THE RICHMAN

The Richman - Half Day



The Richman - Half Day

0Adrianna datang menjenguk Sheina dan mereka berada di rumah itu bersama dengan Ketty dan anak-anak Ketty.     

"Aku akan senang jika si kembar lucu ini tinggal bersama kami di rumah ini." Ujar Sheina saat melihat si kecil begitu asyik berlarian sementara ibunya dan neneknya duduk bersama Sheina di ruang tengah.     

"Aku akan kesepian di rumah besar itu."     

"George tak tinggal di rumah?" Alis Sheina berkerut.     

"Entahlah, kurasa dia berkencan dengan seorang gadis yang tinggal di dekat rumah, belakangan ini dia sering menginap. Tapi tanpa Clara dan Stefanie rumah akan sangat sepi." Adrianna tersenyum tapi matanya berkaca.     

Sheina tersenyum, "Bibi, aku punya kenalan namanya Oliver Hawkins. Dia bosku dan sangat galak." Ujar Sheina.     

"Jangan mencomblangkanku dengan pria yang jauh lebih muda dariku." Tolak Adrianna. "Aku terlalu mencintai mendiang pamanmu." Gumamnya.     

"Aku tidak menjodohkanmu, mungkin kau bisa mengenal ayahnya. Marshall Hawnkins, dia sudah tua tapi sangat tampan dan berwibawa. Aku pernah bertemu dengannya sekali."     

"Marshall Hawkins? Pengacara itu?" Tanya Adrianna shock.     

"Yess, dan puteranya adalah Oliver Hawkins." Sheina mengambil layar ponselnya dan menunjukkan foto ayah dan anak itu.     

"He is hot." Gumam Adrianna.     

"Aku sudah memberitahumu." Sheina tersenyum lebar dan Ketty tampak menggelengkan kepala mendengan percakapan antara Sheina dan Adrianna.     

***     

Dikantornya, Ben tampak sibuk dengan pekerjaannya saat George masuk ke ruangannya.     

"Uncle, bagaimana keadaan Sheina?" Tanya George.     

"Dia baik." Jawab Ben sembari mengalihkan perhatiannya pada sang keponakan. "Entah darimana dia mendapatkan luka memar itu, dia mengatakan bahwa dia merasa ada yang mengikuti lalu berlari dan jatuh, tapi entah mengapa aku merasa ada yang menyerangnya." Ujar Ben.     

"Dia gadis yang kuat." Puji George dengan seyum di wajahnya.     

"Ya, dan keras kepala seperti ibunya."     

George terkekeh, "Apa yang kau temukan uncle?"     

"Harga saham kita hari ini mengalami koreksi tipis, kurasa beberapa strategi harus kita ubah." Ujar Ben.     

"Aku akan siapkan rapat besar." George meyambut dengan cepat.     

"Sebaiknya tidak terburu-buru, kita perlu bicara dalam lingkup yang sempit, terutama marketing. Aku juga ingin dilakukan audit internal karena aku mencium ada indikasi kebocoran dana yang tidak perlu, terutama untuk promosi." Ujar Ben.     

"Kau setajam daddy dan Grandpa." Puji George.     

"Kau juga akan seteajam mereka." Ben bangkit berdiri dan menepuk pundak George. Pria muda itu pamit undur diri dari ruangannya dan segera melakukan rapat dengan tim auditor internal untuk melakukan audit di semua lini secepatnya.     

***     

Dikantor Oliver dia tampak membongkar kardus yang dibawa Nick dan mulai melihat satu per satu isinya. Oliver mulai memetakan semua kejadian yang terjadi dan membuat skema benang merah.     

Sekembali dari penjara, Oliver sempat melihat ke rumah Jhon. Hanya ada satu jalan masuk ke rumah itu dan tidak bisa di akses dengan mobil. Di lokasi itu terdapat sebuah area yang sering digunakan anak-anak untuk bermain skateboard. Mulai dari siang sampai malam hari.     

Oliver sempat duduk di sana dan mengamati anak-anak bermain.     

"Hei dude." Sapa seorang remaja yang tubuhnya penuh dengan tato, dengan hanya mengenakan singlet, tato di tubuhnya terekspose.     

"Hai." Oliver tidak terkesan eksklusif meski dia mengenakan setelan resmi.     

"Kau bermain?" Tanya pria muda itu.     

"No." Gelengnya, sekilas dia menatap pria muda penuh tato itu. "Tapi aku suka melihat kalian bermain."     

Sang pemuda bertato menatapnya, "Kau polisi?" Tanyanya dan Oliver tersenyum.     

"Aku sudah menangkap kalian sejak kemarin jika aku polisi." Ujarnya santai.     

"Lalu mengapa kau berada di sini?" Pria bertato itu menatap Oliver.     

Oliver menghela nafas dalam. "Bosan dengan hidupku." Jawabnya asal.     

