THE RICHMAN

The Richman - Catherine and Ben



The Richman - Catherine and Ben

0Ketty sedang sibuk melihat-lihat rumah milik Ben yang tengah direnovasi. Sementara Ben tampak sedang menelepon diluar. Ketty masuk dalam dan berkeliling sendiri melihat-lihat setiap sudut rumah. Semua foto dan perabotan masih di tutup dengan kain, dan karena undangan Ben untuknya adalah untuk membantunya berbenah maka Kety memulai dengan membuka kain-kain yang menyelimuti perabotan. Ketty terus melakukannya sampai dia menemukan sebuah foto terbingkai dengan ukuran besar di ruang keluarga. Foto itu tampaknya foto Ben dan isterinya.     

Ketty tertegun karena dia seolah melihat dirinya di foto itu meski warna rambutnya berbeda. Jantung Ketty berdegup kencang saat menatap foto itu.     

"Sangat mirip?" Suara Ben membuarnya terlonjak dan memegangi dadanya.     

"Ya." Angguk Ketty.     

"Pertama melihatmu aku sempat terkejut, mengapa kau begitu mirip dengannya." Jujur Ben. "Mungkin itu mengapa kakakku, Adrianna memerasakan kedekatan emosional denganmu." Ujar Ben.     

"Aku baru tahu alasan mommy sekarang." Ketty masih terlihat shock, Ben mengajaknya duduk di meja bar yang berada di ruang utama.     

"Ceritakan padaku bagaimana kau bertemu dengan Adrianna?" Tanya Ben penasaran. Dia berjalan ke arah rak yang berisi koleksi minumannya, sudah lima tahun dia tinggalkan tapi masih terlihat sangat rapi. Ben membuka dua gelas dan menuangkan untuk Ketty dan satu untuknya.     

Ketty tersenyum sekilas, "Hari itu aku masuk ke panti rehabilitasi setelah tiga kali keluar masuk di tempat itu." Jujurnya.     

"Sudah berapa lama kau memakai?" Tanya Ben, dia bahkan cukup terkejut jika Ketty yang tampak seperti wanita pendiam itu.     

"Satu tahun, itu tahun terberat dalam hidupku." Jujur Ketty, dia menghela nafas dalam. "Aku melihat ayahku menikam ibuku sendiri setelah pertengkaran hebat diantara mereka, dan polisi menembak mati ayahku karena dia melawan saat akan di lumpuhkan. Aku merasakan peluru itu rasanya hampir mengenaiku karena saat itu aku berada dalam sekapan ayahku, pisau yang dia kenakan untuk menikam ibuku dia tempelkan di leherku saat dia beruaha melarikan diri." mata Ketty berkaca-kaca.     

Ben menghela nafas dalam, dia meraih tangan Ketty dan meremasnya lembut. "Maaf, tidak seharusnya aku bertanya tentang itu." Sesal Ben.     

"It's ok, it's been a very long time." Ketty menggeleng, dia tersenyum sekilas.     

"But I make you remember that hard time." Sesal Ben.     

"Bukan salahmmu jika aku mengingat semua kejadian itu, aku masih bermimpi dalam setiap tidurku soal hari itu." Ujar Ketty.     

"Kau wanita yang kuat, Catherine." Puji Ben dengan senyuman tulus.     

"Tidak sama sekali." Sangkal Ketty. "Aku sempat hampir bunuh diri beberapa kali sebelum aku menemukan obat-obatan itu. Lalu aku mengenal teman baru yang mensuplay obat-obatan itu untukku. Aku menjual mobil ibuku, satu-satunya harta yang tersisa karena keluarga kami jatuh bangkrut saat itu." Ketty menjelaskan semuanya secara detail, hal yang bahkan tak pernah dia bicarkaan dengan Adrianna selama ini. Ben tampak mendengarkan dengna baik semua yang dikatakan oleh Ketty padanya dengan penuh empati.     

"Lalu aku mulai menjual barang-barang yang ada di dalam rumah hingga habis tak tersisa." Ujar Ketty, "I was to terrible at that time." Kenangnya.     

"Aku jatuh cinta pada temanku yang menyuplai obat itu untukku dan itu membuatku semakin tergantung padanya." Imbuh Ketty.     

"Dan kau bertemu dengan Adrianna?"     

"Dia adalah malaikat bagiku, ibu, teman, dia bisa menjadi segalanya. Dia memberikanku kehidupan baru." Ketty tersenyum ke arah Ben.     

