THE RICHMAN

The Richman - Life Change



The Richman - Life Change

0Pesta berakhir, dan kini Ketty bersama dengan Ben menempati rumah milik Ben bersama si kembar Clara dan Stefanie. Seminggu setelah pernikahan mereka mulai menyesuaikan diri degan kehidupan rumahtangga, hidup bersama dalam satu rumah dengan anak-anak. Ketty memasak di rumah dan anak-anak bermain sembari menunggu ayah sambung mereka pulang dari kantor. Ben bukan tipe workaholic yang melewatkan family time, jadi dia akan berada di rumah saat orang-orang rumah masih terjaga. Dia akan makan malam bersama isteri dan anak-anaknya meski tanpa Sheina. Gadis itu memutuskan untuk tinggal sendiri dan mandiri apalagi setelah ayahnya menikah kembali.     

Setelah Clara dan Stefanie tertidur di kamarnya tinggallah Ben dan Ketty, mereka duduk di sofa ruang tengah sembari menonton televisi bersama.     

"Bagaimana perasaanmu setelah seminggu?" Tanya Ben.     

"Menjadi isterimu adalah hal terbaik dalam hidupku." Ujar Ketty sebelum dia meringkuk di pelukan suaminya. Meski terpaut usia yang cukup jauh, tapi Ben dan Ketty tampak sangat serasi.     

"Kau membesarkan puteri yang sungguh luar biasa." Puji Ketty.     

"Clara dan Stef juga akan menjadi luar biasa saat waktunya." Jawab Ben.     

"Aku harap begitu." Jawab Ketty. Malam-malam mereka habiskan dengan romantisme yang hangat seperti itu. Tak lagi meledak-ledak seperti layaknya pasangan muda, tapi konsisten. Tak ada hal berarti yang membuat mereka berdua mengalami kesulitan dalam hubungan baru yang mereka jalin ini.     

Sementara itu Geroge dan Claire malam ini menginap di rumah orang tua Claire setelah sore tadi mereka tiba di rumah itu. Dan makan malam akan menjadi moment menegangkan bagi Claire dan George karena mereka akan berada di satu meja bersama kedua orang tua Claire yang sejak kedatangan George dan Claire ke rumah itu tampak tak begitu ramah.     

"Setelah sekian lama, mengapa kau memutuskan untuk menemui kami?" Tanya sang ayah. Ini jelas akan menjadi pembicaraan yang alot tapi bukan mustahil untuk di oba.     

Claire tersenyum sekilas, "Mom, Dad, sudah sangat lama sejak kejadian itu. Dan aku berhutang maaf pada kalian. Maafkan aku." Ujar Claire. Sang ibu meraih tangannya dan mengenggamnya sementara ayahnya tampak masih sulit di ajak berkomunikasi dengan damai.     

"Puterimu masih sudi mengunjungimu, seharusnya kau bersyukur." Bujuk sang ibu.     

"Dia punya bertahun-tahun untuk melakukannya, dan mengapa baru sekarang?" Tanya sang ayah. George yang semula diam memilih mengambil sikap, jika di teruskan makan malam ini akan berakhir dengan pertengkaran sedangkan misi mereka datang ke rumah itu adalah untuk berdamai dengan orang tua Claire.     

"Mr. Parker. Maar karena aku menyela." Ujar George. "Aku tahu anda sangat marah dengan rindakan Claire bertahun-tahun yang lalu. Dia menolak mengikuti kemauan anda dan pergi dari rumah, itu bukan tindakan yang bisa dibenarkan. Dan dia mengakui kesalahannya, dia sangat menyesal." Ujar George.     

"Anda menderita karena perbuatan puteri anda, tapi percayalah dia sama menderitanya dengan anda. Dia punya bertahun-tahun tapi tidak pernah mencoba kembali pada, percayalah dia mencoba dengan keras setiap kali untuk kembali, tapi dia tak memiliki keberanian untuk itu." Ujar George.     

Awalnya Mr. Parker terlihat tidak ingin mendengar penjelasan George, tapi ekspresinya berubah saat George mengatakan, "Aku menjamin bahwa kedatangan kami hari ini tidak akan mendapatkan penolakan, kumohon jangan membuatku merasa buruk. Aku mengatakan pada puterimu bahwa tidak ada orang tua yang tidak peduli dan memaafkan anaknya, seburuk apapun perbuatan mereka di masalalu." George menatap ayah Claire dalam-dalam. "Orang tuaku melakukannya, seburuk apapun perbuatanku, dan sesering apapun aku mengulanginya, mereka selalu memaafkanku." Ujar George.     

