THE RICHMAN

The Richman - The Last Night in Albania



The Richman - The Last Night in Albania

0Total sudah memakan waktu lebih dari satu minggu mulai tertembak, dilarikan kerumahsakit, menjalani operasi pengangkatan proyektil hingga pemulihan. Semestinya Sheina masih tinggal lebih lama tapi dia memaksa untuk keluar dari rumahsakit.     

"Mengapa kau berkeras untuk keluar dari rumahsakit?" Tanya Marcus begitu mereka masuk kedalam mobil. Sheina bahkan masih harus duduk di kursi roda karena kondisinya yang masih belum pulih betul.     

Gadis itu tersenyum, "Kau bilang kau bertanggungjawab atas apa yang terjadi padaku dan berjanji akan merawatku sampai sembuh bukan?" Tanyanya pada Marcus.     

"I do." Jawab Marcus.     

"Ok, kalau begitu berikan aku tempat tinggal sampai aku pulih." Ujar Sheina.     

"Tapi kau masih harus di rawat." Marcus berkeras.     

Sheina menghela nafas dalam, "Dalam kecelakaan parah itu aku harus berbaring di ranjang rumahsakit lebih dari tiga bulan dan itu menyiksaku. Mengingat aku harus menghabiskan waktu liburanku selama dua minggu di Albania dengan berbaring di ranjang rumahsakit, itu mengerikan." Ujarnya. "Take me home." Sheina memohon. "Your home, I mean." Dia mengkoreksi.     

Marcus menatap Sheina dalam sebelum akhirnya memerintahkan supirnya untuk menjalankan kendaraan dan membawa mereka pulang. Sepanjang perjalanan Marcus memegangi tangan Sheina dan memainkan jarinya di atas punggung ibujari Sheina yang ada di genggamannya, meski tak saling bicara. Sheina merasakan dirinya menyukai bahkan gestur paling sederhana seperti itu.     

Setibanya di rumah Marcus, supir membukakan pintu untuk Sheina dan Marcus keluar dari sisi pintu lainnya. Sheina tampaknya bersusah payah untuk menurunkan kakinya karena rasa nyeri di bekas tembakan itu.     

"Wait." Marcus berlari kecil memutari mobil lalu membuka pintu lebih lebar dan membopong Sheina dalam pelukannya. Sheina mengulas senyum sekilas saat matanya dan mata Marcus bertemu, sementara Marcus memilih membuang pandangan dan menatap lurus kedepan sembari membopong gadis itu. Postur tubuh tinggi tegap Marcus tampak tak merasakan beban berat saat membawa tubuh kurus Shiena dalam dekapannya sementara tangan gadis itu terkalung di lehernya. Sesampai dikamar yang ditempati gadis itu di dalam Rumah Marcus, dia menurunkan Sheina di ranjang dan membantunya berbaring.     

"Thank you." Sheina menatap Marcus.     

"Kau tak boleh banyak bergerak sampai kau benar-benar siap."     

"Aku harus berusaha, tinggal beberapa hari sebelum liburanku berakhir." Seloroh Sheina santai.     

Marcus menghela nafas dalam sebelum keluar dari kamar gadis itu dan membiarkan Sheina sendiri di dalam kamar. Tak berapa lama Hana datang dan menghampiri gadis itu dengan air mata bercucuran. Begitu mendengar kabar dari Marcus bahwa Sheina akan pulang hari itu, Hana tak sabar untuk bertemu dengannya.     

"Hana . . ." Mata Sheina berkaca saat wanita setengah baya itu memeluknya erat hingga Sheina harus menahan nyeri dari bekas lukanya.     

"Maafkan aku." Hana mengenggam erat tangan Sheina setelah melepaskan pelukannya, air matanya masih berderai. "Harusnya malam itu aku tidak pergi meninggalkanmu sendirian." Ujarnya. "Kakaku Sean memintaku datanga karena puterinya akan melahirkan, jadi aku datang. Tidak seharusnya aku meninggalkanmu." Terangnya.     

"It's ok, aku baik-baik saja dan aku masih hidup." Sheina menghapus jejak air mata di wajah Hana.     

"Aku tidak bisa tidur berhari-hari setelah mendengar kabar tentangmu. Aku merasa bersalah." Hana menatap Sheina dan meremas tangan gadis itu lembut.     

"Ini bukan salahmu." Sheina meyakinkan Hana untuk melepaskan rasa bersalah yang menggelayut di pundaknya itu.     

"Ini salahku." Hana tertunduk.     

