THE RICHMAN

The Richman - Go Grandma!



The Richman - Go Grandma!

0George masih berada di kantornya, dia melihat ke arah ponselnya, pesan dari Emanuella Dimitry siang tadi. Undangan yang begitu menggoda, setelah bertahun-tahun berlalu, ini kali pertama Emanuella mengundangnya dengan sangat menggoda seperti ini. Namun hati kecil George masih bimbang apakah dia akan datang atau tidak? Apakah ini hal yang benar-benar dia inginkan atau tidak sebenarnya.     

George meninggalkan ruangan kerjanya dan berniat untuk datang ke apartment Ella, memenuhi undangan wanita itu. Dia berhenti ditengah jalan untuk membelikan bunga untuk Ella. Saat George tengah memilih bunga, tiba-tiba seorang pria tua datang dan memesan buket bunga mawar.     

"Hei Mr. Milano." Sapa sang pemilik florist.     

"Hei Margareth." Sapa pria tua itu. "Hari ini isteriku berulangtahun, buatkan karangan bunga yang indah untuknya." Ujarnya.     

George menatap pria tua itu sekilas, dan bersabar menunggu sampai dia dilayani karena Margerth memintanya menunggu sambil memilih-milih bunga yang dia inginkan.     

"Ok, bunga paling indah untuk isteri paling cantik di dunia." Margareth si wanita berambut pirang dengan senyum manis itu menunjukan rangkaian bunga spesial untuk Mr. Milano.     

"Kau ingin aku menulis sesuatu untuk isterimu?" Tanya Margareth.     

"Tentu." Mr. Milano tersenyum sembari mengagumi bunga mawar itu. Matanya berkaca, dan George menatap semua itu di hadapannya. "Isteriku Rossy, aku berhutang enam puluh tujuh tahun, empat bulan, dan dua belas hari padamu sejak kita bertemu." Mr. Milano mendikte Margareth, dan wanita itu menulis di sebuah kartu ucapan untuknya.     

"Kau merelakan semua waktumu itu untuk mencintaiku meski dulu aku sering mengabaikanmu. Kau membesarkan anak-anak dengan cinta yang besar meski aku tak bisa memberikan kehidupan yang layak untukmu saat itu. Dan sampai detik ini kau tetap setia pada pria tua ini. Selamat ulang tahun belahan jiwaku, maafkan aku." Itu yang dikatakan Mr. Milano dan selesai menulis surat itu, Margareth menitikkan air mata.     

"Maaf, aku benar-benar terharu menulis kalimat indah ini. Rossy pasti menyukainya." Margareth menyelipkan kartu ucapan itu di entah karangan bunga yang di pegang Mr. Milano. Pria tua itu membawa bunganya dan berjalan menyusuri jalanan sembari menenteng hadiah lain di tangannya.     

"Maaf harus menunggu." Margareth mengalihkan perhatiannya pada George.     

"Tidak masalah." Geleng George.     

"Anda ingin mengirim bunga untuk isteri anda juga?" wanita itu tersenyum lebar.     

"Tidak." Geleng George.     

"Oh, maaf anda pasti belum menikah." Margareth mengkoreksi kalimatnya, meski dia melirik ke arah cincin di jari manis George yang masih dia kenakan hingga saat ini.     

"Aku ingin memberikan ini untuk temanku." George mengambil bunga lily dan memberikannya pada Margareth, "Tolong bungkus." Ujarnya kikuk.     

"Anda ingin aku membuatkan kartu ucapan?" Tanya Margareth sopan.     

"No." Geleng George. Setelah buket bunganya jadi, George membayar dan meninggalkan tempat itu. Ingatannya terus terganggu dengan Mr. Milano, si pria tua yang masih bisa tetap bersama dengan isterinya selama enam puluh tahun. Rasanya seperti ditampar keras. Dan itu membuat George memilih untuk menepi di sebuah coffee shop dan duduk untuk menyesap espresso panas, mungkin dengan begitu dia bisa menjernihkan pikirannya.     

George baru saja duduk dan memesan espresso, tak begitu banyak orang yang berada di tempat itu. Hanya ada George, beberapa orang yang tampaknya teman kerja duduk di satu meja dan tiga orang lainnya di meja lain.     

Tiba-tiba si pria di meja besar itu berdiri dan membuat pengumuman. "Aku dan tunanganku akan segera menikah." Ujarnya dan mendapat sambutan hangat dari semua orang yang ada, George bahkan ikut bertepuk tangan meski hanya tiga tepukan, itupun dengan enggan.     

