THE RICHMAN

The Richman - Albania



The Richman - Albania

0"Albania." Mata Sheina berbinar begitu melihat keindahan negara itu dari mesin pencari Google. Tempat yang penuh dengan sejarah, jauh dari hiruk pikuk, dan yang menjadi pilihannya adalah Gjirokaster.     

Sheina menulis beberapa daftar tempat yang ingin dia kunjungi dan untuk menemukan referensi dia mencari satu persatu nama-nama negara itu dengan tujuan wisata paling menarik yang pernah diulas oleh wisatawan dan pilihannya jatuh pada Albania.     

"WHAT?!" Itu reaksi pertama saat Oliver mendapatkan kabar bahwa dirinya akan liburan ke Albania.     

"Kau bisa mengunjungi Paris, Inggis, Spanyol, Maldives, Bali, Thailand, Hongkong, LA, Sidney, Newzeland, bahkan ribuan tempat lainnya tapi mengapa Albania?"     

"I don't know, aku hanya ingin kesana." Jawab Sheina.     

Oliver menghela nafas dalam. "Ok. Berikan aku rencana jalan-jalanmu, jika kau tidak kembali dalam dua minggu aku akan mencarimu." Ancam Oliver.     

"Now way." Jawab Sheina. "Kau akan tetap di sini dan menungguku pulang." Jawabnya. Percakapan itu terjadi tepat setelah Sheina selesai mengepak barangnya dan berisap untuk terbang ke Albania esok hari.     

***     

Langit begitu cerah pagi ini saat Sheina berhasil menjejakkan kakinya di Gjirokaster, sebuah kota di Albania selatan yang berbatasan langsung dengan pegunungan. Sebuah kastil megah menjulang menempel di dinding bukit yang tinggi dan terkesan angkuh sekaligus menyimpan keindahan yang mistis.     

Sheina memilih menginap di salah satu guesshouse di kota itu. Larry sang pemilik begitu ramah meski dia adalah orang lokal. Seorang wanita berusia kurang lebih lima puluh tahun menyambut kedatangan Sheina dengan mobil tuanya yang dikendarai oleh Drix puteranya.     

"Selamat datang Mss. Anrhony." Sapa Larry ramah.     

"Terimakasih, penyambutan yang menyenangkan." Sheina tersenyum ramah setelah menerima minuman ringan.     

"Biar kutunjukan kamarmu." Larry membawa Sheina ke lantai dua rumahnya. Pemandangan perbukitan dan juga bangunan-banungan bergaya eropa kuno yang memanjakan mata terbentang indah dari jendela kamarnya.     

"40 USD permalam." Ujar Larry.     

"Deal." Sheina meletakkan tas rangselnya. Dia memutuskan untuk liburan dengan gaya backpacker, tanpa membawa banyak barang. Saran Sheryl untuknya benar-benar dia lakukan. Dan traveling sendiri tanpa membawa orang-orang yang dekat dengannya ternyata menyenangkan. Belajar hal yang baru, duduk bersebelahan dengan orang baru di dalam pesawat. Menikmati melakukan banyak hal tanpa harus mempertimbangkan perasaan orang-orang disekitarnya dan itu menyenangkan. Sheina yang selama ini benci kesendirian dan ditinggalkan menemukan bahwa ternyata menjadi "sendiri" itu tidak begitu buruk.     

"Mobil di depan bisa dipakai dengan biaya sewa 150 US Dollar sehari penuh, tapi jika kau ingin mengambil paket, untuk rencana menginapmu selama satu minggu, aku akan membuatnya jauh lebih murah, 450 US Dolla." Ujar Larry dengan mata berbinar.     

Penginapannya memang tak ramai, tapi selalu ada saja yang menginap. Minggu lalu seorang pria dari negeri antah berantah yang sangat misterius meningap selama tujuh hari di ruangan yang sekarang akan di tempati oleh Sheina. Pria itu membayar dengan harga sangat tinggi untuk kamar medium yang di tempati Sheina, sekitar 1000 US Dollar selama tujuh hari.     

"Ini lemari yang bisa di gunakan, tapi maaf, seseorang masih meninggalkan barangnya di tempat ini. Hanya sebuah tas, jadi kurasa kau tidak keberatan berbagi tempat dengan orang itu." Ujar Larry menjelaskan mengapa ada sebuah tas hitam kecil berbentuk persegi dengan gembok kecil yang membuatnya tak bisa di buka.     

"Oh ok." Angguk Sheina, lagi pula sebuah tas kecil tidak akan mengugurkan niatnya untuk menikmati liburan impiannya di Albania.     

"Puteraku Drix akan menjadi pemandu wisatamu selama di sini, dan itu kami berikan gratis. Dia juga akan mengemudi untukmu jika kau menginginkannya."     

Sheina tersenyum lebar. "Thanks Larry, itu sangat membantu. Terimakasih atas keramahanmu dan Drix."     

