THE RICHMAN

The Richman - Honneymoon



The Richman - Honneymoon

0-Leah POV-     

Ben memilih pulau Lissenung di Papua Nugini untuk berbulan madu, tentu saja tanpa persetujuanku, ini adalah bagian dari hadiah pernikahan untukku katanya. Ini adalah private island, hanya ada empat bungalow dan pulau ini hanya dapat menampung paling banyak 14 orang.     

Jadi ini sangat privat. Kami hanya bertemu dengan masyarakat lokal di sini, mereka yang akan menyiapkan semua keperluan kami, juga mengantar makanan kami. Pulau ini juga tidak terlalu luas, hanya butuh waku sekitar sepulu hingga limabelas menit untuk menjelajahi pulai ini.     

Saat ini kami telah menempati salah satu bunngalow di pulau ini.     

"Kau suka tempatnya?"     

"Perfect." "Apa kau pernah ke tempat ini sebelumnya?"     

"Belum."     

"Oh..."     

"Apa kau berpikir aku pernah membawa seorang wanita ke tempat ini?"     

"Mungkin saja."     

"Leah, kapan kau akan berubah?"     

"Entahlah."     

"Aku aka mandi."     

"Ok."     

Aku sedang menikmati berkeliling bungalow saat tiba-tiba kudengar Ben memanggil namaku. Aku segera berlari kearah kamar mandi.     

"Ada apa Ben? Kau baik-baik saja?"     

"Aku tidak menemukan sabun mandi, bisakah kau ambil dari dalam koper?"     

"Ya ampun Ben, kupikir kau kenapa." " Tunggu sebentar." Aku segera kembali dengan sabun botol sabun mandi untuknya.     

Image     

"Ambilah, aku di depan pintu kamar mandi."     

Oh kejadian ini mengingatkanku pada waktu kami di apartmentku selepas pemakaman Hanna, saat itu dia tidak membawa handuk, sekarang sabun mandi.     

"Apa kau akan tetap berdiri di luar atau masuk dengan sabun mandi itu?"     

Apa maksudnya masuk dengan sabun mandi itu? Aku tidak ingin melihatnya dalam kondisi tanpa busana, aku belum siap. Aku tetap bersikukuh berdiri diluar kamar mandi.     

Diluar dugaanku, dia muncul dari balik pintu kamarmandi dengan hanya handuk melilit pinggangnya. Aku segera berbalik, aku tidak ingin melihat pemandangan itu lama-lama. Pernikahan kami begitu cepat, meski aku akhirnya sah menjadi isterinya, tapi aku belum siap untuk melakukan kontak fisik dalam bentuk selain yang pernah kami lakukan.     

"Kenapa kau berdiri di luar dan tidak masuk kedalam ketika aku memintamu masuk?"     

"Ben ini sabunnya, lanjutkann mandi atau kau akan kedinginan."     

"Tidak tanpamu."     

"Ben please."     

"Leah, kita sudah resmi jadi suami isteriyang kau pikirkan?"     

"Tidak... tidak... tolong beri aku waktu."     

"Baiklah."     

Leah apa yang kau pikirkan? Kau akan mengecewakan suamimu? Di hari pertama bulan madu kalian?     

Apa yang harus ku lakukan?     

Akhirnya tanpa pikir panjang aku berbalik dan menciumnya. Dia membalas ciumanku dan menarikku masuk ke dalam kamar mandi.     

"Kita hanya akan mandi." Dia berbisik, "Jangan takut."     

"Oke." Balasku. dengan hanya handuk melilit pinggangnya. Aku segera berbalik, aku tidak ingin melihat pemandangan itu lama-lama.     

Pernikahan kami begitu cepat, meski aku akhirnya sah menjadi isterinya, tapi aku belum siap untuk melakukan kontak fisik dalam bentuk selain yang pernah kami lakukan.     

"Kenapa kau berdiri di luar dan tidak masuk kedalam ketika aku memintamu masuk?"     

"Ben ini sabunnya, lanjutkann mandi atau kau akan kedinginan."     

"Tidak tanpamu."     

"Ben please."     

"Leah, kita sudah resmi jadi suami isteri. Apa yang kau pikirkan?"     

"Tidak... tidak... tolong beri aku waktu."     

