THE RICHMAN

The Richman - After the Dark



The Richman - After the Dark

0Pagi ini dokter berkunjung dan membacakan hasil CT scan kepala dan tidak ada masalah apapun dengan tempurung kepala Sheina. Luka yang dia alami hanyalah luka luar, tapi karena luka lebam butuh waktu beberapa hari untuk pulih akhirnya Sheina diberikan ijin oleh Oliver untuk tidak ke kantor sampai lebambya sembuh. Dan untuk sementara waktu dia akan tinggal di rumah ayahnya. Ben tidak akan mengijinkan puterinya tinggal sendiri lagi setelah semua yang dia alami. Si protektif Daddy kembali lagi. Memberi kepercayaan pada puterinya beberapa bulan ternyata tidak membuahkan hasil yang baik.     

"Dad, tapi aku sudah dewasa, so please jangan terlalu berelebihan." Protes Sheina.     

"No, daddy tidak berlebihan." Geleng Ben. "Jika anak-anak itu tidak menolongmu dan Oliver tidak segera menemukanmu, daddy tidak bisa membayangkan apa jadinya." Ben meremas wajahnya.     

"I'm ok." Sheina meyakinkan.     

Ben menatap puterinya, "Look, aku kehilangan ibumu dan itu masih sangat menyakitkan ketika mengingat aku hanya memilikimu, satu-satunya yang tersisa dan membiarkan dirimu dalam bahaya? It will never happened."     

"Sorry." Sheina memeluk ayahnya itu dan Ben menghembuskan nafasnya lega.     

"Aku tidak pernah setuju kau mengambil jurusan ini, sangat berbahaya bagimu."     

"I love my job." Bisik Sheina.     

"And I love you my daughter."     

"I know." Sheina tersenyum. Ayah dan anak itu kini bisa menghirup nafas lega, bagi Ben menemukan puterinya hidup-hidup itu sebuah kebahagiaan yang tak bisa dia tukar dengan apapun. Sementara bagi Sheina, setelah Oliver menyetujui untuk menghentikan kerjasama dengan kliennya dan justru berbalik membela lawannya, itu juga sangat melegakan.     

"Kau beruntung bosmu perduli padamu." Ben menatap puterinya itu.     

Sheina tersenyum. "Sebenarnya dia orang yang galak dan sedikit arogan, menganggap dirinya paling benar dan paling hebat."     

"Really?" Ben mengulas senyuman penuh tanya. "Mengapa aku melihat sebaliknya semalam, saat kami mencarimu, dia tidak terlihat arogan sama sekali." Ujar Ben.     

"Mungkin dia merasa bersalah karena sudah memintaku menangani kasus ini." Ujar Sheina.     

"Aku sudah bicara padanya, sebelum dia pergi tadi." Ujar Ben.     

"Apa yang daddy bicarakan?" Tanya Sheina.     

Ben menghela nafas dalam. "Aku meminta padanya untuk memberikanmu kasus-kasus yang mudah dan ringan."     

"DAD??!" Protes Sheina. "Aku akan menjadi pengacara kacangan jika seperti itu, aku sudah mengawali karirku dengna sangat cemerlang dan sekarang aku harus mengambil langkah mundur? Now Way." Imbuhnya.     

Ben menatap puterinya itu. "Stubborn." Ujarnya. "Bagi daddy, kau akan selalu jadi gadis kecil yang tidak boleh terluka atau jatuh sakit. Aku ingin kau bahagia menikmati hidupmu."     

Sheina meraih tangan ayahnya. "It's my calling dad. Give me a chance." Sheina meyakinkan ayahnya itu dan Ben menghela nafas berat sebelum akhirnya mengangguk.     

"Setelah kau pulih betul."     

"Thank you."     

Ben meninggalkan Sheina di kamarnya dan turun ke lantai bawah, hari ini dia tampak bersiap ke kantor tapi Adrianna akan datang untuk menemaninya seharian ini setelah menerima kabar dari Ben tentang keponakannya. George juga tampak panic dan langung datang ke rumah Ben semalam bersama ibunya sementara Sheina justru menginap di rumahsakit dan menolak keluarganya untuk datang kesana. Jadi pagi ini mereka akan datang.     

Tok Tok     

Mendadak terdengar suara pintu diketuk.     

"Masuk." Sheina bersuara dan Seorang wanita masuk dengan nampan berisi makanan.     

"Hai." Senyum wanita itu tapi Sheina tertegun, dia membeku sementara matanya berkaca.     

"Mommy?" Alis Sheina berkerut dan suaranya bergetar, namun wanita itu tersenyum sekilas lalu meletakkan nampan di atas meja.     

