THE RICHMAN

The Richman - What is the Reason?



The Richman - What is the Reason?

0"Setelah kau memutuskan untuk mati, bisakah kau tidak menyusahkanku?" Tanya Marcus sembari memeluk Sheina, saat ini mereka sudah berbaring di ranjang kamar, Sheina tanpa pakaian dan hanya terlilit selimut, sementara Marcus masih memiliki kemeja dan celana kering yang sempat dia lepaskan sebelum menceburkan diri ke dalam dinginnya air laut.     

"Jika menyesal menolongku, mengapa kau lakukan?" Sheina tampak masih tak bisa berdamai dengan pria yang menculiknya itu.     

"Kau adalah wanita pendendam, jika aku membiarkanmu mati begitu saja, mungkin seumur hidup kau akan menghantuiku." Ujar Marcus, meski mulut mereka saling menyerang, tapi Marcus tetap medekap erat Sheina dalam pelukannya, begitu juga Sheina, dia tampak nyaman berada dalam kehangatan dekapan Marcus. Dia merasakan jantungnya melonjak-lonjak saat berada di dekapan Marcus, darahnya berdesir keras, tapi hatinya begitu nyaman. Entah apa yang membedakan dekapan Marcus dan dekapan Oliver, tapi Sheina merasakan perbedaan itu. Sheina mendongak menatap pria itu, yang entah bagaimana ingin dia umpat sebagai penjahat sekaligus dia puja sebagai penyelamat.     

"Mengapa menatapku seperti itu?" Tanya Marcus, Sheina tak menjawab, dia beringsut mendekatkan wajahnya ke arah wajah Marcus dan mengecup pipinya. "Thank you." Ucapnya setelah dengan canggung menundukkan wajahnya.     

Bag singa yang baru saja di bangunkan dari tidur panjangnya, Marcus tampak tak bisa menerima ciuman cuma-cuma seperti itu. Dengan lembut kali ini, Marcus mengangkat wajah Sheina hingga mereka saling bertatapan. Perlahan Marcus mendekatkan bibirnya ke arah bibir Sheina dan gadis itu tak bergerak, pertanda dia bisa menerima ciuman dari Marcus.     

Dengan hangat dan begitu hati-hati Marcus mencicipi hangat dan lembutnya bibir Sheina. Gadis itu pun demikian, dia melupakan memegangi selimutnya seperit yang dia lakukan berjam-jam lalu, dan kini dengan kedua tangannya dia memengang tengkuk Marcus saat bibir pria tampan itu terus mendesak bibirnya untuk terbuka.     

Untuk urusan perempuan, Sheina bukan yang pertema baginya. Hampir setiap setiap saat Marcus menginginkan kepuasan hasrat seksual, selalu ada wanita yang siap melayaninya.     

Perlahan tapi pasti Marcus berhasil menguasai Sheina sepenuhnya, jemarinya yang semula menyentuh leher Sheina dan menyangganya kini turun hingga ke tulang selangka gadis itu. Dalam sekejap Sheina bertekuk lutut di bawah kendali Marcus, namun itu semua tak bertahan lama karena Sheina segera tersadar bahwa ini bukan perasaan yang bisa dia pelihara. Pria asing ini tidak akan mendapatkan dirinya semudah itu.     

"Sorry." Sheina menarik diri. "Aku sudah bertunangan." Bohongnya. Marcus cukup terkejut dengan apa yang dilakukan oleh Sheina, menarik diri di detik-detik terakhir.     

"Kau bahkan tak mengenakan cincinmu." Ujarnya sembari melepaskan pelukannya dari Sheina dan memberi jarak dengan gadis itu.     

Sheina tertunduk sekilas melihat ke arah tangannya. "Salah satu alasanku ke Albania adalah untuk menemukan ketenangan dan memastikan apa aku mencintainya, atau hanya sekedar berhutang budi." Ujar Sheina sembari mendekap selimut yang membelit tubuhnya.     

"Kau tak mencintainya." Marcus mengambil kesimpulannya sendiri.     

