THE RICHMAN

The Richman - Paris



The Richman - Paris

0Paris memang selalu menjadi kota yang indah untuk dikunjungi, apalagi oleh pasangan. Romantisme yang kental, tempat-tempat yang indah untuk didatangi dan suasana yang seharusnya dinikmati bersama dengan pasangan. Begitu juga dengna pernikahan Emilia, dia dinikahi oleh seorang pria yang sebelumnya pernah menikah dan bercerai dengan isteri pertamanya. Dan kini dia menikah dengan Emilia dan menjadikannya gadis yang sangat beruntung. Semua orang menikmati romantisme acara pernikahan mereka mulai dari acara pemberkatan pernikahan hingga pestanya.     

Tampaknya Sheina adalah satu-satunya gadis yang datang tanpa pasangan ke tempat itu. Seorang pria bernama Carlo sempat mendekatinya, dia adalah pendamping mempelai laki-laki, teman kerja Dave, suami Emilia. Tapi yang dilakukan oleh Sheina hanyalah sekedar basabasi saja.     

"Boleh aku duduk?" Tanya Carlo yang mendekati Sheina dengan dua gelas minuman ditangannya.     

"Sure." Sheina tersenyum sekilas. Calro menyodorkan minuman di tangannya pada Sheina dan gadis muda dengan gaun berwarna magenta itu menerimanya dengan senyuman. "Thanks." Jawabnya.     

"Paris selalu jadi kota yang romantis." Ujar Carlo dan Sheina menjawabnya meski sejujurnya dia sudah jengah dengan perkenalan semacam ini. Bukannya tak berusaha untuk membuka diri, tapi Sheina tak menemukan ketertarikan lagi pada pria lainnya selama Marcus masih membayang-bayanginya.     

"Ya." Jawabnya singkat.     

"Kau datang sendiri?" Tanya Carlo dan Sheina mengangguk.     

Carlo tersenyum, "Nasib kita sama." Pria itu juga tersenyum.     

"Kau menginap di hotel ini?" Tanya Carlo.     

"No." Geleng Sheina. "Aku menginap di hotel lain." Sheina memang tak ingin terlalu terikat dengan banyak orang yang hampir semuanya tidak dia kenal kecuali Emilia sang pengantin perempuan. Selain itu, sisanya adalah teman-teman dan keluarga Emilia dan Dave.     

"Oh, aku juga tidak." Carlo selalu berusaha menemukan kesamaan antara dirinya dan Sheina. Berharap dengan begitu, Sheina akan lebih tertarik untuk membuat percakapan diantara mereka lebih hidup, tak sekedar percakapan basa basi seperti yang mereka lakukan saat ini.     

Bagaimana tidak, kecantikan Sheina sangat mencolok dibandingkan dengan gadis-gadis lain di acara itu. Bahkan kecantikan sang pengantin perempuanpun tak bisa menandiginya meskipun Sheina benar-benar efortless dalam memoles dirinya hari ini. Dia beusaha untuk tidak tampil mencolok dan mencuri spotlight dari Emilia si ratu sehari dalam pernikahannya.     

Tapi Carlo sedari tadi sudah mencuri pandang padanya dan Sheina menyadari itu. Bahkan sudah hampir pasti seusai acara pemberkatan, dan memasuki acara pesta, Carlo akan menghampirinya.     

"Dance with me." Carlo mengulurkan tangannya.     

"No." Tolak Sheina. "I can't dance." Bohongnya.     

"Please." Carlo meminta sekali lagi dan Sheina bersikukuh untuk menolak. "Sorry." Jawabnya. Penolakan yang cukup jelas sebenarnya hingga akhirnya Carlo mundur dan meninggalkan Sheina. Gadis itu mendekat ke arah Emilia dan membisikan sesuatu sebelum Sheina meninggalkan venue untuk kembali ke hotel tempat dia menginap.     

***     

Sheina masuk ke dalam kamarnya dan berebahkan diri di ranjang. Hatinya benar-benar kosong. Bahkan ketika Carlo mendekatinya, yang terbersit di benaknya adalah wajah Marcus. Mereka memiliki bentuk rahang yang hampir mirip, jambang di wajahnya, bahkan tone kulitnya yang mirip. Dan sangat menyiksa bagi Sheina untuk tetap berada di tempat itu sementara hati dan pikirannya merindukan pria lain di tempat lain.     

Sheina menyeret langkahnya untuk mengganti pakaiannya, dia berniat untuk pergi minum ke bar yang letaknya tak jauh dari hotel tempatnya menginap malam ini. Dia mengganti dressnya dengan celana jeans, tank top dan jaket kulit berwarna coklat. Rambutnya dia biarkan tergerai sementara dia mengganti high heels dengan pilihan sepatu boot yang membuatnya lebih casual.     

