THE RICHMAN

The Richman - Untold Story about Mss. Claire



The Richman - Untold Story about Mss. Claire

0Geroge menjemput Claire tepat saat gadis itu selesai merias dirinya. Dia mengenakan gaun berwarna hitam dengan potongan sederhana yang membuatnya elegan tapi tak berlebihan. Dia juga mengenakan perhiasan kalung kecil dengan permata di tengahnya dan sepasang anting panjang untuk melengkapi penampilannya. Rambutnya dibiarkan terurai polos.     

"Hai." Sapa George begitu Claire membuka pintu apartmentnya.     

"Hai." Balas Claire.     

"Are you ready to go?" George menatap Claire dan gadis muda itu mengangguk. "Yes." Angguknya.     

Mereka berkendara dengan mobil George, meski masih tampak sedikit canggung. Pertemuan ketiga tak lantas membuat Claire dan George mengakui ketertarikan mereka secara terang-terangan. Mereka memilih untuk melakukan pendekatan secara perlahan-lahan tampaknya karena masing-masing menyimpan luka di masalalu.     

Mereka tiba di restoran dan segera memesan makanan. Di sela-sela makan malam, George dan Claire menyempatkan diri untuk mengobrol tentang banyak hal.     

"Ceritakan tentang dirimu Mss. Parker." George memulai pembicaraan.     

"Aku sudah menceritakannya kemarin, kurasa tidak ada yang menarik lagi."     

"Really?" George tersenyum sembari mengukur ekspresi Claire hingga akhirnya gadis itu menyerah. "Ok." Angguknya.     

"Ibuku adalah seorang penari balet, sementara ayahku seorang bangkir." Terang Claire. "Sejak kecil aku suka menari, dan ibuku sering membawaku ke kelas baletnya untuk melihat murid-muridnya menari. Lama kelamaan aku menjadi jatuh cinta pada dunia menari seperti yang dilakukan ibuku." Claire tersenyu mengenangnya.     

George menatap Claire lalu menggodanya, "Aku ingin melihatmu menari."     

"Itu tidak akan pernah terjadi." wajah Claire bersemu merah.     

"Aku mengikuti lomba-lomba menari dan sering menang dalam perlombaan menari itu sampai aku akhrinya bosan." Claire menyeringai. "Apa aku terkesan sombong?" Tanyanya khawatir.     

"Tidak, kau memang berbakat dan aku yakin itu." George tersenyum.     

"Diam-diam aku ikut street dance setiap kali pulang sekolah." Claire mengaku pada akhrinya. "Kenakalan yang tak pernah kusesali, tapi sempat kusesali." Ujarnya.     

"Mengapa?" George bertanya. "Aku bahkan membayangkan betapa kerennya jika kau menarikan street dance di depanku sekarang."     

Claire memutar matanya. "Aku bertemu dengan seorang koreografer yang mengadakan kontes untuk sebuah teater jalanan." Ujar Claire, dia tampak menghela nafas dalam, "Matheo." Gadis itu mendadak menjadi kikuk saat menyebutkan nama itu.     

"Lalu?" Geroge memancingnya lagi karena mendadak Claire diam dan tak melanjutkan lagi ceritanya.     

"Em, diam-diam kami bekerjasama dan menjalin hubungan asmara." Claire terlihat menundukkan wajahnya.     

"Mengapa kau malu?" George menatap Claire dan gadis itu mengangkat wajahnya.     

Claire menghela nafas dalam, "Dia cinta pertamaku." Tatapan Claire menjadi kelam. "Karena pria itu aku putus hubungan dengan orang tuaku." Claire terlihat berkaca.     

"Claire." George meraih tangan gadis itu dan Claire tersenyum sekilas. Dia benar-benar ingin menunjukkan kesan baik-baik saja di hadapan George tapi entah mengapa Claire justru merasa nyaman membuka semua lukanya.     