"Kau pasti punya banyak uang, mengapa kau bosan?" Gurau si remaja bertato.     

Oliver melipat tanganya di dada, "Kau akan merasakan kebosanan yang sama saat kau punya banyak uang." Ujarnya.     

"Aku ingin punya banyak uang." Ujar pria muda itu.     

"Bagus."     

"Tapi satu-satunya cara yang kutahu adalah membobol bank." Ujarnya.     

"Kau pernah melakukannya?" Alis Oliver berkerut.     

"Tidak." Gelengnya. "Aku tidak ingin dipenjara." Ujarnya singkat.     

"Kau bahkan belum pernah berada di dalam penjara, mengapa kau tak ingin mencoba?" Goda Oliver.     

"Salah satu temanku dipenjara untuk apa yang tidak dia lakukan. Aku datang mengunjunginya sekali dan dia terlihat mengerikan, di pukuli teman-teman satu selnya."     

"Temanmu?" Alis Oliver berkerut.     

"Itu rumahnya, Jhon namanya." Ujar si pria muda.     

Rahang Oliver mengeras, "Kau ingin temanmu bebas?" Tanyanya.     

"Andai aku tahu cara membebaskannya." Pria muda bertato itu terlihat frustasi.     

"Aku tahu caranya, tapi aku butuh bantuanmu." Oliver mengeluarkan kartu nama dari sakunya dan menunjukannya pada pria muda bertato.     

"Aku Oliver Hawkins, kuasa hukum Jhon. Dan aku ingin kau mengingat apa yang kau ketahui hari itu." Ujar Oliver.     

Pria muda bertato itu membeku menatap Oliver. "Kau tidak berbohong?" Tanyanya.     

"Mengapa kau takut aku berbohong?"     

"Beberapa hari lalu seorang pria datang dan menemui Kheil, dia pimpinan di tempat ini. Dia yang menguasai semuanya."     

"Kheil?" Alis Oliver berkerut.     

"Biasanya dia ada, tapi entah mengapa beberapa waktu setelah pria itu datang, Kheil tak pernah terlihat."     

"Siapa namamu?" Tanya Oliver.     

"Taylor."     

"Ok Taylor, ceritakan padaku semuanya tentang Jhon sejak awal kau mengenalnya sampai Jhon membawa kekasihnya Zoey ke rumahnya dan akhirnya gadis itu mati di dalam rumah dengan pisau menancap di perutnya?" Tanya Olvier dan pria muda itu mulai bercerita.     

Oliver menyalakan voice recorder sejak dia duduk di tempat itu hingga Taylor mengatakan semuanya padanya. Ada benang merah di dana, kemungkinan bahwa seorang pria yang disebutkan Taylor itu menyewa Kheil sebagai pembunuh bayaran. Dan setelah kasus itu ditangani polisis dia meminta Kheil menghilang untuk menghilangkan jejak.     

Oliver mengerucutkan bibirnya sekilas, tatapannya terarah pada sebuah lingkaran dengan tandatanya bertuliskan " Mr? " yang dia tulis dengan tangannya sendiri.     

Oliver melihat ke arah arlojinya, pukul sepuluh malam dan dia masih berada di kantornya, sebenarnya tidak masalah karena dia bahkan sering menghabiskan waktu di kantornya hingga hampir pagi jika itu mendekati deadline persidangan dan dia masih sibuk dengan bukti-bukti yang akan dia gunakan di persidangan nanti.     

***     

Dirumah Ben, Adrianna, Ketty dan anak-anaknya sudah pulang. Menyisakan Ben dan George yang masih minum di ruangan bawah sambil berbincang soal perusahaan.     

Di kamarnya Sheina tampak gelisah, dia tidak melakukan apapun seharian selain hanya berbincang-bincang. Sebenarnya saat ini dia sangat ingin berada di kantor dan membantu Oliver untuk melihat bukti-bukti yang ada lalu menemukan benang merah yang akan menjadi kekuatan mereka untuk menyeret si pelaku aslinya ke penjara dan membebaskan Jhon yang tidak bersalah.     

Sheina mengambil ponselnya lalu mengirim pesan pada Oliver.     

"Hi Boss." Tulisnya dan beberapa detik setelah terkirim dibaca oleh Oliver.     

"Sudah larut, seharusnya kau tidur." Balas Oliver.     

"Kau masih di kantor?" Tanya Sheina lagi.     

"Yes." Jawab Oliver.     

"Maaf." Balas Sheina.     

"Aku tidak suka dikasihani, ini pekerjaanku dan aku melakukan apa yang kusukai. Simpan rasa bersalahmu." balasnya lagi.     

"Bisakah kau sedikit manis padaku?" Tanya Sheina.     

"NO!" Balas Oliver.     

"Kau akan berakhir menjadi pria tua galak menyedihkan yang tak memiliki kekasih karena sikap kasarmu pada semua wanita!" Balas Sheina dengan kesal.     

