THE RICHMAN

The Richman - Love for the lil Beep Part II



The Richman - Love for the lil Beep Part II

0Sheina duduk menghadapi kopinya sementara Oliver duduk menghadapi kopinya dan juga menghadapi kekasihnya yang sejak beberapa menit lalu memilih diam.     

"Apa yang kau pikirkan?" Tanya Oliver.     

"Ini terjadi hampir setiap saat." jawab Sheina mengambang.     

"Apa maksudmu?"     

Gadis itu menghela nafas dalam, "Apa kau yakin Jawson akan patuh pada kesepakatan?" Tanyanya.     

Oliver tersenyum, "Kita lihat saja nanti." Ujar Oliver.     

"Bagaimana jika Briana mengalami hal terburuk dan bayi itu terlantar begitu saja?" Sheina meremas wajahnya.     

"Hei . . ." Oliver meraih tangan Sheina, "Lihat aku." Ujarnya, dan Sheina menatapnya "Kita adalah pengacara dan tugas kita memberikan bantuan hukum berupa advokasi untuk klien, dan tugasmu selesai di sana. Sayang jangan melibatkan perasaanmu terlalu jauh dengan klien." Oliver meremas lembut tangan Sheina dan gadis itu mengangguk.     

"Mungkin ini bentuk humanity." Jawab Sheina.     

"People change, dan itu juga sangat mungkin terjadi pada Jawson, let's take a look."     

"Ok." Sheina bangkit dari kursinya dan berjalan dengan Olvier. Mereka berdua berjalan kembali keruangan ICU dan melihat Jawson sudah duduk di dalam ruangan dan memegangi tangan Briana.     

Olvier dan Sheina bertatapan, "People change." Ujar mereka bersamaan dengan senyum di ujung bibir mereka. "Aku akan memberikan kopi ini untuk Jawson, dan kita akan pulang setelah itu." Oliver meminta Sheina menunggu diluar dan gadis itu menurut.     

***     

Dalam perjalanan pulang, Sheina tertidur di mobil Oliver dan pria itu tak membangunkannya, dia membiarkan gadis muda, cerdas, dan energic itu menyerah pada jam biologis, karena ini memang sudah sangat larut dan dia sangat lelah menjalani hari-harinya.     

Oliver bahkan menyadari sebuah pola yang dilakukan Sheina, dia benar-benar berusaha sibuk agar tidak merasakan kesepian. Olvier memintanya untuk pindah dan tinggal bersamanya tapi dia menolak, dan diapartmentnya dia kesepian karena belakangan Ben ayahnya sibuk dengan keluarga barunya.     

Saat membuka mata Sheina menyadari dia sudah berganti pakaian dan berbaring di balik selimut milik Oliver, diranjangnya, sementara itu Olvier masih belum tidur. Dia membaca beberapa berkas di tempat tidurnya.     

"Hei." Oliver meletakkan kertas di tangannya di atas meja.     

"Kau menculikku Mr. Hawkins." Sheina mengutarakan kalimatnya dengan suara parau.     

"Aku pikir kau pingsan, bahkan saat aku membawamu masuk kerumah kau tak bergerak sama sekali." Oliver beringsut dan menemukan bibir Sheina untuk di kecup.     

"Thank you." Jawab Sheina.     

"For what?" Bisik Oliver sebelum mengecup lembut bibir Sheina kembali.     

"Kau bahkan melucuti pakaianku." Sheina memutar matanya.     

"Aku hanya menggantinya karena tidak tahan dengan bau pakaian yang kau kenakan sepanjang hari." Seloroh Oliver dengan suara tertahan.     

Sheina membalas ciuman Sheina, "Terimakasih sudah meminjamkan boxer dan kaosmu untukku." Bisiknya.     

"Anything for you Mr. Anthony." Olvier mengusap wajah Sheina dan menatap dalam mata gadis itu.     

"Terbuat dari apa hatimu?" Tanyanya, dan Shiena tersenyum. "I don't know." jawabnya.     