"Marcus memarahimu?" Tanya Sheina.     

"Tidak." Gelengnya.     

"Good." Sheina menghela nafas dalam, dia masih tampak meringis setiap kali menghela nafas dalam, bagian dalam tubuhnya mungkin masih perlu proses pemulihan lebih lama.     

Hana mengusap wajahnya,"Beberapa hari ini dia terlihat berbeda." Ujar Hana.     

"Mengapa?" Tanya Sheina.     

"Beberapa orang diberhentikan dari pekerjaannya dan diberikan sejumlah uang, cukup besar untuk masing-masing dari mereka. Tuan Marcus juga berpesan agar mereka membuka usaha dengan uang itu, dan tidak mengambil pekerjaan yang sama seperti pekerjaan yang mereka lakukan sebelumnya untuk tuan Marcus." Terang Hana.     

Sheina mengulas senyum, "Berapa orang yang diberhentikan?" Tanyanya.     

"Beberapa orang dari pengawalnya." Jawab Hana. "Dia juga terlihat cukup aneh, beberapa orang sempat datang kerumah ini, rekan bisnisnya mungkin. Beberapa tampak datang dengan suasana kurang menyenangkan."     

"Benarkah?" Tanya Sheina.     

"Ya, Tuan Marcus banyak berubah. Aku jadi mencemaskannya." Wajah Hana terlihat benar-benar khawatir. "Oh ya, kau ingin makan malammu dibawa ke kamar?" Tanya Hana.     

"Tidak, aku sudah makan sebelum pulang." Jawabnya.     

"Baiklah, istirahatlah. Aku benar-benar berharap kau cepat pulih." Hana memeluk Sheina sekali lagi, kali ini dengan lebih lembut, sebelum meninggalkan Sheina di dalam kamarnya. Sheina masih tak bisa memejamkan matanya, di mencoba untuk menurunkan kakinya ke lantai dan berdiri perlahan. Awalnya cukup sulit dan menyakitkan, tapi Sheina terus melakukannya hingga dia bisa berdiri meski tangannya berpegangan pada dinding. Dia menyeret langkahnya perlahan ke arah pintu dan berhasil.     

Dadanya naik turun menahan nyeri dan dia berhenti beberapa saat untuk mengumpulkan tenaganya. Tangannya berusaha menggapai gagang pintu yang masih cukup jauh, terpaksa Sheina menyeret dua langkah lagi kedepan baru bisa menyentuh gagang pintu. Dia bersandar dengan posisi menyamping menempel ke daun pintu yang masih tertutup. Keringatnya bercucuran dan nafasnya memburu sementara bibirnya terlihat kering, tapi bukan Sheina jika tidak keras kepala. Dia menarik gagang pintu dan membuka pintu kemudian berjalan tertatih keluar menyusuri lorong di rumah itu.     

Biasanya pengawal bertebaran di dalam rumah, kali ini tidak ada satupun yang tampak, namun saat mobil yang membawa mereka pulang melewati pagar penjagaan, masih ada enam orang pengawal di depan dan sisanya di luar rumah. Tapi tak satupun yang di ijinkan masuk kedalam rumah tampaknya.     

Dengan susah payah Sheina mencapai pintu yang dia tuju, tangannya mengetul lirih.     

"Come in." Suara itu terdengar dari dalam kamar, Sheina mengigit bibirnya dan mengokreksi ekspresinya. Dia bahkan sempat mengusap peluhnya dan berusaha terlihat biasa saja saat memasuki ruangan itu.     

"Hai." Sapanya berusaha berdiri tegak seolah tak terjadi apa-apa pada dirinya. Marcus yang tadinya tampak duduk di sofa segera berdiri saat melihat Sheina terhuyung dan berpegangan pada dinding di dekatnya, wajahnya meringis menahan rasa sakit.     

"Apa yang kau lakukan?" Marcus segera menyambar tubuh Sheina dan membopongnya, lalu membaringkannya di ranjang miliknya. Ini kali pertama Sheina masuk ke kamar Marcus. Kamar itu bernuansa coklat tua dan hitam. Kamarnya begitu luas dengan sebuah tempat tidur besar yang berada di sana. Sebuah sofa di depan layar plasma besar dengan karpet tebal yang terlihat begitu lembut.     

Dinding kamar itu terdapat bagian yang terbuat dari kaca tebal yang memungkinkan si pemilik kamar melihat keluar kamarnya, yang menghadap ke kolam renang. Sementara di sisi lain ada bathtub di area lain kamar yang bersekat dinding kaca dengan tirai berwarna putih tulang menerawang.     

