THE RICHMAN

The Richman - Leave



The Richman - Leave

0Menjelang tengah malam, Marcus mendekat ke arah ranjang dan memastikan Sheina sudah jatuh tertidur. Dia merapikan selimut gadis itu dan menatapnya untuk beberapa saat.     

Tangannya bergerak ragu untuk menyentuh wajah Sehina. Dalam hatinya pemberontakan tengah terjadi, gemuruh keinginan untuk memiliki Sheina terdengar keras, menghentak-hentak seluruh relung hatinya. Tapi diluar, tubuh dan wajah kakunya menghalangi suara itu terdengar hingga keluar dirinya. Dengan sekuat tenaganya, Marcus menahan diri untuk tidak terlihat begitu mengingkan Sheina agar gadis itu bisa pergi darinya dengan mudah. Meski hubungan mereka berakhir dengan rasa kecewa atau benci di hati Sheina, itu akan lebih mudah bagi Marcus dibandingkan harus mengatasi keinginan si gadis keras kepala untuk tinggal di sisinya dan itu jelas membahayakan nyawa gadis yang mencuri hatinya sejak pertama dilihatnya itu.     

Marcus mengurungkan niatnya untuk menyentuh wajah Sheina, dia menarik kembali tangannya dan berniat untuk meninggalkan ranjang, tapi dengan sigap tangan Sheina meraih tangannya dan itu membuat Marcus terkejut. Mata mereka bertemu, tepat saat Sheina membuka matanya.     

"Kau belum tidur?" Marcus terlihat celingukan, "Aku hanya memastikan selimutmu . . ." Dia tak menemukna kalimat yang tepat untuk menggambarkan apa yang baru saja dia lakukan atau setidaknya berniat dia lakukan.     

Sheina tak menyawab, dia hanya meletakkan tangan Marcus di dadanya dan itu membuat rahang Marcus mengeras. Dia berniat menarik tangannya tapi Sheina menolaknya, dia mencengkeram tangan Marcus dan memastikan tangan pria itu tak beranjak kemanapun.     

"It's not your fault." Bisik Sheina. Dia membuka dua kancing piyama tidur dan menyisipkan tangan Marcus di baliknya. Marcus menemukan bekas sayatan yang terjahit dan masih tertutup dengan kasa tipis di sana.     

Marcus menatap Sheina dengan tatapan dalam, kemudian dengan tangannya yang sudah dilepaskan oleh Sheina, Marcus menyibakkan kemeja gadis itu lebih terbuka dan melihat bekas luka itu dengan tatapan kelam.     

"Berhenti menyalahkan dirimu sendiri, ini bukan salahmu." Sheina mengusap lengan Marcus yang ditumbuhi bulu-bulu tipis nan lembut.     

"What do you want?" Tanya Marcus dengan suara berat.     

"I want you, here." Jawab Sheina, "Lay by my side." Jawab Sheina. Marcus mengancingkan kembali dua kancing piyama tidur yang dikenakan Sheina itu sebelum bangkit dari tempatnya duduk dan memutari ranjang. Lalu dari sisi lainnya dia merangkak naik dan berbaring di sisi Sheina.     

"Kapan kau akan memulangkanku?" Tanya Sheina.     

"Besok." Jawab Marcus.     

"Kau yakin tak ingin menahanku lebih lama?" Tanya Sheina, dia beringsut, memiringkan tubuhnya dan dengan percaya diri melilitkan lengannya di perut Marcus yang penuh otot. Marcus memberikan tangannya sebagai sandaran kepala Sheina, dan satu tangannya yang bebas mengusap-usap lengan Sheina yang melilit perutnya dengan lembut.     

"Apa kau akan merindukanku setelah aku pulang ke negaraku?" Tanya Sheina sembari mendongak menatap Marcus, tapi pria itu tak membalas tatapannya, dia hanya menjawab singkat. "No." jawabnya. Meski begitu tangannya terus mengusap lembut lengan Sheina.     

"Really?" Gadis itu masih tak menyerah.     

"Sure." Imbuh Marcus.     

"Kau tahu aku tidak menyesal karena Liz menembakku, dan aku tidak menyalahkanmu untuk itu. Tapi aku berpikir jika peluru ini tidak melukaiku, mungkin liburanku akan lebih menyenangkan." Senyum Sheina.     

"Kemana kau akan membawaku setelah mini cruise dengan boat milikmu yang super mewah itu?" Tanya Sheina.     

"No plan." Bohong Marcus. Meskipun sejujurnya dia sudah menyiapkan beberapa rencana untuk menghabsikan beberapa hari bersama dengan Sheina seperti mengunjungi tempat-tempat menarik di kota itu, atau bahkan melancong ke negara lainnya dengan jet pribadinya.     

