THE RICHMAN

The Richman - Second Son Coming Back



The Richman - Second Son Coming Back

0George baru saja keluar dari ruang meeting saat sekretarisnya menghampirinya dan mengatakan bahwa seseorang menunggu di ruangannya.     

"Sir, anda di tunggu seseorang di ruangan anda." ujar sang sekretaris.     

"Thanks Marry." George sempat berpikir bahwa itu adalah Gaspard, tapi toh uang si bodoh itu sudah tertransfer ke rekening perusahaan, tentu saja dia tidak perlu datang lagi. George berjalan masuk ke ruangannya dan seseorang yang sudah duduk di dalam ruangan berdiri beigitu dia masuk.     

"Uncle . . ."George menghambur memeluk pria itu.     

"Sorry karna aku tidak hadir di pemakaman ayahmu." sesalnya.     

"Bagaimana German?" Tanya George.     

"Sama saja." Jawab Ben. Pri aitu membeli sebuah perusahaan pengepakan dan produsen kertas packing di German dengan sekala kecil setelah Richard ayahnya meninggal dunia. Ben membawa serta puteri tunggalnya untuk kuliah di German, dan selama lima tahun mereka menetap di sana.     

"Bagaimana dengan Sheina?" George mengajak sang paman duduk di sofa untuk mendengarkan banyak cerita dari paman tampannya itu. Meski sudah cukup tua tapi Ben tetap terlihat tampan, bahkan bila disandingkan dengan George, ketampanan Ben sejujurnya lebih mematikan karena Ben syarat dengan pengalaman.     

Ben tersenyum, "Dia tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, dia juga cerdas dan dia baik seperti ibunya." Meski tak lahir dari rahim sang ibu, mendiang isteri Ben, tapi semua sifat Sheina mendekati mendiang ibunya.     

"Aku tidak sabar bertemu dengannya." George terlihat excited.     

"Ya tapi dia meminta waktu seminggu lagi sebelum kembali ke US. Setidaknya aku harus satle dulu di tempat ini sebelum dia menyusul." Ujar Ben.     

"Uncle, kau masih memiliki beberapa apartment dan juga rumah. Apa lagi yang kau butuhkan?" George tersenyum menatap pamannya. "Katakan padaku, aku akan melakukannya untuk uncle."     

Ben menghela nafas dalam, "Aku baru saja dari rumah dan sudah menghubungi temanku untuk merenovasi dan meredekorasi rumah yang sudah lama kami tinggalkan." Ujar Ben.     

"Jadi Uncle akan menetap di sini lagi?" Girangnya.     

Ben mengangguk, "Aku baru saja menjual perusahaanku di German dan kembali kemari untuk memulai bisnis baru."     

"Join us uncle." George menatap sang paman dengan tatapan dalam dan Ben terlihat mempertimbangkan.     

"Kau bisa melakukannya sendiri George." Ben menggeleng kemudian.     

George menghela nafas dalam. "Kakek Richard damn good CEO, begitu juga dengan ayahku. Mereka berdua mendekati sempurna dalam memimpin perusahaan, dan mereka berdua, entah mengapa meninggalkanku di saat aku benar-benar masih belajar menjalankan kapal sebesar ini." Jujur George. "I need you uncle." Pria muda itu mengakui bahwa pamannya adalah pria ketiga yang memiliki kemampuan setara dengan mendiang ayahnya dan juga kakeknya.     

Ben menghela nafas dalam, "Buatkan surat kerjasamanya dan bawakan aku laporan kinerja perusahaan selama tiga tahun terakhir." Ujar Ben. "In my house."Ben bangkit berdiri dan memeluk keponakannya itu lagi.     

"Kantor grandpa yang dipakai oleh daddy masih kosong. Aku akan langsung menyiapkan ruangan itu untukmu Uncle."     

"Do you really need me, smart, handsome, young man?"     

George tersenyum malu, "I do." Angguknya.     

"Deal. I'll help you, dengan semua sisa tenaga dari pria tua ini, aku akan membantumu, son." Ben menatap keponakannya itu.     

"Thank you uncle." George benar-benar senang hingga dia memeluk pamannya itu sekali lagi. Ben meninggalkan ruangan Goerge dan pulang kerumahnya. Tapi sebelum pulang kerumahnya, Ben menyempatkan diri untuk mampir ke rumah kakanya, Adrianna.     

***     

Tok Tok     

Ben menunggu dengan gelisah di pintu luar sembari memegang sebuket bunga, dan seorang wanita dengan rambut di kuncir yang sebagian sudah tampak berubah keluar dari rumah itu. Wanita itu membeku dengan menutupi bibirnya, matanya berkaca-kaca dan disusul dengan buliran-buliran air mata yang jatuh di pipinya.     

"Ben . . ." Bisiknya di sela isakan. Adrianna menghambur memeluk adiknya itu. "I lost my husband . . . " ucapnya di sela isakkan.     

"I'm sorry for Aldric, Sister." Ben mengusap punggung kakaknya itu.     

