sendiri. Dalam situasi seburuk yang dialami Christabell tentu saja satu-satunya hal yang paling mungkin dilakukan adalah menangis.     

***     

Butuh beberapa saat bagi Christabell untuk bisa menenangkan diri kemudian. Setelah itu Rich dan Bell berjalan ke cafetaria rumahsakit untuk mencari kopi hangat. Mungkin dengan secangkir kopi hangat situasi yang membeku ini bisa cukup mencair.     

Saat ini Richard dan Christabell duduk berhadapan dengan dua cangkir kopi panas yang masih mengepul di atas meja di hadapan mereka. Wajah Christabell mendung, seolah dia tak lagi memiliki semangat untuk melanjutkan hidupnya, sementara hati Richard pun hancur setelah mendengar kabar buruk itu dari mulut dokter profesional, namun tampaknya dia mmemilih untuk menyembunyikan keresahannya itu untuk dirinya sendiri.     

"Aku akan segera lupa banyak hal." Christabell tersenyum ironis sembari menatap sang suami, Richard meraih tangannya dan mengecupnya, "Kita akan melewati ini bersama." Rich berusaha membesarkan hati Christabell meski dia tahu semua usahanya itu akan sia-sia.     

Christabell menghela nafas dalam, seolah beban berat tengah menggelayuti dirinya, "Aku sempat berpikir bagaimana jadinya jika aku merwarisi penyakit ibuku. Tapi setelah berpuluh tahun dan itu tidak terjadi, aku merasa aku akan baik-baik saja, but now . . ." Christabell menghentikan kalimatnya. "Aku bahkan tidak tahu sampai kapan aku bisa mengingat semuanya yang masih kuingat sekarang." Ujarnya.     

"Aku akan meninggalkan semuanya sekarang juga, kita akan pergi ke tempat-tempat yang kau inginkan. Atau jika kau ingin tinggal di pedesaan yang sejuk dan damai, aku akan mencari tempat itu dan kita akan pindah ke sana." Richard berusaha dengan sekuta hati untuk memberikan yang terbaik meski mungkin kondisi Christabell bukannya akan lebih baik, justru semakin buruk.     

"Kau tidak bisa membiarkan anak-anak sendirian demi mengurusku." Tolak Christabell. "Aku pernah melihat bagaimana ibuku melewati semua itu dan aku yakin, aku pasti bisa melewatinya juga." Christabell tersenyum, sepertinya kini dia sendiri yang berusaha untuk membesarkan hatinya. Sejujurnya bagi orang sakit, tidak ada dukungan yang benar-benar berarti dan bisa membersarkan hati mereka kecuali diri mereka sendiri. Orang lain melihat kemudian mengasihani, memberi nasehat dan dukungan, tapi bagi si sakit semua itu rasanya seperti hembusan angin yang menerpa dan lewat begitu saja, tidak ada orang yang benar-benar paham situasinya selain dirinya sendiri.     

Untuk bisa menjalani masa-masa sulit dalam menghadapi sebuah penyakit, yang pertama harus dilakukan orang itu adalah menerima kondisinya. Jika sudah seperti itu, perjalanan kedepan yang akan semakin berat sudah bisa dia perkirakan dan si sakit akan bisa melewatinya dengan lebih baik, itu juga yang tengah coba dilakukan oleh Christabell.     

"Aku akan mengajak anak-anak bicara soal ini." Ujar Richard.     

Christabell menatap suaminya, "Itu duniamu sayang, working is your world." Tolak Bell.     

Richard menggeleng. " You're my world." Jawab Richard, dia menekankan kalimat itu dan menatap dalam ke mata isterinya. "I will always love you." Bisiknya sebelum mengecup tangan Christabell.     

"Sorry . . ." Chrisatbell justru terlihat sedih. "Aku selalu berpikir kita akan menua bersama, atau setidaknya aku bisa mengurusmu di masa tuamu, dak sekarang . . ." Kalimat tertahan.     

"Tidak ada tanggung jawab untuk siapa yang mengurus siapa, aku mencintaimu dalam keadaan apapun, dan bukan masalah bagiku jika aku yang harus mengurusmu sayang."     

Christabell membuang pandangannya sekilas, "Apa sebaiknya aku pergi ke panti jompo." Ujarnya dengan air mata berlinangan.     

"Apa yang kau katakan!" Rich terlihat marah mendengar kalimat Christabell barusan, dan tangis wanita itu kembali pecah.     

"Aku hanya akan menyusahkanmu dan anak-anak." Ucapnya di sela isakan.     

Richard meraih isterinya itu dan menggulungnya dalam pelukan. "Jangan berpikir hal-hal seperti itu, aku tidak akan membiarkanmu melewati masalah ini sendiri. Aku ada untukmu sayang, aku ada untukmu." Richard mengecup kening isterinya itu berkali-kali. "Aku tidak akan membiarkanmu pergi dariku, tidak akan pernah." Ujar Richard meyakinkan. Untuk beberapa saat Richard membiarkan Chrisatbell mengungkapkan kesedihannya dalam tangis, hingga cukup mereda barulah mereka meninggalkan rumahsakit.     

***     

Richard berkendara dengan mobilnya. Dia menyetir mobilnya sendiri sementara Christabell duduk dalam diam di sebelahnya. Hampir sepanjang perjalanan mereka tak saling bicara, Chrsitabell sibuk mengasihani dirinya sendiri sementara Richard kehabisan kata-kata untuk mengungkapkan dukungannya.     