Oliver menghela nafas dalam, "Aku menerima pesan singkat dari Jawson beberapa menit lalu. Dia memintaku mengurus perceraiannya dengan Cindy." Ujarnya.     

"Why?" Alis Sheina berkerut.     

"Briana siuman, dan kondisi bayinya semakin stabil. Kurasa Jawson akan memulai babak baru kehidupannya dengan lebih bertanggungjawab." Ujar Oliver, Sheina tersenyum mendengarnya.     

"Kau tak ingin merayakannya denganku Mr. Hawkins." Sheina beringsut mendekatkan tubuhnya ke arah Oliver. Pria itu bisa merasakan seluruh lekukan tubuh kekasihnya dibalik kaos dengan potongan v-neck yang cukup tipis yang sekarang dikenakan oleh Sheina tanpa pakaian dalam itu.     

"I'm in." Oliver merebahkan dirinya dalam posisi terlentang dan Sheina merangkak ke atas tubuh pria itu kemudian menciuminya. "Let's play Mr.Hawkins." Bisiknya.     

"All yours mam." Oliver membiarkan Sheina melepaskan semua hasratnya karena selama ini gadis itu tampak menahan diri, apalagi setelah beberapa minggu, ini kali pertama mereka menghabiskan malam bersama lagi.     

Sheina melucuti kaos yang dikenakan oleh Oliver dan tiba gilirannya setelah oliver setengah telanjang, Sheina mengangkat kaosnya dan membiarkan Oliver membantunya meloloskan kaos itu dari atas kepalanya, kemduian dengan pakaian yang tersisa dia menciumi Oliver dengan panas dan dibalas oleh Oliver. Pria itu menyentuh bagian sensitif milik Sheina dan dengan penuh kenikmatan Sheina membalasnya dengan ciuman. Malam ini akan menjadi malam yang begitu menyenangkan bagi mereka berdua. Terbebas dari berbagai masalah hidup orang lain dan menikmati kebersamaan hanya antara Sheina dan Oliver.     

***     

Adrianna tengah meringkuk di ranjangnya dalam damai, dia tampak tersenyum sendiri setelah mengenang kejadian siang tadi. Dia dalam sebuah antrian siang ditu di sebuah supermarket.     

Dia berniat untuk mengeluarkan ponselnya karena saat itu Ben menghubunginya, tapi tanpa dia sengaja dompetnya terjatuh dan pria yang mengantri dia baris di belakangnya menyadari hal itu dan mengambil dompet itu kemudian menepuk wanita yang berdiri dua baris di depannya.     

"Nyonya, dompet anda terjatuh." Ujarnya.     

"Oh, thank you." Adrianna segera menerima dompetnya dan tersenyum sekilas kemudian kembali menelepon Ben. Dia baru mengakhiri panggilannya setelah dia tiba diantrian paling depan dan bersiap membayar. Sebenarnya Ben menelepon karena dia sangat marah pada ibunya, wanita itu menyelinap keluar dengna menyetir sendiri mobilnya padahal Ben sudah menyediakan supir baginya.     

Adrianna keluar dari supermarket itu dengan beberapa kantong belanjaan dan terlihat sangat repot. Dan saat dia tiba di area parkir, Adrianna memasukkan belanjaannya ke bagian bagasi belakang mobil dan saat dia memutari mobil entah mengapa dia baru menyadari bahwa ban mobilnya kempes.     

"Oh god." Gerutunya kesal. Dia menendang-nenang ban itu dengan sepatu hak tingginya dan tampak kesal. Saat tiba-tiba seorang pria seusia dengannya melintas dan menghampirinya.     

"Ada yang bisa kubantu?" Tanya pria itu.     

"Ban mobilku kempes." Ujar Adrianna.     

"Kau membawa ban serepnya?" Pria itu bertanya lagi dan Arianna membuka bagasi belakang dan melihat ban serep. "Ya." Jawabnya.     

Setelah menjawab itu, barulah Adrianna menyadari siapa pria yang menghampirinya tadi. Pria yang sebelumnya mengenakan kacamata hitam itu melepas kacamata yang dia kenakan dan menyusul Adrianna be belakang mobil untuk mengeluarkan ban cadangannya.     

