THE RICHMAN

The Richman - Atlanta II



The Richman - Atlanta II

0Sheina menunggu di luar ruang ICU bersama dengan Lola, puteri dari Mrs. Nevin ibunya.     

"Jadi kita kakak beradik?" ujar Lola dengan mata berkaca.     

"Semacamnya." jawab Sheina.     

Lola menghela nafas dalam, "Kau tahu, sejak kecil aku selalu ingin memiliki saudara entah itu saudara laki-laki atau perempuan. Aku selalu kesepian di rumah, mommy sibuk dengan pasiennya di rumahsakit begitu juga dengan daddy."     

"Jadi ayahmu juga seorang dokter?" Tanya Sheina.     

"Ya, dia meninggal beberapa tahun lalu karena kecelakaan. Dan di tahun berikutnya mommy terdiaknosa dengan gejala awal cancer darah." Ujar Lola.     

Sheina menghela nafas dalam. "Aku ada di sini." Ujarnya sembari meremas lembut tangan gadis muda di hadapannya.     

"Thank you, keberadaanmu sangat berarti bagiku." Ujarnya dengan air mata berjatuhan. "Setiap malam aku mengalami mimpu buruk yang sama berulang-ulang tentang kejadian itu, saat daddy tertabrak kendaraan di hadapanku." Ujarnya. "Dan sekarang mimpiku lebih buruk karena mommy bisa pergi kapan saja dan aku akan kesepian di dunia ini, seperti bagaimana aku melewatkan hari-hariku di masa kecil." Jawabnya.     

"Bukankah kau akan menikah?" Tanya Sheina.     

"Ya." Angguk Lola.     

"Kau tidak akan kesepian karena kau akan bersama dengan suamimu." Sheina menguatkan, tapi ekspresi wajah Lola sebaliknya, "Aku merasa menjadikannya korban karena keegoisanku." Jawabnya.     

"Mengapa kau mengatakan demikian?" Tanya Sheina.     

"Dia temanku, dan aku sangat menyayanginya. Dan karena aku begitu ketakutan akan kesepian aku menjadikannya korban, aku melamarnya dan dia mengatakan ya." Terang Lola.     

"Kau melamar seorang pria?"     

"Yap, aku terpaksa." Imbuhnya dengan wajah tertunduk.     

"Kau mencintainya?" Tanya Sheina dan Lola menghela nafas dalam. "Aku akan menemukan cara untuk itu."     

"Hei, mengapa terlalu memasakan diri jika kau tak yakin hidupmu akan seperti apa setelah menikahi pria itu?" Sheina menatap Lola dan gadis itu membalas tatapan saudarinya. "Pernahkah kau mengalami kesepian yang begitu menakutkan dalam hidupmu?" Tanya Lola, dan sepanjang dia mengingatnya, Leah dan Ben, ayah dan ibunya selalu ada untuknya.     

"Aku kehilangan ibuku, wanita yang mengadopsi dan merawatku sejak bayi. Dia meninggal saat berjuang mengandung puteranya sendiri." Ujar Sheina.     

"Kau tahu betapa mengeriaknnya itu." Lola tersenyum getir.     

"Ya."     

"Tapi kau mungkin lebih beruntung karena selalu ada orang yang ada untukmu, kau tak pernah mengahabiskan waktu-waktu sendirian bahkan saat kau terbangun tentah malam kau tak menemukan ibumu dan ayahmu di kamar mereka saat kau butuh bantuan." Lola mengenang masa kelam itu dan bergidik. "Aku lahir dengan kelainan paru dan aku juga menderita asma yang bisa timbul kapan saja saat aku terkena alergan." Ujar Lola.     

"Saat itu usiaku enam tahun, aku terbangun karena merasa nafasku sesak, dan aku memanggil-manggil mommy, bahkan aku berjalan ke kamarnya dengan limbung dan sesak nafas tapi dia tidak ada di kamarnya, dia tengah berada di rumahsakit untuk memeriksa pasiennya." Ujar Lola. "Satu-satunya yang ada dirumah adalah nany yang dibayar untuk merawatku. Aku bahkan kehilangan kesadaran dan saat aku siuman aku berada di rumahsakit, satu-satunya tempat dimana aku bisa melihat ibuku sesering yang aku bisa." Ujarnya.     

Sheina menatap Lola, "Aku turut prihatin." Ujarnya.     

"Maaf aku mendengar percakapan kalian tadi." Lola menatap Sheina, "Saat dia mengatakan bahwa dia takut tidak bisa merawatmu, itu benar. Kau beruntung karena dibesarkan dikeluarga lainnya." ujar Lola.     

Sheina menghela nafas dalam, "Mungkin." jawabnya.     

"Kau tahu, meskipun ayah dan ibuku adalah dokter yang hebat, aku bahkan tak lulus dari perguruan tinggi." Jujur Lola.     