"I miss you so much." Adrianna meraih wajah adiknya itu dan menatapnya dalam. Ben mengusap air mata kakaknya itu dan tersenyum. "I miss you too." Bisiknya.     

"Masuklah, aku memasak." Adrianna mengajak Ben masuk dan Ben menydorokan bunga untuk kakaknya itu.     

"It's beautiful. Thank you." Adrianna menatap Ben dan tersenyum, sejurus kemudian dia mencium aroma bunganya. "Ayo masuk." Adrianna mendahului langkah dan membawa Ben ke dapur, disana tampak Ketty sedang memasak di depan kompor.     

"Ketty sayang, kenalkan ini Uncle Ben." Adrianna memanggil puteri angkatnya itu dan Ketty menoleh. Wanita muda itu mengenakan kaos dan hotpant juga celemek yang menutupi bagian depan tubuhnya. Dia menoleh dan menatap Ben, baik Ben maupun Ketty dua-duanya sempat saling menatap beberapa saat.     

"Catherine." Ketty memperkenalkan dirinya dan Ben menjabat uluran tangannya. "Ben." Jawabnya singkat.     

"So you date uncle Ben mom?" Ketty meledek dan Adrianna terkekeh, begitu juga dengan Ben.     

"He's my brother." Adrianna baru menjelaskan setelah dia bisa mengendalikan dirinya dari tawanya.     

"Oh, . . . sorry. Aku benar-benar tidak tahu." Catherine terlihat malu, wajahnya bersemu merah dan Ben menatapnya dalam kekaguman. Muda, cantik, dan menarik, bahkan deretan gigi-gigi Catherine dimana dua gigi depannya terlihat seperti gigi kelinci karena lebih panjang dari deretan giginya yang lain ditambah dengan lesung pipit membuatnya terlihat sempurna.     

"Ben, dia adalah adikku. Kami bersaudara." Adrianna mulai bicara setelah Catherine duduk bersama dengan mereka berdua dan bersiap untuk menikmati makanan yang dimasak oleh Catherine hari ini. Dia sengaja menyempatkan diri untuk cuti, dan setelah mengantar si kembar ke sekolah, dia memilih untuk rehat di rumah dan memasak. Salah satu hoby lainnya selain tentang fashoion adalah memasak.     

"Dan Catherine, dia adalah puteri angkatku." Adrianna menatap Catherine lalu memutar pandangan ke arah Ben.     

"Sejak kapan?" Ben terlihat bingung.     

"Long story." Adrianna mengangkat bahunya, "Sejak beberapa tahun lalu." Ujarnya singkat. "Ben memiliki puteri angkat, keponakanku, namanya Sheina dan kurasa dia baru saja menamatkan pendidikan advokatnya di German. Sementara dia betah menduda setelah adik iparku meninggal dunia lebih dari sepuluh tahun yang lalu." Adrianna benar-benar menjadi jembatan komunikasi bagi Ben dan Catherine, dua manusia yang terikat tidak sengaja sementara mereka tak saling mengenal.     

"Sejak Aldric meninggal dunia, Catherine pindah ke rumah ini karen George terlalu sibuk. Catherine dan dua puteri kembarnya menemaniku." Adrianna tersenyum, dia meraih tangan Catherine dan berkata, "Thank you dear."     

Catherine mengangguk, "Jadi sekarang uncle Ben akan tinggal di rumah ini, jadi kami bisa pindah." Catherine membuat kesimpulan dan ekspresi Ben langsung berubah.     

"No." Geleng Ben. "Terakhir kali aku tinggal bersama kakakku adalah saat kami masih remaja." Terangnya. "Aku punya rumah beberapa blok dari rumah ini dan sekarang sedang di renovasi, tapi sementara rumah itu belum bisa ditinggali aku tinggal di apartmentku untuk sementara waktu." George menjelaskan. "Terimakasih sudah hadir untuk menemani kakakku selama ini." Ben menatap Ketty dengan tulus dan entah mengapa wanita itu bersemu merah sembari membalas senyum Ben.     

"Your welcome sir." Jawbanya.     

Ben tersenyum, "Just Ben." Ujarnya.     

"Ok, aku akan menjemput cucu-cucuku dengan supir baruku yang dibayar oleh puteraku karena takut ibunya akan menabrak dan mencelakakan orang jika menyetir sendiri, sementara itu Ketty, kau bisa membantu Ben untuk melihat renovasi rumahnya. Kau tahu soal interior, kau bisa membantunya." Adrianna melihat ada kilatan ketertarikan diantara keduanya meski mungkin secara usia mereka terpaut sangat jauh. Tapi cinta tidak bicara soal angka bukan, jika memang Ben bisa membuat Ketty bahagia, sebaliknya Ketty bisa mengisi kekosongan hati Ben, mengapa tidak?     

"Mom, aku saja yang menjemput anak-anak." Tolak Ketty.     

Adrianna menoleh, "George seudah membayar mahal untuk supir, biarkan dia bekerja." Adrianna tersenyum dan meninggalkan keduanya di dapur untuk melanjutkan percakapan.     