"Javier?" Adrianna menyadari siapa pria itu meski puluhan tahun mereka tak bertemu.     

"Adrianna?" Pria tua itu juga tampak terkejut.     

"Oh my god." Adrianna menganga menatap pria itu.     

"Jadi wanita yang dompetnya terjatuh tadi kau?" Tanya Javier.     

"Aku bahkan hampir tak mengenalimu."     

Mereka memberikan pelukan singkat sebelum Javier membantu Arianna mengganti ban mobilnya.     

"Kau tampak stuning dengan hak tinggi, kacamata hitam dan jeans yang kau kenakan." Puji Javier sambil mengelindingkan ban dari bagian belakang mobil dan membawanya ke sisi depan.     

"Tapi aku tidak bisa menutupi keriput di wajahku." Adrianna terkekeh.     

"Kau masih secantik dulu." Jawab pria itu, dan entah mengapa meski sudah tua pipi Adrianna masih bisa merona saat mendapatkan pujian dari Javier. Pria itu segera memasang dongkrak dan mulai mengganti ban mobil Adrianna yang kempes dengan ban serep yang dia miliki.     

"Sudah begitu lama hah." Mendadak Javier mengingatkan mereka tentang hubungan mereka di masa lalu.     

"Ya." Angguk Adrianna kikuk.     

"Bagaimana kabarmu?" Tanya pria itu sembari sibuk melakukan pekerjaan di tangannya.     

"Baik, kau?"     

"Baik." jawab Javier. "Bagaimana kabar Aldric?" Tanya Javier. "Kurasa jika dia melihatku saat ini dia masih cukup kuat untuk mematahkan batang hidungku karena menggodamu." Seloroh Javier, dia menoleh ke arah Adrianna dan wanita itu tampak muram.     

"Dia meninggal lima tahun lalu." Jawab Adrianna.     

"Sorry for your lost, I didn't mean it." Sesal Javier.     

Adrianna menghela nafas dalam, dia berjongkok di sebelah Javier. "Bukankah semua orang akan sampai pada batas akhirnya, aku bahkan sedang menunggu giliranku." Ujarnya.     

"Ya, aku juga." Javier tersenyum.     

"Kau menikah?" Tanya Adrianna.     

Javier menggeleng, "Berakhir dengan perceraian beberapa tahun lalu."     

"Kau punya anak?" Tanya Adrianna.     

"Nope." Geleng Javier.     

"Masih sama seperti dulu." Ujar Adrianna dan Javier terkekeh. "Terkadang hidup sangat lucu bukan?" Imbuh pria berjambang putih itu.     

"Ya." Angguk Adrianna.     

Javier menengadah ke atas, "Sorry Aldric, meskipun saat ini aku bersama isterimu tapi kau tidak bisa mematahkan tulang hidungku." Ujarnya dan Adrianna memukul lengan Javier.     

"Aku merindukannya, terkadang." ujar Adrianna.     

"Kau sangat mencintainya." Jawab Javier.     

"Ya, dia pria yang baik." ujar Adrianna.     

Jaiver melepas roda yang lama dan menggantinya dengan roda serep yang tidak kempes. Setelah itu dia membereskan semuanya dan mengembalikan roda kempes ke bagian belakang mobil Adrianna.     

"Kau siap berkendara kembali Queen." Ujar Javier saat mereka sudah sama-sama berdiri.     

Adrianna menatap Javier, dia mengambil tissue basah dari dalam tasnya dan menghapus noda di wajah Javier yang dia dapatkan karena tangannya kotor saat mengganti ban dan mengusap wajahnya.     

"Thank you." Javier tersenyum.     

"Aku akan mentraktirmu makan siang." Ujar Adrianna.     

"Kau sangat baik." Javier tersenyum lagi.     

"Ini kulakukan bukan karena masalalu, tapi karena kau membantuku mengganti ban." Adrianna berusaha membuat garis yang jelas diantara mereka.     