"Kau tidak menyukaiku, hah?" Sheina menatap Marcus dan pria itu menjawab. "No." hampir tanpa jeda setelah pertanyaan Sheina. "You're not my type." Jawab Marcus.     

"Kau juga bukan tipeku." Sahut Sheina.     

"Baguslah." Marcus menghela nafas dalam. "Bisakah kau berjanji padaku?" Tanya Marcus kemudian.     

"Janji apa?" Sheina menatap Marcus bingung.     

"Kau harus hidup bahagia, kurangi sifat keras kepalamu dan jangan terluka lagi setelah ini." Marcus menatap ke arah Sheina.     

"Kebahagiaanku bukan urusanmu, lagi pula setelah aku kembali, kita akan menjadi orang asing, kau akan melupakanku, begitu juga aku."     

"Ya." Jawab Marcus. "Kita akan menjadi orang asing setelah ini."     

Sheina menghela nafas dalam, "Baiklah, kita buat kesepakatan." Ujarnya.     

"I hate that." Jawab Marcus.     

Tanpa mempedulikan opini Marcus, Sheina tetap mengatakan apa yang ingin dia katakan, "Aku akan menjaga diriku, dan kau juga harus menjaga dirimu. Aku berjanji tidak akan terluka, kau juga harus begitu."     

"Deal." Jawab Marcus cepat.     

Sheina menatap Marcus, "Jika aku bahagia dengan kehidupanku di sana, apa kau juga akan bahagia di sini?" Alis Sheina bertaut menuntut jawaban.     

"Mungkin." Marcus bahkan tak mengerti dengan jelas apa definisi kebahagiaan itu sendiri. Dia tak pernah hidup untuk mengejar kebahagiaannya, dia juga tak pernah menikmati apa yang namanya bahagia. Hari-harinya dia jalani sebagai sebuah tanggung jawab yang harus dia emban setelah ayahnya meletakkan tanggung jawab itu di atas pundaknya. Bakan sekak dia masih sangat kecil dan tak tahu apa-apa tentang bisnis yang di jalani ayahnya itu.     

"Begitu sulitnya bagimu untuk bahagia, dan aku tahu itu." Sheina melilitkan tangannya semakin kuat. "Setidaknya berusahalah memikirkan dirimu sendiri, lakukan apa yang benar-benar kau sukai." Imbuhnya.     

"Akan ku coba." Jawab Marcus.     

"Jangan menculik gadis lain selain aku." Sheina mendongak menatap pria itu. Dan sekilas Marcus tersenyum.     

"Kau tampak begitu mempesona saat tersenyum, tapi kau memilih menyembunyikan semua itu dibalik wajah masammu." Gerutu Sehina.     

"Aku tidak suka tersenyum." Jawab Marcus.     

"Kau akan banyak tersenyum jika kita menghabiskan banyak waktu bersama. "Sheina berusaha merayu.     

"No way." Tolak Marcus. "Kau akan kembali ke New York sesuai jadwal, besok pagi kau akan terbang."     

"Kau tak mengantarku?" Alis Sheina berkerut menuntut jawab dan Marcus menjawab singkat. "No."     

"Mengapa kau sangat kejam Marcus?" Gerutu Sehina, "Aku sangat kesal padamu." Imbuhnya dan itu membuat seluas senyum singkat menghiasi wajah Marcus lagi. "Tidurlah." Gumamnya.     

"Ok." Sheina tak beraharpa banyak karena bekas luka di tubuhnya yang masih terlalu nyeri. Meski pengalaman bercinta dengan pria asing di negara asing tentu akan sangat menyenangkan, tapi Sehina mempertimbangkan dari faktor kesehatannya dan itu tidak mungkin terjadi.     

Malam semakin larut, Sheina Anthony tidur di pelukan Marcus, begitu juga pria itu, meski sempat bertahan tak memejamkan mata, pada akhirnya dia mengantuk dan jatuh tertidur sembari memeluk Sehina di posisi itu hingga pagi.     

***     

Marcus saat ini tengah menyarungkan tangannya di saku celana sembari menikmati pemandangan senja. Wajahnya terlihat tenang meski sejujurnya dalam hatinya tengah berkecamuk, perasaannya pada Sheina bukan sesuatu yang bisa dia pungkiri lagi. Bagaimana tidak, dia bahkan tega menembak kepala Karim demi apa yang terjadi pada orang-orang yang di cintainya termasuk Sheina.     