"Aku menentang ibuku dan ayahku, mereka berdua menginginkan aku berkarir jika tidak mengikuti jejak ayahku bekerja kantoran, mungkin bisa mengikuti jejak ibuku menjadi seorang pengajar tari ballet." Terang Claire. Dia tidak menunggu George memancingnya dengan pertanyaan, Claire dengang senang hati mengupas dirinya sendiri di hadapan George.     

"Aku lari dari rumah selama bertahun-tahun dan hidup di jalan bersama dengan Matheo. Dunia kami hanyalah tentang Sex dan menari." Terang Claire sedih.     

George menghela nafas dalam, mendengar kisah Claire saja sudah cukup membuatnya sesak nafas. Claire terlihat begitu naif menjadi budak cinta, mungkin itu tak ubahnya dirinya saat sedang mati-matian mengejar Emanuella Dimitry. Mungkin dua orang harus mengalami kisah cinta yang salah dan gagal lebih dulu sebelum akhirnya menemukan cinta yang pantas untuk diri mereka.     

"Dua tahun berlalu, ibuku menemuiku diam-diam di belakang Ayahku. Saat itu ayahku sangat marah dan tak lagi menganggapku sebagai anak, tapi ibuku, dia wanita yang sangat baik." Claire berkaca-kaca. "Dan aku menghancurkan hatinya berkali-kali." Air mata Claire berjatuhan, George mengambil sapu tangan dan menyodorkannya pada Claire.     

"Jangan lanjutkan, aku mengajakmu makan malam bukan untuk membuatmu menangis." Sesal George.     

"Tidak." Geleng Claire, "Mengatakan semuanya pada orang lain akhirnya bisa membuatku merasa jauh lebih baik." Jujur Claire.     

"Ok, lanjutkan jika kau ingin melanjutkannya." George meremas tangan Claire lembut, dan meyakinkan gadis itu.     

"Aku mengatakan pada ibuku jika aku akan menikahi Matheo seminggu kemudian, aku memberikan alamat tempat pernikahan kami juga hari dan tangagalnya." Terang Claire.     

"Ibumu tidak datang?" Tebak George.     

Claire menggeleng. "Di detik-detik terakhir ibuku datang dan duduk di bangku paling depan. Aku yang sudah berdiri di depan altar hampir menangis melihatnya saat itu, meski tanpa ayahku." Claire kembali berkaca.     

"Setengahjam kami menunggu dan Matheo tidak kunjung datang. Semua orang berusaha mencari dan menghubunginya, tapi nihil. Dia tidak pernah datang, dia juga tak pernah menemuiku sejak saat itu." Tuturnya sedih.     

"Lalu apa yang terjadi?" Tanya George lagi.     

Claire menghela nafas dalam. "Ibuku mengajakku pulang, dan mengatakan bahwa meskipun ayahku memukuliku, aku tetaplah puterinya. Suatu saat ayahku pasti akan memaafkanku, itu yang dia katakan. " Kenang Claire sedih.     

"Tapi saat itu aku begitu dibutakan oleh cinta, atau setidaknya seseuatu yang ku anggap sebagai cinta saat itu." Claire menghela nafas lagi, "Aku menolaknya." Claire tertunduk. "Itu terakhir kali aku melihatnya dan berbicara dengannya."     

"Dan kau tidak pernah datang lagi pada mereka?" Tanya Geroge, Claire menggeleng.     

"Mengapa kau tak mencoba datang?" George masih tak bisa memahami jalan pikiran Claire.     

"Setiap kali aku bicara dengan ibuku, hal terakhir yang terjadi adalah aku melukai hatinya. Aku tak berani menemui mereka lagi, aku tak ingin menyakiti mereka." Jujur Claire.     

"Setidaknya cobalah." George berusaha meyakinkan Claire tapi gadis itu tampak sangat ragu dengan apa yang dikatakan George.     

"Bagaimana dengan nenekmu, Ketty mengatakan bahwa kau sempat tinggal dengan nenekmu di rumah." Tanya George.     

