THE RICHMAN

The Richman - Lonely



The Richman - Lonely

0Sheina berjalan ke arah pintu, dan pria itu masih ada di depan pintu dengan keraskepalanya.     

"Pulanglah." Sheina membuka pintu dan mengatakan hal itu begitu pintu di hadapannya terbuka.     

"Sheina, jika kau cemburu soal klien baruku yang adalah mantan kekasihku, setidaknya kau adalah seorang pengacara, seharusnya kau memakai prinsip itu dalam semua segi kehidupanmu, asas praduga tak bersalah." Oliver menatap gadis di hadapannya. "Mengapa kau menjustifikasiku mengeneralisasi kasusmu dengan hubungan kita, itu tidak fair." Oliver menerobos masuk kedalam apartment Sheina dan gadis muda itu tak punya pilihan lain.     

Olvier duduk di sofa dengan wajah marah, sekarang dia yang berada di atas angin dan berhak marah karena Sheina memperlakukannya dengan tidak adil.     

"Harusnya aku yang marah karena kau menduhku tanpa sebab." Ujar Oliver dan langsung di sambut oleh Sheina dengan kemarahan yang sama.     

Sheina melipat tangannya di dada, "Kita sudah janji untuk makan siang bersama dan kau melewatkannya, bahkan saat kita berpapasan di depan lift kau menawarkanku untuk ikut seolah aku orang lain bagimu." Protes Sheina dengan nada marah.     

Oliver melipat tangannya di dada, "Jadi ini soal makan siang?" Tanyanya.     

"Ya." jawab Sheina ketus.     

Olvier menghela nafas dalam. "Well, maafkan aku karena aku lupa soal makan siang itu salahku, sekarang katakan bagaimana aku bisa memperbaikinya." Oliver bangkit dan mendekat ke arah Sheina yang bersandar di dinding menjaga jarak darinya. Oliver mendekatkan wajahnya dan mencium bagian dalam leher Sheina.     

"Seks tidak akan memperbaiki ini Oliver." Sheina tampak kesal. "Aku menganggap hubungan kita serius, aku bahkan sedang memikirkan untuk tinggal bersama dan kau mengacaukannya."     

"Jadi sefatal itu bagimu soal aku lupa janji makan siang bersamamu?" Tanya Oliver.     

"Ya." Jawab Sheina. "Aku butuh waktu untuk menenangkan diri, biarkan aku menangani kasusku dan melihat masalah kita dari kacamata yang lebih jernih, saat ini pikrianku begitu kacau." Ujar Sheina.     

Oliver mengerang, "Dengarkan aku, kita menghadapi masalah setiap hari. Klien datang dengan berbagai masalah yang unik dan terkadang masalah itu memperngaruhi pikiran kita, tapi kau tahu kan artinya profesional. Pisahkan urusan pribadimu dengan urusan pekerjaan, Sheina." Terang Oliver panjang lebar.     

Sheina menatap Oliver dengan skeptis, "Katakan itu pada dirimu sendiri, kau tak terlihat profesional sama sekali siang tadi." Sheina menatap Oliver dan menegaskan kalimatnya itu.     

Oliver tersenyum untuk dirinya sendiri, dia tidak percaya Sheina memandangnya begitu rendah dan meragukan perasaannya, "Aku rela mengorbankan nyawaku untukmu, dan jika kau bukan orang yang berarti bagiku, aku tidak akan melompat masuk ke rumah Vely hari itu dan rela tertembus peluru dari pistol uang di pegang pria gila itu." Ujarnya. "Tapi aku bisa menerima jika karena aku tidak sengaja melewatkan janji makan siang kita, dan kau meragukan perasaanku. Aku tidak akan memaksamu." Oliver berjalan keluar dari apartment Sheina dan mereka kembali menemukan masalah dalam komunikasi yang akhirnya membawa hubungan mereka satu langkah kebelakang.     

Sheina menjatuhkan dirinya di sofa dan memeluk lututnya. Entah mengapa belakangan ini, setelah ayahnya menikah dia merasa sangat insecure. Awalnya dia berpikir bahwa pernikahan ayahnya akan berdampak baik untuk ayahnya, dan benar saja itu memang memberikan kebahagiaan bagi Ben. Tapi waktunya juga banyak dihabiskan bersama isteri baru dan anak-anak dari isterinya.     