Sheina ragu-ragu memasuki area bar dan duduk di depan bartender. Pria itu menyapanya dengan ramah.     

"Bonjour Senorita."     

"Bonjour." Jawab Sheina. "Berikan aku satu gelas." Ujar Sheina.     

"Yang terbaik untukmu." Sang bartender mengeluarkan racikan khas bar itu, semacam margarita dan memberikannya pada Sheina. Sementara gadis itu masih ragu antara dia ingin mabuk atau hanya ingin duduk dan menikmati suasana yang berbeda dengan suasana yang bisa dia lewati dalam kesehariannya.     

"American?" Tanya sang bartender.     

"Yap." Angguk Sheina. "Aku menginap di hotel dekat sini." Jawab Sheina. Tiba-tiba di tengah lantai dansa terdengar kerusuhan dan teriakan histeris entah apa yang terjadi. Semua orang panik dan berhamburan. Sheina yang kebingungan memilih untuk diam saat semua itu terjadi dan semakin ricuh.     

Beberapa pria dengan setelan rapi segera mengamankan tempat kejadian itu dan memisahkan dua orang yang berkelahi. Sang baretender yang sempat terlihat panik segera menatap ke arah Sheina. "Kau baik-baik saja?" Tanyanya.     

"Ya." Angguk Sheina. Dia melihat seorang pria yang turun dari lantai dua dan menghampiri dua orang yang tadi sempat berkelahi. Dia dengan gayanya yang tenang segera meminta orang-orangnya untuk memanggil petugas medis dan membawa yang terluka ke rumahsakit.     

"Aku tidak ingin ada polisi." Ujar pria itu sembari berjalan meninggalkan kerumunan. Sheina menatap pria itu dengan mata membulat dan tubuh membeku, untuk beberapa saat dia bahkan tak ingat bernafas.     

"Who is he?" Tanya Sheina pada sang bartender begitu pria itu berjalan menaiki tangga lagi.     

"Dia pemilik klub." Ujar sang bartender.     

Sheina menghela nafas dalam. "Kau tahu siapa namanya?"     

"Marcus Durand." Jawabnya.     

Mata Sheina berkaca, dadanya naik turun, aliran darahnya berdesir dan dia segera mengeluarkan uang untuk membayar minumannya. Dia menyelinap diantara banyak orang yang asik menari, dan berjalan menuju tangga. Sang bartender sempat kebingungan dengan apa yang dilakukan Sheina, dia bahkan tak mengenal nama gadis aneh itu.     

Sheina melihat tangga naik dan sebuah pintu lift. Tidak ada penjaga di tempat itu, karena beberapa penjaga tengah sibuk mengurusi kerusuhan dibawah tadi. Sheina segera menekan tombol penthouse dan naik ke lift itu.     

Ting pintu terbuka dan dia melihat sebuah penthouse mewah di atas club malam elite di kota itu. Seorang pria yang menyadari seseorang datang, menghampiri arah lift dan membeku setelah menatap siapa yang berdiri di hadapannya saat ini. Sheina juga membeku menatap pria itu, untuk beberapa saat mereka saling menatap dalam diam.     

"Hi." Sheina membuka suara pada akhirnya, sementara darahnya masih berdesir-desir dan seluruh dirinya bergemuruh, meneriakkan euforia yang besar untuk pertemuan tak disengaja ini.     

Rahang Marcus mengeras sekilas, "Bagiamana kau bisa menemukanku di sini?" Tanya Marcus.     

"Aku melihatmu di bawah saat insiden tadi." Jawab Sheina. Dia berharap Marcus akan menariknya dalam pelukannya dan memberikan ciuman sarat dengan kerinduan tapi tidak sama sekali, mereka berdiri memberi jarak, seolah mereka benar-benar asing.     

"Kau tak ingin memberikan pelukan padaku?" Mata Sheina berkaca, dan Marcus hanya menatapnya dalam tanpa menjawab. Beberapa saat kemudian tangan Marcus sedikit bergerak, seolah membuka tapi tak cukup lebar, dan tanpa mempedulikan apapun, Sheina berjalan ke arah Marcus dan memeluk pria itu.     

"Sedang apa kau di Paris?" Tanya Marcus lirih, dia mendekap Sheina dan di dalam ruangan besar itu, yang terdengar hanyalah nafas mereka masing-masing. Air mata Sheina menetes, setelah sekian lama dia menyimpan ingatan tentang Marcus dalam dirinya dan tak pernah dia lupakan barang sedikitpun, kini dia bertemu dengan pria itu secara tidak sengaja di tempat yang tak pernah dia bayangkan sebelumnya.     