"Baiklah."     

Leah apa yang kau pikirkan? Kau akan mengecewakan suamimu? Di hari pertama bulan madu kalian?     

Apa yang harus ku lakukan?     

Akhirnya tanpa pikir panjang aku berbalik dan menciumnya. Dia membalas ciumanku dan menarikku masuk ke dalam kamar mandi.     

"Kita hanya akan mandi." Dia berbisik, "Jangan takut."     

"Oke." Balasku.     

***     

Aku sedang duduk di dalam kamar sementara menunggu Ben datang membawa makan malam kami. Dia sengaja keluar untuk mengambil makanan yang disediakan, meski sebenarnya makanan itu bisa saja di antar.     

Aku bergidik membayangkan saat kami mandi bersama tadi. Aku melihat banyak hal yang belum pernah kulihat sebelumnya. Dan kurasa Ben juga menikmati menjadikanku object tontonan, meski aku merasa malu setengah mati karenanya.     

Ben berkata padaku bahwa sesuatu miliknya tidak akan melukaiku, tapi aku masih tak yakin bahkan setelah sepanjang hari Ben berusaha meyakinkan dengan memberiku banyak literatur dari internet bahkan vidio yang menunjukan bagaimana teknisnya. Meski begitu aku masih saja ketakutan.     

Cekrekk     

"Ben." Aku hampir terlonjak saat dia masuk diikuti sesoranng di belakangnya membawa nampan berisi makan malam.     

"Tolong letakan disana."Ben mengarahkan, sementara aku hanya terdiam menonton. Saat makan malam sudah tertata rapi di meja, pramusaji itu meninggalkan kamar kami.     

"Terimakasih."Ben tersenyum dan memberikan tip pada pramusaji itu.     

Ben mendekatiku "Apa kau sudah selesai dengan fantasimu Mrs. Benedict?" Aku bergidik " Aku tidak sedang berfantasi." Aku merengut padanya, dia jelas saja menggodaku.     

"Baiklah, mari kita makan malam. Mungkin setelah itu kau akan berubah pikiran."Ben tersenyum. Kami makan tanpa banyak bicara, aku sibuk berpikir dan meyakinkan diriku sendiri soal ajakan Ben, sementara Ben sepertinya lebih menikmati melihatku dalam keadaan ketakutan daripada menikmati makan malamnya.     

"Ben kumohon berhenti menatapku seperti itu." Aku merengut.     

"Kenapa?"     

"Kau menatapku seolah-olah aku adalah mangsa bagimu."     

"Tidak, percayalah Leah, ini tidak akan melukaimu."     

Aku menelan ludah, sepanjang hidupku kuhabiskan dengan bermimpi menjadi puteri di negeri dongeng, tapi semua dongeng itu berakhir setelah pernikahan, dan semua di embel-embeli dengan kalimat "Mereka bahagia selama-lamanya." Aku tidak pernah menyangka bahwa kami harus melewati apa yang di sebut malam pertama. Meski sebagian bersar menginginkannya dengan teramat sangat, tapi aku masih begitu ketakutan. Aku bahkan sekarang mengingat saat kami melihat vidio itu di ponsel Ben. Ben seperti seorang dosen yang sedang memberikan kuliah pada mahasiswinya.     

"Perhatikan ini, ini elastis. Dan ini diselimuti dengan semacam cairan licin jika kau sudah siap." Ben menunjuk pada sebuah gambar yang di pause.     

"Jadi ketika benda ini meluncur, tidak akan menimbulkan gesekan yang menyakitkan."     

Aku melotot ketika melihat pada gambar itu. Sementara Ben tampak menahan senyumnya.     

"Leah."Ben memanggil namaku dan aku hampir terlonjak dari tempat dudukku karena kaget.     

"Berhentilah melamun." Ben meletakkan alat makannya, lalu meneguk minuman dalam gelasnya. "Kita tidak akan mencobanya jika kau tidak siap."     

***     

Ben tampak duduk di luar kamar, dia menikmati langit malam Papua Nugini, bagaimana tidak, dia tidak bisa menikmati apa yang begitu dia inginkan dariku. Sementara aku sedang sibuk dikamar mandi, mencoba pakaian tidur yang sudah kubeli dan kupilih sendiri. Meski sekarang aku sangat tidak percaya diri untuk memakainya.     

