THE RICHMAN

The Richman - First Night in Albania



The Richman - First Night in Albania

0Sheina masuk kedalam kamarnya setelah Drix membawanya pulang dan hari sudah mulai petang. Di dalam kamarnya Sheina mempertimbangkan untuk kabur dari penginapan itu atau tetap berada di sana. Ponselnya diambil oleh Drix agar memastikan Sheina tidak menghubungi siapapun. Dalam perjalanan pulangnya Drix menceritakan tentang siapa pria itu dan mengapa dia memiliki urusan dengannya. Dan cerita Drix bergaung di kepala Sheina hingga dia tak bisa lari dari tempat itu rasanya, mengingat apa yang mungkin terjadi pada orangtua Drix, si tua Larry yang malang.     

"Bagaimana kau bisa mengenal pria itu?" Tanya Sheina sebelum mereka tiba di penginapan. Awalnya Drix enggan menjawab, tapi toh pada akhirnya dia terbuka juga.     

"Enam tahun lalu aku hampir mati karena dipukuli oleh segerombolan anak jalanan. Awalnya kami berteman lalu aku tahu apa yang mereka lakukan dan aku tidak setuju dengan itu." Drix tidak menyebutkan dengan spesifik apa yang dilakukan oleh teman-temannya dan membuatnya tidak setuju tapi Sheina bisa mencium aroma "gelap" dari cerita Drix.     

"Dia menolongku dan melindungiku bahkan menganggapku sebagai saudara. Aku bertemu dengannya hampir setiap hari karena aku berhutang nyawa padanya. Dia juga membayar semua pengobatanku dan memberikan sejumlah uang untuk memperbaiki penginapan." Ujar Drix dengan tatapan kelam. "Penginapan itu satu-satunya tempat kami bergantung hidup. Ibuku terutama, dia menggantungkan hidupnya dari uang hasil bisnis penginapan kecil itu." Jujurnya.     

"Lalu mengapa kau sangat terikat padanya?" Tanya Sehina.     

Drix menoleh padanya, "Kau tak akan tahu rasanya, karena mungkin kau tak pernah berhutang nyawa pada seseorang." Jawab Drix. Seketika Sheina teringat pada Oliver, pria yang melompat menyelamatkannya hingga tertembak peluru dan hampir kehilangan nyawanya demi dirinya.     

"Aku pernah berhutang nyawa juga." Ujar Sheina lirih. "Pada pria yang mencintaiku dengan tulus, dan aku juga mencintainya. Tapi entah mengapa aku tidak menemukan keberanian untuk mengikatkan diri padanya." Jujur Sheina, matanya berkaca. "Kau tahu, itu adalah alasanku datang ke Albania. Tempat asing dan sendiri." Sheina menatap Drix dan pria itu menoleh sekilas padanya. "Aku berharap menemukan jawaban untuk perasaanku yang sebenarnya pada Oliver. Apakah aku benar-benar mencintainya atau aku hanya merasa berhutang nyawa padanya, ini penting bagiku." Imbuhnya.     

Rahang Drix mengeras sekilas, "Saat kau bertemu dengannya, jangan mengatakan apapun. Jangan menjawab pertanyaan dengan jawaban yang menimbulkan tanda tanya baru. Katakan ya atau tidak."     

Sheina menapat Drix, "Aku sudah beberapa kali berdiri diantara hidup dan mati Drix, ini bukan sesuatu yang mengejutkan bagiku." Jawab Sheina. "Katakan saja siapa mereka dan apa kemungkinan paling buruk yang bisa ku alami?"     

Drix menelan ludah, "They'll kill you."     

Sheina membeku. "Perfect." Sheina menggeleng tak percaya, lalu menjatuhkan tubuhnya ke sandaran kursi belakang. "Sekarang aku masih punya waktu untuk lari, mengapa kau tak membiarkanku lari?" Sheina menatap Drix.     

"Sorry." Dia mengungkapkannya dengan penuh sesal. "Mereka akan menjadikan ibuku sebagai gantinya jika aku membiarkanmu lari." Mata Drix berkaca. "Aku tidak bisa melihat ibuku menjadi korban kebodohanku."     

Sheina meremas wajahnya. "Dan kau memilihku untuk menjadi korban."     