"Jadi semua minuman kalian, aku yang akan membayarnya." Imbuh pria itu dengan wajah penuh kebahagiaan, dia bahkan mengakhiri pidatonya dengan ciuman mesra bersama tunangan yang akan dinikahinya disambut dengan tepuk tangan sekali lagi, beberapa orang bahkan berteriak "Congratulation". Menyaksikan semua itu membuat bayangan wajah Claire terbayang di hadapannya, disusul dengan bayangan tangisan pertama Clementine saat baru saja keluar dari rahim ibunya. George menghela nafas dalam, dadanya menjadi sesak. Rahangnya mengeras sekilas, dan saat tida membuka ponselnya, layar utamanya tak lagi foto Claire, melainkan foto bayi mungilnya yang manis.     

Mata George berkaca mengenang bagaimana proses kelahiran Clementine yang begitu menyiksa Claire. Dia harus diinduksi dan menunggu proses hingga obat itu bereaksi dan untuk melahirkan Clementine, Claire harus menejan berulang kali dan semua proses itu dilihat langusng oleh George, dia takjub sekaligus haru melihat perjuangan isterinya itu. Dan kini perasaan-perasaan semacam itu menghantuinya seperit sebuah rasa bersalah besar pada isteri dan anaknya atas apa yang menjadi keputusanya.     

George bangkit dari tempat duduknya dan segera keluar dari kedai kopi setelah membayarnya. Tampaknya sesuatu yang besar mengganggu pikiran George, dia terlihat segera menghubungi ibunya, berkali-kali namun Adrianna menolaknya. Dia bahkan mematikan ponselnya dan tidak membiarkan George menjangkaunya.     

***     

Sementara itu di apartmentnya Ella tengah duduk memandang keluar jendela. Sudah beberapa minggu terakhir setelah dia kembali ke New York, dia terkurung di apartment itu. Apartment yang bahkan dipinjamkan George untuknya sementara waktu. Jika dia keluar, maka dia akan jadi bahan pemberitaan dan cibiran orang-orang karena tuduhan yang sangat mengerikan yang dilontarkan oleh kerajaan padanya. Masadepannya hancur lebur sekarang ini, dan satu-satunya batu yang bisa membuatnya berpijak hingga tak tenggelam adalah George.     

Kabar perceraian George sebenarnya justru menjadi kabar baik baginya. Ella yang sudah diperlakukan tak lagi seperti layaknya manusia, kini dia benar-benar kehilangan hatinya. Dia bahkan berniat untuk menikahi George agar mendapatkan status sosialnya kembali dan dia tidak perlu menghadapi masadepan yang sulit karena George bisa memberikan segala yang dia butuhkan. Tak peduli pada perasaannya lagi, Ella sudah mati rasa. Yang ada dalam benaknya saat ini, dia tak ingin menjadi janda tanpa anak dan berakhir menjadi glandangan. Dia tak akan bisa tinggal lama di Amerika setelah dia bukan lagi warga negara Amerika. Namun menikahi George akan menjadi jalan keluar untuknya dari semua masalah itu.     

Ditengah pikirannya yang berkecamuk tiba-tiba pintu apartment terbuka, dan Ella berlari untuk menyongsong orang yang datang yang dia pikir adalah George, masadepannya. Namun langkahnya terhenti dan ekspresinya berubah seketika saat melihat yang berada di ruang tamu apartment itu adalah Adrianna Anthony.     

Wajah Ella menjadi tegang saat melihat ibu George itu, meski belum pernah bertemu secara langsung, tapi dia pernah melihat wanita itu dalam foto keluarga yang ada di sosial media milik George, beberapa tahun lalu saat mereka masih sama-sama duduk di bangku kuliah.     

"Jangan terkejut, ini adalah apartment puteraku, aku tahu sandi untuk masuk kedalamnya." Ujar Adrianna dengan wajah anggun namun mengintimidasi.     

"Silahkan duduk." Adrianna menatap Ella dan wanita yang bahkan sudah mengenakan gaun malam itu duduk di hadapan Adrianna.     

Adrianna meletakkan tasnya dan menatap Ella sekali lagi, "Aku juga pernah merasakan menjadi janda saat mendiang suamiku yang paling kucintai meninggal dunia." Adrianna membuka suara. "Aku tahu betapa buruknya menjadi sendiri, dan aku juga yakin betul kau tahu apa yang kumaksudkan setelah kau resmi menyandang status itu, ditambah kau tak lagi memiliki gelar bangsawanmu." Adrianna tersenyum, dia menghela nafas dan merasa benar-benar diatas angin menghadapi Emanuella Dimitry, musuh terbesarnya yang harus dia kalahkan bagaimanapun caranya untuk melindungi menantu dan cucunya dari ular berbisa ini.     