Ben yang kerap menanyakan kabar dari Sheina kini tak melakukannya sesering dulu. Menyesuaikan diri dengan hilangnya perhatiang sang ayah yang selama kurang lebih lima tahun selalu bersamanya dan menghabiskan banyak waktu bersama, berbagi moment-moment bahagia yang hangat kini dia harus benar-benar sendiri. Dan hubungannya dengan Oliver juga terancam dengan kedatangan wanita lain, meski Oliver membantahnya dengan tegas, tapi perasaan ketakutan itu hadir dengan sangat jelas di benak Sheina.     

Gadis muda itu mengalami kesulitan dalam hal kehilangan, dan itu menjadi trauma tersendiri yang selama ini bersemayam di alam bawah sadarnya dan ternyata muncul ke permukaan saat ada triger. Pernikahan ayahnya bukan sepenuhnya berita baik bagi Sheina, saat dia duduk sendiri di kamarnya dan sudah tak melakukan apapun, dia mengingat semuanya tentang dirinya dan ayahnya, bagaimana mereka melewati hari-hari buruk kehilangan ibunya dan menjadi sangat sedih.     

Signal yang mengisyaratkan ancaman kehilangan sesuatu atau seseorang di sekitarnya selalu diterima dan direspon dengan berlebihan oleh pikiran dan perasaan Sheina. Dia tahu bahwa itu tidak sehat, tapi Sheina juga belum menemukan jalan untuk keluar dari masalahnya itu.     

***     

Gadis itu masuk kedalam kamarnya dan membuka berkas tentang kasus yang dia tangani, soal Mia. Tapi pikriannya beracabang-cabang tak menentu hingga akhirnya dia memutuskan untuk menutup kembali berkas itu. Sheina meraih ponselnya dan membuka layar pengunci, dia mencari nama ayahnya dari log panggilan. Terakhir kali ayahnya meneleponnya adalah lima hari yang lalu. Dia mengulirkan layar dan melihat pesan singkat yang dikirmkan ayahnya, terakhir pria itu mengirimkan pesan singkat kemarin.     

"I miss you dad." Bisik Sheina. Dia menghela nafas dalam, menelepon ayahnya selarut ini hanya akan membuat masalah baru. Toh sejak kecil dia sudah terbiasa berpura-pura baik-baik saja dan bahagia, "Kau pasti bisa melakukannya Sheina, kau sudah terbiasa melakukan kepura-puraan hampir setengah umurmu, apa susahnya kali ini." Ujar Sheina dalam hati.     

Sheina mengambil bingkai foto berisi foto Leah dari samping meja tempatnya tidur, "I miss you much mom." Gumamnya dengan mata berkaca. Beberapa saat kemudian air matanya berjatuhan.     

"Andai mommy masih ada di sini, mommy pasti tidak akan mebiarkanku merasa seperti ini." Gumamnya.     

"Bisakah mommy mengatakan padaku apa yang harus kulakukan?" Tanyanya sembari mengusap foto di bingkai itu. Foto seorang wanita dengan senyum lebar dan mata yang berkilau penuh kebahagiaan. Sheina menghela nafas dalam, berteriak histerispun dia tidak akan mendapatkan jawaban apapun dari siapapun, karena dia berada di ruangan itu sendiri.     

Sheina memeluk bingkai foto itu dan menjatuhkan dirinya di atas ranjang, dia terus menangis sampai akhirnya dia jatuh terlelap karena lelah menangis. Sementara itu di kamarnya Ben menengadah ke langit-langit kamar saat Ketty sudah jatuh tertidur di sebelahnya, lengan wanita itu melilit dadanya yang telanjang. Ben menghela nafas, entah mengapa yang ada di benaknya adalah Leah mantan isterinya dan Sheina puterinya.     

Obrolan terakhir yang terjalin antara dirinya dan Ben tak ada masalah sama sekali, mereka bicara seperti biasanya, hanya saja di penghujung percakapan, Sheina mengatkaan kalimat yang membuat Ben tak banyak menghubunginya beberapa waktu terakhir.     

"Aku sudah dewasa Dad, belajarlah memberikanku kebebasan dan ruang untukku benar-benar menjadi diriku sendiri." Ujar Sheina.     

Ben terkesiap mendengar jawaban Sheina, "Maafkan daddy. Daddy hanya terlalu sayang padamu."     

"Aku tahu, tapi percayalah aku bisa menjaga diriku sendiri." Jawab Sheina. Itulah sebabnya Ben tak banyak menghubungi Sheina belakangan ini. Dia belajar dengan susah payah memberikan ruangan yang seluas-luasnya untuk puterinya itu.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.