"Aku tahu kau pasti berpikir aku ibumu." Senyum Sheina. "Aku Catherine, teman ayahmu." Ketty memperkenalkan diri. "Aku mendengar tentangmu semalam dan pagi ini aku datang membawa makanan begitu Ben mengatakan bahwa kau sudah pulang." Terang Ketty.     

"Oh sorry." Sheina segera mengusap matanya. "Kau sangat mirip dengan ibuku."     

"Ya." Angguk Catherine. "Maaf baru memperkenalkan diri padamu dengan cara seperti ini."     

"Tidak masalah, aku akan sangat senang jika ayahku bahagia." Sheina tersenyum pada Catherine begitu juga sebaliknya.     

"Makanlah sebelum kau meminum obatmu." Ujar Ketty sembari menyiapkan nampan itu di atas tempat tidur Sheina.     

"Bisakah kau menyuapiku?" Tanya Sheina ragu-ragu.     

Ketty tertegun sekilas lalu tersenyum. "Of course." Angguknya. "Kau merindukan ibumu?" Tanyanya.     

"Sangat." Jawab Sheina.     

"Anggap saja yang sedang duduk di hadapanmu saat ini adalah ibumu."     

Sheina berkaca-kaca kembali saat suapan pertama mendarat di mulutnya.     

"Maaf aku terbawa suasana." Ucapnya di sela mengunyah sarapannya.     

"It's ok." Ketty dengan telaten menyuapi Sheina hingga selesai dan membantunya minum obat sebelum meninggalkan gadis itu di dalam kamarnya. Ketty tampak sangat menikmati moment ini seperti Sheina juga menikmatinya. Pagi ini dia bahkan memasak spesial untuk bekal si kembar dan juga Sheina. Sebelum datang ke rumah Ben dia mengantarkan anak-anaknya ke sekolah, barulah menjenguk Sheina.     

Ben tampak sudah bersiap untuk ke kantor saat berpapasan dengan Ketty di ruangn bawah. "Hari ini aku tidak ada janji bertemu klien. Mungkin aku akan ke butik saat mommy sudah datang untuk menemani Sheina." Ujarnya sembari membetulkan dasi Ben, mereka tampak semakin dekat sekarang.     

"Thank you, kau begitu baik padaku dan puteriku."     

"You're welcome." Ketty tersenyum.     

"Aku akan ke kantor, jam berapa si kembar pulang hari ini?"     

"Jam dua." Jawab Ketty.     

"Aku akan menjemput mereka dan membawanya kemari." Ben mengatakannya dan itu membuat Ketty tertegun sekilas.     

"Mengapa kau akan membawanya kemari?" Tanya Ketty.     

Ben mendekatkan wajahnya ke wajah Ketty. "Karena ini juga rumah mereka." Ujarnya lirih dan Ketty tersenyum. "Thank you."     

Ben mendaratkan ciuman di bibir Ketty dan wanita itu tampak ragu awalnya, namun pada akhirnya dia membalas ciuman Ben itu. Sheina yang sempat keluar kamar untuk mengambil tasnya di bawah mengurungkan niatnya, dia melihat apa yang terjadi pada ayahnya dan Ketty dari atas, tepat di depan kamarnya dan tersenyum.     

"You deserve to be happy dad." Gumamnya seraya tersenyum kemudian masuk kembali ke dalam kamarnya. Setelah sekian lama dia melihat ayahnya dalam keterpurukan dan kemurungan, berjuang sendiri membesarkannya dan selalu menampilkan citra bahwa dia baik-baik saja dengan kesendiriannya, tapi jauh di lubuk hatinya, Sheina tahu bahwa ayahnya juga butuh seorang wanita. Dia masih cukup muda untuk menikmati romansa itu. Lagi pula tak ada batasn usia untuk jatuh cinta.     

***     

Sementara itu di kantornya Oliver baru saja mendapatkan ancaman pertama begitu dia mengakhiri kerjasama dengan ayah dari Zoey Voss dan memilih untuk membela Jhon, kekasih Zoey yang dipersalahkan atas kematian kekasihnya sendiri.     

Oliver menghela nafas dalam, dia baru saja mengemasi berkas-berkas yang ada di tangannya itu dan meletakkannya di atas meja tepat saat sekretarisnya mengetuk pintu dan membukanya setelah dipersilahkan oleh Oliver, tampak Nick dan Malla datang dengan sekardus barang bukti yang mereka miliki.     

"Sir." Nick meletakkan kardus itu di ats meja Oliver dan pria itu mengangguk sembari melipat tangannya di dada.     