Di sisi dinding lainnya dari kamar mandi itu ditempeli dengan berbagai tanaman merambat yang menjulang tinggi karena atap dari kamar mandi itu terbuka ke atas dan di bagian atasnya juga terbuat dari kaca hingga cahaya matahari bisa menembus langsung ke bagian kamar mandi, dimana kolam Jaccuzi berbentuk oval juga terdapat didalamnya.     

"Mengapa kau memaksakan diri untuk berjalan jika kau belum bisa melakukannya?" Tanya Marcus.     

"Aku ingin bertanya sesuatu padamu." Ujar Shiena lirih.     

"Kita kembali kerumahsakit." Marcus berusaha memaksa gadis di hadapannya.     

"No." Tolak Sheina.     

Marcus menghela nafas dalam, "Mengapa kau begitu keras kepala?" Tanyanya.     

"Semua orang mengatakan seperti itu setelah mereka mengenalku, dan kurasa kau mulai mengenalku." Senyum Sheina untuk Marcus.     

"Apa yang ingin kau tanyakan?" Marcus menatap Sheina. "Sebelum itu, aku akan mengembalikan ini." Dia membuka laci kecil di sisi tempat tidurnya dan mengeluarkan ponsel Sheina. "Milikmu.     

Alis Sheina berkerut. "Kau mengembalikannya?" tanya Sheina bingung.     

"Ya." Jawab Marcus.     

"Kau tidak takut aku melaporkanmu pada polisi?" Tanya Sheina lagi.     

"No." Geleng Marcus, "Do as you wish." Jawabnya singkat.     

"Marcus, apa yang terjadi padamu?" Sheina meraih tangan pria itu dan meremasnya.     

"Nothing." Geleng Marcus cepat. "Aku hanya ingin kau cepat pulih, jadi kau bisa pergi dari sini secepatnya."     

"Kau mengusirku?" Alis Sheina berkerut.     

"Tempat ini tidak aman bagimu." Jawabnya dengan wajah muram.     

"Ada kau di sini." Sangkal Sheina, "Tempat paling aman bagiku adalah berada di dekatmu." candanya tapi Marcus tampak tak bisa menerima candaan itu.     

"Aku tidak bercanda." Marcus menatap Sheina.     

"Kalau begitu kau harus melindungiku." Sheina membalas tatapan pria itu.     

"Akan kulakukan dengan nyawaku."     

"Kita bisa meminta bantuan kepolisian jika kau merasa ada yang mengancam." Ujar Sheina.     

Marcus menggeleng, "Ini tidak semudah yang kau bayangkan." Jawabnya. Dia menatap Sheina dan menghela nafas dalam, "Aku akan mengatur kepulanganmu besok dengan jet pribadiku." Ungkap Marcus.     

"What?" Alis Seina berkerut. "Aku berencana menghabiskan sisa liburanku di tempat ini bersamamu Marcus, kita bisa berjalan-jalan ke tepat-tempat yang indah di Albania dan kau bisa menjadi pemandu wisataku." Sheina meyakinkan.     

Marcus menatap dalam pada Sheina," Aku bukan pria seperti yang kau pikirkan."     

"Aku tahu kau mafia dan kau bekerja dengan hal-hal yang bertolak belakang dengan profesiku, tapi aku tahu kau orang baik."     

Marcus berdiri dan berjalan ke dinding kaca, tatapannya menerawang jauh keluar. "Kau tak mengenalku."     

"Kita bersama selama beberapa hari terakhir, tentu saja sedikit banyak aku tahu tentangmu." Ujar Sheina.     

"Dan baru beberapa hari mengenalku, kau sudah hampir kehilangan nyawamu." Marcus menatap Sheina dengan tatapan kelam.     

"Itu bukan salahmu."     

"Itu karena aku hidup di dunia seperti itu, jangan bersikap bodoh dengan mengabaikan itu." Marcus mendekat kembali ke arah ranjang dan duduk di tepi ranjang.     

Sheina mengabaikan tatapan pria itu dan beringsut untuk berbaring, dia bahkan tak peduli dia berbaring di ranjang siapa malam ini. Marcus menghela nafas dalam, namun pada akhirnya dia menyelimuti tubuh Sheina dan membiarkan gadis itu tidur di kamarnya. Marcus berjalan ke arah sofa dan duduk di sana sama diamnya dengan Sheina yang berbaring di ranjang meski matanya belum terpejam.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.