Ben memulai lebih dulu, meski dia lama menduda bukan berarti sense of feelingnya hilang begitu saja. Dia tetap tampan dan mempesona di usianya yang sudah sangat matang ini, empat puluh lima tahun, tak terlalu tua tapi bukan usia muda lagi.     

"Jadi suamimu juga tinggal di rumah ini?" Tanya Ben, meski dari cara Adrianna mempresentasikan siapa Ketty, dia tak menyebutkan suaminya, tapi Ben ingin mencari tahu kepastian itu.     

"Kami bercerai setahun yang lalu." Ketty menjawab cepat. "Dia selingkuh dengan wanita yang lebih muda." Ujarnya.     

"Insane, kau masih sangat muda." Ben tersenyum.     

"Dua anak kembar membuatku terlihat tua mungkin." Seloroh Ketty dan Ben tertawa dibuatnya.     

"Kau bahagia sekarang?" Tanya Ben dan Ketty mendadak membeku mendengar pertanyaan itu. "Untuk anak-anakku, ya." Angguknya.     

"Untuk dirimu sendiri?" Ben mendesak.     

"I don't know, kurasa kebahagiaanku tak menjadi penting lagi sekarang." Ketty melipat tangannya di dada.     

"Justru salah." Ben menatap wanita itu. "Kau tidak bisa mengajarkan pada anak-anakmu apa yang kau sendiri tidak tahu dan tidak kau yakini." Ben melanjutkan dan Ketty tertarik dengan kalimat itu.     

"Apa maksudmu."     

"Kau tidak bisa membagi apa yang tidak kau punya Catherine."Ben menatap wanita muda itu. "Love your self first, then share it to people around you." Ujar Ben dan Ketty termangu menatap pria itu.     

Ben bangkit dari tempatnya duduk, "Jadi kau ingin membantuku atau tidak?" Tanyanya.     

"Sure." Ketty bangkit berdiri. "Aku akan ganti pakaian."     

"Aku akan menunggumu." Jawab Ben. Ketty bergegas ke kamarnya dan segera mencari celana jeans, tangtop hitam dan kemeja kotak-kotak yang dikenakan seperti outer sementara dia membiarkan rambutnya di kuncir ekor kuda. Siapa sangka dia adalah wanita beranak dua, dia bahkan terlihat secantik gadis.     

Sementara itu Ben melewati ruang tengah, dia sempat tersenyum sekilas setelah mengobrol bersama Ketty, namun langkahnya terhenti di depan dua buah foto besar. Satu foto Aldric dan Adrianna sementara foto yang lainnya menampilkan ayahnya dan ibunya.     

"Mom, dad, . . . " Gumam Ben dalam hati. Dia beralih menatap foto Aldric dan tersenyum. "Brother." Bisiknya dalam hati juga. Semua kehidupan akan menemukan ujung ceritanya sendiri-sendiri. Kisah ibunya dan ayahnya, kisah kakaknya dan Aldric, bahkan kisahnya dan Leah, mendiang isterinya. Meskipun pada akhirnya tak selalu indah, tapi toh menjadi kenangan yang indah bagi yang masih tersisa dan harus melanjutkan hidup.     

Bahkan sekarang Sheina sedang sibuk menjodohkan ayahnya itu dengan wanita-wanita muda agar sang ayah menemukan kebahagiaan lagi. Ben ayah yang penyayang dan bertanggungjawab. Dia bahkan rela menjual perusahaannya dan merintis usaha baru di German demi menemani sang puteri menempuh pendidikan hingga mendapatkan gelar masternya di bidang hukum dan kini dia akan memulai karirnya sebagai advocad di US. Keputusan Ben untuk kembali ke US juga karena keputusan sang puteri akan berkarir di US, hingga Ben menjual kembali perusahaan pengepakannya dan sekarang dia justru mendapatkan tawaran berharga dari sang keponakan. Menjadi mentor George agar pria muda yang cerdas dan berbakat itu benar-benar bisa menemukan lompatan terjauhnya sebagai seorang CEO muda.     

Yang lebih menarik lagi, meski Ben melewati banyak masa sulit di waktu mudanya, kini saat usianya sudah matang justru banyak kebahagiaan datang tanpa bersusah payah mencari. Catherine, anak angkat Adrianna yang tak pernah masuk akal sebelum Adrianna mejelaskannya itu kini menjadi cukup menarik bagi Ben. Mengenalnya, mengobrol, berbagi dengan wanita muda yang patah hati dan pesimistis soal romansa, akan sangat menantang membantunya menemukan kembali kepercayaan dirinya juga rasa cintanya kembali. Tidak hanya untuknya, tapi juga untuk anak-anak dari wanita muda bernama Catherine itu.     

Jika orang bilang bahwa hidup dimulai diusia empat puluh tahun, mungkin itu berlaku bagi George. Di usianya yang memasuki kepala empat dia seolah lahir muda kembali. Dia lebih bersemangat dalam menjalani banyak hal termasuk soal kehidupan pribadinya.     


Tip: You can use left, right, A and D keyboard keys to browse between chapters.