THE RICHMAN

The Richman - Lil Jealous



The Richman - Lil Jealous

0Sheina sibuk dengan tumpukan berkas di mejanya sementara itu tiba-tiba semua orang menjadi tampak sibuk, entah apa yang terjadi tapi beberapa orang tampak melihat ke arah lift dan seseorang keluar dari sana, dengan beberapa orang datang bersamanya menuju ruangan Oliver.     

Tok Tok, Sheina mengetuk meja Diana dan bertanya pada salah satu staf di kantor itu yang sedang memfoto copy berkas di mesin fotocopy dekat ruangan Sheina.     

"Actress." jawabnya.     

"Who?" Tanya Sheina.     

"Zeyze Warnner." Ujarnya.     

Sheina menghela nafas dalam, "Aku bahkan belum pernah mendengar nama itu." Gumamnya.     

"Kau tinggal di German lebih dari lima tahun, wajar kau tak mengenalnya." Diana tersenyum pada Sheina. "Off the record, she is our boss's ex girlfriend. Dan dia meminta bos kita untuk menjadi pengacara perceraiannya dengan Bob Morgan." Diana menatap Sheina dan ekspresi Sheina berubah seketika.     

"Good luck then." Diana tersenyum dan meninggalkan Sheina dalam keterkejutannya. Oliver tak pernah menyebutkan siapa mantan kekasihnya, dan ternyata dia adalah salah satu aktris terkenal di New York, selain itu dia juga seorang fotomodel.     

"Perfect enemy." Gumam Sheina. Dia berjalan masuk kembali ke ruangannya dan kembali menyibukkan diri dengan pekerjaannya meski konsentrasinya terpecah belah setelah tahu siapa wanita dengan pakaian kelewat modis yang baru saja melintas itu.     

***     

Sesekali Sheina melirik ke arah arlojinya untuk memastikan sudah berapa jam wanita itu berada di ruangan bosnya yang adalah kekasihnya sementara bodyguardnya berdiri di luar ruangan menunggunya dengan sabar.     

"Satu jam. Apa yang mereka bicarakan sampai satu jam?" Sheina mulai terlihat gelisah. Namun yang bisa dia lakukan hanyalah menghela nafas dalam kemudian melanjutkan pekerjaannya. Beberapa waktu kemudian dia melirik lagi ke arah ponselnya dan tidak ada pesan singkat dari Oliver. Pria itu bahkan melewakan makan siangnya, dan janji makan siang bersama Sheina.     

Sheina bangkit dari tempat duduknya dan membawa tasnya keluar, dia sengaja makan siang sendiri kali ini tanpa menunggu Oliver. Tentu saja melupakan janji makan siang dengannya demi klien yang adalah mantan pacarnya sendiri tidak termaafkan bagi Sheina.     

Gadis itu menikmati sendiri makan siangnya meski sejujurnya tidak ada rasa nikmat sama sekali yang dia rasakan saat ini. Dia memesan secangkir kopi dan mufin coklat untuk memperbaiki moodnya tapi ternyata tak banyak berpengaruh. Akhirnya Sheina memutuskan untuk kembali ke kantornya.     

Dia baru saja keluar dari lift saat Oliver dan Zeyze masuk kedalam. "Sheina, kami baru aja akan makan siang, wanna joint?" Tanya Oliver.     

"No thank you." Jawab Shiena singkat.     

"Siapa dia, staff barumu?" Zeyze bertanya tepat sebelum lift tertutup. Wajah Sheina merah padam, dia benar-benar marah besar, tanduknya bahkan hampir keluar mendengar wanita itu menyebutnya dengan "staf baru".     

"Oliver menyembunyikanku darinya? Apa maksudnya?" Gerutu Sheina dalam hati. Dia segera mengambil beberapa berkas yang dia perlukan kemudian menemui kliennya di penjara untuk membahas kasusnya. Berada di kantor hanya akan membuat konsentrasinya pecah dan yang terpikirkan olehnya hanyalah soal Oliver dan wanita itu.     

***     

"Mia, bisa kau katakan mengapa kau membunuh pria itu?" Tanya Sheina begitu bertemu dengan wanita yang tampak sangat pendiam dan lugu itu.     