"Leah, kau kejam sekali. Dia sudah melakukan semuanya untukmu, dan kau bahkan tidak mau berusaha memberikan apa yang dia inginkan." Aku mengomel pada diriku sendiri.     

Akhirnya aku keluar dari kamar mandi, dan berjalan keluar. Tapi aku tidak melihat dia di beranda, aku berjalan lebih jauh keluar dari bungalow, tak ada juga. Kemana dia? Aku terus berjalan, menuju pantai.     

Mataku terbelalak ketika melihat dia duduk di tepi pantai malam itu, apa yang dia lihat? Pantai pada malam hari?     

"Ben." Aku mendekat, dan duduk di sampingnya, dia tampak terkejut menyadari kehadiranku. "Hei." "Kau cantik dengan gaun itu Mrs. Benedict." Aku merona atas pujiannya.     

Aku sudah sempat mempelajari vidio itu sekali lagi tanpa bimbingan dari Ben, dan aku juga membaca beberapa literatur sendiri saat aku berada di kamarmandi tadi, semua mengatakan bahwa itu menyenangkan, ada beberapa yang menyebutkan kata "Sobek" tapi itu tetap tidak akan menyakitkan.     

"Ben, aku siap." Aku mengatakannya dengan cepat. Ben menoleh padaku, menatapku tanpa ekspresi, tapi sejurus kemudian senyum penuh kemenangan mengembang di wajahnya. Dia bangkit dan membawaku dalam gendonganya masuk ke bugalow.     

"Kau yakin Mrs. Benedict?" Ben bertanya setelah meletakanku di ranjang. Aku mengangguk cepat. Kumohon segera lakukan Ben sebelum aku berubah pikiran. Ben segera menarik T-shirtnya melalui lengan dan kepalanya, lalu pakaiannya yang lain dan lagi-lagi aku melihatnya dalam kondisi seperti saat kami mandi.     

Dia mendekatiku, merangkak di atasku. Dia menatapku dalam sebelum akhirnya menciumku lembut. Aku merasakan semacam getaran tak terkatakan ketika dia menciumku semakin cepat, dan sedikit kasar. Ben menanrik gaun tidurku melalui atas kepalaku, lalu melemparnya entah kesuatu tempat. Nafasku sudah terengah-engah, dia terus mengagumi setiap jengnkal kulitku dengan bibirnya, dari ujung kepalaku hingga unung kakiku. Aku merasakan kegelian luar biasa, tapi aku justru tidak iginn dia segera mengakhirinnya. Aku menggeliat setiap kali dia membuatku megalami getaran itu.     

Getaran itu semakin hebat, membuatku akhirnya mengeluarkan suara, semacam erangan saat salah satu jarinya menyentuh area sensitifku. Dia naik lagi, dan memperlihatkan jarinya padaku "Ini adalah tanda bahwa kau sudah siap." Ben menarik telunjuk dan ibujarinya yang tadinya terkatup, dan aku melihat seperti lendir tertarik diantnara kedua jarinya itu.     

"Aku akan memulai perlahan." Ben berbisik padaku, menatapku dalam seolah meminta persetujuan, aku yang masih sibuk megatur nafasku segera mengangguk, Ben tersenyum dan dengan sebuah gerakan cepat dia menarik sesuatu dari dirinya dan memenuhiku. Aku seperti tersedak rasanya.     

"Sakit?" Ben menatapku, aku bahkan tidak merasakan apapun, selain sesuatu yang hangat, aku menggeleng, sekali lagi Ben tersenyum. Dan dengan gerakan lembut yang dinamis Ben membawaku pada sebuah ledakan entah apa itu tapi aku merasa diriku meledak pada akhirnya.     

***     

"Kau melewati percobaan pertama dengan baik." Ben menciumku. Aku mengangguk, lalu aku merasakan sesuatu yang hangat meleleh keluar dari diriku. "Aku akan ketoilet." Aku meninggalkan Ben segera. Dan benar saja, lelehan itu keluar semakin banyak. Dan saat aku membasuhnya, rasanya begitu perih. Oh ini jelas tidak nyaman, aku baru merasakan betapa sakitnya saat aku berjalan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.