"Sama-sama sayang, semoga kau menikmati liburanmu di Albania."     

"Tentu."     

Senyum Sheina mengantar kepergian Larry dari dalam kamarnya. Sheina tak ingin membuang waktu. Setelah merapikan barangnya dia segera mengubungi Dirx dan memintanya mengantar berkeliling di tempat-tempat wisata yang dekat dengan penginapan yang ditempatinya selama di Gjirokaster.     

Sheina meminta Drix mengantarnya menuju bangunan tua terkenal di kota itu, Gjirokaster. Memang tampaknya biasa saja, hanya sebuah bangunan tua yang adalah sebuah benteng yang berada di lereng bukit. Beberapa wisatawan datang dalam rombongan, tampak tengah menikmati makan siang mereka. Beberapa datang dalam kelompok yang lebih kecil, sedang mengagumi arsitektur bangunan yang di bangun di abad ke 12, lebih tepatnya pada tahun 1812.     

Bangunan tua ini tampak biasa saja, namun bagi Sheina, di setiap lorongnya menyimpan misteri ratusan tahun lalu. Entah digunakan untuk apa dan siapa yang datang ke sini, yang di tahu, setiap lima tahun sekali akan diadakan festival cerita rakyat di benteng ini. Dalam festival lima tahunan itu, ada berbagai pertunjukan, mulai dari musik, tarian dan pakaian adat Albania.     

Memasuki lorong berikutnya, Sheina menghentikan langkahnya, dia menoleh kea rah Drix.     

"Aku tahu ibumu memaksamu mengangatku Drix." Sheina menatap Drix, dan pria muda itu terlihat kikuk. Sheina bahkan mendengar ibunya meneriakinnya agar segera bangun dan mengantar tamu yang tidak lain adalah dirinya sendiri.     

"Sorry." Sesal Drix.     

"Tidak masalah, aku akan berkeliling dan segera kembali. Kita bertemu di taman tempat rombongan tadi berkumpul satu jam dari sekarang." Sheina memberikan solusi untuk masalah mereka. Sheina tahu betul bahwa Drix mungkin sudah muak berkeliling tempat ini karena dia lakukan hampir setiap hari, sedangkan bagi Jo, dia tidak ingin hanya selintas masuk bangunan dan mendengarkan ocehan Drix, dia benar-benar ingin menikmati suasanya yang ada di dalam kastil dan melihat setiap kelok juga lorongnya.     

"Ok." Angguk Drix setuju.     

Sheina meninggalkan Drix dan mulai menyusuri lorong demi lorong, mengagumi bebatuan yang tersusun kokoh itu, entah dengan apa mereka merekatkannya pada jaman dahulu. Lima belas menit berputar-putar mengikuti lorong dengan membawa sebuah peta, membawa Sheina dalam ketenangan yang dalam. Dia benar-benar melupakan semua permasalahan hidupnya akhir-akhirn ini.     

Sesaat sebelum meninggalkan lorong dan berbelok, seseorang berpapasan dengan Sheina dan menabraknya hingga hampir terpental.     

"Ouwh..." Sheina bersandar pada dinding batu sementara sang pria tampak menoleh ke arahnya. Waktu membeku beberapa saat ketika tatapan mereka saling bertaut, terkunci. Pria dengan setelan rapi, berada di tempat wisata semacam benteng pada tengah hari, apa yang dia lakukan?     

"Anda baik-baik saja?" Kalimat pria itu seolah baru saja mencairkan waktu kembali.     

"Ya... I'm good." Sheina mengangguk.     

Sheina berusaha menyeimbangkan tubuhnya dan beridiri dengan canggung.     

"Itu, terjatuh dari saku anda." Sheina menunduk dan mengambilkan bungkusan hitam sebesar ponsel yang ternyata cukup berat.     

"Terimakasih." Pria itu meninggalkan Sheina setelah mengambil bungkusan hitam itu dari tangan wanita yang masih tampak terpesona oleh ketampanannya.     

Sheina tampak tak bisa menguasai rasa penasarannya hingga memutuskan untuk menguntit sang pria. Dia keluar dari tempat itu dan segera masuk ke dalam sebuah sedan hitam mengkilap dengan beberapa orang berpakaian rapi yang mengawalnya.     

Beberapa mobil juga tampak beriringan meninggalkan tempat itu.     

"Apa yang kau lakukan di sini?" Drix mendadak muncul entah dari mana, membuat Sheina terjingkat.     

"Oh…." Sheina memegangi dadanya.     

"Apa yang kau lihat?" Tanya Drix.     

"Tidak, aku hanya tidak sengaja bertabrakan dengan seseorang."     

"Seseorang?" Alis Drix mengkerut. "Apa yang kau lihat selain itu?"     

"Dia berpenampilan aneh." Jujur Sheina.     

"Apa kau melihat sesuatu selain itu?"     

Sheina menatap Drix penuh kecurigaan. "Kau tampak sedang meninterogasiku Drix?"     