"Aku tahu anda menyayangi Claire lebih dari apapun." George menatap Claire dan gadis itu berkaca-kaca, dengan tangan gemetar dia berusaha meraih tangan ayahnya. Begitu dia bisa menjangkaunya, Mr. Parker berniat untuk menarik diri tapi Claire memegangnya, dia bahkan memeluk ayahnya itu dalam tangis dan hal yang sama terjadi pada Mr. Parker. Dia menangis dalam pelukan puterinya. Satu-satunya kebanggaan yang dia miliki, harapan, dan puteri semata wayang. Yang bertahun-tahun pergi dan entah kapan akan kembali, hari ini adalah hari yang dinanti-nantikannya, meski bagi seorang ayah, menjadi sangat sulit untuk tampak lemah di hadapan anak-anaknya, meski sejatinya mereka begitu menyayangi anak-anaknya.     

Mrs. Parker menangis haru menyaksikan kejadian dihadapannya, puteri semata wayangnya kembali berdamai dengan ayahnya, karena sejak kecil Claire memang lebih dekat dengan ayahnya dibandingkan dengan dirinya. Ekspektasi dan harapan sang ayah yang terlalu tinggi untuk Claire membuat jarak diantara mereka dan semakin hari semakin lebar. Setiap pembicaraan berakhir dengan adu argumen karena Claire tak bisa menuruti keinginan sang ayah soal karir, begitu juga dengan ibunya. Dan sekarang semuanya itu seolah luntur, tak pernah terjadi. George menghela nafas lega, kedatangannya ke rumah itu tak menjadi bencana baru tapi justru meredakan api yang selama ini berkobar di antara ayah dan anak.     

Sementara itu di rumahnya Adrianna meringkuk di ranjangnya sendiri dalam kesepian, tak ada lagi Ketty, tak ada lagi cucu-cucunya dan tak ada juga George. Dia menghela nafas dalam.     

"I end up here, alone, and lonely." Bisiknya dalam hati. Meski pembantu rumahtangga, supir dan penjaga rumah tinggal di rumah itu, entah mengapa Adrianna merasa bahwa dia benar-benar sendiri.     

"Mom, you're right." Gumamnya. "Sebanyak apapun anak yang kau miliki, mereka akan terbang bebas seperti burung-burung dan kau akan berakhir di ranjangmu, sendiri, kesepian dan tua. Dan saat semua itu terjadi, yang tersisa hanyalah kesedihan. Tapi jangan lupa bahwa semua yang kau bisa sudah kau berikan, dan sekarang waktunya istirahat, menunggu pulang." Gumam Adrianna, dia mengingat betul kalimat yang dikatakan Christabell padanya saat mereka menghabiskan waktu bersama sebelum Bell mengalami sakit.     

George menghubungi ibunya melalui pesan singkat. "Mom . . ." Tulisnya.     

"Hi Son, bagaimana kunjunganmu?" Tanyanya.     

"Semua berjalan lancar, besok aku akan pulang." Balasnya. "Bagaimana keadaanmu? Kau kesepian?" Tanya George.     

"Tidak sama sekali, aku baru saja selesai mengobrol dengan Ketty di telepon." Bohongnya.     

"Good, take some rest." Balas George."I love you." Tulisnya lagi.     

"You to son, take some rest. I love you more." Balas Adrianna. Dia meletakkan ponselnya dan tangisnya bercucuran.     

"Aku tidak memiliki siapapun selain kau sekarang, dan akupun harus merelakanmu segera, George, puteraku." Bisik Adrianna pilu dalam hatinya. Rumah besar bagaikan istana yang dibangun Aldric untuknya dan anak cucu ternyata berakhir dengan seperti ini. Dihuni hanya olehnya, wanita tua dengan transplantasi ginjal yang membuat kesehatannya tak seprima dulu. Rumah dengan beberapa kamar yang diidam-idamkan Aldric akan bisa dia tempati bersama Adrianna, anak-anak dan cucu-cucunya ternyata tidak bisa terwujud. Aldric pergi begitu cepat menyisakan Adrianna dengan hanya seorang putera.     

***     

"Hei . . ." Claire menghampiri George yang masih duduk di balkon rumah oran tua Claire.     

"Hai." Jawab George. "Aku sedang mengirim pesan pada ibuku."     

"Oh ya, maaf terallu sibuk dengan keluargaku sampai melupakan ibumu." Sesal Claire.     

"Dia mengatakan baru saja menelepon Ketty, padahal saat aku mengirim pesan padanya aku mengirim pesan pada Ketty juga, dan dia sedang di rumah bersama dengan suaminya." Ujar George dengan wajah sedih.     

Claire menghela nafas dalam, "Bagaimana kalau setelah menikah kita tinggal bersama ibumu." Claire merangkul George dan menatap pria itu.     

"Really?" George berbinar.     

"Ya, orang tuaku, mereka masih bersama, tapi ibumu sendiri. Dia pasti kesepian." Bisik Claire.     

"Thank you." George mengecup kening Clarie dan wanita itu bergulung dalam pelukan George.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.