THE RICHMAN

The Richman - Open up to You



The Richman - Open up to You

0Malam ini seperti janji mereka sebelumnya, Oliver menjemput Sheina di apartmentnya untuk makan malam bersama. Setelah semua pertengkaran, perbedaan pendapat dan saling tidak peduli. Tapi kasus Zoey dan Jhon tampaknya menghapus semua itu.     

"Hi." Oliver berdiri di depan pintu apartment Sheina dan gadis itu sudah siap dengan gaun selutut yang dia kenakan. Sheina tampak jauh lebih girly dari biasanya, dia bahkan mengenakan riasan wajah yang terlihat berbeda dari biasanya.     

"Hi." Balas Sheina. Tanpa banyak bicara mereka menuju mobil Oliver dan pria itu memilih salah satu restoran jepang terbaik di hotel berbintang lima di pusat kota.     

"Kau bilang kau suka makanan jepang." Ujar Oliver.     

Shiena menatap Oliver, "Aku mengatakannya pada Lean."     

"Aku ada di dekat sana saat itu." Ujar Oliver.     

"Dan kau menguping?" Sheina menyipitkan matanya pada Oliver.     

"Mendengar tanpa sengaja, terserah jika kau menganggap aku menguping." Oliver tersenyum, beberapa saat makanan khas Jepang terhidang di hadapan mereka.     

"Mengapa kau memperlakukanku dengan spesial boss?" Tanya Sheina, tapi Oliver menggeleng. "I'm not." Gelengnya.     

"Lalu ini?"     

"Aku memperlakukanmu dengan baik, not so spesial." Oliver tetaplah Oliver. Dia selalu menolak danggap menggunakan hatinya, dia ingin mempertahankan kesan sebagai pria yang tak pernah melibatkan hatinya dalam segala urusan, termasuk urusan wanita.     

"Ok, terimakasih untuk kebaikanmu, Sir." Sheina memutar matanya, "Spesial atau tidak, makanan ini enak dan aku suka." Sheina memasukan sepotong sushi ke dalam mulutnya dan Oliver tersenyum menatap tingkah anakbuahnya itu.     

"Kapan terkahir kau bicara dengan ayahmu?" Tanya Oliver.     

"Setiap hari aku bicara dengannya." Jawab Sheina. "Apa kau tidak melakukannya dengan ayahmu?" Tanya gadis itu pada Oliver.     

"No." Geleng Oliver.     

Sheina menatap wajah Oliver dan bertanya, mungkin pria ini melunak secara misterius, "Want to talk about it?"     

"No." Tolak Oliver.     

"Jadi mengapa kau bertanya?"     

"Hanya bertanya." Oliver mengangkat alisnya sekilas kemudian mulai bersantap, meski sejujurnya dia tampak tak begitu menikmati makanannya.     

"Kau tak suka makanan Jepang?" Tanya Sheina pada sang boss saat melihat ekspresi pria itu saat memakan makanannya.     

"Tidak terlalu." Geleng Oliver.     

"Lalu mengapa kau membawaku ke restoran ini?"     

"Karena kau suka."     

Sheina melipat tangannya di meja kemudian menatap Oliver dengan sungguh-sungguh. "Kau tahu boss, kau sangat aneh." Ujar Sheina dan itu membuat Oliver mengangguk.     

"Apa sangat sulit bagimu untuk mengungkapkan perasaanmu? Kau suka ini, kau suka itu, kau mau ini, kau mau itu, mengapa yang kau lakukan selalu menolak?" Sheina menatap Oliver dan pria itu terlihat menelan ludah.     

"Long story, dan kau tidak akan mengerti." Ujar Olvier.     

"Tell me."     

"Kau lahir dan besar di keluarga yang harmonis, kau tidak pernah bisa membayangkan bahwa tidak semua anak-anak seberuntung dirimu di masa kecil mereka." Ujar Olvier. "Masa kecil membentuk karakter, mungkin aku terbentuk dari pertengakaran dan kekerasan di dalam kelaurgaku." Ujar Oliver.     

Sheina tersenyum. "Aku dilahirkan oleh seorang wanita yang hingga detik ini tak pernah kuketahui siapa namanya, juga siapa ayahku. Aku berusia satu bulan saat diadopsi oleh orangtuaku dan kehilangan ibu angkatku di usia duabelas tahun. Aku tumbuh bersama ayahku dalam berbagai kesulitan dan kesepian menghadapi kehilangan ibuku selama bertahun-tahun. Tak selalu indah, tapi kami selalu ada satu sama lain. Dan kami melewatinya." Ujar Sheina.     