Dalam perjalanan terbersit di benak Richard untuk membeli sesuatu, hingga dia menepikan mobilnya saat melewati sebuah outlet penjual barang elektronik ternama di pusat kota.     

"Aku akan membeli sesuatu, ikutlah turun."Pinta Rich.     

"Aku akan menunggu di mobil." Tolak Christabell     

"Kau yakin kau tidak ingin turun bersamaku?" Tanya Rich dan Chsiitabell menggeleng.     

"Ok, tunggulah sebentar." Richard meninggalkan mobilnya dan tak sampai limabelas menit dia ke dalam mobil dengan paperbag ditangannya.     

Rich masuk ke dalam mobil dan tampak Christabell tertidur dengan kepala bersandar di sandarabn beakang kursi. Tapi saat Rich menutup pintunya Bell tampak terbangun,     

"Hei, maaf harus menunggu lama." Sesal Rich, Bell menggeleng sekilas, suasana hatinya benar-benar buruk sekarang ini. Tanpa membuang waktu Richard menyerahkan paperbag di tangannya pada isterinya, "It's for you." Ujarnya.     

"What is it?" Alis Christabell berkerut menatap paper bag itu.     

"It's a gift." Ujar Richard singkat, Christabell membukan bungkusan itu dan menemukan sebuah kamrea canggih keluaran produsen ekektronik ternama dunia.     

"Kamera?" Alis Chrsitabell bertaut menatap ke arah suaminya.     

"Ya." Angguk Rich.     

"Untuk apa kamera?" Christabell memegang kamera mahal yang bisa merekam video dengan durasi yang cukup panjang sekaligus juga bisa dihubungkan dengan mesin pencetak foto melalui bluetooth.     

"Kau bisa merekam setiap moment yang ada." Ujar Richard dengan senyum yang menyentuh matanya, "Meskipun memorimu tidak bisa lagi menyimpan banyak kenangan, benda ini bisa membantumu mengingat semuanya." Ujar Richard. Mendadak senyum mengembang di wajah Christabell.     

"Aku akan hidup dengan kamera ini selama duapuluh empat jam setiap hari." Bell mulai menyalakannya dan merekam. "Hei, katakan siapa kau pak tua?" Tanya Christabell begitu kamera mulai merekam wajah suaminya itu, dan indikator berkedip merah tanda rekaman tengah dibuat.     

"Hai, aku Richard Anthony. Aku suamimu." Senyum Rich mengembang menghadap ke arah kamera.     

"Ceritakan tentang dirimu." Pinta Christabell.     

Richard mengerucutkan bibirnya sekilas. "Aku akan menceritakan bagiamana pertama kali aku bertemu dengannya, tapi kurasa tidak sekarang. Aku akan menyetir pulang sekarang." Richard mengarahkan tangannya ke kamera dan Christabell berhenti merekam.     

"Ok, ini seru. Aku suka hadiahmu." Christabell menyalakan kembali tombol yang sempat dia matikan, dan sekarang dia mengarahkan kamera itu ke arah wajahnya sendiri.     

"Hai, namaku Christabell Anthony. Aku adalah isteri dan pria yang menyetir di sampingku." Christabell memutar kameranya hingga menghadap ke wajah Rich dan Rich melambai ke arah kamera.     

"Kami dalam perjalanan dari dokter yang mendiaknosaku dengan penyakit aneh yang aku sendiri sulit menerimanya, Cadasil." Ujar Christabell pada kameranya. "Semakin hari memoriku akan semakin menurun dan aku akan mulai kesulitan mengingat banyak hal. Dengan menonton ini, aku berharap bisa membantuku mengenali siapa diriku, saat memori otakku tak lagi mampu mengenali diriku sendiri." Suara Chrisatbell bergetar, dan matanya berkaca. Untuk bebrapa saat dirinya merasa begitu buruk, tapi Bell menghela nafas dalam untuk kembali menetralkan dirinya dan tersenyum lebar ke arah kamera.     

"Ok, aku berjanji tidak akan membuang waktu dengan menangisi banyak hal, aku akan menikmati setiap detik dalam hidupku dengan sebaik-baiknya, selama aku masih diberikan kekuatan untuk mengingat, aku akan menciptakan kenangan-kenangan yang indah." Christabell melambaikan tangannya ke arah kamera dan mematikannya. Dia memangku kamera itu, Richard yang melihat kerapuhan isterinya segera meraih tangan isterinya itu dan mengenggamnya sementara satu tangannya yang lain memegang kendali mobil dengan kuat.     

"Aku akan selalu ada di sisimu sayang. "Richard meyakinkan Christabell.     

"Thanks." Wanita setengah baya itu tersenyum. Mendadak terbersit di ingatannya, bagaimana beberapa puluh tahun lalu dia berdiri berhadapan dengan Rich dan mengatakan semua janji sucinya, bahwa mereka akan selalu bersama-sama dalam suka dan duka, dalam sehat maupun sakit, dalam untung dan malang. Mungkin penyakit ini akan membuktikan janji suci mereka kala itu,     

Perjalanan pualang kali ini memang jauh lebih berat dari rubuan bahkan puluhan ribu perjalanan pulang yang pernah mereka tempuh sebelumnya selama pernikahan mereka. Kali ini kondisi Christabell akan menjadi tantangan baru di usia pernikahan mereka yang hampir mencapai tigapuluh tahun.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.