"Aku tidak memperlakukan semua wanita dengan kasar, tidak semua. Catat itu." Balas Oliver.     

"I hate you!!!" Sheina menulisnya, tapi sejurus kemudian dia menghapusnya dan mengetik kalimat lainnya.     

"Pulang dan istirahatlah Boss. Terimakasih sudah selalu bersikap kasar padaku." Tulisnya.     

"Ok." Balas Oliver.     

Sheina melempar ponselnya, meski masih di atas kasur tapi dia terlihat frustasi, dan hal itu terjadi tepat saat Ben melihatnya dari pintu.     

"Kau tidak suka ponsel lamamu?" Tanya Ben dan Sheina menyeringai karena tidak menyadari bahwa ayahnya sudah berdiri di tempat itu sejak tadi.     

"Sejak kapan daddy berdiri di situ?"     

"Barusan, George pulang dan aku memutuskan untuk memeriksa keadaanmu. Tapi kau tampak sangat kacau sayang." Ben berjalan masuk dan duduk di tepi ranjang.     

"Mengapa kau tampak kesal?" Tanya Ben.     

"Entahlah, hanya merasa bosan karena seharian aku tidak melakukan apapun." Bohong Sheina.     

"Lebam di wajahmu sudah sedikit membaik. Mungkin dua atau tiga hari lagi semua akan hilang." Ben menerka.     

"Aku akan ke kantor besok." Ujar Sheina.     

"Dan membiarkan orang-orang dikantormu histeris melihat wajahmu, mengira kau korban kekerasan?"     

"Mereka sudah terbiasa dengan hal ini dad, beberapa bahkan mengalami ancaman yang lebih mengerikan." Sheina menyakinkan ayahnya.     

Ben menghela nafas dalam. "Mengapa kau tidak mengambil kuliah lagi dan menjadi pengajar."     

Sheina tersenyum lebar. "Aku menyukai pekerjaanku."     

"Dan selama kau bekerja sebagai pengacara aku akan hidup dalam was-was sepanjang hidupku." Ben menatap puterinya itu, dia meraih tangan puterinya dan mengecupnya. "Pertimbangkan itu."     

Sheina menghela nafas dalam. "Untuk saat ini aku menolaknya, tapi aku akan memikirkannya." jawab Sheina.     

"Ok. tidurlah." Ben mengecup kening puterinya dan menutup pintu kamar puterinya itu begitu dia keluar dari kamar Sheina. Ben turun ke lantai satu untuk mematikan lampu dan masuk ke kamarnya.     

***     

Oliver keluar dari ruangannya, semua sudah gelap. Dia masu ke lift dan turun kemudian bertemu dengan dua security di lantai bawah.     

"Selamat malam boss." Sapa mereka.     

"Selamat malam." Oliver tersenyum sekilas, tapi dia memutar balik langkahnya dan mendekati security.     

"Siapa yang bertugas kemarin pagi di kantor?" Tanya Oliver.     

"Saya." Jawab Mika.     

"Mika, kau melihat seseorang masuk dengan buket bunga mawar?" Tanyanya dan Mika mencoba mengingatnya.     

"Em, sepertinya Mr. Gredy." Ujar Mika.     

"Gredy?" Alis Oliver bertaut. "Kau yakin itu Grady?"     

"Dia membawa sesuatu di tangannya, tapi tertutup, aku tak yakin isinya bunga mawar, tapi terlihat seperti buket bunga." Ujar Mika.     

"Bisa tunjukkan CCTVnya?" Oliver meminta Mika memeriksa cctv dan itu membuat dua orang sekurity itu bingung, tapi tanpa banyak bertanya mereka menunjukkan rekaman cctv dan benar Gredy membawa sebuah bungkusan besar di tangannya dan satu cup kopi.     

"Bisa perbesar?" Perintah Oliver sembari melipat tangannya di dada dan melihat ke arah layar monitor. Olvier melihat logo franchise itu dan yakin bahwa itu juga adalah cup kopi yang sama dengan yang diterima Sheina pagi itu.     

"Sejak kapan Gredy suka kopi instan?" Gumam Oliver dan Mika tampak bingung.     

"Ada lagi sir?" Tanya Mika.     

"Tidak terimakasih." Oliver meninggalkan mereka berdua dan bergegas menuju mobilnya. Sebelum menyalakan mesin mobilnya dia mengingat sepupunya Gredy, dia bekerja dengannya atas rekomendasi sang ayah, Marshall Hawkins. Jika bukan ayahnya yang mengatakan, Oliver sudah pasti menendang pemalas yang suka mempermainkan klien dengan mematok bayaran mahal juga menerima berbagai gratifikasi dari klien itu.     

"Aku mengawasimu Gred." Gumam Oliver dalam hati sebelum menyalakan mesin mobilnya dan berkendara pulang.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.