THE RICHMAN

The Richman - 5 Years Later



The Richman - 5 Years Later

0Tujuh tahun kepempinan Robert Owen dan dia belum juga meminang satu gadispun untuk dijadikannya isteri sejak pertama kali dia di nobatkam menjadi King of England. Sang adik, princess Eleonnore bahkan sudah menikah lebih dulu dan kini tengah mengandung buah hatinya. Begitu kurang lebih cuplikan berita yang di baca oleh Ella pagi ini sembari menyesap kopinya di dalam ruang kerjanya. Dua tahun sudah pelariannya dia lakukan dengan malam-malam panjang dan berat di tahun pertama karena semua kenangan tentang King Robert Owen melekat kuat di ingatannya. Namun di tahun kedua, langkahnya terasa lebih ringan meski tak banyak yang berubah.     

"Mss. Dimitry, anda di tunggu di ruang meeting anda." Sang sekretaris masuk ke ruangan Ella dan wanita muda yang kini tampil dengan sangat elegan itu mengangguk. Dia tersenyum kemudian bangkit dari tempatnya duduk dan berjalan dengan penuh percaya diri menuju ruang meeting. Karirnya melesat sebagai Direktur Marketing di sebuah rumahsakit bersaling super terkenal di London, Inggris, Portland Hospital.     

"Princess Eleonnore berencana untuk melahirkan di rumahsakit ini." Ujar sang direktur utama di tengah meeting. "Dan tugasmu Mss. Dimitry, untuk datang dan memberikan penawaran terbaik untuk Princess Eleonnore."     

Ella menelan ludah, setelah lima tahun bersembunyi, bagaimana bisa hari ini dia di minta untuk menyerahkan diri begitu saja. Datang ke istana sebagai siapa dirinya sekarang, tentu saja akan sulit.     

Namun di sisi lain, Ellena melihat ini sebagai sebuah kesempatan untuk menunjukkan pada mereka bahwa dirinya bukan wanita rendahan yang bisa disepelekan begitu saja. Lagipula dia juga ingin menunjukkan pada King of England betapa berharganya dia sekarang ini. Bukan hanya menduduki kursi direktur, dua tahun lalu Ella juga sudah menamatkan pendidikan pasca sarjananya.     

"Bagaimana Mss. Dimitry?"     

"Of course, I'll do." Jawabnya.     

"Good." Ujar sang direktur utama dan meeting dibubarkan, menyisakan Ella bersama sang direktur utama dan pandangannya tentang membuat Royal Family menjadi pelanggan VIP untuk setiap kelahiran bayi kerajaan akan membuat rumahsakit yang dikelolanya menjadi semakin terkenal.     

Bagaimana tidak, Royal Family itu bagaikan gula, sementara media masa itu diibaratkan semut. Di mana gula itu di letakkan, maka semut akan berkerumun. Di sana letak keuntungan rumahsakit, mereka tidka perlu menggunakan dana yang besar untuk konferensi pers atau untuk anggaran iklan. Dengan memastikan princess Eleonnore melahirkan bayinya di rumahsakit itu, media masa akan memuat beritanya dan tentu saja, sedikit atau banyak mereka akan mengulas rumahsakit. Dengan begitu rumahsakit akan mendapatkan apresiasi baik dari masyarakat terutama kalangan elite, tanpa harus mengeluarkan biaya iklan.     

Beberapa selebrity juga memilih rumahsakit Portland sebagai tempat bersalin dengan fasilitas super mewah, bagaikan hotel bintang lima. Tentu saja disamping itu perawatan di rumahsakit ini juga begitu luar biasa sehingga semua yang melahirkan di rumahsakit ini akan memiliki kesan tersendiri dan sulit untuk di lupakan. Beberapa miliarder dari luar negeri sengaja datang untuk melakukan proses persalinan secara caesar di rumahsakit ini, tak hanya soal fasilitas, namun juga soal pelayanan dan lebih dari pada itu, ini soal prestise.     

"Kau akan di jadwalkan untuk bertemu dengan Princess Eleonnore dan suaminya besok. Tapi tak menutup kemungkinan keluarga kerajaan yang lain juga akan berada di sana." Ujar sang direktur utama yang juga adalah perempuan.     

"Yes mam." Jawab Ella.     

