THE RICHMAN

The Richman - Forget



The Richman - Forget

0Christabell berbaring di kamarnya dan sudah mulai sadar. Disekelilingnya berdiri Aldric, sementara Adrianna duduk di tepi ranjang, dan Richard duduk di kursi dekat ranjang sementara Ben yang baru saja datang berdiri di dekat ayahnya. Christabell menatap ke sekeliling, dan tersenyum sekilas.     

"Kalian semua ada di sini?" Tanyanya lemah, dan semua orang tersenyum karena mereka yakin betul Christabell sedang dalam kondisi yang mengenali mereka dengan baik.     

"Mommy . . ." Adrianna meraih tangan ibunya dan mengenggamnya.     

Alis Christabell mendadak berkerut dalam, "Mengapa kau memanggilku mommy?" Tanya Christabell bingung.     

"Aku puterimu." Jawab Adrianna, dan Richard segera menatap ke arah Adrianna untuk memberikan kode pada puterinya itu. Memaksa Christabell mengingat hanya akan berakhir menjadi bencana.     

"Sekarang kau sudah baik-baik saja, mereka datang untuk mengunjungimu." Richard mengusap wajah Christabell. "Istirahatlah, kami akan keluar." Imbuhnya dan Rich meminta anak-anaknya untuk keluar. Mereka meninggalkan Christabell yang kembali memejamkan matanya, bagi Christabell, tertidur adalah hal paling menenangkan. Dia menyadari bahwa terkadang dia melupakan banyak hal, tapi terkadang dia bahkan tak mengingat apapun.     

Sementara itu Richard dan anak-anak juga menantunya duduk di ruang keluarga. Adrianna berlinangan air mata setelah ibunya tak mengenalinya sama sekali, sementara Ben duduk diam di sebelah ayahnya, Richard Anthony yang terlihat sangat tua sekarang ini.     

"Dad. . . apa tidak sebaiknya kita memabwa mommy kerumahsakit?" Tanya Ben memecah keheningan.     

Richard menghela nafas dalam, "Jika dia berada di rumahsakit, berarti dia tidak akan menjalani hidup normal seperti yang selalu dia inginkan saat kondisinya belum seburuk ini." Jawab Richard.     

"Tapi mommy semakin parah dad." Adrianna menjawab ditengah isakannya. Aldric sang suami mengusap lengan isterinya itu.     

Richard menghela nafas dalam."Ya . . . kondisinya memang semakin buruk." Jawab Richard pasrah.     

"Mengapa Daddy tidak mengatakan apapun pada kami?" Protes Adrianna, tapi Richard tidak membantah, dia duduk diam saja. Ben mengusap-usap lengan ayahnya, dia tahu begitu berat menjalani masa tua seperti Richard, ayahnya.     

Richard menepuk-nepuk tangan Ben, "Aku tidak ingin kalian khawatir, biar aku yang menjaga ibu kalian, dan kalian bisa hidup dengan nyaman dan normal tanpa harus mencemaskan apapun." Richard pada akhirnya menjawab. Semua orang yang duduk mengitari meja itu terdiam dalam kepiluan masing-masing melihat kondisi Christabell sekarang ini. Daya ingatnya semakin menurun dia bahkan mulai tidak sadar jika berkemih di tempat tidur, itu mengharuskan Richard memakaikannya diapers.     

Aldric menatap ke arah mertuanya itu, "Mungkin sebaiknya kita meminta pertolongan perawat home care, dengan begitu bebannya tidak akan terlalu berat. Ada tenaga profesional yang membantu menjaga dan mengawainya." Ujar Aldric memberikan usul.     

"Ya. Aku setuju dengan Aldric." Jawab Ben. "Aku tahu daddy sangat menyayangi mommy, tapi tidak bisa begini caranya. Daddy mengabaikan kesehatan daddy sendiri demi menjaga mommy dan mengurus semuanya." Imbuh Ben.     

Richard menelan ludah, "Aku ingin selalu ada di dekatnya." Jawab Richard.     

