THE RICHMAN

The Richman - Beautiful Teacher



The Richman - Beautiful Teacher

0George menatap sang ibu, "Good talk mom." Sindirnya. Pria muda yang awalnya adalah budak cinta itu kini menjadi pria yang dingin dan bahkan memutuskan untuk tak menikah karena alasan bahwa pernikahan ternyata sebuah ikatan yang melemahkan pribadi seseorang. Apalagi opsi ibunya yang memintanya kembali pada Aby, jelas tidak akan pernah dikabulkan oleh George apapun alasannya.     

"Aku akan menjemput anak-anak." Pamit George.     

"Kau selalu menghindar saat kita membahas ini." Protes Adrianna.     

"Mommy tahu betul lasan mengapa aku memilih tinggal sendiri di apartment dibandingkan tinggal bersama kalian di sini, salah satunya adalah aku benci mendengar orang mengatakan soal pernikahan dan mempertanyakan keputusanku yang tak ingin menikah." George tersenyum.     

"Anak nakal!" Adrianna mengeluhkan prilaku sang putera, dan George mengecup kening ibunya. "I love you mom."     

"I love you son." Mata Adrianna berkaca. "Apakah aku tidak akan bisa menimang cucu darimu?" Tanya Adrianna.     

"Come on, kau punya Clara dan Stefanie." George memberikan opsi dan Adrianna memukul lengan puteranya itu. Clara dan Stefanie, bocah kembar berusia lima tahun itu memang menggemaskan, tapi bagaimanapun juga mereka bukan darah daging keluarga Bloom, bukan juga keluarga Anthony. Adrianna benar-benar berharap ada yang mewarisi semua yang sudah di perjuangkan oleh ayah dan juga suaminya dan kini puteranya itu.     

***     

George memarkirkan mobilnya di depan sekolah Clara dan Stefanie kemudian turun dari mobil dan menunggu di sisi mobilnya dengan bersandar pada bagian samping mobil sampai dua bocah itu keluar dari pagar sekolah.     

"Uncle George." Clara dan Stefanie berlari ke arah George, dan memberikan pelukan hangat pada pria tampan yang selalu menjadi idola mereka itu. George berjongkok dan menikmati pelukan dari dua gadis kecil berambut pirang panjang yang di kuncir dua itu. Mereka adalah kembar identik, hingga sulit untuk membedakan mereka berdua. Tapi karena mereka berdua cukup dekat dengna George sang paman, hingga tak menjadi masalah untuk membedakan mana Clara dan mana Stefanie.     

George bangkit dan membuka pintu untuk kedua princess kecil itu, tapi sebelum mereka naik kedalam mobil keduanya berbalik dan melihat ke arah sebaliknya kemudian melambaikan tangan sembari berteriak "By Mss. Claire."     

Wanita yang berdiri menatap kedua bocah kembar itu membalas lambaian tangan kedua bocah menggemaskan itu dan George memutar tubuhnya hingga bisa melihat siapa yang dimaksud kedua bocah kembari itu dengan Mss. Claire.     

Awalnya George sempat berpikri bahwa guru playgroup identik dengan bertubuh gemuk, berambur keriting dengna kulit pucat. Tapi yang dilihatnya saat ini adalah wanita dengan kemeja bermotif bunga lengkap dengan cardigan dan rok pensil selutut. Kulitnya pucat dengan rambut hitam sebahu yang dibiarkan tergerai. Bibirnya dipulas lipstick merah dan pipinya merona membuat wajah sang guru terliaht begitu segar.     

Namun saatmenatap bibir penuh sang guru, ingatan George terseret pada kejadian semalam dimana dia sempat memperhatikan wajah wanita setengah telanjang yang mendekatinya dengan bibir penuh itu dan lipstick merah berani, seperti yang dikenakan guru playgroup itu.     

George sempat membeku sekilas dan sang guru tampak sibuk mengobrol dengan seorang wali murid dan satu orang anak yang digandengnya dan menyamping dari tempat George dan si kembar berada, jaraknya sekitar tujuh meter dari tempat mereka berdiri.     