"Ok, good." Wanita setenah baya dengan rambut sebahu itu tersenyum. "Persiapkan dirimu sebaik mungkin." Ujar sang direktur utama dan Ella mengangguk disusul sebuah senyuman.     

"Saya paham." Jawabnya.     

"Ok, sampai bertemu besok." Jawab sang direktur utama meninggalkan ruang rapat di susul dengan Ella sebagai orang terakhir. Wanita itu berjalan dengan dengan angun menuju ruangannya.     

"Mengapa aku harus kembali padamu, lagi dan lagi, King Robert." Ella Bergumam dalam hatinya. Entah ini takdir yang baik atau sebaliknya.     

***     

Brrrt Brrttt     

Sebuah ponsel bergetar berulang-ulang, sementara pemiliknya masih tertidur pulas di atas ranjang. "Honney . . ." Mia yang berbaring dengan telanjang di sisi George tampak membangunkan pasangannya yang masih tertidur pulas itu.     

"Em . . ." George menggeliat malas dan meraih ponselnya.     

"Your mom calling you." Mia merebahkan kembali dirinya dan memejamkan mata sementara George mengerang malas.     

"Hi mom." Sapanya enggan, ini masih tengah malam dan ibunya meneleponnya. "Why you call me that late?" Tanya George.     

"Your Grand pa." Suara Adrianna terdengar panik dan mulai terisak. "Kami membawanya kerumahsakit."     

"What?" George tampak terkejut, dia terlonjak dari tempat tidur dan segera memungut barang-barangnya. "Kirimkan alamat rumahsakitnya." Ujarnya sembari teruburu-buru berpakaian. Richard memang sudah sangat tua, dan belakangan ini kesehatannya tidak begitu baik. Entah apa lagi yang terjadi padanya malam ini, setelah dua minggu lalu dia dirawat di rumahsakit dengan diagnosis menderita gangguan lambung.     

Begitu sampai di rumahsakit, Geroge langsung bisa menemukan tempat dimana kakeknya di rawat.     

"Bagaimana keadaannya?" Tanya Geroge pada ibunya.     

"Dia sudah mendapatkan penanganan dan sekarang sedang beristirahat." Ujar Adrianna.     

Aldric yang melipat tangannya di dada mendekati puteranya. "Aku harusnya terbang ke London besok, tapi karena kondisi kakekmu, aku tidak bisa pergi. Kau harus berangkat." Ujar Aldric.     

"Apakah Grand pa akan baik-baik saja?" Tanya George cemas.     

"Dia akan baik-baik saja." Jawab Aldric.     

"Ok."     

Aldric, Adrianna, dan George berdiri di luar ruang perawatan sang kakek sementara Richard terbaring lemah di dalam ruangan. Belakangan ini Richard mengalami penurunan nafsu makan yang drastis sehingga dia sering bermasalah dengan asam lambungnya.     

"Pulang dan istirahatlah, kau harus melakukan perjalanan jauh besok." Ujar Aldric.     

"Berap alama proyek di London akan berjalan?"     

"Mungkin sebulan, atau lebih." Aldric tersenyum. "Kau bisa bernostalgia di sana." goda sang ayah.     

"Oh come on dad, not this time." George menggeleng, "Aku akan datang menggantikanmu sementara waktu, soon setelah kondisi Grand pa membaik, aku akan kembali ke New York dan giliranmu terbang ke London."     

"Deal." Angguk Aldric. George berpelukan singkat dengan ayah dan ibunya, kemudian mendekat ke ranjang kakeknya untuk mengusap tangan pria tua yang tertidur pulas itu.     

"I'll be back soon, Get Well." Bisik George sebelum meninggalkan ruangna perawatan itu dan kembali ke apartmentnnya.     

***     

Setibanya di apartment, Mia sang kekasih masih tertidur pulas. Tapi saat melihat George kembali, Mia merenggangkan tubuhnya malas.     

"Bagaimana keadaan kakekmu?" Tanya Mia.     

"Dia sudah ditangani." George mengambil koper dari dalam lemari kemudian berkemas.     

"Kemana kau akan pergi George?"     

"London." Jawab Geroge.     

"Secepat ini?" Alis Mia berkerut, dia bangkit dari tempatnya tidur dan mendekat ke arah George. "Ini hampir dini hari, dan kau berencana ke London tanpa memberitahuku lebih dulu?" Alis Mia berkerut.     