"Aku benar-benar tidak berniat melakukannya." Jawab Mia dengan suara bergetar. "Aku sangat mencintainya." Ujar Mia.     

Sheina menghela nafas dalam, jika membaca rincian kasus yang tengah dia tangani saat ini adalah tentang seorang wanita bernama Mia dituduh sebagai pembunuh dari pria bernama Roberto yang adalah kekasihnya sendiri selama tujuh tahun terakhir. Mereka bahkan tinggal bersama selama itu. Roberto bekerja sebagai bartender sementara Mia bekerja di sebuah salon kecantikan.     

Dari rincian kasus yang diterima Sheina di mejanya, berawal dari mantan kekasih Roberto bernama Lucy yang datang ke apartment yang mereka tempati bersama dengan keadaan sakit. Lucy mengatkaan bahwa dia berada dalam cancer stadium empat yang meski sudah selesai menjalani kemo tapi sel cancer dalam tubuhnya tak hilang, justru semakin menyebar.     

Mia menghela nafas dalam. "Saat itu Lucy datang dengan wajah pucat dan tubuh kurus, aku percaya begitu saja saat Roberto mengatakan bahwa dia sekarat dan butuh tempat tinggal." Jawab Mia.     

"Awalnya aku empati padanya, aku bahkan membantu merawatnya dengan membuatkannya makanan sebelum aku berangkat kerja. Roberto bekerja di malam hari, dan siang hari dia menjaga Lucy."     

Sheina memperhatikan ekpsresi Mia saat mengatakan semaunya. "Itu berjalan berbulan-bulan, tapi kondisi Lucy bukan semakin memburuk, dia malah terlihat baik-baik saja. Roberto dan Lucy juga sangat akrab, tidak peduli ada atau tidak ada aku." Ujarnya. "Sampai suatu saat aku datang ke rumahsakit dan menanyakan medical record Lucy pada salah satu temanku yang bekerja di sana, dai mengatakan bahwa tidak ada pasien bernama Lucy di sana." Imbuhnya sedih.     

"Medical record yang dia bawa kerapartment kami semuanya palsu, dia tidak pernah sakit sama sekali." Mia menutup wajahnya dengan tangan, dia menghela nafas kemudian melanjutkan kalimatnya. "Aku bekerja dari pagi sampai sore hari, dan hari itu aku sengaja pulang untuk makan siang." Terang Mia, "Aku mendapati mereka tengah bercinta di ranjang kami, di dalam apartmentku, di atas ranjang yang kubeli dengan uangku. Dan selama berbulan-bulan mungkin mereka menikmatinya setiap hari selama aku bekerja." Mia berkaca dan mulai menangis.     

Sheina teringat pada kejadian yang menimpanya dengan Oliver. Di saat Sheina sedang berjuang untuk menjawab ajakan Olvier tinggal bersama dengannya, wanita di masalalu Oliver muncul, dan kasus Mia menjadi sangat ironis jika dibandingkan dengan keadaan mereka saat ini.     

"Lalu apa yang terjadi?" Tanya Sheina.     

"Aku memergoki mereka dan terjadi pertengkaran di sana." Ujar Mia.     

"Kau memukul kekasihmu dengan vas keramik?" Tanya Sheina lagi.     

Mia menggeleng, "Lucy mendorongku dan kami saling menjambak, tapi Roberto melerai kami dan dia lebih membela Lucy daripada aku. Saat itu aku sangat marah dan mengambil apa yang dekat padaku dan melemparkannya, dan ternyata aku tidak sadar mengambil vas bunga sebesar itu dan melemparkannya. Roberto berusaha melindungi Lucy dan vas besar itu mengenai kepalanya hingga pecah dan dia terhuyung jatuh ke lantai." Terang Mia.     

"Kau berniat melempar vas itu pada Lucy?" Tanya Sheina lagi.     

"Tidak." Geleng Mia. "Aku hanya marah dan ingin melempar sesuatu, aku tidak pernah bisa mengungkapkan rasa marahku sebelumnya. Dan saat itu aku merasa sangat kecewa, frustasi dan merasa begitu sakit karena dihianati oleh orang yang paling kucintai dan kupercaya." Ujar Mia.     