"Siapa dia?" Tanya George.     

"Itu Mss. Claire, dia guru kelas kami." Terang Stefanie.     

"Oh . . ." George menatap wanita itu seklias kemudian membiarkan anak-anak masuk karena mereka sudah sibuk dengan sederet permintaan, mainan, ice cream dan cepat pulang. Keduanya saling bersahutan hingga membuat George sulit berkonsentrasi pada sang guru Playgroup itu lagi.     

George menutup pintu dan kini dia membuka pintu di sisi kemudi dan masuk. Dia memasang sabuk pengaman untuknya dan memastikan si kembar sudah memasang sabuk pengaman masing-masing sebelum mobil melaju.     

"Uncle, miss Claire itu guru yang sangat baik." Puji Clara mendadak membuka suara.     

"Oh ya?" George menanggapi sekedarnya.     

"Do you like her?" Stef memulai menyelidiki, entah mengapa rasa keingintahuan bocah itu begitu besar.     

"She's pretty." George menjawab diplomatis.     

Clara mulai merengek,"Bisakah kita lebih cepat Uncle, aku tidak sabar untuk membeli ice cream."     

"Ok . . ." George jelas kewalahan setiap kali harus menghadapi keponakan kembarnya. Hampir semua permintaan mereka tak bisa dia tolak begitu saja dan terpaksa dia kabulkan meski setelah itu dia akan beradu argumen dengan Catherine yang mati-matian mengajarkan makna kesederhanaan pada dua puteri kembarnya.     

Sepanjang jalan pikirannya terganggu dengn wajah guru kelas Clara dan Stefanie itu. Mengapa dia bisa begitu mirip dengan salah satu penari telanjang yang disewa oleh Hartman untuk pesta penyambutan Gaspard Smith tadi malam.     

***     

George sudah menghabiskan hampir setengah hari bersama si kembar dan ratusan dollar untuk membeli ice cream dan mainan untuk mereka. Setelah mereka beranjak tidur malam ini, George pada akirnya bisa menikmati kesendiriannya di tepi kolam renang sembari menikmati segelas wine peninggalan sang ayah. Aldric adalah salah satu kolektor minuman berkelas yang langka dan di produksi di tahun tua meski di bandrol dengan harga yang mahal. Sesekali George pulang bukan hanya untuk menjenguk ibunya, juga untuk menikmati satu atau dua gelas koleksi minuman milik mendiang ayahnya itu.     

"Hai George." Sapa Ketty hampir tengah malam. Wanita kuat itu sudah bekerja seharian setelah mengambil alih usaha butik milik Adrianna, dan sekembalinya dia dari butik, dia sibuk mengurus si kembar tanpa asisten yang membantu, termasuk urusan menidurkan keduanya.     

"Hi." George mendongak menatap sang kakak angkat.     

"Kau ingin minum?" Tanya George menawarkan, dan Ketty mengangguk. "Boleh." jawabnya singkat. George membuka satu gelas lagi lalu menuangkan isinya dan menyodorkannya pada Ketty.     

"Bagaimana harimu?" Tanya Ketty.     

"Meyenangkan bersama si kembar." Jawab George. "Bagaimana denganmu?" George balik bertanya.     

"Thanks sudah membantu mengurus si kembar hari ini, mereka tampak sangat bahagia." Ketty tersenyum kecut. "Harry tak bisa lagi ku hubungi, jadi kuputuskan untuk mengatakan pada mereka bahwa ayah mereka sudah pergi jauh."     

"Dan apa yang mereka katakan?" George menautkan alisnya pada Ketty.     

"Mereka baik-baik saja, mereka anak-anak yang kuat." Jawab Ketty.     

"Jangan terlalu keras dengan anak-anakmu." George menatap sang kakak dan Ketty tersenyum. "Terkadang aku merasa kewalahan mengurus mereka sendiri George." Jujur Ketty.     

"Jika kau butuh asisten untuk mengurus mereka, katakan saja aku akan membayar asisten atau babysister untuk mereka."     

