THE RICHMAN

The Richman - Turn to You



The Richman - Turn to You

0Adrianna baru saja kembali ke rumah dan menemui Javier, suaminya yang sekarang. "Hai." sapa Javier dan dibalas dengan senyuman sekilas di wajah Adrianna "Hai." Jawabnya.     

"Kau tidak ada di rumah saat aku pulang." Javier menatap Adrianna yang meletakkan tasnya dan bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan makeup yang dia kenakan juga berganti pakaian dengan pakaian tidur. Hati Adrianna tengah bahagia karena kerikil yang menghalangi kakinya sudah bisa dia singkirkan.     

Selesai membersihkan diri Adrianna kembali ke dalam kamarnya dan berbaring di ranjang, tempat Javier sudah berbaring lebih dulu dengan buku di tangannya. Dia menurunkan kacamatanya dan menoleh pada Adrianna. "Kau terlihat lebih baik hari ini setelah selama berminggu-minggu kau menyalahkanku dan hubungan kita." Javier mengingat bagaimana Adrianna menyalahkan hubungan mereka atas keputusan bercerai yang diambil Aldric puteranya.     

"Hari ini aku menemui wanita itu dan membuat dia menyingkir dari kehidupan puteraku." Ujar Adrianna dengan senyum bahagia.     

"Dan apa kau pikir itu akan memperbaiki keadaan?" Alis Javier berkerut.     

"Tentu saja." Adrianna mengangguk yakin.     

"Kau bergerak terlalu jauh." Ujar Javier. "Tidak seharusnya kau melakukan itu, mereka sudah dewasa dan mereka bisa memutuskan apa yang baik dan tidak untuk diri mereka sendiri." Javier meletakkan bukunya di meja kecil yang berada di sisi ranjang dan menatap Adrianna. "Aku adalah orang yang berpengalaman dalam hal perceraian." Ujar Javier.     

Adrianna tampak tak terlalu senang dengan apa yang dikatakan Javier, "Aku bercerai dengan mantan isteriku karena lebih baik bagi kami untuk hidup masing-masing dibandingkan saat kami bersama dan justru saling menyiksa." Javier meraih tangan Adrianna.     

Wanita tua itu menghela nafas dalam, "Aku tidak bisa membayangkan hidup cucuku menjadi berantakan karena orang tuanya berpisah." Jujur Adrianna.     

"Kau percaya pada Claire bahwa dia akan menjadi ibu yang baik untuk puterinya, bukan?" Tanya Javier.     

"Ya, Claire wanita yang hebat." Adrianna mengangkat alisnya. "Aku berharap mereka masih bisa bersama."     

"Jangan berharap seperti itu, berharaplah mereka bahagia, George, Claire dan Clementine apapun keputusan mereka, semoga itu yang terbaik." Javier menatap Adrianna dan wanita itu tersenyum sekilas. "Sekarang istirahatlah."     

Adrianna beringsut rebah dan Javier menyelimutinya sebelum berbaring memeluk wanita itu.     

***     

Sementara itu di tempat lain, George tengah berdiri di ambang pintu apartment Claire dan mengetuk pintunya. Wanita itu mengendong puterinya yang tengah menangis dan membuka pintu.     

"Hi." Sapa George canggung.     

"Sorry Geoege, aku tidak bisa bertengakar sekarang. Clementine sedang demam dan dia rewel sejak siang tadi." Ujar Claire, dia berniat menutup pintu dan George menahannya.     

"Kau sudah membawanya ke rumahsakit?" Tanya George.     

"Ya, dokter anak mengatakan bahwa dia mengalami kolik." Jawab Claire.     

"Biarkan aku masuk." George menatap dengan tatapan memohon dan Claire mempertimbangkan sekilas, hingga akhirnya dia membuka pintu lebih lebar. George melepaskan blazer yang dia kenakan dan dengan kemejanya yang tersisa dia mengambil alih Clementine dalam gendongannya.     

"Kau sudah memberinya asi?" Tanya George.     

"Asiku berkurang drastis, aku belum makan sejak pagi dan dia tak mau diam. Aku berusaha menyusuinya tapi dia menolak menyusu langsung." Jawab Claire sembari mengambil kompres instan untuk di tempelkan di dahi Clementine. Da juga menyodorkan botol susu berisi asi yang baru saja berhasil dia pompa. Entah mengapa Clementine menolak menyusu langsung.     

"Berikan padaku." George menggendong Clementine dan menempelkan botol susu, sembari bersenandung kecil dia menggendong buah hatinya itu. Clementin mulai menghentikan tangisnya dan mau menyusu, bahkan tangan kecilnya memainkan dagu ayahnya.     

Claire berkaca menatap kejadian itu, air matanya bahkan menetes namun dia segera menghapusnya dan berjalan masuk ke arah dapur.     

"Apa AC di ruangan ini mati?" Tanya George.     