"Kau akan baik-baik saja, katakana bahwa kau adalah pelancong, kau tidak melihat apapun dan kau akan segera kembali ke negaramu." Ujar Drix meyakinkan. Dia cukup panic saat mengungkapkan semua itu, dan itu membuat Sheina tersenyum, "Aku adalah seorang pengacara, aku tahu kapan seseorang berbohong dan aku mahir melakukan hal yang sama." Shiena menelan ludah.     

"Everything gonna be ok." Sheina meyakinkan dirinya sendiri, pembicaraan mereka berakhir tepat saat mereka tiba di penginapan. Sheina langsung naik ke kamar yang disewanya dan mandi. Setelah itu dia menunggu dengan cemas, apakah pria itu akan memperhitungkan apa yang dia lihat, atau melepaskannya begitu saja. Tatapannya jelas sekali di ingatan Sheina, dan sudah barang tentu tidak akan mudah melepaskan diri darinya.     

Tok tok     

Suara pintu diketuk itu membuat Sheina terlonjak dengan jantung berdetak kencang. "Siapa?" Tanyanya.     

"Ini aku Larry, aku sudah menyiapkan menu makan malam. Apakah anda tidak ingin bersantap malam ini nona?" Tanya Larry dari luar pintu.     

Sheina berjalan ke arah pintu dan membuka sedikit pintunya, menyembulkan kepalanya dari balik pintu. "Tidak, aku meminta Drix mengantarku berjalan-jalan, mungkin aku akan makan diluar. " Jawab Sheina, meski dia mengembangkan senyuman, namun wajahnya benar-benar pucat pasi. Rasa cemas yang dia rasakan melebihi rasa cemas ketika dia menghadapi sidang pertamanya.     

"Kau terlihat Pucat." Larry mendekatinya.     

Sheina memegangi pipinya. "Mungkin ini hanya soal riasan."     

Larry menatapnya beberapa saat. "Aku benar-benar berharap kau baik-baik saja."     

"Yah." Sheina mengangguk, wajahnya kian pucat saat Drix muncul di hadapannya.     

"Kau siap untuk pergi?" Tanya Drix, pria ini benar-benar dalam masalah besar, dia bahkan tak berani menatap ibunya.     

"Drix, akan ku jadikan kau remahan jika tidak menjaga tamu kita dengan baik." Seloroh ibunya dan Drix mengangguk canggung.     

"I'll be fine." Gumam Sheina.     

"Really." Larry masih tetap tak percaya bahwa Sheina baik-baik saja.     

"Ya, can I hook you for a moment?" Sheina menatap Larry.     

"Of course you can." Larry memberinya pelukan, "Enjoy the night, be safe."     

"Ya." Sheina tersenyum, kemduian sekilas telihat menghela nafas dalam sebelum melangkah keluar dari pondok milik Larry. Sheina terlihat sangat stress, bahkan debam pintu di tutup Drix membuatnya berhenti bernafas beberapa saat.     

"Drix, apakah kau yakin mereka tidak akan membunuhku?" Mendadak Sheina menjadi ketakutan.     

"Ya." Jawab Drix.     

"Jika mereka membunuhku, hubungi Ben ayahku dan kembalikan mayatku ke negaraku." Ujar Sheina dengan wajah pucat, dia bahkan meraih tangan Drix dan meremasnya memohon.     

"Katakan bahwa kau tidak melihat apapun dan tidak peduli tentang apapun di tempat ini. Kau akan kembali ke negaramu besok dan kau tidak mengenalku selain sebagai anak pemilik pondok tempatmu menginap." Ujar Drix memberikan petunjuk tentang apa yang harus dan tidak harus dia katakan.     

Sheina menoleh ke arah Drix. "Bisakah kau mengatakan yang sejujurnya Drix, kau berbohong pada ibumu tentang ini."     

"NO!" Bentak Drix kesal.     

"Kau tidak mengatakan apapun soal teman-temanmu yang berbahaya itu pada ibumu?"     

"Sheina jangan membuat situasi semakin sulit."     