"Why?" Alis Sheina berkerut.     

"Penyakitku." Jujurnya lagi, dan berkali-kali Sheina dibuat terbuka matanya bahwa takdir dia dipertemukan dengan Leah dan Ben adalah takdir terbaik yang dialaminya. Setidaknya dengan tinggal bersama Leah dan Ben, dia tidak pernah megalami kesepian menakutkan yang membuat Lola trauma, dia juga hidup penuh cinta dan didukung penuh oleh orangtuanya untuk semua yang dia lakukan.     

"Aku ada di sini." Sheina memeluk Lola dan gadis muda itu menangis dalam pelukannya.     

***     

Lola duduk di dalam ruangan menemani ibunya sementara Sheina memutuskan untuk pergi ke cafetaria, dia belum makan apapun sejak tiba di Atlanta beberapa jam lalu. Dia memutuskan untuk memesan kopi cup kedua dan juga sebuah sandwich isi telur untuk makan siang.     

Sheina membuka ponselnya dan beberapa panggilan tak terjawab dari Oliver, selain kesal Sheina terlalu sibuk mengurusi ibu biologisnya hingga dia tak sempat menjawab panggialn Oliver.     

"Untuk apa menghubungiku?!" Tulis Sheina.     

"Aku berhutang penjelasan." Balas Oliver.     

"Aku tidak ingin mendengar omong kosong." Balas Sheina.     

"Dimana kau sekarang?" Tanya Oliver.     

"Kau tidak akan tahu dimana aku." Balasnya.     

"Sheina, jangan kekanakan. Dimana kau?" Tanya Oliver sekali lagi.     

"Atlanta General. Long story, aku akan bercerita nanti." Balas Sheina, dia meletakkan ponselnya di atas meja kemudian menyesap kopi dari cangkir kertas di tangannya. Sesaat dia menghela nafas dalam, dia memejamkan matanya dan berbisik dalam hati. "Thank you mommy, kau menemukanku dan merawatku." Bisiknya untuk mendiang Leah, ibu angkatnya. "Aku bahkan tak bisa membayangkan akan seperti apa jadinya aku jika tanpamu mom." Imbuhnya.     

Untuk beberapa saat Sheina mulai bisa menata hatinya. Mrs. Nevin memang mungkin tak memiliki banyak pilihan saat itu, dan dia tidak menyalahkan wanita itu sepenuhnya untuk apa yang dia alami. Karena dibesarkan dikeluarga Anthony yang berkecukupan dan penuh kasih sayang bukanlah sesuatu yang ingin dia sesali sama sekali. Cerita dari Lola justru membuat dia sedih, meski dibesarkan oleh ibu kandungnya dia tak mendapatkan kasih sayang yang cukup seperti yang dia dapatkan dari Ben dan Leah sebagai orang tua angkatnya.     

Sheina menikmati satu gigitan sandwichnya karena perutnya terasa begitu lapar, dan dia tahu dia harus makan untuk tetap kuat. Lola si gadis lemah itu butuh orang lain untuk membantunya menanggung penderitaan.     

"Butuh teman." Seorang pria duduk di depannya dan Sheina tertegun menatap pria di hadapannya.     

Oliver tersenyum, "Aku berangkat satu jam lebih cepat darimu, dan aku merahasiakannya. Aku tiba di rumahsakit lebih dulu dan sengaja memberimu ruang untukmu dan keluargamu." Oliver meraih tangan Sheina dan menciumnya.     

"Kau jahat sekali Mr. Hawkins." Sheina berkaca dan Olvier menggeser kursinya untuk memeluk Sheina. Untuk beberapa saat mereka saling berpelukan dan setelah itu Sheina menceritakan apa yang dia alami sejak pagi.     

"Jadi kemanasaja kau?" Tanya Sheina.     

"Aku menginap di hotel yang tidak jauh dari rumahsakit."Terang Oliver. "Aku berniat menghubungimu setelah yakin kau bertemu dengan orangtuamu. Aku tidak ingin merusak moment diantara ibu dan anak." Imbuhnya.     

"Semua terjadi diluar dugaan." Jawab Sheina.     

"Aku ada di sini untukmu." Oliver meraih tangan kekasihnya itu dan meremasnya. "Kau ingin tetap disini atau kembali ke dalam?" Oliver bertanya lagi dan mereka memutuskan untuk melihat kondisi Mrs. Nevin. Dia masih belum sadarkan diri, dan saat mereka tiba, Lola tengah berada bersama calon suaminya. Ternyata calon suami Lola adalah pria yang ditemui Sheina di pesasawat.     

Mereka berkenalan, Lola memperkenalkan Zack pada Sheina dan pria yang disebelahnya begitu juga dengan sebaliknya, Sheina juga memperkenalkan Oliver. Untuk beberapa saat mereka menjadi akrab dan Mrs. Nevin tampak bangun.     