"Aku peduli padanya, dia pria yang menyelamatkan nyawaku." Ujar Sheina.     

"Aku juga melakukannya barusan." Marcus terlihat acuh, meski sejujurnya dia peduli.     

"Aku bekerja di kantornya selama ini." Sheina menatap ke langit-langit. Sebenarnya diluar dugaannya bahwa dia bisa bercerita seakrab ini dengan pria yang menculiknya tanpa alasan itu. "Awalnya dia sangat angkuh, menyebalkan dan selalu menganggapku remeh. Tapi semakin lama dia semakin peduli, dia melakukan banyak hal yang menunjukkan betapa dia peduli padaku." Terangnya, Marcus tak memberikan komentar meski dia mendengarkan.     

"Beberapa kali dia mengajakku tinggal bersama, dia bahkan melamarku." Sheina menoleh ke arah Marcus. "Bagaimana menurutmu, apa sebaiknya aku kembali padanya dan mengatakan bahwa aku mau menikah dengannya?" Tanya Sheina.     

"Aku tidak berkencan dan aku tidak peduli dengan perasaan semacam itu." Marcus beringsut turun dari ranjang dan melemparkan kemejanya pada Sheina, sementara dia membiarkan dirinya bertelanjang dada, keluar dari kamar itu.     

Sheina menatap kemeja itu, meski itu adalah kemeja yang sudah dipakai Marcus, tapi tidak ada pilihan lain selain memakainya. Sheina beringsut turun dari ranjang dan menyusul Marcus. Pria itu duduk di sofa yang berada di ruang kemudi.     

"Sudah larut, tidurlah." Ujar marcus, tanpa menoleh ke arah Sheina. Tapi gadis itu justru masuk ke dalam dan duduk di samping Marcus. "Aku tidak keberatan tidur di ranjang yang sama denganmu." Ujar Sheina sembari menatap Marcus. Pria itu cukup terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan Sheina padanya.     

"Apa lagi rencanamu?" Tanya Marcus dengan tatapan dingin.     

"Nothing." Geleng Sheina polos. "Aku tidak tahu alasanmu membawaku ke tempat ini, aku juga tidak tahu mengapa kau tak membebaskanku." Sheina mengatakannya sembari menatap dalam pada Marcus. "Tapi aku tahu diri, aku tidak akan melukai orang yang sudah menyelamatkanku, dan meminjamkan pakaiannya untukku sementara dia membiarkan dirinya telanjang." Imbuhnya lirih.     

Marcus mengalihkan pandangan ke sisi lain yang berlawanan dengan tempat Sheina berada, "Aku akan menyusul." Jawabnya singkat dan Sheina bangkit dari tempat duduknya kemudian berjalan kembali ke dalam kamar. Dia menarik selimut dan berusaha memejamkan mata. Tapi yang terbayang adalah kejadian beberapa waktu lalu saat Marcus berusaha menciumnya. Sheina merasakan kelembutan pria garang itu, sisi lain yang begitu kontras dengan ekspresi wajahnya yang selalu terlihat garang, dengan tatapan kelam dibalik ketampanannya yang mematikan.     

Sheina memengangi bibirnya dengan telunjuk dan mengusap-usapnya lembut, bayangan ciuman tadi kembali terlintas. Namun cepat-cepat Sheina memejamkan matanya karena dia mendengar pintu kamar terbuka dan sudah barang tentu Marcus yang masuk ke dalam kamar. Dia menutup kembali pintu kama, berjalan ke arah ranjang kemudian beranjak naik dan berbaring di sisi Sheina berbaring. Tubuh gadis itu memunggungi Marcus, sementara Marcus berbaring terlentang dengan satu tangan di tekuk di belakang kepalanya dengan tatapan ke langit-langit.     

"Kau sudah tidur?" Tanya Marcus dengan suara rendah. Sheina mempertimbangkan untuk menjawab atau tidak, tapi dia memilih diam pada akhrinya. Marcus menoleh ke arah Sheina kemduian beringsut memunggungi gadis itu dan memejamkan matanya. Baik Sheina maupun Marcus tampaknya tak ingin melanjutkan kesalahan yang sempat mereka awali tadi dan tidur adalah salah satu cara meredam hasrat dalam diri masing-masing.     