"Dady bisa berada di dekat mommy dengan bantuan dari orang lain." Ben menegaskan.     

Richard yang semula tampak ragu, kini berkat usulan dari anak-anaknya berniat untuk mengiyakan usulan itu. "Jika menurut kalian itu yang terbaik." Jawab Rich pasrah. Pria tua itu tampak tak lagi memiliki power seperti dia beberapa waktu sebelum belahan jiwanya sakit dan tak mengingatnya sama sekali.     

Aldric dan Adrianna memilih untuk meninggalkan Richard dan berjalan ke ruangan lain. Aldric tampaknya ingin berbicara berdua saja dengan Adrianna.     

***     

Adrianna duduk dengan frustasi mengadap ke jendela luar sementara suaminya duduk di sampingnya. Adrianna baru keluar dari rumahsakit dan mendapatkan kabar dari ayahnya bahwa kondisi ibunya memburuk hari ini. Double trouble, Adrianna mengusap perutnya, sementara satu tangan lainnya memegangi kepalanya.     

"Kau harus istirahat, jangan berpikir terlalu keras." Ujar Aldric sembari mengusap punggung isterinya itu.     

"Ibuku sekarat." Jawab Adrianna dengan wajah begitu sedih.     

"Kondisinya tak seburuk itu, dia hanya kesulitan mengingat orang-orang di sekitarnya." Aldric masih berusaha membesarkan hati isterinya itu, tapi tetap saja, bukan hal mudah bagi Adrianna untuk menerima keadaan ibunya yang memburuk secepat ini. Aldric tak bisa berkata apapun selain menggulung isterinya itu dalam pelukannya, mungkin dengan demikian beban yang dia rasakan akan semakin ringan.     

Sementara itu di ruangan keluarga masih duduk Ben Anthony dan ayahnya, Richard Anthony. Mereka duduk berdekatan tapi tak banyak berbicara.     

"Sebaiknya kau bergabung dengan perusahaan dan bantu kakakmu." Richard membuka suara.     

Ben melipat tangannya di dada, "Akan ku pikirkan Dad." Jawabnya, sejak awal Ben memang ingin merintis bisnisnya sendiri, dan bergabung dengan perusahaan ayahnya yang kini sudah merger dengan perusahaan Aldric berarti mengijinkan dirinya dikendalikan atau dikuasai oleh orang lain meskipun itu kakak iparnya sendiri. Dan sifat dominan Ben akan sangat terluka jika dia harus berada di bawah kuasa orang lain.     

"Aku ingin mengatakan ini sejak tadi, dan ku harap daddy tidak tersinggung." Ujar Ben.     

"Apa?" Richard menoleh pada puteranya itu. Meski Ben terlahir dari darah daging Rich, tapi mereka sangat jarang sekali mengobrol dari hati ke hati seperti ini.     

"Biarkan mommy dirawat di rumahsakit. Daddy bisa mengunjunginya sesering mungkin, tapi setidaknya Daddy bisa ke kantor atau mengerjakan kegiatan lainnya. Terpaku pada kondisi mommy juga akan melukai daddy baik secara fisik dan mental." Ujar Ben. Meski apa yang dikatakan oleh Ben ada benarnya, tapi Richard tak bisa menerima masukan itu.     

Richard tersenyum sekilas, "Apa kau mengencani seorang gadis?" Tanya Rich, seolah melenceng dari pembicaraan.     

"No." Geleng Ben.     

"Are you gay?" Richard menautkan alisnya dalam dan Ben menjawab tegas. "Of course not!"     

"Cobalah berkencan dengan wanita yang benar-benar kau sukai, wanita yang membuatmu tidak bisa hidup tanpanya, setelah itu kembali padaku dan berikan nasehatmu." Richard bangkit dari tempatnya duduk, dia menepuk pundak Ben dan meninggalkan puteranya itu. Rich tampak berjalan menuju kamar Christabell untuk kembali menemani belahan jiwanya itu, meskipun Bell sama sekali tidak mengingat siapa pria yang selalu menemani dan mengurusnya itu.     