"Bukan soal pengasuh, mereka butuh sosok ayahnya." Ketty terlihat sedih.     

George meraih tangan kakaknya, "Kau bisa memberi mereka itu, berkencan dengan pria lain dan menikahlah."     

"Bagi wanita dengan status sepertiku tiak semudah itu." Ketty tersenyum kecut. "Banyak pria berhenti membuat komitment di jama sekarang." Ketty menatap George. "Sepertimu."     

George menghela nafas dalam, "Maaf jika keputusanku membuatmu sulit." Sesal George.     

"Tidak secara langsung, tapi aku melihat kebanyakan pria tak menginginkan komitment, dan mereka punya alasan masing-masing."     

"Kau akan menemukan pria baik yang mencintaimu dan anak-anakmu. Pria bertanggungjawab dan bukannya pengecut sepertiku." George berusaha membesarkan hati kakaknya.     

"Do I?" Mata Ketty berkaca menatap sang kakak.     

"Yes." Angguk George sembari memeluk sang kakak dan mengusap lenganya, seketika Ketty mulai terisak dalam pelukan adiknya itu.     

"Terkadang hidup memang begitu berat, tapi aku punya Stef dan Clara, mereka luar biasa." Ujar Ketty dengan suara parau. "Dan mom yang selalu mendukungku."     

"We love you."     

"Thanks George." Ujar Ketty.     

"Aku tahu kau wanita yang kuat."     

"Thanks buddy." Ketty mengusap air matanya dan menenggak minumannya. "Oh, kurasa wine milik daddy membuat kita menjadi cengeng." Selorohnya. "Kau sendiri apa yang akan kau lakukan setelah ini?" Tanya Ketty.     

"Entahlah, mungkin aku akan fokus pada perusahaan." Ujar George.     

"Kau benar-benar bodoh jika tak mengencani gadis selagi kau muda!"     

George tergelak. " Kenapa kalian para wanita selalu mempermasalahkan soal gadis?"     

"Mom dan aku, kami mengkhawatirkanmu George."     

"Aku baik-baik saja, dan aku bisa berfungsi dengan baik dalam segala aspek kehidupanku meski aku tidak menjalin asmara dengan siapapun. Kalian keterlaluan." Keluh George.     

"Oh ya . . . kau kenal dengan guru kelas Stef dan Clara?" Tanya George mendadak dan mata Ketty yang sembab tampak mulai berbinar.     

"Kau bertemu dengan Mss. Claire?"     

"Ya, tadi saat menjemput anak-anak."     

"Jika kau tertarik padanya, aku punya nomor teleponnya. Mungkin kau bisa menghubunginya."     

George mengrenyitkan alis. "Apa dia belum berkeluarga?" Tanya George.     

"Dia tinggal bersama neneknya, dia baru pindah je daerah ini, rumahnya hanya dua blok dari rumah kita. Dan sampai sekarang aku tidak pernah melihatnya pergi dengan seorang priapun."     

"Apa profesinya?" Tiba-tiba pertanyaan itu terlontar begitu saja.     

"Guru . . . dia mengajar di sekolah Clara, ya walaupun dia belum lama mengajar di sekilah itu."     

"Kau yakin dia tidak memiliki pekerjaan lainnya?" George terus menelisik.     

"Setahuku tidak." Ketty menyesap anggur dari dalam gelasnya.     

"Oh . . . Ok. Kurasa aku akan pergi tidur." George menutup pembicaraan mereka malam itu. Dia butuh waktu untuk menghubungi Hartman dan tahu lebih banyak tentang si penari telanjang. Apakah dia benar-benar Claire, guru kelas Clara dan Stef atau wanita yang berbeda?     

"Kau ingin aku mengirim nomor ponselnya padamu?" Tanya Ketty.     

"Siapa?" George menghentikan langkahnya dan menoleh ea rah Ketty.     

"Claire?" Jawab Ketty cepat.     

"Tidak, terimakasih." George kembali melangkah seolah dia tidak peduli sama sekali, meskipun dia benar-benar peduli pada gadis itu sesungguhnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.