"Mia, aku hanya menggantikan ayahku sebentar. Saat kondisi Grand pa membaik dan ayahku bisa terbang ke London, aku akan kembali." George meraih wajah kekasihnya itu dan mengecup bibirnya sekilas. Mia tak lagi bertanya soal keputusan George, "Ok." Angguknya, dia kembali ke atas tempat tidur.     

"Kembali tidur." George menatap Mia dan gadis itu membenamkan dirinya diantara bantal yang di peluknya. Sementara George sibuk berkemas, kenangan beberapa tahun lalu bersliweran di benaknya. "London, I'm comming back." Bisiknya dalam hati.     

Bukan perkara mudah memang kembali ke tempat dimana masalalu terukir dengan begitu rumit, tapi menjadi sangat menantang untuk kembali ke sana, seperti memasuki mesin waktu kembali. Meski saat ini dia sudah tinggal bersama dengan Mia lebih dari enam bulan, tapi terkadang bayangan Emanuella Dimitry masih terlintas.     

Emanuella Dimitry masuk terlalu dalam ke relung hati George hingga sulit bagi pria muda ini untuk mencampakkan kenangannya begitu saja. Meski itu hanya tinggal kenangan, tapi bukannya mudah di lupakan.     

***     

"Jadi kalian akan segera bertunangan?" Tanya Queen pada Robert dan Wilhelmina, gadis itu lahir di lingkungan istana, tapi semenjak orang tuanya tinggal di Paris, baru setahun terakhir dia kembali ke Inggris dan mendirikan butik ternama hingga dia dipercaya menjadi perancang busana untuk Queen. Pertama kali King Robert mengenal Wilhelmina adalah saat wanita itu secara khusus datang ke istana untuk mengukur King Robert untuk tuxedonya di pernikahan Princess Eleonnore setahun lalu.     

Dan sejak saat itu keduanya cukup dekat. Wilhellmina, ternyata selain pemilik salah satu butik terkenal di Inggris, Prancis dan New York, dia juga seorang puteri dari keluarga bangsawan. Tidak ada penolakan dari Queen, bahkan sebaliknya, Queen Elena ingin mempercepat pernikahan diantara mereka berdua.     

"Belum untuk sementara waktu." Jawab Robert.     

"Robert." Queen menatap puteranya itu, "Sudah lima tahun berlalu." Percakapan itu hanya di mengerti oleh Robert dan ibunya, sementara Wilhellmina memilih untuk tidak ikut campur.     

"Willhelmina masih ingin fokus dengan karirnya." ujar Robert, "Bukan begitu sayang?"     

"Ya." Angguk Wilhellmina. Sebenarnya gadis itu lima tahun lebih muda dari Robert. Saat ini King Robert berusia empat puluh tahun sementara wanita itu tiga puluh lima tahun, bukan usia yang cukup muda mengingat Queen Elena menerima pinangan mendiang ayah Robert di usia dua puluh lima tahun.     

"Pikirkan lagi tentang bertunangan secepatnya." Ujar Queen sebelum meninggalkan acara sarapan pagi bersama dengan Robert dan Willhelmina yang sejatinya mengecewakannya.     

"Kau akan ke New York dalam waktu dekat?" Tanya Robert.     

"Sorry . . ." Willhelmina tampak menyesal. "Mungkin aku harus berada di sana beberapa bulan." Ujarnya.     

"It's ok, enjoy your time." Robert tersenyum. Pria itu kini sibuk dengan tugas kenegaraannya dan dia menikmati berbagai tugas itu. Sejujurnya Willhelmina tidak masuk ke dalam hatinya sejauh Emanuella Dimitry pernah masuk. Dan entah mengapa gadis muda itu masih saja berputar-putar di dalam sana dan enggan pergi. Bahkan dengan tega Ella menyiksa Robert Owen setiap hari dalam ingatan pedih tentang perpisahan mereka.     

"Hei . . . what are you thinking about?" Willhelmina menatap Robert, yang mendadak jatuh ke dalam lamunan.     

"Nothing." Geleng Robert, padhal yang terlintas baru saja adalah bayangan Ella melintas di koridor, tempat mereka sering berpapasan dan hanya berakhir saling memandang saat gadis muda itu masih menjadi asisten magang untuk sosial medianya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.