Menjelang pagi, Marcus terbangun, ternyata sedari tadi dia tak bisa tertidur sama sekali sementara Seheina sudah terlelap. Pria itu beringsut bangun dan duduk di tepi ranjang, dia menatap ke arah Sheina kemudian dalam batinnya dia berkata, "Aku tidak bisa mengatakan semuanya sekarang, tapi untuk beberapa waktu, disinilah tempatmu yang paling aman. Dalam pengawasanku." Gumam Marcus dalam hati. Dia meilih untuk keluar dari kamar dan meninggalkan Sheina di dalam kamar sendiri.     

***     

Sheina mengeliat malas dan menemukan tangannya tak menyentuh apapun di samping tempatnya berbaring sementara dia ingat betul bahwa Marcus berbaring di sampingnya semalam. Sheina membuka mata dan menjernihkan pandanganya. Dia beringsut dalam posisi terduduk dan melihat ke balik selimut.     

"Tidak ada yang terjadi." Dia meyakinkan dirinya sendiri bahwa Marcus tidak berbuat macam-macam saat dia sedang dalam kondisi tertidur pulas.     

Sheina terkesiap saat dirinya sedang memeriksa tubuhnya untuk memastikan tidak ada jejak Marcus di sana, dan tiba-tiba pria itu muncul dari balik pintu.     

"Apa yang kau lakukan?" Tanya Marcus saat mendapati Sheina mengintip dirinya sendiri di balik selimut.     

"Aku hanya memastikan kau tidak berbuat macam-macam padaku saat aku tidur." Jawabnya ketus.     

"Aku tidak serendah itu." Marcus melemparkan pakaian Sheina yang basah semalam setelah dia keringkan dengan kipas di ruangan kemudi sepanjang sisa malam.     

"Bagaimana bisa kering secepat itu?" Gumam Sheina.     

"Ganti pakaianmu dan kita akan kembali ke daratan." Ujar Marcus, dia meninggalkan kamar itu dan memberikan ruang untuk Sheina mengganti pakaiannya. Setelah kembali berpakaian dengan miliknya sendiri, dengan canggung Sheina mengembalikan kemeja milik Marcus.     

"Kemejamu." Sheina menyodorknannya dan Marcus mengambilnya kemudian segera memakainya. Sehina bahkan tak sempat mengucapkan terimakasih pada pria itu saat dia berlalu begitu saja ke ruang kemudi dan menyalakan kembali mesin kemudian membawa boat itu kembali ke dermaga.     

Dengan dibantu oleh Marcus, Sheina turun dari Boat sementara pengawal dan supir Marcus sudah bersiap dengan kendaraan yang akan membawa mereka kembali ke kastil megah milik Marcus.     

"Kapan kau akan membebaskanku?" Tanya Sheina sembari menatap Marcus.     

"Aku belum memikirkannya." Jawab Marcus.     

Sheina membuang pandangannya keluar jendela, "Katakan padaku apa yang kau inginkan sebenarnya?" Sheina kembali menatap Marcus, namun seperti biasa, pria itu tidak menjawab. Rahangnya yang mengeras sekilas sudah cukup membuat Sheina menyadari bahwa dia harus menutup mulutnya saat itu juga dan tidak menanyakan apapun. Seperti domba yang tidak mengembik saat dicukur, seperti itulah yang dilakukan Sheina saat ini. Sejauh Marcus tidak menyakitinya dan tidak merugikannya, tidak ada salahnya untuk menunggu sedikit lebih lama lagi sampai hati pria itu melunak.     

***     

Setiba di Gjirokaster, rumah Marcus, Sheina bergegas mandi dan mengganti pakaian kemudian berbaring di atas ranjang empuk di dalam kamar yang diberikan Marcus untuk dia tinggali. Jelas sekali bahwa ranjang itu lebih empuk dan lebih besar dari ranjang di penginapan Larry.     