Ben duduk terpaku, kata-kata ayahnya seolah terngiang berkali-kali di kepalanya, "Cobalah berkencan dengan wanita yang benar-benar kau sukai, wanita yang membuatmu tidak bisa hidup tanpanya, setelah itu kembali padaku dan berikan nasehatmu." Kalimat Richard yang dia ungkapkan dengan nada lembut tapi menjadi tamparan keras di wajah Ben.     

***     

Rich menarik gagang pintu dan berjalan masuk tanpa suara, dia tidak ingin mengganggu Chrisatbell yang tampak masih tertidur di ranjang. Namun saat Rich mendekat, wanita itu tak benar-benar tertidur, dia hanya meringkuk dan matanya tetap terbuka.     

"Aku pikir kau istirahat." Ujar Richard singkat.     

Christabell menoleh ke arah Richard, "Siapa gadis itu?" Tanyanya, sepertinya yang dia maksudkan adalah Adrianna.     

"Adrianna Anthony." Jawab Richard.     

"Apa dia puterimu?" Tanya Bell kembali.     

"Ya." Angguk Richard, dia memegangi lututnya sebelum akhirnya duduk di tepi ranjang.     

"Dia memanggilku mommy." Gumam Christabell dengan ekspresi kebingungan. "Mengapa dia memanggilku mommy?" Christabell bukan bertanya pada Richard, dia sering bergumam untuk dirinya sendiri seperti itu.     

"Jangan pikirkan itu." Jawab Richard, dia meraih tangan Christabell dan meremasnya lembut. Kelembutan dan kehangatan sentuhan Richard selalu membantu Christabell untuk merasa lebih tenang.     

"Aku suka tanganmu." Ujar Christabell, dan itu membuat Richard tersenyum lebar. "Benarkah?" Tanya Richard. "Tanganmu lembut dan hangat." Jawab Christabell.     

"Ya. Aku akan selalu memegangmu seperti ini." Richard tersenyum dan senyumnya itu tampak begitu tulus saat menyentuh matanya.     

"Tanganmu juga besar." Christabell mendekatkan tangan Richard ke wajahnya dan menempelkannya. "Kau tahu, tanganmu memberiku kedamaian." Pujinya dan itu membuat Richard tua tersenyum sekali lagi.     

"Kau boleh memegangnya sesering yang kau inginkan." Ujar Richard.     

Mendadak Bell terdiam, "Aku melupakan banyak hal, aku bahkan tidak tahu siapa diriku sendiri." Keluhnya dengan wajah putus asa.     

"Kita bisa memulai dari awal, aku akan memperkenalkan diri padamu setiap kali kau lupa." Richard menatap dalam pada isterinya itu, meski sejujurnya hatinya tengah menangis darah tapi Richard tetap tersenyum di hadapan isterinya itu.     

"Aku punya cerita untukmu." Richard memutuskan untuk mengisahkan perjalanan dirinya dan Chrisabell seolah itu cerita baru bagi Bell, namun sebenarnya itu adalah kisah mereka berdua.     

"Saat aku masih muda, aku mengenal isteriku di sebuah klub elite."     

"Ibu dari puterimu?" Tanya Christabell.     

"Ya." Jawab Richard.     

"Awalnya aku memesannya dengan harga yang sangat mahal, satu juta dollar untuk menemaniku malam itu." Ujar Richard, dia tersenyum untuk dirinya sendiri.     

"Satu juta dollar . . ." Christabell mengulangi kata itu, "Aku seperti sering mendengar jumlah itu, atau mungkin aku pernah sangat beruntung memiliki uang sebanyak itu?" Christabell tersenyum sekilas, untuk dirinya sendiri.     

"Kau sangat kaya, kau pasti memiliki lebih." Ujar Richard.     

"Mungkin. Aku bahkan tak mengingat apapun, apalagi soal kekayaannku, aku sama sekali tak ingat."     

Richard menghela nafas dalam. "Saat pertama aku melihatnya dan dia berada di dalam kamarku, aku benar-benar tidak berpikir bahwa dia akan menjadi isteriku."     

