THE RICHMAN

The Richman - Trapped by Mom



The Richman - Trapped by Mom

0George dan Claire tampak masih asik bicara sembari menunggu Adrianna terbangun. Tapi wanita itu tampak tertidur pulas saat George memeriksa di kamarnya, akhrinya dia melanjutkan mengobrol dengan Claire karnena gadis itu tampak masih betah duduk bersama dengannya.     
0

"Jadi sejak kapan kau pindah ken New York?" Tanya George.     

"Setahun lalu." Ujarnya singkat.     

"Sebelumnya?" Tanya George lagi.     

"Sebelumnya aku sempat berkeliling, tidak menetap, setelah aku menyelesaikan pendidikanku." Terangnya. "Aku pernah ke Australia dua tahun, Melbourne. Kemudian kuputuskan untuk traveling dari satu negara ke negara lain, tapi kebanyakan kuhabiskan di Asia." Terang Claire. Gadis ini terlihat begitu menarik karena caranya menikmati hidup.     

"Kau menikmati semuanya itu?" Tanya George.     

"Sangat." Jawab Claire. "Aku suka traveling, mengenal orang-orang baru dan budaya baru."     

"Jadi kau tak suka terikat di satu tempat?" Tanya George.     

"No." Geleng Claire. "Jika kita bisa berkeliling dunia, mengapa kita harus menghabiskan hidup kita di satu tempat saja selama bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun." Ujar Claire.     

"Menarik sekali." George menatap Claire dengan kilat-kilatan ketertarikan.     

"Bagaimana denganmu?" Claire mengokrek dari sisi George.     

"Aku menamatkan SMA di New York, lalu aku pergi ke UK untuk kuliah." Terangnya.     

"Wow, menarik sekali." Puji Claire.     

"Aku mengagumi seorang gadis dan mengejarnya selama kurang lebih lima taun, tapi aku berakhir dengan menyadari bahwa dia tidak menyukaiku." Jujur George, kali ini dia bisa mengenang Ella sebagai masalalu, dan bahkan mentertawakan kebodohannya karena begitu menginginkan Emanuella Dimitry, seolah tak ada gadis lain di muka bumi ini.     

Claire terkekeh, "Jadi kau adalah seorang pria yang menyukai Romansa?" Tebak Claire.     

"Dulu mungkin iya." Angguknya, "Tapi sekarang aku menyadari bahwa hidup harus dijalani tanpa harus menggantungkan kebahagiaan pada orang lain." Ujar George.     

Claire tersenyum menatap George, "Jadi kau tidak berkencan?" Tanyanya.     

"No." Geleng George.     

"Setelah lima tahun cintamu bertepuk sebelah tangan kau tidak lagi berkencan?" Claire bertanya lagi.     

Rahang George mengeras sekilas, "Tidak juga, aku sempat berkencan dengan seorang gadis, lalu kandas, dan gadis berikutnya. Tapi kurasa hubunganku terakhir gagal karena aku memang tak bisa membagi perhatianku dengan baik." Terang George.     

"Why?" Tuntut Claire, dia menanyakan alasan mengapa George mengatakan demikian.     

"Beberapa tahun lalu ayahku meninggal secara mendadak karena serangan jantung." Ujarnya. "Ibuku sangat terpukul dan dia jatuh sakit. Secara fisik tak ada penyakit yang dideritanya, tapi dia mengeluhkan bahwa dirinya merasa sakit. Kami harus membawanya ke psikiater untuk mendapatkan terapi penyembuhan. Psikisnya begitu terluka karena ayahku meninggal mendadak kala itu, dan ibuku sulit menerimanya. Waktuku kuhabiskan untuk merawatnya dan saat itu mantan kekasihku tidak bisa menerima."     

Claire mengerutkan alisnya, "Jika dia sangat mencintaimu, harusnya dia ada untukmu dan ibumu saat kalian terpuruk."     

"Ya, tapi dia tidak. Bukan salahnya, ini salahku." George mengambil semua kesalahan itu di atas pundaknya.     

"Kau akan menemukan wanita yang tepat untukmu." Ujar Claire membesarkan hati George.     

"I don't do romance anymore." George menggeleng, dengan senyum di wajahnya.     

"Jadi soal makan malam yang kau tawarkan, itu bukan kencan?" Goda Claire.     

George menatap Claire. "Hanya ucapan terimakasih."     

"Ok." Angguk Claire.     

"Bagiamana denganmu, kau tidak berkencan?" Tanya George.     

Claire menghela nafas dalam, "Aku bepergian hampir setengah hidupku, dan aku tidak pernah ingin terlibat secara emosional dengan orang-orang yang kutemui selama aku berpindah-pindah tempat." Jawab Claire.     