"Thanks." Ucapnya pada Ben.     

"Adrianna yang melakukannya untukmu, just thank her."     

"Aku melakukannya dalam setiap hembusan nafasku, berterimakasih pada mommy." Jujurnya.     

"Lalu kau bertemu dengan suamimu?" Tanya Adrianna.     

"Henry adalah pria yang baik, dia juga membantuku recovery, dia adalah terapisku di pusat rehabilitasi. Tapi mommy memintanya mengawasiku bahkan saat aku berada di rumah. Dari situ kami dekat dan saat aku yakin bahwa aku bisa bertahan dan tetap bersih, kami memulai kehidupan bersama kami." Terang Ketty, Ben mengangguk.     

"You in love with him?"     

"Not really, mungkin karena aku merasa bahwa Henry adalah pria yang menolongku dan bersamanya membuatku yakin untuk bisa hidup bersih dari obat-obatan itu." Ketty mengheleng lemah.     

Ben menghela nafas dalam. "Lalu mengapa kalian berpisah?"     

"Henry jatuh cinta pada seorang gadis muda di tempatnya bekerja. Selama aku dan anak-anak tinggal di rumah mommy, aku percaya bahwa Henry menghabiskan waktunya di panti rehap untuk menolong orang-orang yang nasibnya sama sepertiku dulu. Tapi ternyata Henry cantuh cinta pada gadis yang bernasip sama denganku, mereka menjalin hubungan itu lebih dari dua tahun di belakangku." Ketty terlihat murah, hatinya menjadi kecut saat mengungkapkan hal itu.     

"Man will always be a man, right?" Tapi sejurus kemudian Ketty tersenyum, berusaha menegarkan hatinya dan menatap Ben dengan candaan itu. Pria akan tetap menjadi pria, tak peduli usianya, mereka akan selalu tertarik dengan mainan baru dan barang-barang baru. "Kecuali kau, mungkin." Ketty mengkoreksi karena Ben tersenyum mendengar kalimatnya itu.     

"Em . . . aku mencintai Leah." Terang Ben membuka kisahnya. "Dan saat dia pergi meninggalkanku dan Sheina aku merasa dia hanya berada di tempat yang lain, tapi dia melihatku dan puteri kami. Dan apa yang kulakukan selama ini adalah untuk memenuhi janjiku padanya." Ben tersenyum kecut. "Dia meninggal saat berjuang mengandung dan melahirkan anak kandung kami, untukku." Suara Ben bergetar. "Aku menyesal mengapa saat itu tidak lebih keras padanya, melarangnya melanjutkan kehamilannya. Tapi itu pilihannya, dan aku menghargai apa yang diinginkannya."     

"Kau dan Leah, kalian benar-benar memiliki cinta sejati." Puji Ketty.     

"Not really." Ben tersenyum. "Kami juga sering bertengkar seperti pasangan suami isteri pada umumnya. Kami juga sering saling menyalahkan, tapi dari semua yang pernah kami lewati, yang paling ku sesali adalah waktu-waktu yang ku habiskan tanpa bersamanya." Sesal Ben.     

Dia menghela nafas dalam, "Saat itu aku terlalu sibuk mengejar ambisiku untuk memiliki bisnis sendiri, demi masadepan kami, demi masadepan puteri kami." Ben menatap Ketty, "Andaikan aku tahu bahwa waktu yang kami miliki tak akan lama, aku akan memilih menghabiskan lebih banyak waktu bersamanya."     

"Lalu mengapa kau meninggalkan New York?"     

"Aku ingin menebus kesalahanku, ketidakhadiranku di masa-masa kecil puteriku ingin kutebus dengan mendukung pendidikannya semaksimal mungkin. Dia satu-satunya yang kumiliki setelah Leah tidak ada lagi bersama kami."     

"Kau pria yang baik Ben." Ketty tersenyum. "Mungkin aku harus memanggulmu uncle."     

Ben tergelak, "Kau membuatku merasa begitu tua." Geleng Ben. "Just call me Ben." Ben menatap mata Ketty dalam-dalam begitu juga wanita itu, entah mengapa mereka seperti terkoneksi secara tidak terkendali dari hati ke hati.     

"Ben . . ." Ketty membalas tatapan Ben dan pria itu tersenyum. "Catherine." Jawabnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.