THE RICHMAN

The Richman - Two Couple of Lovebird



The Richman - Two Couple of Lovebird

0George baru saja tiba di kantornya dan dengan sengaja mengirim pesan singkat pada Claire. "Morning Mss. Parker." Tulisnya.     

Claire yang saat itu belum memulai kelasnya tampak tersenyum mendapat pesan dari George. "Morning Mr. Bloom." Jawabnya.     

"Malam ini aku akan menjemputmu untuk makan malam." Tulis George.     

"Tidak sabar menunggu." Balas Catherine sebelum dia masuk kelas. Ben segera menghampiri ruangan yang dulu di tempati oleh kakeknya dan ayahnya dan kini masih kosong itu, tapi dia cukup terkejut karena Ben sudah duduk di mejanya dan tampak sibuk memeriksa berkas.     

"Morning uncle." sapa George ramah dan Ben tersenyum.     

"Morning George."Jawabnya.     

"Kau berangkat sangat pagi." George menatap Ben dengan penuh selidik. "Dan kau terlihat sangat bersemangat pagi ini."     

Ben melipat tangannya di atas meja. "Pertama karena keberhasilan Sheina, dan kedua karena aku merasa menemukan hidupku kembali."     

"Is it about Catherine?" Tebak George.     

"How do you know that?" Ben terkesiap.     

George tersenyum seilas. "Reaksiku saat pertama kali melihat Ketty mungkin sama dengan reaksimu saat melihatnya. Dia sangat mirip dengan bibi." Jujur George.     

"Ya." Angguk Ben. "Dia wanita yang baik."     

"Kau menyukainya?" Tembak George dan Ben menggeleng. "Aku tidak akan menggantikan Leah dengan wanita manapun." Jawabnya.     

"Bibiku tak tergantikan, tapi kurasa kau membutuhkan orang lain saat kau tua nanti. Sheina akan sibuk dengan dunianya dan kau butuh teman hidup." Saran George.     

Ben menghela nafas dalam. "Terlalu cepat untuk menyimpulkan." Jawab Ben.     

"Ketty mengagumimu, sepanjang sarapan pagi kami dia menceritakan banyak hal tentangmu. Bahkan hampir semua tentangmu dan apa yang kalian lakukan kemarin." Ujar George, "I wish you a best luck uncle." George mengangkat alisnya sebelum keluar dari ruangan kerja sang paman.     

"Thanks." Jawab Ben singkat.     

"Thanks for joining me."     

"Of course." Angguk Ben, dia kembali sibuk dengan pekerjaanya di hari pertama dia bekerja untuk perusahaan yang dipimpin keponakannya itu. Baru beberapa saat berkonsentrasi dengan pekerjaannya, seseorang meneleponnya, dan itu Catherine.     

"Catherine." Ben membuka percakapan.     

"Hai Ben, maaf mengganggu waktumu." Wanita itu jelas berbasa-basi.     

"No . . . no . . . no." Ben segera menyangkalnya, "Aku baru memulai hari pertamaku, tidak cukup sibuk." Terangnya.     

"Em, hari ini aku akan memilih beberapa furniture baru untuk rumahmu, jika kau sempat aku ingin kau ikut menentukan."     

"Tentu saja, aku akan menemuimu. Jam berapa?" Tanya Ben.     

"Bagaimana setelah makan siang?" Ketty menawarkan.     

Ben tersenyum sekilas, "Aku akan menjemputmu di butik, kita akan makan siang sebelum mulai memilih furniture." Ben membuat penawaran yang lebih menarik dan jelas diharapkan oleh Catherine.     

"Perfect." Jawab Catherine. "Ok, I'll see you later." Tutup Catherine. Wanita itu mendekap ponselnya dan tersenyum untuk dirinya sendiri sebelum salah satu staffnya memergokinya tersenyum sendiri.     

"Are you falling in love Catherine?" Tebak sang staff.     

"No." Geleng Catherine, dia langsung terlihat salah tingkah dengan mencari-cari kesalahan dari gaun yang baru saja diselesaikan oleh para staff yang memasang payet untuk gaun itu dua hari terakhir.     

"Ok, aku ingin bagian ini lebih di perhalus." Ucapnya cepat sebelum dia pergi. Sang staff tampak menggelengkan kepala, hasil payet itu sangat halus, tidak ada catat, tapi Catherine justru terlihat mengada-ada, mungkin karena dia terpergok oleh stafnya itu tengah tersenyum-senyum sendiri.     

Catherine baru saja duduk di ruangannya dan menerima pesan singkat dari George. "Aku baru saja meng-hire staff untuk mengurus si kembar. Mommy akan mengawasinya. Kau bisa fokus pada pekerjaanmu dan bermain bersama si kembar saat kau pulang ke rumah." George sang adik memang benar-benar pengertian, selama ini Catherine berkorban untuk keluarganya, untuk ibunya. Bahkan saat Catherine terpuruk karena perceraiannya dia masih hadir untuk ibunya, Adrianna.     