"Aku mengerti posisimu." Shiena meraih tangan Mia dan meremasnya lembut. "Aku akan berusaha mendapatkan keadilan untukmu, Mia."     

"Thank you."     

Sheina menghela nafas dalam, "Kau pasti sangat terpukul dengan kejadian ini." Ujar Sheina.     

"Ya." Angguk Mia. "Beberapa waktu terakhir sebelum Lucy datang dan mengacaukan semuanya, aku dan Roberto sudah mulai membicarakan soal pernikahan dan memiliki anak." Mia tersenyum kecut, "Tapi sejak kedatangan Lucy, Roberto bahkan melupakan hari ulangtahunku. Bahkan hal-hal sederhana seperti janji makan siang bersama saat aku istirahat siang selalu terlewatkan, dan dia selalu punya alasan, dan bodohnya aku selalu percaya dengan alasannya." Mia tersenyum kecut sekali lagi, sementara Sheina terlihat semakin pucat.     

"Apapun yang terjadi, jangan pernah memberikan hatimu seratus peresen pada seorang pria. Jika kau berikan seluruh hatimu, saat dia menghancurkannya, nothing left, kau tak akan bisa bertahan karena tak ada yang tersisa sama sekali." Ujar Mia.     

Mia menghela nafas dalam, "Aku bertemu Roberto sebagai seorang pengangguran yang baru saja kehilangan pekerjaan, tak memiliki tempat tinggal dan sangat menyedihkan." Ujar Mia. "Aku mengajaknya pulang ke rumah setelah kami bertemu beberapa kali, dan aku mengenalkannya pada temanku yang juga seorang bartender sampai akhirnya dia mendapat pekerjaan di bar tempat temanku bekerja." Mia menatap Sheina.     

"Bodohnya aku, aku tak menyadari bahwa aku sudah memberikan semuanya pada pria itu, aku mencintainya dengan segenap hatiku, jiwa dan ragaku, dan saat dia mengancurkannya demi wanita lain, wanita yang bahkan tak pernah muncul saat dia dalam kesulitan, aku hancur berkeping-keping." Ujar Mia dengan linangan air mata. "Dan sekarang yang paling buruk dari semua itu, aku di dakwa dengan tuntutan pembunuhan berencana pada pria yang paling kucintai itu." Mia berbicara di engah isakanya.     

Sheina mengenggam tangan Sheina, dia tersenyum sekilas, tak tahu apa yang harus dia katakan. Karena jujur saja hingga saat ini, perasaan kecewa yang bercampur aduk itu juga tengah dia alami dan dia bakan tak tahu bagaimana cara mengatasinya, dan sekarang Mia bertanya, "Apa yang akan kau lakukan jika kau jadi aku?" Tanya Mia.     

Sheina menghela nafas dalam, "Aku bukan wanita yang romantis, dan aku juga bukan wanita yang mudah memaafkan, jadi jika kekasihku berbuat curang di hadapanku, atau di belakangku, aku akan meninggalkannya, no matter what."Jawabnya yakin, dengan mengingat semua kejadian hari ni tentangnya dan juga Olvier dimana Zeyze menjadi penganggu di antara mereka.     

Mia tertunduk, "Andai semuah itu."     

"Mia percayalah, kebenaran pasti terungkap. Dan aku yakin kau berada di pihak yang benar." Ujar Sheina meyakinkan.     

"Thank you." Mia memberikan Sheina pelukan singkat sebelum wanita itu meninggalkan rumah tahanan tempat dimana Mia ditahan.     

***     

Pembicaraan mereka berakhir dan Sheina memutuskan untuk kembali ke apartmentnya. Sebelum itu dia sempat mampir ke rumah Ben untuk makan malam. Setidaknya bermain bersama Clara dan Stef juga mengobrol dengan ibu barunya membuatnya sedikit teralihkan dari masalah pribadinya itu.     