"Tidak. Lupakan saja, Sebaiknya kita pergi dari sini, masih banyak tempat lain yang bisa kau kunjungi." Wajah Drix mendadak terlihat cemas.     

Sheina menghela nafas dalam. "Aku tidak tertarik lagi, mungkin kita bisa kembali besok." Geleng Sheina. Dia tampak khawatir menatap ekspresi Dirx sekilas.     

"Ok." Drix yang tak banyak bicara mendadak menjadi banyak bicara, dan itu menimbulkan tandatanya besar di benak Sheina. Mengapa pria itu berubah drastis.     

***     

Dalam perjalanan pulang saat sedang mengendarai mobil, Drix tampak menerima panggilan masuk dari seseorang yang membuatnya mendadak gusar.     

"Halo." Dia membuka suara setelah memperhatikan layar ponselnya, tampak mempertimbangkan apakah akan mmenerima atau tidak, tapi dia memutuskan untuk menerima panggilan itu pada akhirnya.     

"Yes Sir." Rahang Drix mengeras dan itu terjadi tepat saat Sheina menoleh ke arahnya.     

"Ya, dia tidak melihat apapun Sir."     

"Aku sangat yakin."     

Drix menoleh ke arah Sheina sekilas. "Akan ku bawa dia, dan anda bisa bertanya langsung padanya. " Drix menatap layar ponselnya setelah panggilan itu berakhir. Dia menarik nafas dalam.     

"Bosku ingin bertemu." Ujar Drix, tak berani menatap Sheina.     

"Bos apa?" Tanya Sheina.     

"Orang yang menabrakmu tadi."     

"Kau mengengalnya?" Tanya Sheina.     

"Ya." Angguk Drix singkat.     

Sheina mengerucutkan bibirnya sekilas. "Kau yakin kau baik-baik saja."     

"Ya jika kau mau ikut denganku malam ini." Drix menatap Sheina seolah memohon.     

"Drix, aku merasa ada yang tidak beres denganmu." Sheina meraih ponselnya dan berusaha membuat panggilan, tapi Drix menghalaunya hingga ponsel Sheina terjatuh. "Hei!" Bentak Sheina.     

"Berhenti bicara dan diam saja." Perintah Drix, ekspresinya semakin panic dan Sheina menggeleng. "Aku menolak ikut denganmu." Mendadak dia mengubah keputusannya. Drix membanting setirnya hingga menimbulkan decit nyaring dan mobil mereka menepi.     

"Jika kau menolak maka tamatlah riwayatku, mereka akan membunuhku dan ibuku." Ujar Drix dengan emosi yang tak tertahankan.     

Mata Sheina membulat. "Apa maksudmu Drix?"     

Drix menelan ludah. "Mereka bisa melakukan apapun, jadi tolong ikut aku dan jangan banyak bertanya. Aku akan memastikan kau selamat sampai kau meninggalkan tempat ini."     

"Siapa mereka dan apa hubunganmu dengan mereka? Dan mengapa kau membuat hari pertama liburanku menjadi kacau Drix?!" Alis Sheina berkerut.     

"Kau memilih tempat yang salah untuk menghabiskan liburanmu nona muda." Jawab Drix dengan tatapan kelam.     

"Katakan padaku apa yang terjadi." Sheina menaikkan nada bicaranya.     

Drix menelan ludah, "Long story, tapi satu hal yang harus kau tahu, mereka bukan orang sembarangan."     

"Kau berurusan dengan mafia Drix?" Alis Sheina bertaut dan Drix tidak menjawab, dia hanya membuang muka dan itu membuat Sheina menjatuhkan kepalanya ke sandaran kursi.     

"Sempurna…" Ujarnya pasrah. "Aku sedang dalam liburanku dengan harapan aku akan menemukan titik balik kehidupanku yang membosankan. Tapi aku tidak menyangka jika kau mempertemukanku dengan segerombolan orang yang tidak akan segan menghabisiku, bukan itu yang ku butuhkan." Sheina tersenyum ironis.     

"Apakah ini yang di sebut layanan wisata bunuh diri?" Dia tertawa hingga air mata berjatuhan dari matanya. Ini benar-benar sebuah ironi yang menyakitkan. "Aku lelah dengan hidupku dan banyak hal yang membuatku penat, tapi aku tidak ingin mati secepat ini." Air mata Sheina semakin berjatuhan. "Birakan aku melakukan panggilan terakhirku Drix." Sheina memohon.     

"No." Geleng Drix.     

"Setidaknya biarkan aku mengucapakan selamat tinggal untuk mereka."     

"Kau akan baik-baik saja. Kau hanya harus bertemu mereka dan mengatakan bahwa kau tak melihat apapun. Aku berjanji kau akan tetap hidup dan bisa kembali ke negaramu." Ujar Drix sebelum mobil kembali melaju dan mereka kembali ke penginapan.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.