Ini saatnya George membalas kebaikan kakak angkatnya itu. Catherine melihat pamannya, Ben, berbeda dengan caranya melihat pria lain di luar sana selama ini. Ben mencuri perhatiannya dan mungkin sudah saatnya Catherine menjadi bagian dari keluarga mereka yang sebenarnya. Bukan sebagai anak angkat bagi Adrianna, melainkan menjadi isteri dari Ben Anthony. Dengan begitu dia akan menyandang nama Anthony di belakang namanya dengan resmi menjadi anggota keluarga Anthony.     

"Hai George, kau tak perlu melakukannya." Catherine membuka suara begitu George menerima teleponnya.     

"Ketty, sudah saatnya kau melunak pada dirimu sendiri." Jawab George.     

"Kau sedang butuh banyak uang untuk perusahaan, jangan menghamburkannya untuk membayar nanny." Protes Catherine.     

"Paman Ben datang untuk menyelamatkanku di detik terakhir. Dan mungkin dia juga bisa menyelamatkan hatimu." Goda George.     

"George, jangan sembarangan." Catherine memutar matanya, meski George tak bisa melihat ekspresinya.     

"Dia menyukaimu Ketty, aku yakin itu." George benar-benar berusaha menjadi penjembatan diantara keduanya.     

"Kau memintaku hidup dalam bayang-bayang mendiang isteri Ben?" Tanya Catherine dengan persaan dalam.     

"Kalian memang mirip secara fisik, tapi secara personality kalian jelas berbeda. Uncle Ben pasti bisa merasakan itu, dan jika dia memutuskan untuk menaruh hatinya padamu, itu bukan karena wajahmu, tapi karena pembawaanmu, percayalah." George membesarkan hati kakak angkatnya itu.     

"Jangan terburu-buru, nikmati saja waktumu bersama dengannya. Habiskan banyak waktu bersama, anak-anak akan kujaga."     

"Hei dude, kau lupa bahwa semua nasehat itu harusnya untukmu!" Protes Ketty.     

"Aku akan meminta bantuan bu Guru Claire untuk menjaga anak-anak. Atau aku mungkin memanfaatkan mereka untuk bisa dekat dengan gugunya." George akhirnya mengaku dan Ketty terkekeh.     

"Kau menyukainya?" Tebak Catherine.     

"Mungkin sudah saatnya kita memikirkan diri kita Catherine. Aku benar-benar ingin melihatmu bahagia." Ujar George.     

"Begitu juga denganku." Jawab Catherine. "Aku juga menginginkan hal yang sama untukmu, My brother."     

"Sister."     

"Ok, bye George, aku banyak pekerjaan hari ini."     

"Ok bye Ketty." George mengakhiri panggilannya tepat saat sang sekretaris masuk ke ruangannya dan mengingatkan jadwal meetingnya yang sudah lewat lima menit sementara George hampir tak pernah terlambat untuk meeting.     

"Sir, rapat anda sudah dimulai lima menit yang lalu. Anda sudah ditunggu di ruang rapat." Ujar sang sekretaris.     

"On my way." George bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan ke ruang meeting diikuti oleh sang sekretaris di belakangnya.     

***     

Sementara itu Sheina yang barus aja tiba di kantornya tampak terkejut karena melihat buket bunga di atas meja. Dia melihat buket bunga itu dan mencari kartu ucapan yang di selipkan di dalam buket bunga. Tampaknya itu dari seseorang yang tak ingin identitasnya diketahui oleh Sheina.     

"Congratulation." Sheina mengeja tulisan di dalam lipatan kertas kecil berisi ucapan itu. Shenina meletakkan buket bunga itu lagi di atas meja lalu berjalan ke luar ruangan, tidak banyak orang karena ini masih pagi. Dia masuk lagi kedalam ruangannya dan dia lihat indikator chat milik bosnya sudah menyala di local chat yang mereka gunakan untuk komunikasi internal di kantor. Sheina tersenyum sekilas karena dia beprikir bahwa bunga itu dari bosnya.     

"Thank you boss." Ketik Sheina di local chat dan dia kirim pada bosnya itu. Sekilas Oliver melihat pesan singkat yang ditulis anak buahnya itu untuknya dan tampak bingung.     

"For what?" Tanya Oliver, mendadak Sheina celingkukan. Oliver pasti sudah tahu jika dia si pengirim bunga, alasan mengapa Sheina berterimakasih. Jika itu bukan Oliver lalu siapa?     

"Untuk kepercayaan anda." Sheina cepat-cepat mengalihkan pembicaraan melalui pesan singkat di local chat itu.     

"Kau masih harus membuktikan banyak hal Mss. Anthony, bersiaplah untuk kasus keduamu dan seterusnya. Yang pasti tidak akan lebih mudah dari kasus kemarin." Balas Oliver dan jawaban itu berhasil membuat Sheina geleng-geleng kepala.     