"Bukan nenek kandungku. Grandma Grasielda adalah wanita yang kutemui dalam sebuah perjalananku saat aku di Kanada. Dia sangat baik dan akhirnya kami menjadi dekat. Dia hanya mengunjungiku beberapa minggu, setelah itu dia kembali ke Kanada karena dia tinggal bersama puteranya di sana."     

"Dimana orangtuamu tinggal?" Tanya George tapi Claire tampak menggeleng pelan. "Aku tidak bisa menemui mereka sekarang."     

"Ok." George tak ingin memaksa, tapi dia merasa bahwa ada yang perlu dia lakukan untuk memperbaiki keadaan. Mungkin mengenal orang tua Claire akan membuat hubungannya dengan sang puteri menjadi lebih mudah.     

"Kau tahu, kau tak bisa membiarkan mereka jauh dari puterinya seumur hidupmu." George menatap Claire dan gadis itu kembali berkaca. "I know."     

"Do apologize." Saran George. "Aku kehilangan ayahku secara mendadak karena dia mengalami serangan jantung. Beberapa waktu aku menyalahkan diriku sendiri karena tidak menghabiskan banyak waktu dengannya." George mengungkapkan tentang dirinya.     

"Jangan sampai menyesalinya seperti aku menyesalinya Clarie."     

Gadis itu mengangguk, "Aku akan memikirkannya."     

"Aku akan menemanimu menemui orang tuamu, setidaknya dengan kehadiranku kau tidak akan dipukul oleh ayahmu." Seloroh George dan itu membuat Claire tersenyum sembari meneteskan air mata dalam waktu yang bersamaan.     

"Ok." Angguk Claire. "Thank you, akhirnya aku merasakan kelegaan yang luar biasa setelah menceritakan ini padamu." Jujur Claire.     

"Jadi selama ini kau memilih menyimpannya?"     

"Ya." Angguk Claire.     

"Mulai sekarang aku akan ada di dekatmu, untuk mendengarkan semua ceritamu."     

"Thank you." Claire tersenyum, dibalas oleh George dan mereka melanjutkan makan malam mereka lagi. Meski begitu kisah kebodohan George saat tengah mengejar cinta Emanuella Dimitry tak pernah terungkap secara detail. George memilih menyimpannya untuk dirinya sendiri. Begitulah bedanya pria dan wanita. Jika wanita mudah sekali mencurahkan perasaannya, maka pria lebih mudah menyimpan semua rahasianya untuk dirinya sendiri.     

***     

Sementara itu Ben dan Catherine tengah sibuk memilih furniture hingga dia lupa bahwa hari mulai gelap. Catherine melihat ke arah arlojinya dan cukup terkejut, mereka menghabiskan waktu lebih dari lima jam untuk memilih berbagai futniture yang dibutuhkan untuk renovasi rumah Ben secara bertahap.     

"Ben, ini sudah malam. Aku harus pulang, seharian anak-anak tidak bersamaku." Catherine terlihat gelisah.     

"Ya, aku minta maaf karena menyita banyak waktumu." Sesal Ben. "Aku akan mengantarmu pulang." Ben tersenyum dan Catherine terlihat lega. Bahkan setiba di rumah mereka masih bertemu dengan anak-anak yang sedang asik bermain di sekitar Adrianna yang menonton TV. Sang babysister tampak begitu terampil mengurus mereka berdua.     

Ben dan Catherine tiba di rumah, sementara Catherine mandi ternyata si kembar Clara dan Stefanie asyik berebut perhaian Ben. Bahkan tak butuh hitungan jam sampai anak-anak itu menjadi sangat akrab dengannya.     

"Anak-anak, waktunya tidur." Catherine menghampiri mereka dan keduanya berebut untuk memeluk Ben, meminta perlindungan dari Ben. Adrianna yang menyaksikan semua itu tersenyum-senyum sendiri.     

"Aku ingin tidur ditemanu uncle Ben." Rengek Clara.     

"Uncle Ben sangat lelah, dia akan pulang dan berisirahat." Catherine menjelaskan.     

"No!" Stefanie ikut memberontak. Tidak biasanya mereka memberontak seperti ini.     