Sheina mengigit bibirnya lembut, dia mengingat bagaimana Marcus menciumnya semalam dan rasanya masih teringat jelas di benak Sheina. Gadis itu menghela nafas dalam, "Anggap saja ini bonus dari liburanmu, Sheina Anthony." Gumamnya untuk dirinya sendiri.     

Mendadak pintu kamarnya di ketuk dan suara Hana yang terdengar diluar. Wanita itu masuk dengan nampan berisi makanan untuk Sheina.     

"Tuan Marcus memintaku mengantar makan siang untukmu, kau tidak sarapan sejak pagi katanya." Ujar Hana sembari meletakkan nampan itu di atas ranjang.     

"Kemana dia?" Tanya Sheina sembari mengambil gelas berisi juice dan menyesapnya.     

Hana mengangkat bahunya, "Hanya dia dan Tuhan yang tahu kemana dia pergi." Seloroh Hana meski tanpa ekspresi melucu.     

"Apa dia selalu menghilang seperti ini?" Tanya Sheina pada Hana yang tampak sedang membereskan kamarnya.     

"Ya, hampir selalu." Jawab Hana singkat.     

"Kau tahu apa pekerjaan bosmu?" Tanya Sheina polos dan Hana cepat-cepat membungkam mulut Sheina. "Jangan pernah bertanya soal itu pada siapapun di rumah ini." Ujar Hana.     

"Why?" Sheina berusaha membebaskan dirinya dan begitu dia berhasil, pertanyaan singkat namun butuh penjelasan itu terlontar.     

"Karena tidak ada yang akan menjawabmu." Hana melotot menatap Sheina. "Sebaiknya jangan banyak bertanya, simpan semua pertanyaan itu untuk dirimu sendiri." Gumam Hana kesal. Sheina menggelengkan kepalanya merasakan keanehan di rumah itu. Mengapa begitu banyak aturan, dan yang lebih buruk lagi, semua orang di rumah itu melarangnya untuk banyak bicara atau banyak bertanya, sementara yang Sheian butuhkan adalah penjelasan tentang siapa Marcus, mengapa dia menyekapnya dan dimana pria itu sekarang.     

Sheina menghela nafas dalam, "Jika kau tahu jawabannya, tolong jawab aku." Sheina menatap Hana dan wanita itu terlihat putus asa melarang gadis muda di hadapannya untuk tidak banyak bertanya.     

"Satu pertanyaan." Dia mengajukan syarat.     

Rasa penasaran Sheina menjadi, dan memang satu pertanyaan ini yang bersarang di kepalanya dan enggan pergi sejak semalam, lebih tepatnya sejak apa yang terjadi antara dirinya dan Marcus. "Apa dia sering membawa wanita ke rumahnya?"     

"Ya." Angguk Hana, dan seketika perasaan Sheina menicut.     

"Seberapa sering?" Tanya Sheina lebih jauh.     

"Cukup sering, hampir setiap hari." Jawab Hana.     

Sheina menautkan alisnya. Dia membantu Hana mengganti selimut di kamarnya, "Wanita yang sama atau tidak?"     

Hana menegakkan tubuhnya yang tidak terlalu tinggi itu. "Apa yang ingin kau tahu sebenarnya?" Tanya Hana, membuat Sheina celingukan. "Aku memberikan kesempatan kau bertanya satu pertanyaan dan lihatlah sekarang, kau bahkan sudah memberikan selusin pertanyaan padaku." Gumamnya.     

"Satu hal yang harus katu tau sebelum kau bertanya tentang semua itu, Tuan Marcus pria baik, itu yang kukatakan padamu sejak awal kau berada di sini hingga hari ini, dan akan tetap seperti itu. Kau cukup tahu satu hal itu saja." Hana membawa keranjang berisi semua selimut dan pakaian kotor milik Sheina.     

"Pria baik." Gumam Sheina pelan. Yang terbersit dalam ingatannya adalah pria yang rela melompat ke tengah laut untuk menyelamatkannya, meskipun itu karena kebodohannya sendiri.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.