"Kau masih berada di sini?" Matanya berbinar melihat Sheina.     

"Ya, mom." Jawab Sheina sembari memegang tangannya.     

"Bisakah mengatakannya sekali lagi?" Pinta Mrs. Nevin lemah dan Sheina menatapnya, kemudian mencium tangan wanita pucat itu. "Mommy." Ucapnya.     

"Thank you." Air mata Mrs. Nevin berjatuhan begitu juga dengan Lola. Dia bahkan harus menyemprotkan inhealer karena rasa sedihnya dan harunya memicu nafasnya menjadi berat.     

"Aku akan berada di sini sampai kau cukup sehat untuk keluar dari rumahsakit." Sheina meyakinkan dan Mrs. Nevin mengangguk.     

"Tinggalah sampai Lola melangsungkan pernikahannya." Pinta Mrs. Nevin lemah, Sheina meoleh ke arah Lola dan gadis muda itu mengangguk dengan binar di matanya, dia juga menoleh ke arah Oliver yang mengangkat bahunya.     

"Siapa pria tampan yang berdiri di sana?" Tanya Mrs. Nevin.     

Oliver mendekat dan menyalami Mrs. Nevin. "Aku kekasih puterimu. Dengan percaya diri Oliver memperkenalkan dirinya.     

"Dia bosku di kantor." Sheina mengkoreksi.     

"Kita tidak sedang di kantor." Oliver membantah.     

Mrs. Nevin tersenyum lemah, "Jaga puteriku." Bisiknya.     

"Pasti." Angguk Oliver.     

"Dia belum beristirahat, pulanglah kerumah dan istirahat." Bisik Mrs. Nevin.     

"Aku menginap di hotel dekat rumahsakit, aku akan membawa Shiena ke hotel jadi kami dekat jika ingin mengunjungimu dan bergantian berjaga dengan Lola." Ujar Oliver.     

"Ok, istirahatlah, aku baik-baik saja." Mrs. Nevin meyakinkan.     

Oliver dan Sheina pamit undur diri, mereka kembali ke hotel tempat Oliver menginap. Oliver mandi dan membersihkan diri dan menunggu Sheina untuk bersiap makan malam, sayangnya koper Sheina tertinggal di rumah Mrs. Nevin, dan yang tersedia hanyalah kaos dan boxer milik Oliver yang bisa dia pakai.     

"Tunggu di sini, aku akan membeli beberapa potong pakaian." Ujar Oliver.     

"No." Shiena mengalungkan tangannya di leher Oliver. "Aku tidak ingin kau kemana-mana." jawabnya.     

"Ok, aku akan menelepon agar makan malam diantar ke kamar." Oliver memberikan opsi lainya dan Sheina mengangguk setuju. Setelah makan malam, Sheina keluar dengan celana jeans milik Oliver dan kemejanya, dibalut dengan coat yang dia kenakan pagi ini, mereka kembali ke rumahsakit dan membiarkan Lola juga kekasihnya untuk pulang sementara Oliver dan Sheina bermalam di rumahsakit.     

"Kembalilah ke hotel, aku akan berada di sini." Sheina menatap Oliver setelah ibunya kembali tertidur. Dia banyak bercerita dengan Oliver hampir beberapa jam hingga terlihat kelelahan dan jatuh tertidur. Mrs. Nevin tampak senang dengan pribadi Oliver dan tertarik mengobrol dengan pria muda itu hingga dia lupa bahwa kondisinya cukup lemah hari ini.     

"Aku akan menemanimu." Jawab Oliver. "Apa yang dikatakan dokter tadi?" Tanya Oliver.     

"Jantungnya mengalami komplikasi." Ujar Sheina. "Operasi terlalu beresiko untuknya." Ujar Sheina sedih.     

"Dan apa pendapatmu?" Tanya Oliver.     

"Dia sudah bertahan terlalu lama dengan berbagai perawatan yang menyakitinya, sekarang aku hanya ingin dia menikmat hari-harinya tanpa rasa sakit." Ujar Sheina. "Biarkan dia melewati hari pernikahan Lola dengan bahagia." Matanya berkaca menatap wanita lemah yang terbaring dalam tidur dengan berbagai peralatan medis yang menempel di tubuhnya.     

"Aku mendukungmu, apapun keputusanmu aku yakin kau sudah memikirkannya dengan baik." Bisik Oliver.     

"Apa aku egois?" Tanya Sheina pada Oliver.     

"Mengapa kau mengatakannya?" Oliver mengkerutkan alisnya.     

"Aku menunda-nunda untuk bertemu dengannya. Dan sekarang sangat terlambat, dia sudah sangat lemah."     

"Menolak operasi itu keputusannya, bukan salahmu." Oliver memeluk Sheina dan sepanjang malam mereka berpelukan sembari menunggui Mrs. Nevin, ibu biologis Sheina yang terbaring dalam tidurnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.