"Aku tahu kau tak memiliki banyak yang tersisa, dan aku juga yakin betul bahwa kau tak mencintai puteraku seperti yang puteraku pikirkan tentangmu." Adrianna menekankan kalimat itu, dan Ella menatapnya dengan tatapan tidak terima.     

"Tapi jangan khawatir, aku tidak akan memberitahu puteraku tentang itu. Tentang kau yang dengan segala kelicikanmu ingin memanfaatkannya untuk mendapatkan kehidupan yang mungkin tidak sehebat saat kau menjadi ratu, tapi cukup baik untuk membuatmu tetap mendapatkan fasilitas mewah yang selama ini terbiasa kau kenakan." Ujar Adrianna lagi, dia benar-benar menyerang dengan membabi buta.     

Bagaimanapun dia harus memenangkan pertarungan ini, demi si mungil Clementine yang baru saja resmi mengganti namanya, menanggalkan nama Emanuella di bagian depannya. Karena sejujurnya berkas yang ditandatangani oleh George diselipkan berkas persetujuan penggantian nama untuk bayi mungil itu. Dan berkas percerian itu tak pernah sampai ke tangan Claire, Adrianna masih menyimpannya hingga saat ini.     

Dokumen persetujuan ganti nama yang sudah ditandtagnani oleh George sampai lebih duku ke pengacaranya Oliver Hawkins, yang langsung dikirimkan Adrianna langsung padanya tanpa memberitahu Claire.     

"Anda memandangku terlalu rendah nyonya." Ella berusaha melawan.     

Adrianna tersenyum, "No." Gelengnya. "Aku sangat prihatin padamu, dan aku juga tidak setuju karena kau dijadikan korban oleh keluarga royalmu karena kau juga tak disukai oleh ibu mertuamu di keluarga itu, bahkan sejak awal." Adrianna tersenyum sekali lagi.     

"Kaupun akan berakhir sama jika kau menjadi menantuku, aku tidak akan pernah bersikap baik pada orang yang merebut masadepan cucuku. Darah dari darahku dan daging dari dagingku, dia satu-satunya penerus keluarga kami, karena seperti yang kita tahu, bahwa kau tak bisa memberi puteraku keturunan." Adrianna bahkan sudah mencari tahu dengan sangat detail kelemahan-kelemahan Ella, hingga tak ada ruang untuknya bernafas lagi.     

"Tapi aku bukan wanita kejam yang menolakmu tanpa berniat membantu." Adrianna mengambil tasnya, "Aku bisa membantu dokumen kewarganegaraan dan juga sejumlah uang. Tapi aku ingin kau menghilang dari puteraku sekarang juga." Gumamnya sembari menyodorkan sejumlah uang dan dokumen perjanjian.     

"Aku tidak pernah mengenalmu, dan kita juga tak pernah bertemu. Tapi aku yakin ibumu membesarkanmu dengan sangat baik dan dia memiliki harapan bahwa puterinya akan tumbuh menjadi wanita yang tidak akan berbahagia di atas penderitaan wanita lainnya." Adrianna mengungkapkan semua itu, tidak ada kata ancaman meski isinya sarat dengan intimidasi.     

Ella menghela nafas dalam, tangannya gemetaran, berusaha meraih amplop itu dan membukanya. Dia melihat nominal yang cukup besar dalam amplop itu, setidaknya cukup untuk memulai kehidupannya di tempat yang jauh, damai, dan tidak terkontaminasi dengan pemberitaan yang membuat dadanya sesak hingga hampir meledak setiap hari.     

"Berapa lama dokumen kewarganegaraanku bisa jadi?" Tanya Sheina.     

"Dalam hitungan menit." Ujar Adrianna, dia memiliki kolega di banyak bidang, dan meskipun dia membenci menyelesaikan banyak hal dengan uang, tapi dalam keadaan mendesak, dia bisa melakukan apapun.     

"Ok." Ella memilih untuk tetap menjadi manusia dan bukannya monster. Karena setelah merebut George dari puteri dan isterinya, Ella tidak akan lagi layak di sebut sebagai wanita melainkan monster yang mengerikan.     

"Kemasi barangmu dan ikut aku." Adrianna menunggu dan lima belas menit kemudian Ella siap dengan koper besarnya. Mereka meninggalkan apartment itu dengan senyap. Adrianna berhasil menyelesaikan masalah besar yang menjadi ganjalan bagi masa depan cucunya itu dengan mudah.     

"Uang tak selamanya buruk." Gumamnya dalam hati begitu Ella berada di dalam mobil bersamanya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.