"Oh Drix, kau benar-benar sempurna untuk menjadi pelengkap penderitaanku." Sheina membuang pandangan keluar, dia berusaha menghela nafas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan udara, dalam benaknya hanya satu hal yang terbersit saat ini, bagaimana jika dia tidak lagi bisa memasukkan udara ke paru-parunya. Dia bahkan sempat berpikir siapa saja yang akan menangis di pemakamannya nanti.     

***     

Mobil Drix memasuki sebuah kastil besar bergaya mediteranian dengan pagar yang di jaga oleh beberapa orang. Bahkan untuk menuju ke bangunan utama harus melewati beberapa lorong, beberapa bangunan dengan pemeriksaan lagi dan tibalah di sebuah bangunan utama yang tampak megah dengan dua lantai.     

Drix turun dari mobil lantas membukakan pintu untuk Sheina. Saat mereka berjalan bersama menuju pintu, empat orang menghampiri mereka, salah satunya wanita.     

"Ikut aku." Ujar si wanita berambut pirang dengan setelan hitam-hitam, seperti yang di kenakan hampir semua orang yang dilihat Sheina saat memasuki rumah super besar ini. Sheina menoleh dan melihat Drix diseret oleh tiga orang pria berbadan besar ke sisi lain bangunan.     

"Bisakah mereka tidak menyakiti Drix?" Tanya Sheina polos.     

"Dia akan baik-baik saja." Jawab sang wanita dengan timbre suara beratnya, mungkin dia dalah perokok berat.     

"Sir." Sang wanita membuka pintu dan terlihat seorang pria yang memandang keluar jendela besar di ruangan dengan konsep kayu yang membuatnya terkesan hangat. Pria itu berbalik, mengangkat tangannya dan si wanita tadi meninggalkan Sheina sendiri di ruangan itu bersama si pria yang menabraknya tadi.     

"Hi." Pria itu berjalan mendekati Sheina. "Silahkan duduk." Pintanya sopan.     

Sheina bergeming, "Aku tidak ingin duduk sebelum tahu keadaan Drix baik-baik saja."     

Si pria tersenyum. "Kau justru akan membuat keadaan si bodoh itu semakin menyedihkan jika kau keras kepala nona muda." Ujar pria itu.     

Sheina menelan ludah, dengan bergetar dia berjalan ke arah sofa dan duduk. "You want to kill me right? You don't even care that I have family waiting for me back to my home alive." Tanya Sheina dengan nada menantang.     

Si pria tersenyum lebar. "What are you talking about?" Dia menggeleng spontan setelah duduk berhadapan dengan Sheina.     

"Apa maumu? Mengapa kau mengancam Dirx untuk membawaku ketempat ini hanya setelah aku tidak sengaja bertemu denganmu di kastil itu? Aku bahkan tak melihat apapun dan tak peduli denganmu!" Ujar Sheina panjang lebar. Dia tidak bisa mengendalikan dirinya setelah bertemu dengan pria ini.     

Si pria menatap Sheina dalam. "Aku akan membuat pilihan, kau ingin keluar dari tempat ini atau Drix yang akan keluar?"     

"Bagaimana mungkin kau memintaku memilih seperti itu?!" Protes Sheina.     

"Kau bukan wanita yang bodoh, dan aku tahu betul itu. Jika aku membebaskanmu, mungkin kau yang akan membunuhku. Tapi jika Drix, dia akan tetap menjadi anak baik untuk ibunya yang sudah tua itu."     

Wajah Sheina memanas, dia tidak pernah menyangka bahwa hidupnya akan berakhir sedemikian menyedihkan, ditangan mafia kejam seperti pria yang berada di hadapannya itu.     

"Aku memberikanmu waktu setengah jam, aku akan kembali setelah menemui si bodoh itu." Sang pria tampan dengan tatapan mematikan itu meninggalkan Sheina begitu saja.     

"Let me go, please." Jika tidak bisa membujuk dengan cara kekerasan, mungkin dia harus memohon.     

"No way back."     

"Please." Mata Sheina berkaca. "Ayahku sudah sangat tua, dan aku punya anak dan suami yang menungguku di rumahku." Bohong Sheina.     

"I know who you are." Pria itu menatap Sheina dan dengan senyuman yang tak ingin dilihat oleh Sheina dia menatap wanita itu. Dia tetap keluar ruangan meski Sheina sempat merengek memohon hingga memegangi kakinya, tapi toh akhirnya pria berotot itu bisa melepaskan cengkeraman Sheina dan menguncinya di dalam ruangan.     