"Jadi kau diadopsi oleh keluarga Anthony?"     

"Yap." Angguk Sheina. "Jika kau berbicara tentang penolakan, aku merasakannya bahkan sejak aku berumur nol bulan." Sheina tersenyum kecut.     

"Maaf aku tidak . . ." Sesal Oliver.     

"It's ok, aku tidak pernah menyesalinya, barang sedikitpun." Sheina menghela nafas dalam, "Aku bahkan menemukan panggilanku karena nasip buruk yang ku alami sejak aku bayi."     

"Panggilan?" Alis Oliver berkerut.     

Sheina menghela nafas dalam lagi, "Aku selalu berpikir bahwa nasibku mungkin paling buruk diantara nasip semua orang di dunia ini, tapi setelah aku belajar hukum, dan menjadi advokad aku melihat banyak sekali nasib buruk yang bahkan jauh lebih mengerikan dari nasibku." Ujarnya. "Bagaimana denganmu, apa alasanmu, mengapa kau memilih menjadi pengacara?" Alis Sheina berkerut menunggu jawaban dan Oliver tampak tak ingin menjawab, dia melipat tangannya di dada dan diam saja.     

"Kau tidak akan percaya jika aku mengatakannya." Ujar Oliver.     

"Kau sangat mengagumi ayahmu pasti, sampai kau memilih untuk mengikuti jejaknya menjadi pengacara." Tebak Sheina dan Oliver terkekeh.     

"Justru sebaliknya." Jawabnya.     

"What?" Sheina tak paham dengan jawaban Olvier itu.     

"Ayahku sama arogannya denganku. Dia ambisius dan dia workaholic. Duapuluh jam dalam hidupnya dia habiskan untuk bekerja. Dia melupakanku dan ibuku." Ujar Oliver.     

Pria muda itu tersenyum ironis, "Aku ingin menjadi pengacara untuk bisa melawannya dan menghancurkannya hingga tak ada yang tersisa lagi darinya." Ujar Oliver, dan kalimat itu membuat Sheina tertegun tak bisa berkata apa-apa.     

"Banyak hal yang kusimpan sendiri Sheina, dan aku tidak terbiasa berbagi." Ujarnya sekali lagi.     

"Ok, aku mengerti." Angguk Sheina. "Jangan katakan apapun lagi jika kau tak ingin mengatakannya."     

"Thank you." Ujar Oliver. Dia menghembuskan nafas lega. "Mengatakan semuanya itu membuatku merasa buruk." Ujar Oliver.     

"Maaf boss, aku pikir aku bisa membuatmu merasa lebih baik." Sesal Sheina.     

"Tidak semuanya berefek seperti itu, terkadang beberapa hal lebih baik kita simpan sendiri." jawab Oliver.     

"Ya." Angguk Sehina. Dia benar-benar baru pertama kali melihat Oliver begitu kesulitan mengungkapkan sesuatu yang ada dipikirannya. Biasanya dia sangat fulgar, tajam dan tak pernah mempertimbangkan perasaan orang lain saat mengungkapkan sesuatu yang ada di kepalanya, kali ini berbeda, dia terlihat kesulitan, adan kilatan matanya tampak begitu kelam. Hal buruk macam apa yang selama ini dia simpan sendiri di dalam dirinya itu? Hal itu pasti sangat buruk sampai memperngaruhi personality dan membentuk karakteristik keras, dingin dan arogan yang dia miliki selama ini.     

Makan malam ini benar-benar diharapakan bisa menjadi awal hubungan yang lebih hangat antara bos dan anakbuah, setidaknya itu yang sempat dipikirkan Sheina. Nyatanya tidak, Oliver benar-benar hanya mentraktirnya dengan makanan kesukannya. Tidak ada pembicaraan yang berhasil dibuat malam ini. Oliver tetap menyimpan dirinya untuk dirinya sendiri, dan makan malam ini tak lebih dari makan malam yang biasa dilewati berasama kolega. It's not a date.     

Setelah makan malam, Oliver mengantar Sheina pulang ke apartmentnya. Dia bahkan tak bicara sepatah katapun sepanjang perjalanan pulang.     

"Thank you." Sheina berdiri di ambang pintu apartmentnya sementara Oliver juga masih berdiri di sana, menghadap ke arahnya.     

"You're welcome." Jawab Oliver.     

"Kau ingin mampir?" Tanya Sheina karena Oliver tak langsung pulang, gadis itu menjadi salah tingkah.     

Oliver menghela nafas dalam. "No thanks." Gelengnya.     