Marcus melirik ke arah arlojinya, rahangnya mengeras saat menyakukan kembali tangannya. Seorang pria menghampirinya.     

"Dia sudah pergi Sir." Ujar pria itu.     

"Ok." Jawab Marcus singkat. Dia tampak menghla nafas berat kemudian melempar pandangannya menerawang jauh. Sang pengawal meninggalkannya.     

***     

Sheina duduk di bangku pesawat, first class dengan kaca mata hitam membingkai mata sembabnya.     

"Sudah saatnya kau bangun dari mimpi indahmu, liburan selesai dan kini saatnya kau kembali ke kehidupanmu." Itu yang dia gumamkan sebelum pesawat tinggal landas.     

"Bye Albania." Gumamnya dalam hati sebelum memutuskan untuk memejamkan matanya dan tidur sepanjang penerbangan. Akan lebih mudah melupakan segala sesuatu saat kita jatuh tertidur, itu yang Sheina pikirkan.     

***     

Marcus turun ke lantasi satu vila itu dan bergegas menuju mobil yang terparkir di halaman. Dia kembali ke rumah megahnya. Sesampai di rumah itu, entah mengapa tempat pertama yang ingin dia tuju adalah kamar yang sempat di tempati Sheina selama dia berada di Albania.     

Marcus masuk dan melihat kamar itu sudah bersih, dia benar-benar pergi. Pria gagah itu mendadak terlihat rapuh saat memilih duduk di tepi ranjang, tangan besarnya mengusap selimut dan mencengkeramnya keras.     

Ada perasaan yang sulit dia ungkapkan, tentu saja tak mudah melepaskan apa yang sebenarnya ingin dia genggam untuk selama-lamanya, Sheina Anthony.     

Meski begitu, dia lebih rela melihat Sheina hidup dengan pria lain yang bisa memberikan kehidupan normal dari pada melihatnya berakhir seperti mendiang ibunya, tertembus peluru.     

***     

Kembali ke apartement tanpa ada yang menyambut kedatangannya. Dia tak memberi kabar pada siapapun bahwa dia kembali dari liburannya lebih cepat. Dengan gontai Sheina menyeret kopernya dan berusaha menemukan kunci apartmentnya.     

"Shit!" Umpatnya, dia tak menemukan kunci itu, hingga harus menghubungi petugas pengelola gedung untuk memberikan kunci duplikat.     

"Thanks." Ujarnya saat akhirnya pintu partment kecil itu bisa dibuka. Apartment tipe studio dengan bau pengap yang masih seberantakan seperti yang terakhir kali dia tinggalkan.     

Sheina membereskan satu persatu, memungut semua sampah dan membuangnya. Setelah itu dia menyalakan vacum cleaner butut miliknya untuk menyedot debu yang sudah begitu tebal. Mengganti sprei di kasur kecil miliknya dan membuka jendela kamarnya untuk pertama kali setelah tiga bulan apartment ini berada dalam kegelapan.     

Setelah membereskan semua kekacauan dan berhasil mengesampingkan rasa lelahnya, Sheina akhirnya bisa membersihkan dirinya. Berdiri di bawah shower, air California yang sudah lama tidak dia rasakan.     

"I miss you. Do you miss me too?" Saat meraba bekas lukanya, wajah Marcus terkenang jelas di kepalanya. Malam itu menjadi penyesalan terbesar dalam hidupnya, untuk pertama kali dia menanggalkan keras kepalanya dan memilih tidur sementara sebagian besar dari dirinya menginginkan Marcus malam itu.     

Sheina segera melilitkan handuk di tubuhnya begitu selesai membersihkan diri. Sheina menatap dirinya di cermin kecil yang berada di atas wastafel. Hatinya menjadi kecut kembali, tapi dia mencoba menepisnya.     

"Sudah sering dipecundangi oleh takdir, mengapa harus berkecil hati Sheina." Gumamya dalam hati, dia benar-benar ingin membuat dirinya merasa baik-baik saja meski itu sangat sulit.     

Setelah berpakaian, Sheina memilih menyeduh secangkir kopi hangat, duduk dengan kaki di tekuk di atas sofa sembari menyesap isi cangkir kopinya. Dia memegangi ponselnya sembari mempertimbangkan untuk menghubungi orang-orang terdekatnya, Ben atau Oliver, tapi tangannya tak lantas menyentuh layar ponselnya. Dia meletakkan kembali ponselnya di atas meja dan menyesap kopinya. Tampaknya beberapa hari kedepan, Sheina akan dengan nyaman berada di apartmentnya, memesan makanan cepat saji dan menikmatinya sembari membayangkan beberapa hari bersama Marcus.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.