"Pria aneh." Gumamnya, "Semalam dia tampak sangat manusiawi karena datang memberiku selamat setelah menyiksaku berbulan-bulan dengan selalu merendahkanku dan menilai buruk hasil kerjaku. Dia yang selalu mengkomplain tanpa pernah merasa puas, yang selalu marah tanpa pernah meminta maaf, semalam dia terlihat sangat baik, dan pagi ini dia kembali ke bentuk semula." Gerutunya.     

"Sayang, kau akan pulang malam ini?" Tanya Ben melalui pesan singkat di ponselnya.     

"Mungkin aku akan bermalam di apartmentku dad, besok aku akan mengunjungimu." Balas Sheina.     

"Ok, take care." Balas Ben lagi.     

Baru saja meletakkan ponselnya, Amanda, sekretaris Oliver masuk ke ruangannya dengan setumpuk berkas. "Mr. Hawkinds ingin aku mengirimkan berkas ini untukmu." Ujarnya.     

"Thanks Ama." jawab Sheina.     

"Your welcome." Gadis berambut pirang itu meninggalkan Sheina dengan setumpukan pekerjaan barunya. Kali ini berkas pembunuhan yang dilakukan oleh seorang pria pada kekasihnya. Sheina menghela nafas dalam, saat membuka berkas itu. Dia membuka beberapa halaman dengan cepat dan menemukan foto si pelaku juga si korban.     

"Bagaimana dua orang yang saling mencintai tega saling membunuh dengan begitu keji." Gumamnya. Dia menutup berkas itu dan meninggalkan ruangannya menuju pantry untuk menyeduh kopinya. Pagi ini dia berangkat terburu-buru dari rumah ayahnya dan belum sempat menikmati kopi di pagi hari, dia juga tak sempat membelinya.     

Sheina menuang kopi dari coffee maker di pantry dan membawanya ke ruangannya. Di dalam ruangna itu mendadak sudah ada sebuah kopi di dalam gelas kertas dengan ukuran yang sering dia beli lengkap dengan rasa yang selalu dia beli dengan campuran yang sama percis dengan yang selalu dia beli.     

"Enjoy your day. - Sheina -" Tulisan yang tertera di kemasan kopi itu. Sheina membawa kopi dalam kemasan itu dan naik ke lantai atas dimana ruangan bosnya berada.     

"Dia sedang sibuk." Amanda mencoba menghalangi Sheina tapi gadis itu menjadi kesal karena kejutan-kejutan aneh yang tak pernah diharapkannya itu. Sheina menerobos masuk dan ternyata Oliver tengah berbicara dengan kliennya. Pria itu menghela nafas saat melihat Shiena berdiri di ambang pintu.     

"Ok Mr. Hudson, aku akan menghubungimu segera." Oliver bersalaman dengan kliennya itu sebelum sang klien meninggalkan ruangan pimpinan Oliver and Partner Law Firm itu.     

"Bisakah lain kali kau mengetuk pintu demi alasan sopan santun?" Oliver terlihat kesal melihat Sheina. "Berhasil memenangkan kasus bukan alasan kau meninggalkan sopan santunmu Mss. Anthony." Oliver duduk kembali di mejanya dan Sheina meletakkan kopi itu di atas meja Oliver.     

"What?" Protes Oliver.     

"Pertama anda meletakkan bunga di mejaku dan berpura-pura tidak tahu saat aku berterimakasih untuk bunga itu, dan sekarang kopi, entah apa lagi yang akan anda lakukan diam-diam di belakangku." Sheina berbicara tak terhentikan dan Oliver menatapnya diam.     

"Sudah selesai?" Oliver mendongak menatap Sheina yang bahkan tak duduk saat mengatakan semua tuduhan itu pada sang bos.     

"Pertama aku tidak pernah membelikan bunga pada seorang gadis, tidak untuk gadis manapun." Oliver melipat tangannya di dada. "Jadi untuk bunga atau apa yang kau terima, itu bukan gayaku. Bawa kopi ini keluar dan sudahi omongkosongmu, bekerja dengan baik maka kau akan mendapatkan perhatianku, juga mungkin reward, I'm telling you, I don't treat my employees like everything you accused me of just now." Oliver menekankan setiap kata yang keluar dari bibirnya untuk satu deret kalimat terakhirnya.     

"Sekarang keluar dari ruanganku, aku terlalu sibuk untuk mengurusi urusan pengemar rahasiamu." Oliver menatap Sheina dengan tatapan dingin juga dengan intonasi sedingin tatapannya.     

Sheina yang semakin tidak mengerti dengan apa yang sedang terajdi keluar dengan perasaan malu. Ini bukan kali pertama kecerdasannya mendadak hilang begitu saja entah kemana setiap kali berhadapan dengan Oliver Hawkins.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.