Si kembar sudah tidur dan Sheina selesai membacakan dongeng untuk adik-adik tirinya yang usianya terpaut sangat jauh dengnya itu. Tapi dia senang melakukannya karena anak-anak itu mengemaaskan. Ben dan Ketty masih berada di ruang tengah dan Sheina menyusul.     

"Kau tidak menginap sayang?" Tanya Ben.     

"Em . . . mungkin weekend nanti dad, aku punya banyak pekerjaan." Jawabnya.     

"Mengapa harus memaksakan mampir jika hari ini kau banyak pekerjaan?" Tanya Ketty.     

"Aku meringukan kalian, dan si kembar yang lucu." Bohong Sheina.     

"Kami juga merindukanmu selalu." Jawab Ben.     

"Terimakasih makan malamnya, Ketty masakanmu sungguh enak."     

"Thank you." Ketty tersenyum.     

"Istirahatlah, aku akan pulang." Sheina mengambil tasnya, lalu memeluk Ketty dan ayahnya, Ben secara bergantian sebelum meninggalkan rumah itu. Dia berkendara menuju apartmenya dan sengaja belum menyalakan ponselnya sejak dia keluar dari rutan utuk bicara dengan kliennya sore tadi.     

Setibanya di apartment dia melihat Oliver berdiri di ambang pintunya.     

"Hi." sapa Oliver.     

"Hi." Jawab Shiena tak antusias.     

"Darimana saja kau?" Tanya Oliver.     

"Dari ruamh ayahku." Jawab Sheina singkat, dia bahkan tak segera membuka pintu apartmentnya, seolah tak ingin memberikan akses pada Oliver untuk masuk.     

"Aku sangat lelah, sebaiknya kita bicara besok." Ujar Sheina.     

"Aku sudah menunggu di tempat ini satu jam, dan ponselmu juga mati, kau masih memintaku datang lagi besok?" Protes Oliver. "Entah mengapa aku merasa kau menghindariku seharian ini." Imbuhnya.     

Sheina menghela nafas dalam, "Terserah padamu, aku sangat lelah untuk menjelaskan semuanya, atau bahkan mengatakan apapun. See you tomorrow." Sheina membuka kunci apartmentnya dan masuk kemudian menutup kembali pintunya tanpa memberikan akses apapun bagi Oliver.     

Dia teringat pesan Mia terakhir sebelum dia pergi, "Pria yang paling kita cintai sangat mungkin menjadi orang yang paling kejam yang akan menghancurkan kita." Ujarnya.     

Sheina menghela nafas dalam, pacaran memang bukan hal yang diminatinya sejak remaja. Bahkan saat di bangku kulaih, begitu banyak pria yang menawarkan romansa padanya tapi dia tak pernah meladeninya, sampai dia bertemu dengan Oliver Hawkins, pria dengan sejuta pesona yang tidak bisa ditolak lagi pesonanya. Dan semua pembawaan Olvier juga bagaimana cara mereka mengatasi setiap maslaah dalam hubungan mereka membuat Sheina begitu jatuh hati pada pria muda itu.     

Namun entah mengapa semua keyakinan yang selama ini seolah tak tergoyahkan, mendadak menjadi sangat tipis karena melihat masalalu Oliver berjalan di hadapannya. Tak hanya itu, respon Oliver selama berada di kantor berbeda dari biasanya, apalagi saat dihadapan wanita muda bernama Zeyze itu, Oliver bahkan memeprlakukan Sheian seperti orang lain dengan bersikap terlalu formal.     

Tok Tok     

Olvier masih berusaha menjelaskan semuanya, dia mengetuk pintu apartment Sheina tapi gadis muda itu memilih untuk masuk ke kamar dan menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang dan memejamkan mata. Hubungannya dengan Oliver sudah sering kali putus nyambung, tapi kali ini entah mengapa Sheina merasa akhirya tidak akan baik.     

Sheina menyalakan ponselnya dan panggilan dari Oliver segera masuk. Tapi Gadis itu enggan mengangkatnya, dia butuh banyak waktu untuk menenangkan dirinya sendiri setelah semuanya yang dia alami antara dirinya dan Oliver juga apa yang dia dengar dari Mia, klien yang kasusnya sedang dia tangani.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.