"Ok, hati-hati menyetir pulang." Sheina tersenyum sekali lagi sebelum masuk ke dalam apartmentnya sementara Oliver masih berdiri di tempat itu. Sheina melepas coatnya, kemudian meletakkan tasnya di atas sofa, tapi dia penasaran apakah Oliver masih berdiri di sana atau sudah pergi. Dia berjalan ke arah pintu kembali dan melihat keluar melalui lubang intai, Oliver masih berdiri di depan pintunya.     

Sheina membuka kembali pintunya. "Ada yang ingin kau katakan?" Tanya Sheina. Oliver melangkah maju dan masuk kedalam apartment Sheina kemudian mentup pintu dibelakangnya sementara dia terus merangsek dan mendorong mundur Sheina, saat gadis itu berbelok dan memilih bersandar di tembok, saat itulah Oliver mendekatkan bibirnya dan mencium Sheina dengan penuh gairah. Untuk beberapa saat Sheina benar-benar tidak bisa merasakan apa yang terjadi padanya selain ciuman paksa oleh bosnya itu.     

Di tengah deru nafasnya, Oliver menarik diri dan menatap Sheina. "Jangan menyerah pada rayuan Gredy." Ujarnya di sela gigi-giginya yang terkatup.     

"Jadi ini tentang Gredy?" Alis Sheina berkerut.     

Oliver menghela nafas dalam, rahangnya mengeras sekilas sebelum akhirnya bicara, "Aku cemburu." Ujarnya, dan dalam hati Sheina dia tersenyum lebar, tapi dia mempertahankan ekspresinya agar tetap datar saat menghadapi bosnya itu.     

"Jadi kau cemburu?" Tanya Sheina.     

"Ya." Oliver menghela nafas dalam. "Mulai saat ini jangan dekat dengan pria manapun, Gredy, Standly, Bryan, atau siapapun." Olvier membuang wajahnya saat mengatakan semua itu.     

"Aku pergi." Ujarnya kemudian meninggalkan Sheina sendiri di apartmentnya.     

Gadis itu masih mencoba mencerna tentang ciuman mendadak, pernyataan cemburu, dan larangan untuk dekat dengna pria manapun. Mengapa pria itu tidak bisa lebih manis dengan mengatakan "I love you" dibandingkan mengancam dan memerintah.     

Sheina menghela nafas dalam, "Jika ini ciuman pertamaku aku pasti akan mati konyol dicium dengan cara seperti itu dan ditinggalkan begitu saja." Gumamnya dalam hati.     

Gadis itu mengambil tasnya dan masuk kedalam kamar kemudian duduk di depan meja riasnya, "Apa susahnya mengatakan I love you?" Gumamnya.     

"Atau kau memang terbiasa menguasai dan memerintah dibandingkan mencintai?" Imbuhnya sembari menatap dirinya sendiri di cermin seolah dia sedang bicara pada Olvier Hawkins, bosnya itu.     

Sementara itu di dalam mobilnya, Oliver tampak tak segera menyalakan meskin mobilnya, dia memilih untuk diam sesaat dan mengambil nafas. Oliver tidak pernah meminta seorang gadis. Dia selalu didatangi dan dia yang digilai oleh para gadis. Dia bahkan tidak tahu bagaimana mengungkapkan kekesalannya setiap kali mengintip CCTV dimana Gredy meletakkan hadiah-hadian diam-diam untuk Sheina. Atau bagiamana Standly mengajaknya mengobrol, atau bahka Bryan anak magang yang sering bercanda dengan Sheina saat mereka berjalan menuju lift bersama.     

Oliver terbiasa memiliki apa yang dia inginkan dan selalu mendapatkannya dengan mudah tanpa harus merendahkan dirinya dan menunjukan bahwa dia memiliki sisi yang rapuh. Oliver selalu ingin menunjukkan bahwa sekeliling dirinya penuh duri hingga dia tak tersentuh, tapi dengan Sheina, gadis itu bahkan tak terlihat tertarik padanya. Sering mengajaknya beradu argumen, dan bahkan mengatakan berbagai hal yang menjatuhkannya. Dan itu justru membuat Oliver benar-benar ingin memilikinya, menguasainya hingga Sheina tak lagi bisa melawan dirinya atau bermain-main dengan rasa cemburunya.     

Pria muda itu segera menyalakan mesin mobilnya dan berkendara kembali ke apartmentnya dan merasa sangat buruk. Dia berpikir seharusnya dia tidak terbawa perasaan hingga lepas kendali dan mencium Sheina seperti itu. Rahangnya tampak mengeras sekilas sebelum akhrinya dia menginjak pedal gas dan membuat mobilnya melesat semakin cepat.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.