"Kalian yakin ini cukup untuk menjatuhkannya?" Tanya Oliver pada Nick dan Malla.     

"Kami akan mencari lebih banyak."     

"Satu kali duapuluh empat jam." Ujar Oliver. "Hari ini aku akan menemui Jhon di penjara." Ujarnya.     

"Thank you Sir." Malla berkaca-kaca.     

"Aku tidak suka air mata, so please jangan menangis di dalam kantorku." Ujar Oliver cepat.     

"Sorry." Sesal Malla. Nick dan Malla pamit undur diri sementara itu Oliver tampak segera keluar dari ruangannya dan menuju mobilnya untuk mengunjungi Jhon dan bertanya lebih banyak pada pria itu.     

***     

Saat menunggu Jhon di siapkan dari dalam jeruji besi, Oliver melihat ke arah ponselnya. Sebuah pesan singkat dari Sheina masuk keponselnya.     

"Hi boss." Tulisnya.     

"What?" Balas Oliver cepat.     

Sheina tersenyum, "Dasa pria kaku." Gumamnya di sela senyuman. "Thank you." Tulsi Sheina.     

"You're wellcome." Jawab Oliver standard.     

"Aku akan mentraktirmu makan." Balas Sheina lagi.     

"Aku sibuk menangani kasus yang baru saja kau berikan padaku." Balas Oliver.     

"Aku akan menunggumu sampai kau punya waktu. Aku sungguh berhutang padamu." Balas Sheina lagi.     

Oliver menghela nafas dalam. "Akan ku beritahu bagaimana cara membayar hutangmu, nanti." Balas Oliver.     

"Can't wait. Good luck boss, and stay save." Balas Sheina sekali lagi.     

"Kalimat terakhir cocok untuk dirimu sendiri." Tulis Oliver.     

"LOL." Balas Sheina dan Oliver segera mengantongi kembali ponselnya karena Jhon sudah berada di balik ruangan kaca untuk berbicara dengannya. Jhon mengambil gagang telepon begitu juga dengan Oliver jadi mereka akan bisa saling bicara dan mendengarkan.     

"Hai, aku Oliver Hawnins dari Oliver and Partner Law Firm." Oliver membuka pembicaraan dan mata Jhon berkaca-kaca, pria itu terlihat begitu melankolist dan polos, bagaimana tangannya bisa membunuh kekasihnya. Melihat Jhon pertama kali, Oliver langsung tahu bahwa dia tidak membunuh.     

"Anda pengacara terkenal itu?" Suara pria itu bergetar.     

"Ya, jika kau mengenalku." Angguk Oliver.     

"Thanks God, akhirnya mujizat ini datang juga. Aku tidak membunuh Zoey, aku sangat mencintainya." Jhon mengungkapkan kalimat itu dengan air mata berderai.     

Oliver menghela nafas dalam, dia tidak suka dengan air mata dan tidak familiar melihat itu sejak kecil jadi setiap kali melihat orang menangis apalagi pria, dia akan menjadi jengkel. "Jhon, kau tak punya banyak waktu. Sekarang berhenti menangis dan katakan padaku bagaimana kejadian hari itu?"     

"Hari itu aku pulang kerja dan Zoey berada di rumahku." Ujarnya. "Pagi harinya kami memang bertengkar karena dia mengatakan akan kembali ke rumah ibunya tapi aku memintanya untuk tinggal." Imbuhnya.     

"Saat aku kembali dia tergeletak dengan pisau menancap di perutnya." Ujar Jhon sedih.     

"Dia masih hidup saat kau menemukannya?"     

"Ya, saat itu dia sekarat." Jawab Jhon. "Aku reflek dan menolongnya, entah mengapa sidik jariku ada di pisau itu tepat saat polisi datang."     

Oliver menghela nafas dalam. "Ok, aku paham." Oliver mengagguk.     

"Aku akan mencari bukti-bukti untuk membebaskanmu dari tuduhan yang tak kau lakukan." Oliver meyakinkan.     

"Thank you sir." Jhon tersenyum, tapi dia tampak merenung sedih kemudian.     

"Mengapa kau terlihat kacau sekarang?"     

"Bagaimana aku membayarmu?"     

Oliver tersenyum sekilas, "Ucapkan terimakasih saat kau bisa menghirup udara bebas, ini kulakukan untuk kemanusiaan." Jawabnya.     

"Thank you." Jhon mengatakannya sekali lagi dengan tulus sebelum sipir penjara menariknya masuk dan Oliver keluar dari area rumah tahanan itu berkendara dengan mobilnya kembali ke kantor untuk melihat bukti bukti apa saja yang diberikan oleh Malla dan Nick.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.