"Tidak, tapi sudah rusak mungkin." Jawab Claire sembari membereskan semua kekacauan yang terjadi sejak pagi. Entah bagaimana dengan ajaibnya, sekitar lima menit setelah menghabiskan susu dalam botol, dan masih berada digendongan ayahnya, Clementine justru tertidur.     

"Biar kubaringkan dia." Claire menoleh saat George menyusulnya ke arah dapur.     

"Biar kugendong, kau duduk dan makanlah." George menatap isterinya yang semakin kurus itu. Tulang selangkanya bahkan menyembul dibalik kaos dengan kerah lebar yang sudah tampak sangat lusuh. Entah berapa hari dia tidak tidur.     

"Ok." Claire menyelesaikan cucian piring dan kemudian mengelap wastafel. Dia mengeluarkan kotak susu siap minum dari dalam kulkas dan menuangnya di gelas kemudian meminumnya. Dia juga mengambil sisa pasta dalam mangkok kaca yang kemduian dipanaskan dalam microwive bebrapa menit hingga layak dimakan kembali. George melihat semua itu dan menjadi iba.     

"Kau makan seperti itu setiap hari?" Tanya George.     

"Yap." Angguk Claire setelah memasukkan dua suap pasta di dalam mulutnya. Dia meminum air mineral dan menatap George, "Akan kubaringkan Clemeentine di ranjang." Ujar Claire.     

"Mandilah, berendam dengan air hangat akan membuatmu lebih baik. Aku akan menjaga Clementine di sini. Biarkan dia tertidur nyenyak di pelukanku." Ujar George, tapi Claire masih berdiri di tempat yang sama. Dalam hatinya selalu ada rasa curiga, tapi kali ini dia mencoba menepisnya.     

"Aku tidak akan membawa Clementine kemanapun, dia puterimu dan aku ayahnya. Dan akan selalu seperti itu." George menatap Claire dan wanita itu berkaca, tapi dia segera membuang muka. "Thanks." katanya sembari berlalu masuk kedalam kamar dan menuju kamar mandi. Dia mengisi bathtub dengan air hangat dan seperti usul George, dia merendam dirinya dalam air hangat, tapi bukannya menjadi lebih baik, Claire justru berlinangan air mata. Melihat puterinya berhenti menangis begitu berada di pelukan ayahnya, bayi mungil itu merindukan ayahnya meski dia tak bisa mengatakannya. Tapi ikatan antara ayah dan anak tetaplah begitu kuat.     

Saat mereka masih bersam, George sering sekali tidur dengan Clementin di pangkuannya, di perutnya, bahkan tak jarang mereka melakukan pelukan skin to skin hingga sang puteri hafal betul aroma ayahnya. Dan begitu dia tak bisa menikmati kehangatan dan aroma ayahnya itu, dia merindukannya. Meskipun belum bisa mengatakan secara langsung, tapi seluruh sel dalam tubuhnya membantunya mengatakan hal itu.     

Sebenarnya George datang ke apartment Claire justru untuk memastikan apakah Claire sudah menandatangani dokumen perceraian itu, karena George sudah membubuhkan tandatangannya lebih dulu. Tapi melihat Clementine, puteirnya, George memilih untuk tidak membicarakan perceraian saat ini. Dia menikmati waktu bersama puterinya dan berdamai dengan ibu dari puterinya itu, setelah selama ini mereka selalu bersitegang setiap kali bertemu.     

***     

Claire membalut kepalanya dengan handuk kecil dan berjalan keluar dari kamar mandi. Dia melihat George berbaring di sofa dengan Clementin di atas perutnya. Keduanya terpejam dengan tangan George memeluk puterinya. Claire masuk kedalam kamar dan mengambilkan selimut untuk menyelimuti keduanya.     

George membuka matanya saat Claire menyelimutinya, "Aku tidak benar-benar tidur." Ujar George.     

"Kalau begitu biarkan aku membaringkan Clementine di ranjang." Ujar Claire.     

George mengangkat satu tangannya dan meraih tangan Claire, menariknya lembut dan membaut wanita itu duduk di sisi sofa, menatap ke arahnya.     

"Aku ingin bicara." Ujar George.     

Claire menghela nafas dalam. "Aku sudah meminta ibumu memintakan tandatangan di surat perceraian kita." Katanya.     

"Aku sudah menandatanganinya." jawab George, tapi Claire tampak terkejut mendengarnya.     

"Kau belum menerimanya?" Alis George bertaut.     

"Belum." Gelengnya.     

George meraih tangan Claire dan meremasnya lembut, "Apa kau benar-benar akan menandatangani dokumen itu?" Tanyanya. Claire menelan ludah, dia tampak tak bisa memberikan jawaban apapun untuk pertanyaan George itu.     

"Kau menginginkan perceraian itu." Ujar Claire. "Aku akan menandatanganinya begitu dokumen itu sampai di tanganku." Jawabnya, dia tampak berusaha menahan semua perasaannya hingga wajahnya terlihat begitu sendu.     