Sheina jatuh terduduk dan mulai terisak, andai dia mendengarkan Oliver, atau andai Oliver tahu dimana dia sekarang berada. Mengapa sikap keras kepalanya selalu berujung pada kesulitan yang harus dia tanggung sendiri?     

"Apakah ini mimpi?" Isaknya. "Jika ya, tolong bangunkan aku" Imbuhnya lagi. Sementara itu di tempat lain, Drix tenah di hajar oleh beberapa orang sampai sang bos menghampirinya.     

"Hentikan." Ujar pria itu dengan suara berat nan berwibawa.     

"Hei bocah, kupikir kau tidak sebodoh itu melibatkan orang lain, apalagi seorang pengacara dalam bisnis kita." Ujar si pria sambil menegakkan dagu Drix dengan pistol di tangannya.     

"Dia hanya wisatawan dan dia tidak melihat apapun, Sir." Jelas Drix.     

"Oh ya?" Pria itu tersenyum lebar. "I'll find out myself, don't dare telling me what I want to know myself." Pria itu berbicara dari sela-sela giginya yang terkatup.     

"Dia hanya tamu di penginapan ibuku, aku bisa menunjukan paspornya."     

"Ok, anggap saja aku percaya padamu kali ini." Pria tampan itu menyarungkan pistolnya, kemudian melipat tangannya di dada.     

"Jika aku memberimu pilihan untuk selamat, kau ingin menyelamatkan dirimu atau wanita itu?" Tanya si pria.     

Drix menyeringai, dia benar-benar tak berdaya di pegangi oleh dua pria, dengan wajah penuh lebam, bibir robek yang mulai berdarai Drix tampak menggeleng tak percaya.     

"Aku berjanji untuk menyelamatkannya." Ujar Drix memohon.     

Si pria tampan mengerucutkan bibirnya, Dia mengambil lagi pistolnya dan menempelkan ujung pistol di pelipis Drix. "Ucapkan selamat tinggal untuk ibumu kalau begitu."     

"NO!!!" Teriak Drix, tampaknya dia begitu takut akan kematian. "Tolong berikan kesempatan kedua padaku."     

"Jadi kau akan meninggalkan gadis itu di sini?"     

"Ya…"     

"Bawa semua barangnya kemari!"     

"Yes sir." Angguk Drix, si pria tampan mengangkat tangannya dan dua orang pria kekar yang memengangi Drix mendadak melepaskannya hingga membuat Drix jatuh ke tanah. Pria muda itu meraung-raung dalam tangisan keras, namun tak seorangpun peduli. Satu-satunya yang bisa dia lakukan saat ini adalah segera menaiki mobilnya dan meninggalkan tempat itu.     

***     

Di dalam ruangan Sheina sudah berhenti menangis. Pria tampan itu masuk lagi dengan ketukan sepatu yang beradu dengan lantai parkit, membuat bulu kuduk Sheina meremang.     

"Kau sudah memutuskan nona?" Tanya pria itu.     

"Ya." Angguk Sheina.     

"Sayangya Drix mengambil keputusan atasmu lebih dulu." Ujar si pria.     

Alis Sheina mengkerut. "Apa?" Dia tampak kebingungan. Saat mendengar deru mesin mobil, Sheina berlari ke arah dinding kaca yang menghadap keluar dan melihat mobil Drix berjalan keluar dari rumah megah itu.     

"DRIX!!!!" Teriak Sheina sembari memukul-mukul dinding kaca, bahkan menendangnya dengan keras namun tampaknya sia-sia, Drix bahkan tak mendengar suaranya.     

Si pria tampan menikmati pemandangan pemberontakan yang dilakukan gadis itu hingga dia mendadak lemas dan terjatuh ke lantai. Si pria tampan menggendongnya keluar dari ruangan besar itu dan memindahkannya ke sebuah kamar besar nan nyaman, lengkap dengan pengatur suhu ruangan dan juga ranjang besar nan nyaman. Sheina di selimuti dengan selimut yang lembut sementara si pria tampan duduk di single sofa menunggunya siuman.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.