"Benarkah?" Christabell tersenyum, binar dimatanya masih sama seperti setiap kali dia merasa bahagia akan sesuatu hal. Meski Christabell tidak tahu untuk apa dia bahagia, tapi matanya mengingat betul bagaimana caranya berbinar.     

"Awalnya aku ingin memuaskan hasratku untuk semalam saja, tapi saat melihat keluguan, kepolosan dan kecantikannya aku justru terhanyut, aku tak hanya ingin memilikinya untuk semalam, tapi seumur hidupku." Richard mengeluarkan ponselnya dan menunjukan gambar Christabell yang ternyata diambil diam-diam oleh Rich saat pertama kali Bell melakukan Show di The Ritz.     

Mata Christabell melebar saat melihat foto itu, "Dia sangat cantik." Pujinya, Bell bahkan tak menyadari bahwa gadis di foto itu, yang usianya mungkin masih dua puluhan tahun ketika di foto, adalah dirinya sendiri.     

"Ya, dia sangat cantik." Richard mengangguk setuju.     

"Puterimu mewarisi kecantikan ibunya." Christabell mengalihkan pandangan pada Richard.     

"Sangat." Lagi-lagi Richard setuju dengan apa yang dikatakan oleh Christabell.     

"Lalu apa yang terjadi? Maksudmu kau menikahi wanita penghibur?"     

Richard tersenyum, "Dia bahkan masih gadis saat malam pertama kami."     

"Wow." Christabell tersenyum sekali lagi, "Aku merasa kau sangat romantis . . ." Christabell berusaha mengingat nama pria yang kini duduk di hadapannya itu.     

"Richard. . . " Rich menyebutkan namanya.     

"Ya . . . maaf aku melupakan namamu." Sesal Christabell.     

"Aku akan selalu mengingatkanmu." Jawab Rich.     

"Lanjutkan . . . ceritakan tentang isterimu, siapa namanya?"     

"Christabell." Ujar Richard.     

"Oh Christabell, aku seperti sering mendengarnya." Bell berujar dengan begitu lugu, begitu menyakitkan bagi Richard, namun bagi pria tua itu, selama isterinya masih bernafas, masih bisa tersenyum saat bersamanya, semua perkara tak akan jadi soal.     

"Perjalanan cinta kami begitu panjang, tidak akan habis kuceritakan seribu satu malam." Terang Richard.     

"Mari kita buat kesepakatan."     

"Tentang apa?" Tanya Richard.     

"Ceritakan padaku tentang isterimu setiap kali kita punya waktu mengobrol, aku ingin mendengarnya."     

"Ya, tentu saja, dengan senang hati."     

Richard terus bercerita hingga akhirnya Christabell jatuh tertidur dengan masih memegangi tangannya. Ben masuk kembali kedalam ruangan dan mendekat ke ayahnya. "Aku benar-benar menyesal mengatakan semuanya padamu dad." Sesal Ben.     

"Tidak nak, aku bisa memahami situasimu." Richard menepuk tangan Ben yang berada di pundaknya.     

"Aku berharap kau menemukan gadis yang tepat yang akan memberikanmu alasan untuk tetap hidup dengan baik." Ujar Richard.     

Ben mengangguk, "Entahlah." Jawabnya.     

"Apa kakakmu dan suaminya masih di sini?"     

"Adrianna terlihat begitu lelah, aku meminta mereka pulang. Aku akan menemanimu dan mommy, biarkan Adrianna berisitirahat di rumahnya."     

"Jika kau sibuk, kau bisa meninggalkan kami." Richard menatap Ben dan pria muda itu menggeleng.     

"Aku tidak banyak menghabiskan waktu dengan kalian belakangan ini, kurasa aku akan kembali ke rumah untuk sementara ini."     

"Thanks." Richard tersenyum pada puteranya itu. Putera yang dia pikir tak pernah bisa dia andalkan, ternyata sekarang ada disaat orang tuanya sudah mulai renta dan membutuhkan pertolongan anak-anaknya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.