***     

Marcus dan Sheina duduk di meja bar, tempat koleksi minuman mahal milik Marcus dipajang rapih.     

"Jadi katakan padaku, bagaimana kau bisa berada di tempat ini?" Tanya Marcus sembari sibuk menyiapkan minuman untuk dirinya dan Shiena.     

"Sekretarisku menikah di tempat ini, dan aku datang untuk menjadi pendamping pengantin. Dia memintaku." Jujurnya.     

Marcus sibuk menyiapkan minuman sementara sesekali dia menatap Sheina yang asik menebar pandangan ke seluruh sisi ruangan. "Kau tak tinggal di Albalia lagi?" Tanya Sheina.     

"Sejak beberapa tahun lalu aku meninggalkan Albania." Ujarnya sembari menyodorkan segelas minuman pada Sheina.     

"Thanks." Sheina menerima gelas itu dan menyesap isinya. "Jadi kau meninggalkan semua bisnismu di Albania?" Alis Sheina berkerut. Marcus mengangkat alisnya, pertanda jawaan ya dan Sheina tersenyum untuk itu.     

Meski menjadi pemilik klub malam juga tidak jauh berbeda dengan bisnis sebelumnya mungkin, tapi setidaknya dia memiliki legalitas yang sah dan ini adalah bisnis yang menarik dan menjanjikan di kota-kota besar.     

"Kau tampak menikmati bisnis barumu." Puji Sheina.     

"Ini bukan bisnis baru bagiku. Aku sudah lama membuka tempat semacam ini di beberapa tempat, New York, Los Angels dan satu di Las Vegas. Ini yang terakhir kubuka setahun belakangan. " ujar Marcus.     

"Cool."Jawab Sheina. "Jadi mengapa kau memilih Paris dibandingkan Amerika?" Tanya Sheina lagi, dan Marcus tidak menjawab, dia justru balik bertanya pada gadis di hadapannya itu. "Bagaimana dengan dirimu?" Tanya Marcus.     

"Tidak ada yang menarik, dan tidak ada yang berubah." Jawab Sheina. Lima tahun tak bertemu ternyata merubah banyak hal. Meskipun bagi Sheina tak ada yang berubah barang sedikitpun, tapi tidak bagi Marcus tampaknya. Dia terlihat datar dan biasa saja, bahkan saat mereka berada di tempat itu berdua saja.     

Marcus tampak terkejut mendengar jawaban dari Sheina, meski dia mencoba mneyembunyikan katerkejutan itu dengan ekspresi datar. "Kau tak menikahi pria itu?" Tanya Marcus, dia masih mengingat kisah antara Sheina dan kepergiaanya ke Albania beberapa tahun lalu.     

"No." Geleng Sheina. "Dia sudah menikah dengan wanita lain dan tengah menunggu kelahiran anak mereka." jawab Sheina.     

"Mengapa kau tak menikahinya?" Alis Marcus berkerut.     

Sheina tersenyum. "Aku punya alasan untuk tidak melakukannya." Jawabnya.     

"Bagaimana denganmu, kau berkencan dengan sorang gadis?" Tanya Sheina. "Atau kau justru sudah menikah?" Imbuhnya.     

"Aku tidak berkencan." Marcus menatap Sheina.     

Dalam hati Sheina tersenyum, meski dia menyimpan senyumnya itu untuk dirinya sendiri dan hanya mengangguk, "Hidup ini sangat lucu." Gumamnya. "Aku tidak menyangka bertemu denganmu setelah lima tahun." Ujarnya dengan wajah bersemu merah, sementara tatapan Marcus lekat padanya.     

"Ya." Marcus segera mengalihkan pandangannya pada gelas di tangannya dan meneguk isinya, kemudian mengisi lagi gelasnya. Shiena tahu bahwa pria ini tengah berjuang untuk mengendalikan dirinya dan membentengi dirinya seperti yang selalu dia lakukan.     

"Mengapa kau tak pernah menerima panggilanku?" Tanya Sheina, dia mengenang dengan getir tahun pertama dia berjuang untuk melupakan Marcus, tapi tampaknya pria itu tak memiliki jawaban.     

"Sorry." Jawabnya singkat.     

Shiena mengangguk, dia tersenyum sekilas. "Terimakasih untuk minumannya." Dia turun dari kursi bar.     

"I'll go." Ujar Sheina sembari menatap Marcus. Dia melangkah menuju lift, sementara Marcus hanya mengamatinya pergi. Sesaat sebelum Sheina melangkahkan kakinya masuk ke lift, Marcus menarik tangannya hingga dia terpelanting dan berbalik menatap ke arah Marcus. Dengan deras dan penuh gairah yang tidak bisa lagi dia tahan, Marcus melumat bibir Sheina.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.