"Apapun alasannya, aku akan dengan senang hati menikmati makan siang yang kau janjikan"     

"I'll drive." Adrianna membuka pintu dan duduk di belakang kemudi, sementara Javier memutar dan duduk di samping Adrianna.     

"Jangan melihatku seperti itu Jav, aku sudah tua." Ujar Adrianna saat dia memundurkan mobilnya dan keluar dari tempat parkir area super market itu.     

"Ceritakan tentang pernikahanmu Jav, aku sangat penasaran wanita mana yang bisa menakhlukanmu pada akhirnya." Adrianna melirik ke arah Javier sekilas, sementara pria itu sibuk membersihkan tanganya dengan tissue basah.     

"Kami bertemu cukup sering karena kami tinggal di gedung yang sama." ujar Javier.     

"Menarik." Jawab Adrianna.     

"Dia seorang dokter bedah ortho." Ujarnya.     

"Wow." Adrianna tampak terkejut, dia menoleh sekilas pada Jav.     

"Pernikahan kami berjalan lima tahun dan berakhir begitu saja karena tidak banyak waktu kami habiskan bersama." ujar Javier.     

"Karirnya pasti sangat cemerlang." Adrianna menebak.     

"Ya." Angguk Javier. "Dan aku tidak ingin menjadi penghambat baginya." Jawab pria itu.     

"Mengapa kau berkata seperti itu?" Tanya Adrianna. "Bukankah kau juga suka kebebasan?"     

Javier menggeleng, "Kurasa waktu merubah banyak hal, soal pemikiran dan pandangan kita." Ujarnya.     

"Kau benar." jawab Adrianna. "Waktu mengubah banyak hal."     

"Aku ingin kehidupan yang normal, saat aku pulang dia ada di rumah, aku ingin kami memiliki anak, dan dia tidak bisa melakukan semua itu." Jawab Javier.     

"You love her?" Tanya Adrianna.     

"Not as much as you love Aldric." Jawab Javier, dan itu membuat Adrianna memutar matanya pada pria tua di sebelahnya. Seperti Aldric yang meski sudah berumur tetap terlihat tampan, ketampanan yang setara juga tak luntur dari wajah Javier meskipun rambutnya mulai memutih begitu juga dengan jenggot yang dbiarkannya tumbuh di wajahnya.     

"Bagaimana bisnismu?" Tanya Adrianna.     

"Aku sering traveling keluar kota juga keluar negeri untuk berbisinis, menetap di sebuah tempat hanya membuatku merasa kesepian." jawab Javier.     

"Berhenti berpetualang, usiamu sudah tidak muda lagi." Adrianna menatap Javier sekilas.     

"Mungkin akan ada waktunya."     

Pembicaraan diantara mereka terus berlanjut sampai mereka menyelesaikan makan siang dan Adrianna mengantar Javier kembali ke supermarket untuk mengambil mobilnya. Mereka lebih akrab dan lebih lepas kali ini karena merasa seperti kenalan lama dan teman. Hubungan dimasalalu yang berapi-api kini tak terkesan demikian lagi. Yang tersisa hanyalah kenangan yang indah diantara keduanya tanpa ada penyesalan. Mungkin benar yang dikatakan orang-orang, bahwa waktu akan menyembuhkan dengan caranya. Dan itu terjadi pada Adrdianna dan Javier.     

Malam ini baik Adrianna dan Javier tampak bahagia, bahkan sebelum mereka tertidur. Karena pada akirnya mereka menemukan teman untuk bicara dan berbagi cerita setelah anak-anak memiliki dunianya sendiri. Adrianna kembali ke dunianya yang dulu, seperti saat dia masih belia. Dan kini tangisnya di bandara kala itu, melepas kepergian Javier yang begitu dicintainya bisa dia tertawakan karena kenangan itu masih cukup segar meski rasanya tak lagi seterluka dulu. Bahkan menjadi kenangan manis yang bisa diperbincangkan antar keduanya sebagai sahabat, tanpa harus menyakiti dan melukai pasangan masing-masing yang sudah tak lagi bersama mereka.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.