"Jadi kau masih berencana meneruskan petualanganmu?" George bertanya dengan sungguh-sungguh.     

"Entahlah, aku masih mencari alasan untuk tinggal dan menetap sejauh ini." Jawabnya.     

"Kau tak pernah kesepian selam petualanganmu?" Alis George berkerut.     

"Tidak." Gelengnya.     

"Really?" George memastikan dan Claire memutar matanya. "Ok, aku mengaku. Aku sangat kesepian." Jawabnya. Dia menghela nafas dalam. "Aku bepergian karena aku ingin lari dari masalaluku." Ujarnya lirih.     

"Masalalu?" Alis George berkerut.     

Claire menghela nafas dalam. "Aku hampir menikah saat usiaku dua puluh empat tahun. Tapi hari itu saat semua orang sudah datang, dan aku sudah berdiri menunggu mempelai laki-laki, dia tak pernah datang." Ujarnya lirih, matanya berkaca.     

"Sorry." Ekspresi Geroge berubah. "Mungkin seharusnya aku tak bertanya." Sesalnya.     

"It's ok." Claire menggeleng. "Aku tak pernah membuka rahasia ini pada siapapun yang kutemui sejak kejadian itu." Jawab Claire. "Anggap kau tak pernah mendengarnya."     

"Ok." Rahang George mengeras sekilas. Kini dia menatap Claire dengan cara yang berbeda. Awalnya dia sempat menduga bahwa Claire adalah wanita yang menjajakan dirinya untuk kepuasan dengan imbalan uang, tapi dugaannya keliru karena Claire mendeskripsikan dirinya sebagai seorang penari dan dia sangat mencintai dunianya itu. George bahkan menguak rahasia lain bahwa Claire traveling keliling dunia justru karena lari dari masalalunya.     

Claire bangkit dari tempatnya duduk, "Kau yakin kita tidak perlu membawanya ke rumahsakit?" Tanya Claire cemas.     

"Tidak, ibuku akan baik-baik saja." Jawab George.     

"Ok. Aku akan pulang." Claire pamit undur diri.     

"Sekali lagi terimakasih." George menatap gadis itu dengan tulus.     

"Sama-sama." Claire tersenyum.     

"Jika kau ada waktu, mungkin kita bisa makan malam, aku benar-benar ingin membalas kebaikanmu." George tampak berharap.     

"Aku punya banyak waktu, saat kau senggang kau bisa menghubungiku Mr. Bloom."     

"Call me George."     

"Ok, by George." Claire meninggalkan rumah, dan setelah gadis itu pergi, George naik ke lantai dua dan menemukan ibunya tengah berbaring di ranjangnnya.     

"Waktu sandiriwaramu berakhir mom, dia sudah pulang." George duduk di tepi ranjang dan Adrianna tersenyum, dia membuka matanya dan menatap sang putera.     

"Jadi itu jebakanmu mom?" George menatap sang ibu dan Adrianna tersenyum. "Maybe." jawabnya.     

George tersenyum, "Jangan lakukan ini lagi, mommy membuatku panik." George menatap ibunya dan meraih tangannya.     

"Tadi pagi Ketty bicara tentang guru itu padaku, dia mengatakan bahwa kau mungkin tertarik padanya." Ujar Adrianna.     

"Mom, tidak semudah itu." George menatap ibunya. "Kita sudah membicarakannya berkali-kali." George terlihat sedikit kesal.     

"George, puteraku." Adrianna meraih tangan George dan menatapnya dalam, "Aku tidak ingin menjadi bebanmu." Mata wanita tua itu berkaca. "Jika alasanmu tak ingin menikah adalah diriku, aku tidak bisa menerimanya." Ujar Adrianna sedih.     

"Mom, aku tidak ingin membagi perhatianku pada orang lain selain mommy." George menelan ludah, "Mommy adalah satu-satunya orang yang ku miliki sekarang ini, biarkan aku fokus pada mommy."     

Air mata Adrianna berjatuhan, "Andaikan ayahmu masih hidup, aku mungkin tidak akan menjadi bebanmu." Ujarnya sedih.     

"Mom . . . " George memeluk wanita tua itu dan membiarkannya menangis dipelukannya. Bagi George, Adrianna adalah satu-satunya wanita yang layak mendapatkan perhatiannya sekarang ini. Empat tahun dihabiskan George demi mengejar gadis yang dicintainya, tapi dia hampir melupakan ibunya yang tak pernah sedetikpun lupa memikirkannya. "I'm sorry mom." Bisik George dalam hati. Dia benar-benar menyesal telah membuang begitu banyak waktu jauh dari keluarganya demi egonya sendiri.     

***     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.