"Ok . . . ok." Ben tersenyum. "Aku akan membacakan buku dongeng untuk kalian sebelum tidur."     

"Yey!!!" Keduanya berjingkrak girang.     

"Apa tidak masalah?" Tanya Catherine sungkan.     

"Aku punya keahlian membacakan dongeng untuk Sheina selama bertahun-tahun, kurasa aku masih ingat caranya." Ben tersenyum dan Adrianna mengangguk, memberi kode pada Catherine untuk membiarkan Ben melakukannya.     

"Ayoo kita tidur." Ben menggendong Clara dan Stef bersamaan dengan dua lengannya, satu di sisi kiri dan satu di sisi kanan. Mereka tampak senang bahkan terlihat cekikikan sembari di gendong oleh Ben.     

Sementara itu Catherine duduk di sofa bersama dengan ibunya setelah meminta pengasuh anak bernama Mia itu untuk beristirahat.     

"Mungkin mereka memang merindukan sosok seorang ayah." Adrianna memulai pembiaraan dan dengan sangat jelas mengarahkan pembicaraan itu.     

"Mom, kau tahu pernikahan pertamaku tidak berjalan dengan baik kan?" Catherine mendadak merasa insecure.     

"Itu karena Harry meninggalkanmu." Adrianna berusaha meyakinkan Catherine bahwa perceraiannya dengan Harry bukan semata kesalahannya, Harry yang membuat situasi menjadi sangat buruk bagi mereka berdua.     

Catherine terdiam sekilas, "Harry memilih wanita yang lebih muda, ada yang salah denganku pasti." Ujarnya.     

"Itu karena si bodoh Harry meninggalkanmu. Lihatlah dirimu, kau wanita yang baik, kau memiliki dua anak yang lucu dan cerdas, kau membantu Harry mencari uang, apa yang kurang darimu?" Adrianna berusaha membesarkan hati puteri angkatnya itu.     

"Aku tidak tahu, tapi pasti ada yang membuat Harry merasa ada yang kurang, itu sebabnya dia menemukan apa yang dia cari dariku tapi tak pernah dia dapatkan. Dan dia berhasil menemukan itu pada gadis lain." Catherine menjadi kecut hati.     

Adrianna menghela nafas dalam, "Ben pria yang baik, aku mengenalnya sejak kecil." Wanita tua itu bangkit dari tempatnya duduk dan meninggalkan Catherine yang masih duduk di tempat itu. Wanita itu memilih untuk berjalan ke dapur dan memanaskan makanan. Dia tahu bahwa Ben belum makan malam.     

Setengah jam kemudian Ben keluar dari kamar anak-anak dan berjalan menuju dapur, satu-satunya ruangan dengan lampu yang masi menyala.     

"Hei . . ." sapa Ben.     

"Thanks." Catherine tersenyum.     

"Untuk apa?" Tanya Ben.     

"Kau sungguh baik pada anak-anakku."     

"Aku selalu menyukai anak-anak. Dan mereka anak-anak yang cerdas." Ben tersenyum.     

"Makanlah, aku memanaskan makanan yang ada." Catherine menyodorkan sepiring tumisan daging dan sayuran.     

"Kau memasaknya, bukan memanaskannya." Ben tahu bahwa semuanya masih terlihat fresh dan sudah barang tentu Catherine memasak untuknya. Catherine tersenyum, "Bagaimana kau melewati lima tahun di German bersama puterimu?"     

"Kami keluar rumah bersama dan menghabiskan waktu di rumah saat weekend, memasak, makan, tapi dia lebih sibuk dengan ponselnya dan aku dengan pekerjaanku yang ku bawa pulang." Ben tersenyum sekilas sambil mengunyah makannya. Mereka tampak menikmati moment-moment bersama seprerti ini. Dan sudah bertahun-tahun Ben tidak merasakan masakan rumah tanpa harus memasak sendiri. Ini kali pertama setelah bertahun-tahun ada yang memasak untuknya di rumah, meski ini adalah rumah kakaknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.