Geroge menatap Clelemtine. "Aku bersalah pada kalian." Ujarnya, dan itu membuat Claire menatap George dengan mata berkaca. "Aku yang membuatmu mencurigaiku, aku yang salah karena tidak terbuka padamu untuk semuanya." George menatap wanita yang kini masih menjadi isterinya itu.     

Air mata Claire berlinangan. "Maafkan aku." George meminta dengan tulus. Tapi Claire tidak menjawab, dia hanya menutup wajahnya dengan kedua tangannya dan menangis dalam diamnya. Tubuh kurusnya terguncang-guncang menahan emosi yang mendalam yang dia rasakan.     

***     

Clementine tertidur dalam damai setelah seharian dia memprotes pertengkaran orang tuanya juga rencana perceraian mereka. Saat ini Claire berbaring di ranjang mengadap ke box bayi tempat Clementin tertidur dengan pulas, dan George berbaring di sebelahnya, memeluknya.     

"Apa kau berpikir hubungan ini masih bisa diperbaiki?" Tanya Claire.     

"Ya." Angguk George. "Aku yang rusak, aku akan memperbaiki diriku sampai aku layak untuk kalian." Ujar George. Claire menautkan bibirnya, matanya kembali berkaca.     

"Aku juga harus berusaha percaya padamu lagi, setelah semua krisis kepercayaan yang kualami." Gumamnya.     

"Take it slow." George mengecup pundak isterinya itu, setidaknya Claire masih menjadi isterinya selama dokumen itu tidak pernah ditandatangani oleh pihak lainnya. "Kita bisa memulai ini dari awal." George meyakinkan Claire.     

"Tapi bisakah aku meminta satu hal?" Tanyanya.     

"Apa?" Claire menautkan alisnya, meski mereka tak saling bersitatap saat ini, karena George berbaring di belakang Claire yang memunggunginya.     

"Pulanglah kerumah." Bisik George. "Aku tidak bisa melihatmu mengurus semuanya sendir seperti ini." Gumamnya. Mata Claire kembali berkaca setiap kali merasakan betapa dia masih mencintai suaminya itu, dan betapa dia juga merasakan bahwa suaminya mencintainya.     

"Aku akan memikirkannya." Claire bukan wanita yang mudah dibujuk, meski dia sangat ingin kembali ke rumah itu mengingat puterinya begitu mencintai ayahnya. Juga semua fasilitas yang ada di rumah itu yang sangat dibutuhkan oleh Clementine. Bahkan AC di apartment kecil ini rusak dan sering terasa panas hingga Clementine harus menangis karena gerah yang dia rasakan.     

"Maaf, tapi aku harus bertanya tentang posisiku padamu." Claire berbalik dan menatap George yang berbaring di hadapannya.     

"Katakan." Ujar George.     

"Apa kau masih menemuinya?" Siapa lagi yang dimaksud oleh Claire jika itu bukan Emanuella Dimitry.     

George menghela nafas dalam, "Dia memintaku untuk datang, tapi aku tidak datang." Jawabnya. "Aku memilih kalian." Imbuhnya.     

Claire menlan ludah, dia menatap George. "Apa kau masih mencintainya?" Tanyanya lagi, dan pertanyaan itu membuat George terdiam sejenak.     

"Aku peduli padanya dan nasib yang dia alami." George menjawab. "Tapi aku salah karena melepaskan hal yang paling berharga bagiku, kalian berdua." Imbuhnya.     

"Apa kalian masih akan bertemu dibelakangku?" Claire benar-benar membutuhkan kepastian verbal dari suaminya itu.     

"Tidak, tanpa ijinmu." Ujar George. "Tapi aku tahu bahwa ibuku sudah membuangnya sangat jauh." Gumam George.     

"Mommy?" Alis Claire berkerut.     

"Dia melakukan apa yang dia anggap benar, dan selalu sepreti itu. Tapi kali ini, aku benar-benar berhutang pada mommy karena dia menyelamatkan pernikahanku." George tersenyum sekilas.     

Claire terdiam beberapa saat, kemudian tersenyum, "Aku juga." Jawabnya.     

George menghela nafas dalam, dia menyentuh wajah Claire dan berkata "Kau begitu kurus." Gumamnya.     

"Ya." Claire menautkan bibirnya. George beringsut untuk memeluk Claire dan mengecup kening wanita itu. Claire memejamkan mata menikmati pelukan suaminya yang begitu dia rindukan selama sebulan terakhir.     

"I love you." Bisik George.     

"Me too." jawab Claire.     

Terkadang dalam rumah tangga, kejadian yang menyebabkan hubungan suami isteri seolah berdiri di depan jurang justru akan mempererat mereka saat mereka menyadari kesalahan masing-masing dan berusaha memperbaikinya. Beberapa memang memutuskan jalan pintas untuk berpisah, karena memperbaiki sesuatu yang rusak jelas tidak mudah. Tapi berpisah juga sebenarnya bukan pilihan terbaik selama tidak ada kekerasan dalam bentuk fisik maupun psikis yang benar-benar terjadi dan menyakiti pihak lainnya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.